Rabu, 08 Maret 2017

SYAHIDNYA KHALIFAH UTSMAN BIN AFFAN RADHIALLAHU’ANHU

بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــــمِ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيْرًا. أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وأََشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، وَدَاعِيَا إِلَى الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ؛

Segala puji bagi Allah, yang Maha Mengetahui dan  Maha Melihat hamba-hambanya, Maha suci Allah, Dia-lah yang menciptakan bintang-bintang di langit, dan dijadikan padanya penerang dan Bulan yang bercahaya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya, yang diutus dengan kebenaran, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, mengajak pada kebenaran dengan izin-Nya, dan cahaya penerang bagi umatnya. Ya Allah, curahkan sholawat dan salam bagi nya dan keluarganya, yaitu doa dan keselamatan yang berlimpah.

Sebagai hamba Allah yang beriman marilah kita panjatkan puji dan syukur atas kehaddirat Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan kekuatan kesehatan iman lahir dan batin kepada kita semua, sehingga kita masih diberikan kesempatan untuk ber-tholabul 'ilmi dalam rangka menghambakan diri kepada Allah.

Shalawat dan salam tidak lupa marilah kita kirimkan kepada junjungan kita nabi Allah Muhammad Sholallahu' alaihi wasallam yang telah mengantarkan umat manusia dari peradaaban hidup yang jahiliyah menuju pada peradaban hidup yang moderen.... yg penuh dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti yang kita rasakan pada saat ini.
Semoga kita semua termasuk hambanya yang taat, yang berhak mendapatkan syafaatnya di hari akhir kelak..Aamiin ya Robbal'alamiin.

Puji dan Syukur tak henti kita panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala yang tiada henti memberikan nikmat, berkah, dan hidayah-Nya kepada kita semua. Karena nikmat dan hidayah dari Allah berupa keimanan dan keislaman-lah yang membuat kita tetap kokoh berjalan di atas jalan Allah.
Dan nikmat kesehatan dan kesempatan dari Allah pula sehingga hari ini kita dapat bersilaturahmi dalam rangka melaksanakan salah satu aktivitas yang merupakan kewajiban kita sebagai umat Islam, yakni menuntut ilmu.

Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, yang diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala ke muka bumi ini sebagai rahmatan lil alamiin, yang telah menggempur kesesatan dan mengibarkan panji-panji kebenaran, serta memperjuangkan islam hingga sampai kepada kita sebagai rahmat tak terperi dari Allah subhanahu wa ta’ala.
__________________________________________

Sebelumnya mari kita lihat sebuah hadits tentang kemuliaan beberapa orang sahabat.

“Orang yang paling penyayang di antara umatku adalah Abu Bakar, yang paling tegas dalam menegakkan agama Allah adalah Umar, yang paling pemalu adalah Utsman, yang paling mengetahui tentang halal dan haram adalah Muadz bin Jabal, yang paling hafal tentang Alquran adalah Ubay (bin Ka’ab), dan yang paling mengetahui ilmu waris adalah Zaid bin Tsabit. Setiap umat mempunyai seorang yang terpercaya, dan orang yang terpercaya di kalangan umatku adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 3:184)
———————————————————————

Dan yang akan kita bahas kali ini adalah salah satu dari sahabat terbaik tersebut.
Beliau adalah "Utsman bin Affan".

Utsman bin Affan, adalah khalifah rasyid yang ketiga. Ia dianggap sosok paling kontroversial dibanding tiga khalifah rasyid yang lain. Mengapa dianggap kontroversial? Karena ia dituduh seorang yang nepotisme, mengedepankan nasab dalam politiknya bukan kapasitas dan kapabilitas.
Tentu saja hal itu tuduhan yang keji terhadap beliau!

Nasab dari ayah beliau adalah :
Utsman bin Affan bin Abi al-Ash bin Umayyah bin Abdu asy-Syam bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luwai bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’addu bin Adnan (ath-Thabaqat al-Kubra, 3: 53).

Ibunya bernama Arwa binti Kuraiz bin Rabiah bin Hubaib bin Abdu asy-Syams dan neneknya bernama Ummu Hakim, Bidha binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah.

