Tampilkan postingan dengan label Hadits. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hadits. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 Januari 2016

HADITS PALSU TENTANG 10 WASIAT RASULULLAH BUAT FATIMAH

HADITS PALSU: 10 WASIAT RASULULLAH BUAT FATIMAH

Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 


     Akhir-akhir ini beredar sebuah tulisan yang sangat menyentuh ketika dibaca. Tulisan yang berisikan 10 wasiat Rasulullah kepada anaknya Fatimah. Tulisan dan hadits tersebut sudah sangat menjamur di kalangan masyarakat.

Namun, benarkah hadits yang dibawakan oleh Abu Hurairah itu shahih? Bahkan ada yang mengatakan riwayatnya dibawakan oleh Abu Musa Al-'Asyari. Mari kita kaji hadits tersebut.

Suatu hari Rasulullah SAW datang mengunjungi anaknya Fatimah ra dan didapatinya sedang menangis. Maka bertanyalah Rasulullah

SAW: "Apakah yang membuat engkau menangis, wahai Fatimah? '

Fatimah menjawab, "Wahai ayahku, aku menangis karena kelelahan yang tidak terkira ketika menggiling tepung dan menyediakan kebutuhan rumah. Jika ayahanda menyuruh Imam Ali membeli seorang wanita suruhan, itu akan menjadi pemberian yang besar bagiku."

Mendengar kata-kata itu, hati Rasulullah ﷺ teriris sampai berlinang air mata beliau. Lalu beliau pun duduk dekat alat blender kemudian mengambil segenggam gandum dan melafazkan (basmalah).

Ketika Rasulullah ﷺ memasukkan gandum tersebut ke dalam alat penggiling maka bergeraklah alat itu dengan sendirinya sambil alat itu memuji Allah dalam bahasa yang sangat indah dan suara yang sangat merdu sehingga semuanya dikisar. Lalu beliau pun berkata, "Berhentilah kamu wahai alat blender" Ketika itu Allah telah membuat alat itu dapat berkata-kata. "Demi Allah yang mengantarmu dengan kebenaran sebagai seorang Rasul dan dengan berita sebagai orang yang dipercayakan. Aku tidak akan berhenti sebelum kau memberi jaminan dari Allah untuk menempatkan aku di dalam surga dan menjauhkan aku dari api neraka." Berkata Rasulullah SAW: "Kau adalah batu, namun kau takut pada api neraka" Alat penggiling menjawab, "Wahai Rasulullah, aku telah mendengar kata-kata ini dari Al Quran:" Wahai orang yang beriman, jauhilah dan anggota keluargamu dari api neraka yang pembakarnya terdiri dari manusia dari batu-batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, tidak mendurhakai terhadap apa yang diperintahkan Allah kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. "

Maka Rasulullah pun mendoakan untuk keselamatan batu itu. Selesai berdoa turunlah malaikat Jibril dan berkata: "Wahai Muhammad, Tuhan yang untuknya segala pujian dan yang Maha Tinggi, mengirim salam dan penghormatan dan berpesan kepada engkau, beritahu batu itu berita gembira bahwa Allah telah menganugerahkan pada batu itu keselamatan dari api neraka dan meletakkannya di antara batu-batu surga di dalam mahligai Fatimah di mana ia akan bercahaya bagaikan matahari di alam ini. "

Lalu disampaikan berita itu. Baginda memandang kepada Fatimah lalu bersabda: "Wahai Fatimah, sekianya begitu kehendakAllah, blender ini akan bekerja setiap hari tetapi Allah ingin mencatat untukmu perbuatan baik dan meninggikan derajatmu karena tanggung jawabmu yang berat itu."

"Wahai Fatimah, untuk setiap wanita yang mengeluarkan keringat ketika membuat roti, Allah akan membangun tujuh parit di antara dirinya dengan api neraka, jarak di antara parit itu adalah sejauh langit dan bumi."

