“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893).
Rabu, 06 Mei 2020
9 AMALAN & IBADAH UTAMA DI BULAN RAMADHAN
Kamis, 25 Oktober 2018
SALAH FAHAM TENTANG MEMAHAMI TAWAKAL
۞﷽۞
SALAH FAHAM TENTANG MEMAHAMI TAWAKAL
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
Sebagian orang ada yang salah paham dengan tawakal. Sebelumnya, perlu diketahui ada dua rukun tawakal:
1. Menempuh dan melakukan sebab/usaha
2. Berdoa memohon bantuan kepada Allah dan menyerahkan hasilnya kepada Allah serta ridha dengan apapun yang Allah takdirkan nanti
Ada dua sikap ekstrim (berlebihan) terkait tawakal:
Pertama: Tidak melakukan sebab atau usaha sama sekali
Inilah yang sering salah dipahami oleh sebagian orang, yaitu memahami tawakal dengan “pasrah” saja. Tidak melakukan sebab atau usaha dengan apapun.
Kedua: Melakukan sebab/usaha dengan sangat giat tetapi tidak memohon bantuan kepada Allah serta tidak menyerahkan hasilnya kepada Allah
Berikut pembahasannya:
Pertama: Tidak melakukan sebab sama sekali
Hal ini tidak dibenarkan, karena Allah telah menciptakan sebab dan akibatnya. Manusia harus menempuh sebab dan melakukan usaha untuk mendapatkan hasilnya nanti.
Perhatikan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai “tawakalnya burung”.
๏ปَ๏ปฎْ ๏บَ๏ปงَّ๏ปُ๏ปขْ ๏ปُ๏ปจْ๏บُ๏ปขْ ๏บَ๏ปฎَ๏ปَّ๏ป ُ๏ปฎ๏ปฅَ ๏ปَ๏ป َ๏ปฐ ๏บ๏ป๏ป َّ๏ปชِ ๏บฃَ๏ปَّ ๏บَ๏ปฎَ๏ปُّ๏ป ِ๏ปชِ ๏ปَ๏บฎُ๏บฏِ๏ปْ๏บُ๏ปขْ ๏ปَ๏ปคَ๏บ ๏ปณُ๏บฎْ๏บฏَ๏ปُ ๏บ๏ป๏ปَّ๏ปดْ๏บฎُ ๏บَ๏ปْ๏บชُ๏ปญ ๏บงِ๏ปคَ๏บ๏บปً๏บ ๏ปญَ๏บَ๏บฎُ๏ปญ๏บกُ ๏บِ๏ปَ๏บ๏ปงً๏บ
“Seandainya kalian sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung yang pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang “ (HR.Tirmidzi, hasan shahih)
Seekor burung tidak tahu letak di mana biji-bijian dan makanan yang akan didapatkan, bisa jadi di tempat kemarin yang ia dapatkan, sekarang telah habis persediaan biji tersebut.
Yang penting bagi burung adalah:
1. Berusaha keluar sarang dulu, yang penting berusaha (tidak meninggalkan sebab dan usaha)
2. Tidak stress dulu di sangkar terlalu lama memikirkan nasibnya
3. Optimis dengan rezeki dari Allah, untuk memenuhi kebutuhannya
Syaikh Abdurrahman Al-Mubarakfuri menjelaskan,
๏ป๏ปด๏บฒ ๏ป๏ปฒ ๏บ๏ป๏บค๏บช๏ปณ๏บ ๏ปฃ๏บ ๏ปณ๏บช๏ป ๏ป๏ป ๏ปฐ ๏บ๏บฎ๏ป ๏บ๏ป๏ป๏บด๏บ ๏บ๏ป ๏ป๏ปด๏ปช ๏ปฃ๏บ ๏ปณ๏บช๏ป ๏ป๏ป ๏ปฐ ๏ป๏ป ๏บ ๏บ๏ป๏บฎ๏บฏ๏ป
“Hadits ini tidak menunjukkan bahwa kita harus meninggalkan usaha (menempuh sebab), akan tetapi menunjukkan agar melakukan usaha untuk mencari rezeki (Tuhfatul Ahwadzi, syaikh Al-mubarakfury)
Jadi menempuh sebab (melakukan usaha) itu juga penting dan diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam sebuah riwayat ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Wahai Rasulullah, apakah saya ikat unta saya lalu tawakal kepada Allah Azza wa Jalla ataukah saya lepas saja sambil bertawakal kepada-Nya ? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
ุฅِุนَِْْูููุง َูุชَََّْููู
“Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakal !” (HR. At-Tirmidzi no. 2517, hasan)
Kedua: Melakukan sebab/usaha dengan sangat giat tetapi tidak memohon bantuan kepada Allah serta tidak menyerahkan hasilnya kepada Allah
Kita adalah seorang hamba Allah dan jangan sampai melupakan Allah sebagai pencipta kita dan yang memberikan kita kemampuan serta Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
ูุงูุฅูุชูุงุช ุงูู ุงูุฃุณุจุงุจ ุดุฑู ูู ุงูุชูุญูุฏ ู ู ุญู ุงูุฃุณุจุงุจ ุฃู ุชููู ุฃุณุจุงุจุง ููุถ ูู ุงูุนูู ู ุงูุฃุนุฑุงุถ ุนู ุงูุฃุณุจุงุจ ุงูู ุฃู ูุฑ ุจูุง ูุฏุญ ูู ุงูุดุฑุน ูุนูู ุงูุนุจุฏ ุฃู ูููู ููุจู ู ุชุนู ุฏุง ุนูู ุงููู ูุง ุนูู ุณุจุจ ู ู ุงูุฃุณุจุงุจ ู ุงููู ููุณุฑ ูู ู ู ุงูุฃุณุจุงุจ ู ุง ูุตูุญู ูู ุงูุฏููุง ู ุงูุฃุฎุฑุฉ
“Mengandalkan (terlalu memperhatikan) sebab atau usaha itu menodai kemurnian tauhid. Tidak percaya bahwa sebab adalah sebab adalah tindakan merusak akal sehat. Tidak mau melakukan usaha atau sebab adalah celaan terhadap syariat (yang memerintahkannya). Hamba berkewajiban menjadikan hatinya bersandar kepada Allah, bukan bersandar kepada usaha semata. Allahlah yang memudahkannya untuk melakukan sebab yang akan mengantarkannya kepada kebaikan di dunia dan akherat” (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 8/528)
Orang yang terlalu mengandalkan sebab atau usaha sangat berpotensi untuk stres dan depresi ketika ia tidak bisa mencapai target atau hasil yang ia inginkan, padahal ia sudah giat dan bersusah payah. Seorang yang bertawakal tidak akan stres atau depresi karena ia berbaik sangka kepada Allah. Apapun yang Allah takdirkan adalah yang terbaik bagi seorang hamba. Inilah menakjubkannya urusan seorang muslim sebagaimana dalam hadits.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ุนَุฌَุจًุง ِูุฃَู ْุฑِ ุงْูู ُุคْู ِِู ุฅَِّู ุฃَู ْุฑَُู َُُّููู ุฎَْูุฑٌ، ََْูููุณَ ุฐَุงَู ูุฃَِุญَุฏٍ ุฅِูุงَّ ِْููู ُุคْู ِِู: ุฅِْู ุฃَุตَุงุจَุชُْู ุณَุฑَّุงุกُ ุดََูุฑَ ََููุงَู ุฎَْูุฑًุง َُูู، َูุฅِْู ุฃَุตَุงุจَุชُْู ุถَุฑَّุงุกُ ุตَุจَุฑَ ََููุงَู ุฎَْูุฑًุง َُูู
“Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin. Sungguh semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin, yaitu jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat musibah, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya” (HR. Muslim)
Jumat, 12 Oktober 2018
JENIUS TAPI TIDAK PERCAYA ADANYA SANG PENCIPTA...??
۞﷽۞
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
Bisa jadi ada seorang jenius dan pintar tapi tidak percaya ada Allah Maha Pencipta yang menciptakan alam semesta, padahal tanda-tanda keberadaan Allah ada itu sangat banyak.
Orang cerdas dan atheis itu tidak percaya adanya Allah karena terlalu mendewakan logika, padahal jika kita memakai logika, Allah Maha Pencipta itu ada. (mohon diingat, agama kita tidak berdalil dengan logika, tetapi berdalil dengan Al-Quran dan hadits. Logika hanya mendukung saja, karena logika manusia terbatas dan tentunya logika manusia yang berjiwa hanif)
Kami contohnya logikanya :
1. Mengharuskan ada “yang lebih besar yang menciptakan”
Misalnya ketika mendefinisikan apa maksudnya kata “rumah”, maka penjelasannya:
“Rumah itu adalah tempat tinggal”
Lalu siapa yang menciptakan dan memberikan kata definisi kata:
“Itu” , “adalah”, dan “tempat tinggal”
Ketika definisikan tentu akan ada definisi lagi, dan tentu akan ada definisi lagi dan seterusnya. Ujungnya harus ada yang Maha Menciptakan
Kemudian akan muncul pertanyaan:
“Siapa yang menciptakan Allah/Maha Pencipta?”