Lahir enam tahun setelah tahun gajah. Beriman melalui tangan Abu Bakr Ash-Shiddiq –Abdullah bin Abi Quhafah–, dan termasuk as-sabiqunal awwalun.

Dari sisi nasab, orang Quraisy satu ini memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain sebagai keponakan Rasulullah, Utsman juga menjadi menantu Rasulullah dengan menikahi dua orang putri Rasulullah.

Dengan keutamaan ini saja, sulit bagi seseorang untuk mencelanya, kecuali bagi mereka yang memiliki kedengkian di hatinya.
Seorang tokoh di masyarakat kita saja akan mencarikan orang yang terbaik menjadi suami anaknya, apalagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentulah beliau akan memilih orang yang terbaik untuk menjadi suami putrinya.

Diceritakan dari segi fisik
Utsman adalah seorang yang rupawan, lembut, mempunyai janggut yang lebat, berperawakan sedang, mempunyai tulang persendirian yang besar, berbahu bidang, rambutnya lebat, dan bentuk mulutnya bagus.

Az-Zuhri mengatakan, “Beliau berwajah rupawan, bentuk mulut bagus, berbahu bidang, berdahi lebar, dan mempunyai telapak kaki yang lebar.”

Sosok sahabat mulia ini sangat pemalu hingga malaikat pun malu kepadanya. Demikian Rasulullah menyanjung.

Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (hadits no. 2401) dan Ibnu Hibban (6907) serta selain keduanya dari hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :

أَنَّ عَائَشِةَ قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مُضْطَجِعًا فِي بَيْتِي، كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ، أَوْ سَاقَيْهِ، فَاسْتَأْذَنَ أَبُوْ بَكْرٍ، فَأَذِنَ لَهُ، وَ هُوَ عَلَى تِلْكَ الحَالِ، فَتَحَدَّثَ، ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عُمَرُ فَأَذِنَ لَهُ، وَ هُوَ كَذَلِكَ، فَتَحَدَّثَ، ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عُثْمَانُ، فَجَلَسَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، وَ سَوَّى ثِيَابَهُ، فَدَخَلَ فَتَحَدَّثَ، فَلَمَّا خَرَجَ قَالَتْ عَائِشَةُ : دَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ فَلَمْ تَهْتَشَّ لَهُ، وَ لَمْ تُبَالِهِ، ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَلَمْ تَهْتَشَّ لَهُ وَ لَمْ تُبَالِهِ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ فَجَلَسْتَ وَ سَوَّيْتَ ثِيَابَكَ، فَقَالَ : (( أَلاَ أَسْتَحْيِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحْيِي مِنْهُ المَلاَئِكَةُ))

‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata : Suatu hari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berbaring di rumahku dalam keadaan kedua paha atau betisnya tersingkap. Kemudian datang Abu Bakr meminta izin (untuk masuk). Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam  mengizinkannya untuk masuk, dalam keadaan beliau masih dalam kondisinya yang semula. Kemudian beliau berbincang-bincang. Tiba-tiba datang ‘Umar bin Al-Khaththab meminta izin pula, dan beliau pun mengizinkannya, dalam keadaan beliau masih dalam kondisinya yang semula, dan beliau melanjutkan perbincangannya. Kemudian datang ‘Utsman bin ‘Affan meminta izin, tiba-tiba Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam segera duduk sambil membenarkan pakaiannya. Maka masuklah ‘Utsman bin ‘Affan, dan beliau pun terus berbincang. Ketika beliau keluar, ‘Aisyah berkata : “Telah masuk Abu Bakr tetapi engkau tak nampak ceria dan tidak terlalu peduli. Begitu pula ketika ‘Umar masuk, engkau pun tidak nampak ceria dan tidak terlalu peduli dengannya. Namun ketika ‘Utsman bin ‘Affan masuk, engkau segera duduk dan membenahi pakaianmu.” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam  menjawab : “Tidakkah aku akan malu kepada seseorang yang sesungguhnya para malaikat telah malu kepadanya?”

Keutamaan lainnya...
Beliau mudah menangis kala mengingat akhirat. Jiwanya khusyu’ dan penuh tawadhu’ di hadapan Allah Rabbul ‘alamin.