"Wahai Fatimah, bagi setiap wanita yang memintal benang, Allah akan mencatatkan untuknya perbuatan baik sebanyak utas benang yang dibuat dan memadamkan seratus perbuatan jahat."

"Wahai Fatimah, untuk setiap wanita yang menganyam benang yang dibuatnya, Allah telah menentukan satu tempat khusus untuknya di atas tahta di hari akhirat."

"Wahai Fatimah, bagi setiap wanita yang memintal benang dan kemudian dibuat pakaian untuk anak-anaknya maka Allah akan mencatat baginya pahala seperti orang yang memberi makan seribu orang yang lapar dan memberi pakaian kepada seribu orang yang tidak berpakaian."

"Wahai Fatimah, bagi setiap wanita yang meminyakkan rambut anaknya, menyikatnya, mencuci pakaian-pakaian mereka dan mencuci akan diri anaknya itu, Allah akan mencatat untuknya pekerjaan baik sebanyak helai rambut mereka dan memadamkan sebanyak itu pula pekerjaan yang jahat dan membuat dinnya terlihat berseri di mata orang-orang yang memperhatikan. " (Riwayat Abu Hurairah)

Hadits tersebut adalah batil bahkan palsu sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Manjid.

"Hadits ini dusta atas nama Nabi Shallallahu'alahi wa Sallah, tidak ditemukan riwayat tentang, tidak dapat menukil dan berbicara tentang hadits tersebut."

Namun, meskipun begitu kita tidak bisa menyangkal bahwa isi yang terkandung dalamnya ada yang benar. Tapi mengatasnamakan bahwa hadits tersebut adalah dari Rasulullah, ini merupakan kedustaan ​​yang sangat besar.

Memang benar bahwa Rasulullah pernah berwasiat kepada putrinya. Namun redaksinya berbeda dengan yang sudah tersebar di masyarakat. 

Adapun hadits yang shahih tentang wasiat Rasulullah kepada Fatimah adalah sebagai berikut. 

Dari Ali Radhiyallahu'anhu, Bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallah bersabda kepada anaknya -Fatimah- tatkala ia meminta seorang pembantu, "Maukah kamu aku tunjukkan sesuatu yang lebih baik dari pada seorang pembantu? Yaitu ketika kamu akan pergi tidur atau berbaring -Di kasur - bertakbirlah sebanyak 24 kali, bertasbihlah sebanyak 33, dan bertahmidlah sebanyak 33 kali. Itu semua jika kamu lakukan lebih baik dari pada seorang pembantu. " (HR. Bukhari dan Muslim). 

Wallahu'alam.


Oleh: Muhammad Husni Haikal


CARA MEMAHAMI NASH AL-QUR'AN DAN MEMBEDAKAN HADITS ASLI ATAU PALSU

Bismillaahirrahmaanirrahiim 

Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 


CARA MEMAHAMI NASH AL-QUR'AN 


1. Memahami Ayat dengan Ayat


Menafsirkan satu ayat Qur’an dengan ayat Qur’an yang lain, adalah jenis penafsiran yang paling tinggi. Karena ada sebagian ayat Qur’an itu yang menafsirkan (baca, menerangkan) makna ayat-ayat yang lain. Contohnya ayat, yang artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak pernah merasa cemas dan tidak pula merasa bersedih hati.” (Yunus : 62)

Lafadz auliya’ (wali-wali), diterangkan/ditafsirkan dengan ayat berikutnya yang artinya : “Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus : 63)


Berdasarkan ayat di atas maka setiap orang yang benar-benar mentaati perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka mereka itu adalah para wali Allah. Tafsiran ini sekaligus sebagai bantahan orang-orang yang mempunyai anggapan, bahwa wali itu ialah orang yang mengetahui perkara-perkara yang gaib, memiliki kesaktian, di atas kuburnya terdapat bangunan kubah yang megah, atau keyakinan-keyakinan batil yang lain. Dalam hal ini, karamah bukan sebagai syarat untuk membuktikan orang itu wali atau bukan. Karena karamah itu bisa saja tampak bisa pula tidak.