Pertanyaan ini jelas salah secara logika:
Karena ini “pertanyaannya yang salah”
Sebagaimana bentuk “pertanyaan yang salah” lainnya:
“Kapan ayah melahirkan?”
Yang namanya ayah tidak melahirkan, ini pertanyaannya sudah salah
Nah, demikian juga yang namanya Maha pencipta itu yang menciptakan dan tidak diciptakan
⚠️ Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita mengikuti pertanyaan salah ini dan memerintahkan kita segera berlindung kepada Allah dan berhenti membahas.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
๏ปณ๏บ๏บ๏ปฒ ๏บ๏ป๏บธ๏ปด๏ป๏บ๏ปฅُ ๏บ๏บฃ๏บชَ๏ป๏ปข ๏ป๏ปด๏ป๏ปฎ๏ป ๏ปฃ๏ปฆ ๏บง๏ป ๏ป ๏ป๏บฌ๏บ ๏ปญ๏ป๏บฌ๏บ ؟ ๏บฃ๏บ๏ปฐ ๏ปณ๏ป๏ปฎ๏ป ๏ป๏ปช ๏ปฃ๏ปฆ ๏บง๏ป ๏ป ๏บญ๏บَّ๏ป ؟ ๏ป๏บ๏บซ๏บ ๏บ๏ป ๏ป ๏บซ๏ป๏ป ๏ป๏ป ๏ปด๏บด๏บ๏ป๏บฌ ๏บ๏บ๏ป๏ป ๏ปช ๏ปญ๏ป๏ปด๏ปจ๏บ๏ปช
“Setan akan datang kepada salah seorang dari kalian lalu bertanya, ‘Siapa yang menciptakan ini dan itu? Hingga akhirnya dia akan bertanya siapa yang menciptakan tuhanmu? Jika hal itu terjadi, hendaknya dia berlindung kepada Allah dan sudahilah (jangan turuti menjawab pertanyaannya).”
(HR. Muslim)
2. Yang namanya logika manusia terbatas dengan apa yang dia ketahui saat ini. Tidak semua logika manusia bisa memahami segalanya terkait ketuhanan dan wahyu.
Misalnya di zaman dahulu, orang mengatakan:
-Mustahil ada besi terbang
-Mustahil semalam saja bisa pergi dari dari Indonesia ke Mekkah hanya semalam saja
-Mustahil ada orang bisa berbicara “video call” dari jarak jauh hanya dengan kotak kecil gepeng (HP).
Orang dahulu mengatakan ini tidak masuk logika saya dan mereka tidak percaya.
Nah begitu juga sekarang dan hari ini di dunia kita hidup sekarang.
Yang terpenting dan yang utama dan kita pakai untuk berhujjah adalah dalil Al-Quran dan Sunnah yang sangat banyak tentang keberadaan Allah Maha Pencipta. Yaitu dengan ayat-ayat yang berada di dunia-langit dan alam semesta yang berupa pengaturan planet, bintang, matahari dan bulan serta pengaturan sel-sel tubuh yang luar biasa.
Allah berfirman,
๏บِ๏ปฅَّ ๏ปِ๏ปฒ ๏บงَ๏ป ْ๏ปِ ๏บ๏ป๏บดَّ๏ปคَ๏บ๏ปญَ๏บ๏บِ ๏ปญَ๏บ๏ปْ๏บَ๏บญْ๏บฝِ ๏ปญَ๏บ๏บงْ๏บِ๏ป َ๏บ๏ปِ ๏บ๏ป๏ป َّ๏ปดْ๏ปِ ๏ปญَ๏บ๏ป๏ปจَّ๏ปฌَ๏บ๏บญِ ๏ปَ๏บ๏ปณَ๏บ๏บٍ ๏ปِ๏บُ๏ปญ๏ปِ๏ปฒ ๏บ๏ปْ๏บَ๏ปْ๏บَ๏บ๏บِ ๏บ๏ปَّ๏บฌِ๏ปณ๏ปฆَ ๏ปณَ๏บฌْ๏ปُ๏บฎُ๏ปญ๏ปฅَ ๏บ๏ป๏ป َّ๏ปชَ ๏ปِ๏ปดَ๏บ๏ปฃً๏บ ๏ปญَ๏ปُ๏ปُ๏ปฎ๏บฉً๏บ ๏ปญَ๏ปَ๏ป َ๏ปฐٰ ๏บُ๏ปจُ๏ปฎ๏บِ๏ปฌِ๏ปขْ ๏ปญَ๏ปณَ๏บَ๏ปَ๏ปَّ๏บฎُ๏ปญ๏ปฅَ ๏ปِ๏ปฒ ๏บงَ๏ป ْ๏ปِ ๏บ๏ป๏บดَّ๏ปคَ๏บ๏ปญَ๏บ๏บِ ๏ปญَ๏บ๏ปْ๏บَ๏บญْ๏บฝِ ๏บญَ๏บَّ๏ปจَ๏บ ๏ปฃَ๏บ ๏บงَ๏ป َ๏ปْ๏บَ ๏ปซَٰ๏บฌَ๏บ ๏บَ๏บ๏ปِ๏ป ً๏บ ๏บณُ๏บْ๏บคَ๏บ๏ปงَ๏ปَ ๏ปَ๏ปِ๏ปจَ๏บ ๏ปَ๏บฌَ๏บ๏บَ ๏บ๏ป๏ปจَّ๏บ๏บญِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.
[Ali ‘Imran/3:190-191]
Contoh lagi tantangan dari Maha Pencipta bagi manusia yang paling pintar di muka bumi dan silahkan mereka saling mendukung, yaitu tantangan untuk membuat semisal Al-Quran.
Allah berfirman,
๏ปُ๏ปْ ๏ปَ๏บِ๏ปฆِ ๏บ๏บْ๏บَ๏ปคَ๏ปَ๏บِ ๏บ๏ปْ๏บِ๏ปงْ๏บฒُ ๏ปญَ๏บ๏ปْ๏บ ِ๏ปฆُّ ๏ปَ๏ป َ๏ปฐٰ ๏บَ๏ปฅْ ๏ปณَ๏บْ๏บُ๏ปฎ๏บ ๏บِ๏ปคِ๏บْ๏ปِ ๏ปซَٰ๏บฌَ๏บ ๏บ๏ปْ๏ปُ๏บฎْ๏บ๏ปฅِ ๏ปَ๏บ ๏ปณَ๏บْ๏บُ๏ปฎ๏ปฅَ ๏บِ๏ปคِ๏บْ๏ป ِ๏ปชِ ๏ปญَ๏ปَ๏ปฎْ ๏ปَ๏บ๏ปฅَ ๏บَ๏ปْ๏ปُ๏ปฌُ๏ปขْ ๏ปِ๏บَ๏ปْ๏บพٍ ๏ปَ๏ปฌِ๏ปด๏บฎً๏บ
Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.
[ al-Isra’/17:88]
Bahkan tantangan membuat satu surat pendek saja.