Beliau adalah menantu Rasulullah yang sangat dikasihi.
Memperoleh kemuliaan dengan menikahi dua putri Nabi, Ruqayyah kemudian Ummu Kultsum hingga mendapat julukan Dzun Nurain (Pemilik Dua Cahaya).
Bahkan Rasulullah bersabda: “Seandainya aku masih memiliki putri yang lain sungguh akan kunikahkan dia dengan Utsman.”

Utsman bin Affan juga termasuk di antara sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga, beliau juga menjadi enam orang anggota syura, dan salah seorang khalifah al-mahdiyin, yang diperintahkan untuk mengikuti sunahnya.

Beliau dikenal sebagai orang yang hafal Al-Quran dan perhatiannya pun sangat besar terhadap Al-Quran. Beliaulah yang meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

“Sebaik-baiknya kalian adalah yang mempelajari Al-Quran dan yang mengajarkannya.” (HR Al-Bukhari)

Beliau juga berkata:

لَوْ طَهُرَتْ قُلُوْبُكُمْ مَا شَبِعَتُمْ مِنْ كَلَامِ رَبِّكُمْ

“Sekiranya hati-hati kalian masih suci, maka niscaya tidak akan pernah kenyang dari firman Rabb kalian (yaitu Al-Quran).” (Kitab Az-Zuhd, karya Ibnu Abi ‘Ashim, halaman 128)

Di masa beliau jugalah, Al-Quran dibukukan dan dikumpulkan ke dalam mushaf dengan satu bacaan, sehingga di zaman ini kita mudah untuk mempelajari dan menghafalkannya.

Beliau merupakan salah satu Penduduk Surga Yang Hidup di Bumi....

Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (hadits no. 3492, 3471) dan Al-Imam Muslim (hadits no. 2403) serta selain keduanya, dari shahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu,

جَاءَ رَجُلٌ آخَرَ يَسْتَأْذِنُ فَسَكَتَ هُنَيْهَةً ثُمَّ قَالَ : (( ائْذَنْ لَهُ وَ بَشِّرْهُ بِالجَنَّةِ عَلَى بَلْوَى سَتُصِيْبُهُ ))، فَإِذَا عُثْمَان بن عفان.

… kemudian datang orang berikutnya meminta izin kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam  untuk masuk. Beliau terdiam sejenak kemudian berkata : “Izinkanlah untuk orang tersebut dan berilah kabar gembira kepadanya, bahwa dia akan masuk Al-Jannah. Namun dia akan mengalami sebuah musibah yang pasti akan menimpanya.” Ternyata orang tersebut adalah ‘Utsman bin ‘Affan.

Tidak diragukan lagi Kedudukan Utsman yang sangat mulia dibanding umat islam lainnya...

Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku melihat bahwa aku di letakkan di sebuah daun timbangan dan umatku diletakkan di sisi daun timbangan lainnya, ternyata aku lebih berat dari mereka. Kemudian diletakkan Abu Bakar di satu daun timbangan dan umatku diletakkan di sisi yang lainnya, ternyata Abu Bakar lebih berat dari umatku. Setelah itu diletakkan Umar di sebuah daun timbangan dan umatku diletakkan di sisi yang lainnya, ternyata dia lebih berat dari mereka. Lalu diletakkan Utsman di sebuah daun timbangan dan umatku diletakkan di sisi lainnya, ternyata dia lebih berat dari mereka.” (al-Ma’rifatu wa at-Tarikh, 3: 357).

Hadist yang serupa juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari jalur Umar bin al-Khattab.

Hadis ini menunjukkan kedudukan Abu Bakar, Umar, dan Utsman dibandingkan seluruh umat Nabi Muhammad yang lain. Seandainya orang-orang terbaik dari umat ini dikumpulkan, lalu ditimbang dengan salah seorang dari tiga orang sahabat Nabi ini, niscaya timbangan mereka lebih berat dibanding seluruh orang-orang terbaik tersebut.

Dari segi kedermawanan
Utsman bin ‘Affan adalah figur sahabat yang memiliki kedermawanan luar biasa. Sebelum datangnya risalah Nabi Muhammad, beliau telah menekuni perdagangan hingga memiliki kekayaan. Setelah cahaya Islam terpancar di muka bumi, harta tersebut beliau infakkan untuk menegakkan kalimat Allah.