Adapun hal-hal aneh yang ada pada diri sebagian orang-orang sufi dan orang-orang ahli bid’ah, adalah sihir, seperti yang sering terjadi pula pada orang-orang majusi di India dan lain sebagainya. Itu sama sekali bukan karamah, tetapi sihir seperti yang difirmankan Allah, artinya: “Terbayang kepada Musa, seolah-olah ia merayap cepat lantaran sihir mereka.” (Thaha: 66)


2. Memahami Ayat Al-Qur’an dengan Hadits Shahih


Menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan hadits shahih sangatlah urgen, bahkan harus. Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Shallallahu alaihi wasalam . Tidak lain supaya diterangkan maksudnya kepada semua manusia. Firman-Nya, artinya: “…Dan Kami turunkan Qur’an kepadamu (Muhammad) supaya kamu terangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka pikirkan.” (An-Nahl : 44)

Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda, artinya: “Ketahuilah, aku sungguh telah diberi Al-Qur’an dan yang seperti Qur’an bersama-sama.” (HR. Abu Dawud)


Berikut contoh-contoh tafsirul ayat bil hadits:

*


Ayat yang artinya: “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya.” (Yunus : 26)

Tambahan di sini menurut keterangan Rasulullah, ialah berupa kenikmatan melihat Allah. Beliau bersabda, artinya: “Lantas tirai itu terbuka sehingga mereka dapat melihat Tuhannya, itu lebih mereka sukai dari pada apa-apa yang diberikan kepada mereka.” Kemudian beliau membaca ayat ini : Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya. ” (HR. Muslim).

*


Ketika turun ayat, yang artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukan iman mereka dengan kezhaliman….” (Al-An’am : 82)

Menurut Abdullah bin Mas’ud, para sahabat merasa keberatan karena-nya. Lantas merekapun bertanya, “Siapa di antara kami yang tidak menzalimi dirinya, ya Rasul?” Beliau jawab, “Bukan itu maksudnya. Tetapi yang dimaksud kezaliman di ayat itu adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar/ucapan Lukman kepada putranya yang berbunyi: “Wahai anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah. Karena perbuatan Syirik (menyekutukan Allah) itu sungguh suatu kezaliman yang sangatlah besar.” (HR. Muslim)


Dari ayat dan hadits itu dapat dipetik kesimpulan : Kezaliman itu urutan-nya bertingkat-tingkat. Perbuatan maksiat itu tidak disebut syirik. Orang yang tidak menyekutukan Allah, mendapat keamanan dan petunjuk.


3. Memahami Ayat dengan Pemahaman Sahabat


Merujuk kepada penafsiran para sahabat terhadap ayat-ayat Qur’an seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud sangatlah penting sekali untuk mengetahui maksud suatu ayat. Karena, di samping senantiasa menyertai Rasulullah, mereka juga belajar langsung dari beliau. Berikut ini beberapa contoh tafsir dengan ucapan sahabat, tentang ayat yang artinya: “Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘arsy.” (Thaha 5)


Al-Hafiz Ibnu Hajar di dalam Kitab Fathul Baari berkata, Menurut Ibnu Abbas dan para ahli tafsir lain, istawa itu maknanya irtafa’a (naik atau meninggi).


4. Harus Mengetahui Gramatika Bahasa Arab


Tidak diragukan lagi, untuk bisa memahami dan menafsiri ayat-ayat Qur’an, mengetahui gramatika bahasa Arab sangatlah urgen. Karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab.