Allah berfirman,
๏ปญَ๏ปฃَ๏บ ๏ปَ๏บ๏ปฅَ ๏ปซَٰ๏บฌَ๏บ ๏บ๏ปْ๏ปُ๏บฎْ๏บ๏ปฅُ ๏บَ๏ปฅْ ๏ปณُ๏ปْ๏บَ๏บฎَ๏ปฏٰ ๏ปฃِ๏ปฆْ ๏บฉُ๏ปญ๏ปฅِ ๏บ๏ป๏ป َّ๏ปชِ ๏ปญَ๏ปَٰ๏ปِ๏ปฆْ ๏บَ๏บผْ๏บชِ๏ปณ๏ปَ ๏บ๏ปَّ๏บฌِ๏ปฑ ๏บَ๏ปดْ๏ปฆَ ๏ปณَ๏บชَ๏ปณْ๏ปชِ ๏ปญَ๏บَ๏ปْ๏บผِ๏ปด๏ปَ ๏บ๏ปْ๏ปِ๏บَ๏บ๏บِ ๏ปَ๏บ ๏บญَ๏ปณْ๏บَ ๏ปِ๏ปด๏ปชِ ๏ปฃِ๏ปฆْ ๏บญَ๏บِّ ๏บ๏ปْ๏ปَ๏บ๏ปَ๏ปคِ๏ปด๏ปฆ ﴿ูฃูง﴾ ๏บَ๏ปกْ ๏ปณَ๏ปُ๏ปฎ๏ปُ๏ปฎ๏ปฅَ ๏บ๏ปْ๏บَ๏บฎَ๏บ๏ปฉُ ۖ ๏ปُ๏ปْ ๏ปَ๏บْ๏บُ๏ปฎ๏บ ๏บِ๏บดُ๏ปฎ๏บญَ๏บٍ ๏ปฃِ๏บْ๏ป ِ๏ปชِ ๏ปญَ๏บ๏บฉْ๏ปُ๏ปฎ๏บ ๏ปฃَ๏ปฆِ ๏บ๏บณْ๏บَ๏ปَ๏ปْ๏บُ๏ปขْ ๏ปฃِ๏ปฆْ ๏บฉُ๏ปญ๏ปฅِ ๏บ๏ป๏ป َّ๏ปชِ ๏บِ๏ปฅْ ๏ปُ๏ปจْ๏บُ๏ปขْ ๏บปَ๏บ๏บฉِ๏ปِ๏ปด๏ปฆَ
Tidaklah mungkin al-Qur’an ini dibuat oleh selain Allรขh ; akan tetapi (al-Qur’รขn itu) membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Rabb semesta alam. Atau (patutkah) mereka mengatakan, “Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah, “(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat semisalnya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar.”
[ Yunus/10: 37- 3]
Sampai sekarang tidak ada yang bisa membuat semisal Al-Quran berupa keindahan bahasa serta ajaran hikmah di dalamnya.
Dan masih banyak dalil-dalil lainnya
_
(✒️ : Raehanul Bahraen)
Kamis, 20 September 2018
KEHEBATAN TAUHID, MENGHAPUS SEMUA DOSA
۞﷽۞
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
Apa rahasia kehebatan tauhid, sehingga mampu menghapus segala dosa, sebesar apapun ? Seorang Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu misalnya, tokoh yang sebelum masuk Islam terkenal paling menentang ajaran Islam dan terkenal dengan kekafirannya serta pernah mengubur putrinya hidup-hidup. Namun dengan masuk Islam, mentauhidkan peribadatan hanya kepada Allรขh Subhanahu wa Ta’ala saja, maka terhapuslah segala dosa dan kesalahannya yang menggunung. Bahkan menjadi tokoh paling mulia di sisi Allรขh sesudah Abu Bakar Radhiyallahu anhu.
Apalagi jika kesalahan seseorang lebih kecil, tentu akan lebih mudah terhapus dengan tauhid. Bahkan jika kesalahan serta kekufurannya lebih besar dari Umar Radhiyallahu anhu sekalipun, tetap semua itu akan hapus dan sirna dengan tauhid.
Rasรปlullรขh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa Allรขh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“…َูู َْู ََِِููููู ุจُِูุฑَุงุจِ ุงْูุฃَุฑْุถِ ุฎَุทِْูุฆَุฉً ูุงَُูุดْุฑُِู ุจِู ุดَْูุฆًุง، َِْูููุชُُู ุจِู ِุซَِْููุง ู َุบِْูุฑَุฉً” ุฑูุงู ู ุณูู
Allรขh Azza wa Jalla berfirman, “…Dan barangsiapa menjumpai-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi dalam keadaan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Aku, maka Aku akan menjumpainya dengan ampunan yang sepenuh bumi pula”. [HR. Muslim][1] .
Dalam Sunan Tirmidzi, dari Anas Radhiyallahu anhu , beliau mengatakan bahwa Rasรปlullรขh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allรขh Tabaraka wa Ta’ala berfirman :
َูุงุงุจَْู ุขุฏَู َ! ุฅََِّูู َْูู ุฃَุชَْูุชَِูู ุจُِูุฑَุงุจِ ุงْูุฃุฑْุถِ ุฎَุทَุงَูุง، ุซُู َّ َِْูููุชَِูู ูุงَุชُุดْุฑُِู ุจِู ุดَْูุฆًุง َูุฃَุชَْูุชَُู ุจُِูุฑَุงุจَِูุง ู َุบِْูุฑَุฉً
Wahai anak Adam! Sesungguhnya jika engkau datang menghadap kepada-Ku dengan membawa kesalahan-kesalahan sepenuh bumi, kemudian engkau datang kepada-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Ku, maka Aku akan datang kepadanya dengan membawa ampunan sepenuh bumi pula[2].
Syaikh Abdur Rahman bin Hasan al asy-Syaikh (wafat th. 1285 H) menyebutkan bahwa al-Hรขfizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang datang dengan membawa tauhid (kepada Allรขh), meskipun memiliki kesalahan sepenuh bumi, niscaya Allรขh akan menemuinya dengan membawa ampunan sepenuh bumi pula”[3]
Maksudnya, hadits di atas menegaskan bahwa siapa yang bertauhid dengan sempurna, maka bisa mendapat ampunan dari dosa-dosanya meskipun dosa-dosa itu memenuhi bumi. Bukan hanya itu, Rasรปlullรขh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan bahwa orang yang sempurna tauhidnya, tidak akan diadzab oleh Allรขh di akhirat.
Dalam hadits Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu tentang hak dan kewajiban hamba kepada Allรขh Subhanahu wa Ta’ala , Rasรปlullรขh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ุญَُّู ุงِููู ุนََูู ุงْูุนِุจَุงุฏِ ุฃَْู َูุนْุจُุฏُูุง ุงَููู َููุงَُูุดْุฑُِْููุง ุจِِู ุดَْูุฆุงً، َูุญَُّู ุงْูุนِุจุงَุฏِ ุนََูู ุงِููู : ุฃَْู ูุงَ ُูุนَุฐِّุจَ ู َْู ูุงَ ُูุดْุฑُِู ุจِِู ุดَْูุฆุงً. ُْููุชُ: ูุงَุฑَุณَُْูู ุงِููู، ุฃََููุงَ ุฃُุจَุดِّุฑ ุงููุงَّุณَ؟ َูุงَู : ูุงَุชُุจَุดِّุฑُْูู ْ ََููุชَُِّْูููุง. ุฃุฎุฑุฌุงู
Hak Allรขh yang menjadi kewajiban para hamba ialah agar mereka beribadah kepada Allรขh saja dan tidak mempersekutukan sesuatupun (syirik) dengan Allรขh. Sedangkan hak hamba yang akan diperoleh dari Allรขh ialah bahwa Allรขh tidak akan mengadzab siapapun yang tidak mempersekutukan (syirik) sesuatu dengan Allรขh.” Aku (mu’adz) berkata, ‘Wahai Rasรปlullรขh, tidakkah kabar gembira ini aku sampaikan kepada orang banyak ?’ Beliau menjawab, “Jangan engkau kabarkan kepada mereka, sebab mereka akan bergantung (dengan mengatakan: yang penting tidak syirik-pen) [HR. Bukhari dan Muslim][4]
Hadits ini menunjukkan, orang yang sama sekali tidak berbuat syirik dalam beribadah kepada Allรขh Subhanahu wa Ta’ala , ia tidak akan di adzab.
Rasรปlullรขh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula :
ู َْู َูุงَู ุฃَุดَْูุฏُ ุฃَْู ูุงَ ุฅََِูู ุฅِูุงَّ ุงُููู َูุญْุฏَُู ูุงَุดَุฑَِْูู َُูู، َูุฃََّู ู ُุญَู َّุฏًุง ุนَุจْุฏُُู َูุฑَุณُُُْููู، َูุฃََّู ุนِْูุณَู ุนَุจْุฏُ ุงِููู َูุงุจُْู ุฃَู َุชِِู، ََِูููู َุชُُู ุฃََْููุงَูุง ุฅَِูู ู َุฑَْูู َ َูุฑُْูุญٌ ู ُِْูู، َูุฃََّู ุงْูุฌََّูุฉَ ุญٌَّู َูุฃََّู ุงَّููุงุฑَ ุญٌَّู، ุฃَุฏْุฎََُูู ุงููู ู ِْู ุฃَِّู ุฃَุจَْูุงุจِ ุงْูุฌََّูุฉِ ุงูุซَّู َุงَِููุฉِ ุดَุงุกَ(ููู ุฑูุงูุฉ: ุฃَุฏْุฎََُูู ุงْูุฌََّูุฉَ ุนََูู ู َุง َูุงَู ู َِู ุงْูุนَู َِู). ุฃุฎุฑุฌุงู
Siapa yang berkata: Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allรขh saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, juga bersaksi bahwa Isa adalah hamba Allรขh dan anak hamba (perempuan) Allรขh, ia adalah manusia yang dicipta dengan kalimat-Nya, lalu dimasukkan ke dalam diri Maryam, dan ia adalah ruh yang dicipta oleh Allรขh. Juga bersaksi bahwa sorga adalah benar adanya, dan nerakapun benar adanya, maka Allรขh pasti akan memasukannya ke dalam sorga, melalui pintu mana saja yang dia kehendaki dari pintu-pintunya yang delapan. (Dalam riwayat lain: maka Allรขh pasti akan memasukannya ke dalam sorga, sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukannya). [HR. Bukhari dan Muslim][5]
Masih banyak nash lain yang menceritakan kehebatan tauhid. Apa Rahasianya?