Untuk kehidupan akhirat, menolong orang lain, dan berderma seolah-olah hartanya seringan buah-buah kapuk yang terpecah lalu kapuknya terhembus angin yang kencang.

Di dalam Shahih Al-Bukhari, Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan:

وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ حَفَرَ بِئْرَ رُومَةَ فَلَهُ الْجَنَّةُ. فَحَفَرَهَا عُثْمَانُ. وَقَالَ: مَنْ جَهَّزَ جَيْشَ الْعُسْرَةِ فَلَهُ الْجَنَّةُ. فَجَهَّزَهُ عُثْمَانُ.

“Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barangsiapa yang menggali (membeli) sumur Rumah, maka baginya surga.” Maka ‘Utsman pun menggalinya (membelinya). Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang mempersiapkan (perbekalan) bagi pasukan ‘Usrah (yang mengalami kesusahan), maka baginya surga.” Maka ‘Utsman pun mempersiapkannya.” (Disebutkan di dalam Kitab Shahih Al-Bukhari sebelum hadits no. 3695.)

Sumur Ruumah adalah salah satu bukti kedermawanannya.
Sumur itu adalah sumber air Madinah yang beliau beli dengan harga sangat mahal sebagai wakaf untuk muslimin di saat mereka kehausan dan membutuhkan tetes-tetes air.
Rasulullah menawarkan jannah bagi siapa yang membelinya. Utsman pun bersegera meraih janji itu.
Demi Allah! Beliau telah meraih jannah yang dijanjikan.

Dahulu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, beliau menjumpai bahwa jumlah air tawar sangatlah sedikit. Dan di kota Madinah, tidak ada sumur yang mengeluarkan air tawar kecuali sumur Ruumah. Maka beliau bersabda:

مَنْ يَشْتَرِى بِئْرَ رُومَةَ فَيَكُونُ دَلْوُهُ فِيهَا مَعَ دِلاَءِ الْمُسْلِمِينَ بِخَيْرٍ لَهُ مِنْهَا فِى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang membeli sumur Ruumah kemudian menjadikan di dalamnya ember miliknya bersama ember-ember milik kaum Muslimin (maksudnya digunakan bersama-sama kaum Muslimin) dengan kebaikan, baginya (ganti yang lebih baik) di surga.” (HR At-Tirmidzi, Al-Baihaqi, Ad-Daruquthni, An-Nasai, hadits ini telah dita’liq oleh Syaikh Al-Albani di dalam Sunan At-Tirmidzi dan beliau menilai bahwa hadits ini hasan.)

Sosok yang mulia ini, tidak pernah berat untuk berinfak di jalan Allah, berapapun besarnya harta yang diinfakkan.
Beliau keluarkan seribu dinar (emas) guna menyiapkan Jaisyul ‘Usrah, pasukan perang ke Tabuk, yang berjumlah tidak kurang dari 30.000 pasukan.
Seraya membolak-balikan emas yang Utsman infakkan, Rasulullah bersabda:

“Tidaklah membahayakan bagi Utsman apapun yang dia lakukan sesudah hari ini.(Karena sesungguhnya dia telah diampuni)"

Allahu Akbar!
Betapa indah sabda Rasulullah mengiringi pengorbanan Utsman bin Affan.
Allah telah terima infak itu, Allah pelihara dengan tangan kanan-Nya yang mulia dan Dia lipat gandakan pahala untuknya.

Di antara keutamaan ‘Utsman bin ‘Affan, Allah jamin jannah atasnya bersama sembilan orang lainnya. Rasulullah bersabda:

أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ، وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ، وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ …

“Abu Bakar di surga, ‘Umar di surga, ‘Utsman di surga, ‘Ali di surga …” (HR At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 50.)

Sebagian kecil keutamaan di atas cukup sebagai dalil yang muhkam –pasti– atas keutamaan Utsman bin ‘Affan.
Di atas keyakinan inilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah beragama.

Mari kita mulai bahas awal terjadinya fitnah yang menyebabkan sang khalifah yang sangat dermawan ini menemui syahidnya.