Firman Allah, artinya:

“Sungguh Kami turunkan Al-Qur’an dengan bahasa Arab supaya kamu memahami.” (Yusuf : 2)

Tanpa mengetahui bahasa Arab, tak mungkin bisa memahami makna ayat-ayat Qur’an. Sebagai contoh ayat: “tsummas tawaa ilas samaa’i”. Makna istawaa ini banyak diperselisihkan. Kaum Mu’tazilah mengartikannya menguasai dengan paksa. Ini jelas penafsiran yang salah. Tidak sesuai dengan bahasa Arab. Yang benar, menurut pendapat para ahli sunnah waljamaah, istawaa artinya ‘ala wa irtafa’a (meninggi dan naik). Karena Allah mensifati dirinya dengan Al-‘Ali (Maha Tinggi).


Anehnya, banyak orang penganut faham Mu’tazilah yang menafsiri lafaz istawa dengan istaula. Pemaknaan seperti ini banyak tersebar di dalam kitab-kitab tafsir, tauhid, dan ucapan-ucapan orang. Mereka jelas menging-kari ke-Maha Tinggian Allah yang jelas-jelas tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits shahih, perkataan para sahabat dan para tabi’in, Mereka mengingkari bahasa Arab di mana Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa itu. Ibnu Qayyim berkata, Allah memerin-tahkan orang-orang Yahudi supaya mengucapkan “hitthotun” (bebaskan kami dari dosa), tapi mereka pelesetkan atau rubah menjadi “hinthotun” (biji gandum). Ini sama dengan kaum Mu’tazilah yang mengartikan istawa dengan arti istaula.


Contoh kedua, pentingnya Bahasa Arab dalam menafsiri suatu ayat, misalnya ayat yang artinya:

“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada ilah (yang haq) melainkan Allah…” (Muhammad: 19).

Ilah artinya al-ma’bud (yang disembah). Maka kalimat Laa ilaaha illallaah, artinya laa ma’buuda illallaah (tidak ada yang patut disembah kecuali Allah saja). Sesuatu yang disembah selain Allah itu banyak; orang-orang Hindu di India menyembah sapi. Pemeluk Nasrani menyembah Isa Al-Masih, tidak sedikit dari kaum Muslimin sangat disesalkan karena menyembah para wali dan berdo’a meminta sesuatu kepadanya. Padahal, dengan tegas Nabi Shallallahu alaihi wasalam berkata, artinya: “Doa itu ibadah”. (HR At-Tirmidzi).


Nah, karena sesuatu yang dijadikan sesembahan oleh manusia banyak macamnya, maka dalam menafsirkan ayat di atas mesti ditambah dengan kata haq sehingga maknanya menjadi Laa ma’buuda haqqon illallaah (tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah). Dengan begitu, semua sesembahan-sesembahan yang batil yakni selain Allah, keluar atau tidak masuk dalam kalimat tersebut. Dalilnya ialah ayat berikut, yang artinya: “Demikianlah, karena sesungguhnya Allah. Dialah yang haq. Dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang batil.” (Luqman: 30).


Dengan diartikannya lafadz ilah menjadi al-ma’buud, maka jelaslah kekeliruan kebanyakan orang Islam yang berkeyakinan bahwa Allah ada di mana-mana dan mengingkari ketinggianNya di atas ‘Arsy dengan memakai dalil ayat berikut, yang artinya: “Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi.” (Az-Zukhruf: 84).


Sekiranya mereka memahami arti ilah dengan benar, nisacaya mereka tidak memakai dalil ayat tersebut. Yang benar, seperti yang telah diterangkan di atas, al-ilah itu artinya: al-ma’buud sehingga ayat itu artinya menjadi : “Dan Dialah Tuhan ( yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi.”


Contoh ketiga, pentingnya mengetahu gramatika bahasa Arab untuk supaya bisa menafsiri ayat dengan benar, ialah mengetahui ungkapan kata akhir tapi didahulukan, dan kata depan tapi ditaruh di akhir kalimat. Sebagai contoh, firman iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. artinya: “Hanya kepadamu kami menyembah, dan hanya kepadamu pula kami memohon pertolongan.” (Al-Fatihah: 5).