Di sini perlu dikaji beberapa hal di antaranya:
PENGERTIAN TAUHID
Tauhid ialah meng-Esakan Allรขh Azza wa Jalla dengan hanya memberikan peribadatan kepada-Nya saja.[6] Artinya, agar orang beribadah (menyembah) hanya kepada Allรขh Azza wa Jalla saja serta tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya (tidak syirik kepada-Nya). Dia beribadah hanya kepada Allรขh Azza wa Jalla dengan mencurahkan kecintaan, pengagungan, harapan dan rasa cemas.[7]
Syaikh Muhammad bin Shรขlih al-Utsaimรฎn rahimahullah menerangkan bahwa kata tauhid merupakan mashdar dari wahhada, yuwahhidu, artinya menjadikan sesuatu menjadi satu-satunya. Dan ini tidak akan terjadi kecuali dengan menggabungkan antara nafi (peniadaan) dan itsbรขt (penetapan). Meniadakan (peribadatan) dari selain yang di Esakan, serta menetapkan (peribadatan) hanya pada yang di Esakan.[8]
Sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tauhid yang di bawa Rasul Allรขh sebagai ajarannya tidak lain berisi penetapan bahwa sifat Uluhiyah (berhak disembah) hanyalah milik Allรขh Azza wa Jalla saja. Yaitu, ikrar bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allรขh Azza wa Jalla , tidak ada yang boleh diibadahi kecuali Dia, tidak diserahkan sikap tawakal kecuali hanya kepada-Nya, tidak ada kecintaan kecuali karena-Nya, tidak dilakukan permusuhan kecuali karena-Nya dan tidak dilakukan amal perbuatan kecuali dalam rangka ridha-Nya. Dan itu semua mencakup penetapan nama-nama serta sifat-sifat-Nya sesuai dengan apa yang telah Dia tetapkannya sendiri bagi diriNya”.[9]
Selanjutnya beliau rahimahullah mengatakan, “Bukanlah tauhid yang dimaksud sekedar Tauhid Rububiyah. Yaitu meyakini bahwa Allรขh adalah pencipta alam semesta satu-satunya”.[10]
Itulah hakikat tauhid yang menjadi intisari dakwah serta ajaran setiap Rasul Allรขh, yaitu yang berisi dua hal pokok: Pertama, penolakan terhadap setiap sesembahan selain Allรขh, dan kedua, penetapan bahwa sesembahan yang benar hanyalah Allรขh Azza wa Jalla saja.
Allรขh Azza wa Jalla berfirman :
َََูููุฏْ ุจَุนَุซَْูุง ِูู ُِّูู ุฃُู َّุฉٍ ุฑَุณًُููุง ุฃَِู ุงุนْุจُุฏُูุง ุงََّููู َูุงุฌْุชَِูุจُูุง ุงูุทَّุงุบُูุชَ
Sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul pada setiap umat untuk menyeru kepada umat masing-masing, “Beribadahlah kalian kepada Allรขh saja, dan jauhilah thaghut. [an-Nahl/16:36]
Dan banyak firman Allรขh yang senada dengan ayat ini.
TUJUAN DICIPTAKANNYA MANUSIA
Adalah sangat naif dan dangkal jika orang berprasangka bahwa hidup di dunia ini hanyalah untuk tujuan dunia, untuk membangun dunia dengan segala gebyar serta teknologinya, dan untuk melakukan kebaikan-kebaikan duniawi hanya demi kebaikan serta kesejahteraan dunia.
Orang hidup pasti akan mati dan meninggalkan dunia fana ini menuju kehidupan lain. Dan pasti akan ada pertanggung jawaban dalam kehidupan lain itu. Karenanya Allรขh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa hidup di dunia ini memiliki tujuan agung yang bukan sekedar hidup, kemudian mati, lalu selesai. Tujuan agung itu adalah peribadatan kepada Allรขh Azza wa Jalla . Firman-Nya :
َูู َุง ุฎََْููุชُ ุงْูุฌَِّู َูุงْูุฅِْูุณَ ุฅَِّูุง َِููุนْุจُุฏُِูู
Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepadaKu. [adz-Dzariyรขt/51:56]
Ibadah yang dimaksud adalah ibadah murni yang tidak terkotori dengan peribadatan kepada selain Allรขh Azza wa Jalla . Jika seseorang dalam peribadatannya melakukan perbuatan syirik, mempersekutukan makhluk dengan Allรขh, maka pasti Allรขh Subhanahu wa Ta’ala akan murka dan tidak akan ridha.[11]
Di antara dalilnya ialah, firman Allรขh Subhanahu wa Ta’ala :
ุฅَِّู ุงََّููู َูุง َูุบِْูุฑُ ุฃَْู ُูุดْุฑََู ุจِِู ََููุบِْูุฑُ ู َุง ุฏَُูู ุฐََِٰูู ِูู َْู َูุดَุงุกُ ۚ َูู َْู ُูุดْุฑِْู ุจِุงَِّููู ََููุฏِ ุงْูุชَุฑَٰู ุฅِุซْู ًุง ุนَุธِูู ًุง
Sesungguhnya Allรขh tidak akan mengampuni dosa syirik (mempersukutukan) kepadaNya, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang mempersekutukan Allรขh, maka sungguh, dia telah mengadakan dosa yang sangat besar. [an-Nisรข’/4:48]
Juga firman-Nya :
ุฅَِّู ุงูุดِّุฑَْู َูุธُْูู ٌ ุนَุธِูู ٌ
Sesungguhnya (dosa) syirik (mempersekutukan Allรขh), benar-benar merupakan kezaliman yang sangat besar. [Luqmรขn/31:13]
Demikian pula firman-Nya :
َูุฃََّู ุงْูู َุณَุงุฌِุฏَ َِِّููู ََููุง ุชَุฏْุนُูุง ู َุนَ ุงَِّููู ุฃَุญَุฏًุง
Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah untuk Allรขh, maka janganlah kamu memohon di dalamnya kepada siapapun, di samping kepada Allรขh. [al-Jin/72:18]
Jadi, bagaimana mungkin Allรขh Azza wa Jalla tidak murka jika Dia Yang Maha Perkasa dan Sempurna disejajarkan dengan makhluk-Nya yang serba lemah dan kurang. Karena itulah, larangan terbesar dalam Islam adalah syirik. Allรขh Azza wa Jalla berfirman :
َูุงุนْุจُุฏُูุง ุงََّููู ََููุง ุชُุดْุฑُِููุง ุจِِู ุดَْูุฆًุง
Dan beribadahlah kepada Allรขh dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun [An-Nisรข/4:36]
Demikian juga maksud diturunkannya kitab-kitab Allรขh Azza wa Jalla serta diutusnya para rasul ialah agar para manusia beribadah hanya kepada Allรขh Azza wa Jalla saja.[12] Dalilnya sangat banyak, di antaranya firman Allรขh Subhanahu wa Ta’ala :
َูู َุง ุฃَุฑْุณََْููุง ู ِْู َูุจَِْูู ู ِْู ุฑَุณٍُูู ุฅَِّูุง ُููุญِู ุฅَِِْููู ุฃََُّูู َูุง ุฅََِٰูู ุฅَِّูุง ุฃََูุง َูุงุนْุจُุฏُِูู
Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan aku”. [Al-Anbiya’/21:25]
Nah, agar orang tidak kecewa kelak dalam kehidupan di alam lain, ia harus tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh Penciptanya. Dan Penciptanya ini telah menunjuk utusan kepercayaan-Nya untuk menyampaikan risalah-Nya. Ia adalah Rasรปlullรขh, utusan-Nya.
BAGAIMANA CARA BERTAUHID?