Siapkan hati anda semua, karena beberapa kali saya yang masih merasa jauh dari kata baik ini saja meneteskan air mata karena kisah yang akan kita bahas ini.

Wafatnya Umar bin Al-Khaththab adalah awal kemunculan fitnah. Umar adalah pintu yang menutup fitnah. Begitu pintu dipatahkan, gelombang fitnah akan terus menimpa umat ini, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Hudzaifah bin Al-Yaman dalam Shahihain.

Pernahkah terbayang bahwa Utsman akan dibunuh dalam keadaan terzalimi? Mungkin kita tidak membayangkannya. Tetapi demi Allah, Utsman bin Affan telah mengetahui dirinya akan terbunuh, dengan kabar yang diperolehnya dari kekasih Allah, Nabi Muhammad.

Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, beliau berkata:

“Rasulullah pernah menyebutkan sebuah fitnah, lalu lewatlah seseorang. Beliau bersabda: “Pada fitnah itu, orang yang bertutup kepala ini akan terbunuh.” Berkata Ibnu ‘Umar:” Akupun melihat (orang itu), ternyata ia adalah ‘Utsman bin ‘Affan.”

Segala yang terjadi di muka bumi ini telah Allah tetapkan dan catat dalam Lauhul Mahfuzh. Sebagian dari takdir, Allah beritahukan kepada Rasul-Nya, termasuk berita terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan dalam keadaan syahid. Utsman menunggu saat-saat itu dengan penuh ridha dan keyakinan.

Rasulullah mengiringi berita tersebut dengan wasiat tentang apa yang harus dilakukan saat fitnah menerpa, sebagaimana akan kita lalui bersama sebagian riwayat tersebut. Maka berjalanlah Utsman dalam menghadapi fitnah tersebut dengan memegang teguh wasiat Rasulullah.

Sebenarnya jauh hari sebelum fitnah itu datang, beliau udah tau kabar tentang kekhalifahannya dan akan datangnya fitnah dari orang-orang yang memberontak.

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata, Rasulullah pernah mengutus seseorang untuk memanggil Utsman. Ketika Utsman sudah datang, Rasulullah menyambut kedatangannya. Setelah kami melihat Rasulullah menyambutnya, maka salah seorang dari kami menyambut kedatangan yang lain. Dan ucapan terakhir yang disampaikan Rasulullah sambil menepuk pundak Utsman adalah:

“Wahai Utsman, mudah-mudahan Allah akan memakaikanmu sebuah pakaian (mengamanahimu jabatan khalifah), dan jika orang-orang munafik ingin melepaskan pakaian tersebut, janganlah engkau lepaskan sampai engkau bertemu denganku (meninggal).” Beliau mengulangi ucapan ini tiga kali. (HR. Ahmad).

Siapakah orang dibalik semua fitnah tersebut....?
Adalah Abdullah bin Saba’ di balik fitnah yang menyebabkan wafatnya Utsman bin Affan.

Abdullah bin Saba’ atau Ibnu As-Sauda’ adalah seorang Yahudi yang menampakkan keislaman di masa ‘Utsman bin ‘Affan. Dia muncul di tengah-tengah muslimin dengan membawa makar yang sangat membahayakan, menebar bara fitnah untuk memecah-belah barisan kaum muslimin.

Tidak mudah memang bagi Ibnu Saba’ menyalakan api di tengah kejayaan Islam, di tengah kekuasaan Islam yang telah meluas ke seluruh penjuru timur dan barat, di saat muslimin memiliki kewibawaan di mata musuh-musuhnya kala itu.
Namun setan tak pernah henti mengajak manusia menuju jalan-jalan kesesatan, sebagaimana Iblis telah berkata di hadapan Allah:

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ (16) ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ (17)

Iblis menjawab, "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)." (QS Al-A'raf :16-17)

Ibnu Saba’ memulai makarnya bersama para pendukungnya dengan menanamkan kebencian pada khalifah ‘Utsman bin Affan di tengah kaum yang dungu lagi bodoh. Tujuannya pasti: Memudarkan kemulian-kemuliaan ‘Utsman bin Affan di hadapan manusia dan menjatuhkan kewibawaan khalifah.