Didahulukannya kata iyyaka atas kata kerja na’budu dan nasta’in , ialah untuk pembatas dan pengkhususan, maka maksudnya menjadi laa na’budu illaa iyyaaka walaa nasta’iinu illaa bika yaa Allaah, wanakhusshuka bil ‘ibaadah wal isti’aanah wahdaka. (kami tidak menyembah siapapaun kecuali hanya kepadaMu. Kami tidak mohon pertolongan kecuali hanya kepadaMu, ya Allah. Dan hanya kepadaMu saja kami beribadah serta memohon pertolongan).


5. Memahami Nash Al-Qur’an dengan Asbabun Nuzul


Mengetahui sababun nuzul (peristiwa yang melatari turunnya ayat) sangat membantu sekali dalam memahami Al-Qur’an dengan benar.

Sebagai contoh, ayat yang artinya: “Katakanlah: Panggillah mereka yang kamu anggap sebagai (Tuhan) selain Allah, mereka tidak akan memiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkan-nya. Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengha-rapkan rahmatNya, serta takut akan adzab-Nya. Karena adzab Tuhanmu itu sesuatu yang mesti ditakuti.” (Al-Israa': 56-57).


Ibnu Mas’ud berkata, segolongan manusia ada yang menyembah segolongan jin, lantas sekelompok jin itu masuk Islam. Karena yang lain tetap bersikukuh dengan peribadatannya, maka turunlah ayat: Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka (Muttafaq ‘alaih).

Ayat itu sebagai bantahan terhadap orang-orang yang menyeru dan bertawassul kepada para nabi atau para wali. Tapi, sekiranya orang-orang itu bertawassul kepada keimanan dan kecintaan mereka kepada para nabi atau wali, tentu tawassul semacam itu boleh-boleh saja.


Demikian penjelasan Muhammad Ibn Jamil Zainu dalam Kitab kaifa Nafhamul Qur’an. (Dept. Ilmiyah/alsofwah)



CARA MEMBEDAKAN HADITS ASLI DENGAN YANG PALSU


Perbedaan antara hadist shahih dengan hadist palsu memang sangat tipis. Bahkan keduanya acapkali sulit dibedakan. Bahkan telah banyak hadist-hadist yang sebenarnya palsu, dianggap dan diyakini sebagai hadist shahih, sehingga dijadikan sebagai pegangan (sumber) ajaran. 

Namun demikian, memilah hadist shahih dan palsu bukan berarti tidak bisa dilakukan. Para pakar hadist telah memberikan rambu-rambu yang dapat digunakan untuk memihak (menyeleksi) antara hadist shahih dan hadist yang dianggap palsu. Palsu dan tidaknya sebuah hadist, seperti yang ditulis oleh Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, bisa dilihat dari dua aspek, yaitu aspek sanad dan aspek matan 

1. Aspek Sanad 

1. Perawi yang mengakui kedustaannya, seperti yang dilakukan oleh Abdul Karim al-Wadhdha’. Maka hadist-hadist yang diriwayatkan oleh orang ini layak dimasukkan dalam katagori hadist-hadist palsu. 
2. Seseorang yang meriwayatkan hadist dari seseorang yang tidak jelas sumbernya. Misalnya ia meriwayakan sebuah hadist dari seseorang yang tidak pernah ketema, sementara ia menggunakan redaksi yang menunjukkan bahwa ia mendengar dan menatap, atau meriwayatkan dari seorang guru di suatu tempat, padah ia belum pernah ke tempat itu, dan atau meriwayatkan dari seorang guru, padahal guru tersebut telah wafat sebelum ia lahir. 
3. Perawi yang memang dikenal sebagai pendusta dalam meriwayatkan suatu hadist, kemudian ia meriwayatkan hadist seorang diri, dan tidak ada perawi tsiqah yang meriwayatkannya 

2. Apek Matan 

a. Kejanggalan redaksi hadist yang diriwayatkan, apabila dirasa tidak mencerminkan sabda yang datang dari Nabi. 