Adalah jelas bahwa Islam dibangun berdasarkan pondasi tauhid.[13] Allรขh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
ُْูู ุฅَِّูู َุง ُููุญَٰู ุฅََِّูู ุฃََّูู َุง ุฅَُُِٰูููู ْ ุฅٌَِٰูู َูุงุญِุฏٌ ۖ ََْููู ุฃَْูุชُู ْ ู ُุณِْูู َُูู
Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya apa yang diwahyukan kepadaku ialah bahwasanya sesembahan kamu adalah sesembahan yang Esa, maka apakah kamu telah Islam (berserah diri) kepada-Nya”? [al-Anbiyรข’/21:108]
Maka agar keislaman seseorang itu benar dan diterima di sisi Allรขh Azza wa Jalla , ia harus bertauhid dengan benar, yaitu hanya memberikan peribadatan kepada Allรขh Azza wa Jalla dengan ikhlas dan tidak memberikan sedikitpun dari macam-macam ibadah kepada selain Allรขh Subhanahu wa Ta’ala . Tidak berdoa dan tidak memohon kepada selain Allรขh Subhanahu wa Ta’ala , hal-hal yang hanya menjadi kekuasaan Allรขh untuk memberinya; tidak kepada malaikat, tidak kepada Nabi, tidak kepada wali, tidak kepada ‘orang pintar’, tidak kepada pohon, batu, matahari, bulan, kuburan dan lain sebagainya.[14]
Jadi dalam bertauhid, orang harus menolak dan menyingkiri segala yang disembah selain Allรขh Azza wa Jalla , dan hanya mengakui, menetapkan serta menjalankan bahwa peribadatan hanya merupakan hak Allรขh saja, Pencipta alam semesta.
Bertauhid bukan sekedar mengikrarkan bahwa Allรขh adalah satu-satunya Pencipta, Pemberi rizki, Pengatur serta Pemilik alam semesta. Sebab tauhid semacam ini telah diikrarkan pula oleh kaum musyrikin Arab pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[15] Tetapi bertauhid harus direalisasikan dengan memberikan peribadatan hanya kepada Allรขh Azza wa Jalla , permohonan, doa dan kegiatan-kegiatan lain yang semakna, hanya kepada Allรขh saja.
Dengan demikian, agar tauhid berfungsi menghapus segala dosa dan menghalangi masuk neraka, maka seseorang harus memurnikan tauhidnya kepada Allรขh Azza wa Jalla serta berupaya menyempurnakannya. Ia harus memenuhi syarat-syarat tauhid, baik dengan hati, lidah maupun anggauta badannya. Atau minimal dengan hati dan lidahnya pada saat meninggal dunia.[16]
Intinya, menyerahkan peribadatan, kehidupan dan kematian hanya kepada Allรขh, meninggalkan segala bentuk kemusyrikan serta segala pintu yang dapat menjerumuskan ke dalam kemusyrikan, sebagaimana telah diterangkan dalam ayat-ayat atau hadits-hadits di atas.
Demikian secara sangat ringkas gambaran tentang kehebatan tauhid yang memiliki daya hapus luar biasa terhadap dosa-dosa. Karena itu mengapa orang tidak tertarik memanfaatkan kesempatan ini ? yaitu dengan bertaubat, kembali bertauhid serta memurnikan tauhidnya kepada Allรขh Subhanahu wa Ta’ala ? Dan mengapa tidak takut kepada Allรขh Subhanahu wa Ta’ala ?
Perlu disadari oleh setiap insan, bahwa kelak masing-masing akan datang sendiri dan mempertanggung jawabkan dirinya sendiri dihadapan Allรขh yang Maha adil keputusan hukumNya.
َُُُّููููู ْ ุขุชِِูู َْููู َ ุงَِْูููุงู َุฉِ َูุฑْุฏًุง
Dan setiap orang dari mereka akan datang kepada Allรขh sendiri-sendiri pada hari Kiamat. [Maryam/19:95]
( Oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin)
______________
REFERENSI
1. Fathul Bรขri Syarh Shahรฎh al-Bukhรขri
2. Shahรฎh Muslim Bisyarhi an-Nawawi, Tahqรฎq wa Takhrรฎj: ‘Ishรขm ash-Shababithiy Hazim Muhammad dan ‘Imad ‘Amir. Daar al-Hadits, Kairo, cet. III, 1419 H/1998 M
3. Shahรฎh Muslim Syarh an-Nawawi, Tahqiq : Khalail Ma’mun Syiha
4. Shahรฎh Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albรขni, Maktabah al-Ma’รขrif, Riyรขdh, cet. I dari terbitan terbaru,
5. Dar’u Ta’รขrudh al-‘Aql wa an-Naql, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tahqiq: Iyad bin Abdul Lathif bin Ibrahim al-Qaisy, Maktabah ar-Rusyd, cet.I, 1427 H/2006 M.
6. Fathul Majรฎd Syarh Kitรขbit Tauhรฎd, Tahqiq: Dr. Al-Walid bin Abdur Rahman Aal Fariyyan, Dar ‘Alam al-Fawa’id, cet. VI, 1420 H.
7. Taqrib at-Tadmuriyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, I’dad & takhrij: Sayyid Abbas bin Ali al-Julaimi, Maktabah as-Sunnah, Kairo, cet I, 1413 H/1992 M
8. Syarh Kasyfi asy-Syubuhat wa yalihi Syarh al-Ushul as-Sittah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, I’dad : Fahd bin Nashir as-Sulaiman, Dar ats-Tsurayya, cet. IV, 1426 H/2005 M
9. Syarh Tsalatsati al-Ushul, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, I’dad: Fahd bin Nashir as-Sulaiman, Daar ats-Tsurayya, cet. III, 1417 H/1997 M
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
___
Footnote
[1]. Lihat Shahih Muslim Bisyarhi an-Nawawi, Tahqรฎq wa Takhrรฎj: ‘Ishรขm ash-Shababithiy, Hazim Muhammad dan ‘Imad ‘Amir. Dรขr al-Hadรฎts, Kairo, cet. III, 1419 H/1998 M, IX/16, no. 2687. Atau Tahqiq : Khalil Ma’mun Syiha: XVIII/15, no. 6774
[2]. Lihat Shahรฎh Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albรขni, Maktabah al-Ma’รขrif, Riyรขdh, cet. I dari terbitan terbaru, 1420 H/2000 M. III/455, no. 3540
[3]. Lihat Fathu al-Majรฎd Syarh Kitรขb at-Tauhรฎd, Tahqiq: Dr. al-Walรฎd bin Abdurrahmรขn Aal Fariyyan, Dar ‘Alam al-Fawรข’id, cet. VI, 1420 H. I/151
[4]. Lihat Fathul Bรขri Syarh Shahรฎh al-Bukhรขri I/226-227, no. 128, 129 dll, juga Shahรฎh Muslim Syarh an-Nawawi, Khalil Ma’mรปn Syiha, I/177-178, no. 143
[5]. Lihat Fathul Bรขri Syarh Shahรฎh al-Bukhรขri VI/474, no. 3435 dan Shahรฎh Muslim Syarh an-Nawawi, Khalil Ma’mun Syiha, I/173-174, no. 139, 140.
[6]. Demikian Syaikh Muhammad bin Badul Wahhab memberikan definisi kaitannya dengan Tauhid Uluhiyah. Lihat Syarh Kasyfisy Syubuhat wa yalihi Syarh al-Ushulis Sittah, Syaikh Muhammad bin Shรขlih al-Utsaimin t , I’dad : Fahd bin Nashir as-Sulaiman, Dar ats-Tsurayya, cet. IV, 1426 H/2005 M, hlm. 20, matan.
[7]. Ibid. Pada bagian penjelasan Syaikh Muhammad bin Shรขlih al-Utsaimin t
[8]. Ibid. Syarah
[9]. Lihat Dar’u Ta’รขrudh al-‘Aql wa an-Naql, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tahqiq: Iyad bin Abdul Lathif bin Ibrahim al-Qaisy, Maktabah ar-Rusyd, cet.I, 1427 H/2006 M. I/186
[10]. Ibid. hlm. 187
[11]. Lihat perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t dalam al-Ushรปl ats Tsalรขtsah. Dalam Syarh Tsalรขtsati al-Ushรปl, karya Syaikh Muhammad bin Shรขlih al-Utsaimin trahimahullah, terdapat pada hlm. 33. I’dad: Fahd bin Nashir as-Sulaiman, Daar ats-Tsurayya, cet. III, 1417 H/1997 M
[12]. Lihat Taqrib at-Tadmuriyah, Syaikh Muhammad bin Shรขlih al-Utsaimin, I’dad & takhrij: Sayyid Abbas bin Ali al-Julaimi, Maktabah as-Sunnah, Kairo, cet I, 1413 H/1992, hlm. 119
[13]. Ibid, hlm.110
[14]. Ibid. 112
[15]. Ibid. 110
[16]. Lihat Fathul Majรฎd Syarh Kitรขbit Tauhรฎd, op.cit. I/151
Jumat, 22 Juni 2018
MENGGAPAI RIDHO ALLAH DENGAN BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA
Senin, 18 Juni 2018
TANGIS PERPISAHAN PARA PECINTA RAMADHAN
ุณْููููููููููููููู
ِ ุงِููู ุงูุฑَّุญْู
َِู ุงูุฑَّุญِْููููููู
ุงูุณَّูุงَู
ُ ุนََُْูููู
ْ َูุฑَุญْู
َุฉُ ุงِููู َูุจَุฑََูุงุชُُู
---------------------------------------------------------------------
“Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya.”
Waktu terus bergulir dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu…. Rasanya baru kemarin kita begitu bersemangat mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan, bulan tarbiyah, bulan latihan, bulan Quran, bulan maghfirah, bulan yang penuh berkah. Namun beberapa saat lagi, Ramadhan akan meninggalkan kita, padahal kita belum optimal melaksanakan qiyamul lail kita, belum optimal membaca Al-Quran serta belum optimal melaksanakan ibadah-ibadah lain, target-target yang kita pasang belum semuanya terlaksana. Dan kita tidak akan pernah tahu apakah kita masih dapat berjumpa dengan Ramadhan berikutnya.
Bagi para salafush shalih, setiap bulan Ramadhan pergi meninggalkan mereka, mereka selalu meneteskan air mata. Di lisan mereka terucap sebuah doa yang merupakan ungkapan kerinduan akan datangnya kembali bulan Ramadhan menghampiri diri mereka.
Orang-orang zaman dahulu, dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi sedih. Maka, tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa Rasulullah SAW, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf. Dan di sela-sela i’tikafnya, mereka terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka.
Ada satu riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini tidak saja dialami manusia, tapi juga para malaikat dan makhluk-makhluk Allah lainnya.
Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya. Ini merupakan musibah bagi umatku.”
Kemudian ada seorang sahabat bertanya, “Apakah musibah itu, ya Rasulullah?”
“Dalam bulan itu segala doa mustajab, sedekah makbul, segala kebajikan digandakan pahalanya, dan siksaan kubur terkecuali, maka apakah musibah yang terlebih besar apabila semuanya itu sudah berlalu?”
Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih.
Betapa tidak. Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan. Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.
Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.
Suatu hari, pada sebuah shalat ‘Idul Fithri, Umar bin Abdul Aziz berkata dalam khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan shalat selama tiga puluh hari pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya memohon kepada Allah agar menerima amalan tersebut.”
Salah seorang di antara jama’ah terlihat sedih.
Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram durja? Ada apa gerangan?”
“Ucapanmu benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut. “Akan tetapi, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.”
Kekhawatiran serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah SAW. Di antaranya Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”
Ucapan Sayyidina Ali RA ini mirip dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud RA, “Siapakah gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya untuk kita ‘layati’. Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai orang yang ditolak amalannya, keperkasaan Allah adalah musibah bagimu.”
Imam Mu’alla bin Al-Fadhl RA berkata, “Dahulu para ulama senantiasa berdoa kepada Allah selama enam bulan agar dipertemukan dengan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar diterima amal ibadah mereka (selama Ramadhan).”
Wajar saja, sebab, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tahun depan kita akan kembali berjumpa dengan bulan yang penuh berkah, rahmat, dan maghfirah ini. Karenanya, beruntung dan berbahagialah kita saat berpisah dengan Ramadhan membawa segudang pahala untuk bekal di akhirat.
Jika kita merenungi kondisi salafush shalih dan meneliti bagaimana mereka menghabiskan waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan, bagaimana mereka memakmurkannya dengan amal shalih, niscaya kita mengetahui jauhnya jarak di antara kita dan mereka.
#Saudara-saudariku...
Bagaimana dengan kita? Adakah kesedihan itu hadir di hati kita di kala Ramadhan meninggalkan kita? Atau malah sebaliknya, karena begitu bergembiranya menyambut kedatangan Hari Raya ‘Idul Fithri, sampai-sampai di sepuluh hari terakhir, yang seharunya kita semakin giat melaksanakan amalan-amalan ibadah, kita malah disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat kue, dan lain-lain.
Padahal di sisi lain, masih banyak orang di sekitar kita yang berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi untuk berbuka hari ini, bukan untuk besok, apalagi untuk pesta pora di hari Lebaran.
Tapi apakah salah bila kita menyongsong Hari Raya ‘Idul Fithri dengan kegembiraan? Tentu saja tidak. Bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR Nasa’i).
√ Lebarannya Rasulullah SAW
#Saudara-saudariku...
Idul Fithri adalah anugerah Allah kepada umat Nabi Muhammad, tak salah bila disambut dengan suka cita. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Annas RA. “Rasulullah SAW datang, dan penduduk Madinah memiliki dua hari, mereka gunakan dua hari itu untuk bermain di masa Jahiliyah. Lalu beliau berkata, ‘Aku telah mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa Jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yaitu hari Nahr (‘Idul Adha) dan hari Fithr (‘Idul Fithri)’.”
Hanya saja dalam kegembiraan ini jangan sampai berlebih-lebihan, baik itu dalam berpakaian, berdandan, makan, tertawa. Dan di malam Hari Raya ‘Idul Fithri pun, kita hendaknya tidak terlarut dalam kegembiraan sehingga kita lupa untuk menghidupkan malam kita dengan qiyamul lail. Bukankan kita sudah dilatih untuk menghidupkan malam-malam kita dengan Tarawih selama bulan Ramadhan? Dan Rasulullah SAW pun bersabda, dari Abu Umamah RA, “Barang siapa melaksanakan qiyamul lail pada dua malam ‘Id (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha) dengan ikhlas karena Allah SWT, hatinya tidak akan pernah mati di hari matinya hati-hati manusia’.” (HR Ibnu Majah).
#Saudara-saudariku...
Marilah kita lihat bagaimana Rasulullah SAW menyambut Lebaran dengan keriangan yang bersahaja.
Pagi itu, tepatnya 1 Syawwal, Rasulullah SAW keluar dari tempat i’tikafnya, Masjid Nabawi. Beliau bergegas mempersiapkan diri untuk berkumpul bersama umatnya, melaksanakan salat ‘Id. Nabi juga menyuruh semua kaum muslimin, dewasa, anak-anak, laki-laki, dan perempuan, baik perempuan yang suci maupun yang haid, keluar bersama menuju tempat shalat, supaya mendapat keberkahan pada hari suci tersebut.
Menurut hadits Ummu ‘Athiyyah, “Kami diperintahkan untuk mengeluarkan semua gadis dan wanita, termasuk yang haid, pada kedua hari raya, agar mereka dapat menyaksikan kebaikan hari itu, juga mendapat doa dari kaum muslimin. Hanya saja wanita-wanita yang haid diharapkan menjauhi tempat shalat.” (HR Bukhari-Muslim).
Dikatakan oleh Ibnu Abbas, “Rasulullah SAW keluar dengan seluruh istri dan anak-anak perempuannya pada waktu dua hari raya.” (HR Baihaqi dan Ibnu Majah).
Ibnu Abbas dalam hadits yang diriwayatkannya menuturkan, “Saya ikut pergi bersama Rasulullah SAW (waktu itu Ibnu Abbas masih kecil), menghadiri Hari Raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha, kemudian beliau shalat dan berkhutbah. Dan setelah itu mengunjungi tempat kaum wanita, lalu mengajar dan menasihati mereka serta menyuruh mereka agar mengeluarkan sedekah.”
Sebelum melaksanakan salat ‘Id, terlebih dahulu Rasulullah membersihkan diri. Lalu beliau berdoa, “Ya Allah, sucikanlah hati kami sebagaimana Engkau sucikan badan kami, sucikanlah bathin kami sebagaimana Engkau telah menyucikan lahir kami, sucikanlah apa yang tersembunyi dari orang lain sebagaimana Engkau telah menyucikan apa yang tampak dari kami.”
Ada juga riwayat yang mengatakan, Rasulullah, setelah mandi, memakai parfum. Anas bin Malik berkata, “Rasulullah SAW memerintahkan kita di dua hari raya mengenakan pakaian terbagus yang kita miliki, menggunakan parfum terbaik yang kita miliki, dan berqurban (bersedekah) dengan apa saja yang paling bernilai yang kita miliki.” (HR Al-Hakim, dan sanadnya baik).
Imam Syafi’i dengan sanad yang juga baik meriwayatkan, Rasulullah SAW mengenakan kain burdah (jubah) yang bagus pada setiap hari raya. Pakain terbagus dalam hal ini bukan berarti baru dibeli, tetapi terbagus dari yang dimiliki. Lebih khusus lagi Imam Syafi’i dan Baghawi meriwayatkan, Nabi SAW memakai pakaian buatan Yaman yang indah pada setiap hari raya (Pakaian buatan Yaman merupakan standar keindahan busana saat itu).