b. Kekacauan makna hadist. Misalnya hadist-hadist yang memiliki unsure dusta, karena tidak sesuai dengan akal sehat, seperti ungkapan yang berbunyi : “terong merupakan obat segala penyakit”

c. Bertentangan dengan teks-teks al-Qur’an dan Sunah 

d. Setiap hadist yang mendakwakan kesepakatan sahabat untuk menyembunyikan sesuatu dan tidak menyebarkannya. 

e. Hadist yang tidak memiliki relevansi dengan realitas histories pada masa Nabi. 

f. Hadist yang memiliki keterkaitan erat dengan latar belakang seorang rawi, misalnya perawinya termasuk figure sangat ekstrem terhadap aliran tertentu. 

g. Hadist tersebut memuan kandungan sesuatu yang luar biasa, tetapi hanya diriwayatkan oleh satu orang. 

Re-Evaluasi Hadist : Mewaspadai Hadist Palsu 

Pada bagian ini penulis menganggap penting untuk menjadikan masalah hadist palsu sebagai masalah yang serius untuk terus dikaji dan diteliti, karena tidak menutup kemungkinan hadist-hadist palsu masih tetap ada dan lepas dari penelitian yang telah dihasilkan oleh kalangan ulama hadist, terutama hadist-hadist yang memiliki kaitan dengan masalah keagamaan (fadla’ilul a’mal). Hadist-hadist semacam ini, sangat mengesankan memang berasal dari Nabi, karena menggunakan materi yang akrab dengan apa yang menjadi kecenderungan umat Islam, sehingga bisa jadi akan mudah dianggap sebagai hadist asli, padahal sebenarnya termasuk hadist palsu, tanpa sepengetahuan umat Islam. 

Dalam konteks ini, untuk mengantisipasi kenyataan itu, menurut hemat penulis perlu dilakukan re-evaluasi terhadap posisi hadist yang terdapat dalam beberapa kitab hadist, termasuk dalam hadist yang dikumpulkan oleh imam Bukhari dan imam Muslim. Sebab, tidak menutup kemungkinan dalam kitab tersebut, masih terdapat hadist-hadist yang perlu mendapatkan koreksi dan penelitian lebih serius dari umat Islam. Artinya, sekalipun dalam kitab hadist Bukhari dan kitab Muslim diyakini sebagai kumpulan hadist paling sahih karena pendekatan penelitian yang dianggap lebih akurat dan berhati-hati, tetapi meletatkan keduanya sebagai hasil usaha manusia yang tidak menutup kemungkinan memunculkan kesalahan, layak terjadi. 

Re-evaluasi secara kritis mutlak harus dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menyelamatkan hadist-hadist agar tetap searah dengan apa yang dikatakan, dilakukan dan yang ditetapkan oleh Rasulullah dan al-Qur’an. Re-evaluasi tersebut bisa dilakukan dalam beberapa hal penting : 

Pertama, evaluasi kritis terhadap sanad dan rijalul hadist hadist. Aspek ini telah menjadi mainstream penelitian para ulama hadist, sehingga melahirkan klasifikasi bentuk hadist, baik sahih, dha’if, hasan dan lain sebagainya. Sanad dan rawil hadist tetap harus menjadi obyek kritik, terutama menyangkut latar belakang dan sosio cultural seorang periwayat hadist, karena tidak menutup kemungkinan seorang periwayat hadist yang sudah dinyatakan sebagai perawi tanpa cela oleh para ulama, masih menyisakan satu masalah serius yang harus dikaji lebih obyektif lagi, misalnya posisi Abu Hurairah sebagai salah seorang periwayat hadist yang cukup spektakuler. Sebab, dalam kemelut konfilik politik umat Islam pada masa-masa Mu’awiyah, Abu Hurairah dianggap menjadi salah seorang bagian penting dalam gerakan politik yang dilakukan oleh Mu’awiyah dan dianggap sebagai pereka-perekayasa hadist (palsu) untuk menyudutkan Ali, demi kepentingan kubu Mu’awiyah.[22]