Pada hari istimewa itu, beliau mengenakan hullah, pakaiannya yang terbaik yang biasa beliau kenakan setiap hari raya dan hari Jum’at. Ini merupakan tanda syukur kepada Allah, yang telah memberikan nikmat-Nya.
Kemudian, beliau mengambil beberapa butir kurma untuk dimakan. Kurma yang dimakan biasanya jumlahnya ganjil, seperti satu, tiga, dan berikutnya. Ini pertanda, hari itu umat Islam menghentikan puasanya.
Sepanjang perjalanan dari rumah menuju tempat salat ‘Id, Rasulullah tak henti-hentinya mengumandangkan takbir dengan khidmat. “Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahilhamdu.”
Rasulullah SAW selalu melaksanakan shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha di tanah lapang, seperti disebutkan di dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim. Beliau baru melaksanakan salat ‘Id di masjid kalau hari hujan. Menurut ahli fiqih, tempat salat ‘Id yang sering digunakan Rasulullah dan para sahabat itu terletak di sebuah lapangan di pintu timur kota Madinah.
Rasulullah melaksanakan salat ‘Idul Fithri agak siang. Ini untuk memberi kesempatan kepada para sahabat membayar zakat fithrah mereka. Sementara salat ‘Idul Adha dilakukan lebih awal, agar kaum muslimin bisa menyembelih hewan qurban mereka.
Jundab RA berkata, “Rasulullah SAW shalat ‘Idul Fitri dengan kami ketika matahari setinggi dua tombak, dan shalat ‘Idul Adha dengan kami ketika matahari setinggi satu tombak.”
Rasulullah melaksanakan salat ‘Idul Fithri dua rakaat tanpa adzan dan iqamat. Pada rakaat pertama, beliau bertakbir tujuh kali dengan takbiratul ihram dan kaum muslimin di belakangnya bertakbir seperti takbirnya. Kemudian membaca surah Al-Fatihah dan surah lainnya dengan keras.
Pada rakaat kedua, beliau takbir qiyam (berdiri dari sujud) kemudian bertakbir lima kali, kemudian membaca Al-Fatihah, disambung dengan surah lainnya.
Namun ada juga sahabat yang tertinggal shalatnya. Maka misalnya dia hanya mendapat tasyahhud, setelah imam salam dia shalat dua rakaat. Jadi dia shalat dua rakaat, sebagaimana dia ketinggalan dua rakaat dari imam.
Lalu bagaimana dengan orang yang ketinggal shalat hari raya? Menurut Ibnu Mas’ud, “Barang siapa tertinggal shalat hari raya, hendaklah dia shalat empat rakaat sendiri.”
Abu Said Al-Khudri RA berkata, “Rasulullah SAW selalu keluar pada Hari Raya Haji dan Hari Raya Puasa. Beliau memulai dengan shalat. Setelah selesai shalat dan memberi salam, Baginda berdiri menghadap kaum muslimin yang masih duduk di tempat shalatnya masing-masing. Jika mempunyai keperluan yang mesti disampaikan, akan beliau tuturkan hal itu kepada kaum muslimin. Atau ada keperluan lain, maka beliau memerintahkannya kepada kaum muslimin. Beliau pernah bersabda (dalam salah satu khutbahnya di hari raya), ‘Bersedekahlah kalian! Bersedekahlah! Bersedekahlah!’ Dan ternyata kebanyakan yang memberikan sedekah adalah kaum wanita.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ketika berangkat untuk melakukan salat ‘Id, Rasulullah selalu melewati jalan yang berbeda ketika pulangnya. Ini memudahkan para sahabat yang hendak menemui beliau untuk mengucapkan selamat hari raya, sekaligus menunjukkan kepada kaum kafir bahwa inilah umat Islam, yang keluar menuju Allah, dan kembali kepada-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, dan berjalan di muka bumi ini agar memperoleh keridhaan-Nya.
√ Saling Bermaafan
#Saudara-saudariku...
Saat bertemu satu sama lain, kaum muslimin saling bermaafan, seraya saling mendoakan. Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan RA mengatakan, “Aku menemui Watsilah bin Al-Asqa’ pada hari ‘Id, lalu aku mengatakan, ‘Taqabbalallah minna wa minka (Semoga Allah menerima amal ibadahku dan amal ibadahmu).’
Lalu ia menjawab, ‘Taqabbalallah minna wa minka’.
Kemudian Watsilah berkata, ‘Aku menemui Rasulullah SAW pada hari ‘Id, lalu aku mengucapkan: Taqabbalallah minna wa minka.
Lalu Rasulullah SAW menjawab, ‘Ya, taqabbalallah minna wa minka’.” (HR Baihaqi).
Selanjutnya, di masa sahabat, ucapan ini agak berubah sedikit. Jika sebagian sahabat bertemu dengan sebagian yang lain, mereka berkata, “Taqabballahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amal ibadahku dan amal ibadah kalian).” (HR Ahmad dengan sanad yang baik).
Pada hari raya, Rasulullah mempersilakan para sahabat untuk bergembira. Seperti mengadakan pertunjukan tari dan musik, makan dan minum, serta hiburan lainnya. Namun semua kegembiraan itu tidak dilakukan secara berlebihan atau melanggar batas keharaman. Karena, hari itu adalah hari-hari makan, minum, dan dzikir kepada Allah Azza wa Jalla (HR Muslim).
Aisyah RA menceritakan, “Di Hari Raya ‘Idul Fithri, Rasulullah masuk ke rumahku. Ketika itu, di sampingku ada dua orang tetangga yang sedang bernyanyi dengan nyanyian bu’ats (bagian dari nyayian pada hari-hari besar bangsa Arab ketika terjadi perselisihan antara Kabilah Aush dan Khazraj sebelum masuk Islam). Kemudian Rasulullah berbaring sambil memalingkan mukanya.
Tidak lama setelah itu Abu Bakar masuk, lalu berkata, ‘Kenapa membiarkan nyanyian setan berada di samping Rasulullah?’
Mendengar hal itu, Rasulullah menengok kepada Abu Bakar seraya berkata, ‘Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita’.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ada juga riwayat dari Imam Bukhari yang menceritakan, “Rasulullah SAW masuk ke tempatku (Aisyah), kebetulan di sana ada dua orang sahaya sedang menyanyikan syair-syair Perang Bu’ats (Bu’ats adalah nama benteng kepunyaan suku Aus; sedang hari Bu’ats ialah suatu hari yang terkenal di kalangan Arab, waktu terjadi pertempuran besar di antara suku Aus dan Khazraj). Beliau terus masuk dan berbaring di ranjang sambil memalingkan kepalanya.
Tiba-tiba masuk pula Abu Bakar dan membentakku seraya berkata, ‘(Mengapa mereka) mengadakan seruling setan di hadapan Nabi?’
Maka Nabi pun berpaling kepadanya, beliau berkata, ‘Biarkanlah mereka.’
Kemudian setelah beliau terlena, aku pun memberi isyarat kepada mereka supaya keluar, dan mereka pun pergi.
Dan waktu hari raya itu banyak orang Sudan mengadakan permainan senjata dan perisai. Adakalanya aku meminta kepada Nabi SAW untuk melihat, dan adakalanya pula beliau sendiri yang menawarkan, ‘Inginkah kau melihatnya?’
Aku jawab, ‘Ya.’
Maka disuruhnya aku berdiri di belakangnya, hingga kedua pipi kami bersentuhan, lalu sabdanya, ‘Teruskan, hai Bani ‘Arfadah!’
Demikianlah sampai aku merasa bosan.
Maka beliau bertanya, ‘Cukupkah?’
Aku jawab, ‘Cukup.’
‘Kalau begitu, pergilah!’ kata beliau.”
√ Hakikat Kemenangan
#Saudara-saudariku...
Demikianlah, Ramadhan telah melewati kita. Tapi kebaikan-kebaikan lain tetap mesti dipertahakan.
Puasa Ramadhan memang telah berakhir, tapi puasa-puasa sunnah, misalnya, tidaklah berakhir, tetap menanti kita. Seperti puasa enam hari di bulan Syawwal, puasa Senin-Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan (ayyaamul bidh, tanggal 13, 14, dan 15 tiap bulan), puasa Asyura’ (tanggal 10 Muharram), puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), dan lain-lain.
Tarawih memang telah berlalu, tapi Tahajjud, misalnya, tetap menanti kita. Juga bermunajat di tengah malam, yang merupakan kebiasaan orang-orang shalih. Abu Sulaiman Ad-Daaraani rahimahullah berkata, “Seandainya tidak ada malam, niscaya aku tidak ingin hidup di dunia.”
Zakat fithrah memang telah berlalu, tapi zakat wajib dan pintu sedekah masih terbuka lebar pada waktu-waktu yang lain.
Karenanya, memasuki ‘Idul Fithri, yang berarti jiwa kita menjadi fithri (suci), “tampilan” kita harus lebih Islami. Baik tujuan, orientasi, motivasi, fikrah (pemikiran), akhlaq, moral, perilaku, interaksi, kebijakan, aktivitas, kiprah, peran, maupun yang lainnya. Individu, rumah tangga, ataupun sosial. Rakyat, ataupun pejabat. Ini merupakan indikator diterimanya puasa Ramadhan kita. Karena jika Allah SWT menerima amal seseorang, Dia akan menolongnya untuk mengadakan perubahan diri ke arah yang lebih positif dan meningkatkan amal kebajikan.
Seorang penyair Arab mengingatkan dalam sya’irya:
Bukanlah Hari Raya ‘Id itu
bagi orang yang berbaju baru
Melainkan hakikat ‘Id itu
bagi orang yang bertambah ta’atnya
Semoga dengan latihan yang telah kita lakukan selama bulan Ramadhan ini, kita disampaikan Allah kepada ketaqwaan.
Semoga ketaqwaan ini dapat kita terus pertahankan dan kita jadikan sebagai pakaian kita sehari-hari.
Dan semoga kita masih dapat dipertemukan Allah dengan Ramadhan berikutnya. Aamiin yaa Rabbal'alamin
Taqabbalallahu minna waminkum, wakullu ‘aamin wa antum bikhairin.
Wallahul muwafiq
Al afwu minkum...
Hadaanallahu waiyyakum ajma'in
Wallahu'alam bishshawwab...
By : Rita al Khansa
Kamis, 19 April 2018
PENTINGNYA KATA MAAF
۞﷽۞
╭⊰✿️•┈•┈•⊰✿เงกৢ˚❁๐❁˚เงก✿⊱•┈•┈•✿️⊱╮
๐ค PENTINGNYA KATA MAAF ๐ค
•┈┈•⊰✿┈•เงกৢ❁˚๐น๐๐น˚❁เงก•┈✿⊱•┈┈•
╭⊰✿ •̩̩̩͙े༊
ุจِุณْููููููููููููููู ِ ุงِููู ุงูุฑَّุญْู َِู ุงูุฑَّุญِْููููููููู ِ
ุงูุณَّูุงَู ُ ุนََُْูููู ْ َูุฑَุญْู َุฉُ ุงِููู َูุจَุฑََูุงุชُُู
===================================
๐ค Ma'af, sebuah kata sederhana, biasa saja, sepele, tak jarang tidak kita perhatikan secara serius.
Di satu sisi ada orang yang ‘malas’ dan pelit untuk mengucapkan kata ma.af, karena menganggap itu nggak penting, merasa tidak melakukan kesalahan fatal sehingga tidak perlu minta ma'af.
๐ค Sementara di sisi lain ada orang-orang yang dengan mudah menghamburkan kata ma’af tanpa dirasakan kedalaman makna dari ma'af itu sendiri, sehingga kesannya hanya kata saja yang terlontar di bibir, terasa ringan , mudah diucapkan dan merasa sudah selesai , sudah plong saat sudah ada kata ma'af.
Sehingga kesannya ma'af hanya sekedar formalitas saja.
Meskipun pasti banyak juga orang yang mengatakan kata ma'af dengan ketulusan hati dan niat sungguh-sungguh disertai hati yang jernih dan dada lapang.
๐ค Mungkin kita dengan mudah meminta ma'af kepada orang lain, tanpa beban dan tulus. Bahkan merasa sudah sewajarnya minta ma'af kepada orang lain , entah itu saudara, teman, tetangga, kenalan dll.
๐ค Tetapi adakah yang ‘lupa’ untuk meminta maaf kepada pasangan?
Meski terkesan sepele, terkadang kita melupakan bahwa jika ada suatu kesalahan/ hal yang kurang berkenan di hati pasangan kita (terutama suami/istri) kita seharusnya juga minta ma'af.
๐ค Dari beberapa obrolan ringan dengan beberapa teman/ tetangga/saudara, sebagian besar mereka merasa tidak perlu minta ma'af kepada pasangan masing-masing.
Jawaban yang mencegangkan adalah karena mereka merasa sudah ‘bukan orang lain lagi’ , ‘sudah keluarga sendiri’, ‘ pasangan sudah menjadi bagian dari kita’ sehingga merasa sah dan wajar saja jika tidak perlu minta ma'af pada pasangan.
๐ค Dan yang lebih membuat terkejut ada yang bahkan saat Hari Raya Idul Fitri pun mereka tidak minta ma'af kepada pasangannya.
Padahal mereka minta ma'af kepada orangtua, sauadara, tetangga, teman, dll lho.
Sementara kepada pasangan mereka bisa ’lupa’?
๐ค Alasan yang disampaikan, bagi suami, menganggap seharusnya istrilah yang minta maaf terlebih dahulu, baru suami yang minta maaf. Sementara bagi istri merasa ya sudah nggak perlulah, lha wong setiap hari ketemu dan merasa suami sudah bukan orang lain lagi. What?
Justru karena setiap hari ketemu itu memungkinkan banyak kesalahan dan khilaf kan....?
๐ค Pernah ada cerita sebuah keluarga saat mereka berantem hebat dan diambang perpisahan. Suami dengan kata-kata kasar mengungkit kepada istrinya kalau selama mereka menikah puluhan tahun, tidak pernah sekalipun istrinya minta ma'af bahkan tidak juga di hari Idul Fitri. Suami merasa tidak diperlakukan sebagai seorang suami, tidak di uwongke, tidak di hargai sebagaimana mestinya. Wah ini gawat.
๐ค Permintaan ma'af kepada pasangan itu sangat..sangat penting. Bahkan penting sekali. Mengapa?
1️⃣〰️Pertama, Meskipun sudah menjadi bagian dari diri kita, tetapi pasangan tetap orang lain yang mempunyai perasaan halus dan pasti ingin dihargai selayaknya orang lain. Jangan menganggap itu tidak penting. Maka tetaplah minta ma'af kalau ada khilaf.
2️⃣〰️Kedua, suami istri biasanya setiap hari bertemu, berkumpul. Bisa dipastikan ada hal-hal yang kurang berkenan di hati masing-masing. Apa salahnya memulai terlebih dahulu ntuk minta ma’af, toh itu juga tidak akan menurunkan harga diri kita. Buat apa gengsi? Justru dengan legowo/lapang dada untuk minta ma’af terlebih dahulu itu adalah sikap mulia
3️⃣〰️Ketiga, dengan ringannya hati, pikiran dan bibir kita berucap ma’af, akan menambah keharmonisan dalam rumah tangga. Rasanya suami/istri tidak akan tega marah, mendiamkan, berbuat kasar kepada pasangannya ketika sudah ada permintaan ma’af. Tentunya dengan hati tulus ikhlas dan benar-benar berusaha untuk tidak berbuat khilaf lagi.
๐ค Ma’af, seuntai kata sederhana yang ringan, mudah diucapkan.
Namun tanpa "maaf", rumah tangga kokoh yang terbina lama bisa runtuh.
Untuk itu sebaiknya jangan berat bibir untuk mengucapkan kata sederhana itu.
Plus di sertai dengan kesungguhan hati, insyaallah bisa menghindarkan dari hal-hal yang tidak kita inginkan.
☄️ Allah berfirman,
َูุณَุงุฑِุนُูุง ุฅَِูู ู َุบِْูุฑَุฉٍ ู ِْู ุฑَุจُِّูู ْ َูุฌََّูุฉٍ ุนَุฑْุถَُูุง ุงูุณَّู ََูุงุชُ َูุงْูุฃَุฑْุถُ ุฃُุนِุฏَّุชْ ِْููู ُุชََِّููู (133) ุงَّูุฐَِูู َُُِْูููููู ِูู ุงูุณَّุฑَّุงุกِ َูุงูุถَّุฑَّุงุกِ َูุงَْููุงุธِู َِูู ุงْูุบَْูุธَ َูุงْูุนَุงَِููู ุนَِู ุงَّููุงุณِ َูุงَُّููู ُูุญِุจُّ ุงْูู ُุญْุณَِِููู (134)
➖ “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu, Allah menyediakan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya baik diwaktu lapang atau sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” ๐(Qs. Al-Imran: 133-134).