Kenapa orang-orang bodoh yang dituju? Karena mereka itulah kaum yang tidak mengerti siapa Utsman. Mereka pula kelompok yang mudah disetir hawa nafsunya. Demikianlah gaya dan model pemberontak. Sebelum menggulingkan penguasa, mereka sebarkan kejelekan di tengah orang-orang bodoh, membuat arus bawah yang sukar untuk dibendung.

Kaki Ibnu Sauda’ yang penuh kebengisan dan kedengkian pada syariat Allah menjelajah negeri. Fitnahnya dia mulai dari Hijaz; Makkah, Madinah, Thaif, lalu Bashrah, lalu Kufah. Kemudian masuklah ia ke wilayah Damaskus (Syam). Usaha demi usaha dia tempuh di sana, namun impian belum mampu ia wujudkan. Dia tidak kuasa menyalakan api kebencian terhadap khalifah ‘Utsman di tengah-tengah kaum muslimin di negeri-negeri tersebut, hingga penduduk Syam mengusirnya.

Dengan segala kebusukan, pergilah Ibnu Saba’ ke Mesir. Di sanalah dia dapatkan tempat berdiam. Di tempat baru inilah dia dapatkan lahan subur untuk membangun makar besarnya, menggulingkan khalifah Utsman dan merusak agama Islam.

Mulai Ibnu Saba’ leluasa menghubungi munafiqin dan orang-orang yang berpenyakit, hingga terkumpul massa dari penduduk Mesir dan Irak guna membantu makarnya. Bersama pembantu-pembantunya, dia sebarkan keyakinan-keyakinan menyimpang serta tuduhan-tuduhan dusta atas khalifah di tengah-tengah kaum yang bodoh lagi menyimpan kemunafikan. Hingga suatu saat nanti, terwujudlah cita-citanya: menumpahkan darah khalifah dan memecah-belah barisan muslimin.

Berikut adalah Syubhat-syubhat Ibnu Saba’ untuk menjatuhkan kehormatan Utsman bin Affan:

Mereka yang mengetahui kemuliaan Utsman dari sabda Rasulullah tidak akan terpengaruh hasutan Ibnu Saba’, sehingga tidaklah mengherankan kalau dia tidak berhasil melakukan makarnya di tengah-tengah ahli Madinah atau Makkah. Berbeda keadaannya di Mesir, ia berhasil menebar syubhat-syubhat berisi celaan kepada Utsman bin ‘Affan, yang seandainya diketahui hakikatnya justru merupakan keutamaan dan pujian atas Utsman bin Affan.
Namun ketika gelombang fitnah telah menggulung dan sabda Rasulullah tidak lagi dihiraukan, banyak di antara juhhal (orang-orang bodoh) berjatuhan menjadi korban.

Pada kesempatan yang sangat terbatas ini, kita cukupkan dua syubhat beserta jawabannya sebagai gambaran atas kebodohan dan jauhnya kaum pemberontak dari ilmu.

Syubhat pertama: ‘Utsman tidak mengikuti perang Badr. Ini merupakan aib (cela) bagi Utsman, maka tidak pantas ia menjadi khalifah.

Utsman bin Affan memang tidak mengikuti perang Badr, Ramadhan 2 H. Akan tetapi tidak ikutnya beliau dalam perang Badr bukanlah aib sebagaimana sahabat-sahabat lain yang tidak mengikutinya juga tidak mendapat celaan. Karena pada perang Badr Rasulullah tidak mengharuskan sahabat untuk menyertai beliau. Terlebih lagi jika kita mengetahui sebab tidak ikutnya Utsman dalam perang Badr.

Dalam perang Badr, Rasulullah memerintahkan Utsman untuk tetap di rumah merawat istrinya, Ruqayyah, yang merupakan putri Rasulullah. Maka jawablah dengan jujur: “Pantaskah seorang yang melaksanakan perintah Rasul kemudian dicela dengan sebab itu?”

Bahkan sebaliknya, dengan melaksanakan perintah Rasul beliau mendapat keutamaan taat di samping beliau juga mendapatkan keutamaan ahlu Badr dan pahala mereka. Oleh karena itu, Rasulullah mengikutsertakan Utsman dalam ghanimah Badr.

Suatu saat, seorang Khawarij bertanya kepada Abdullah bin ‘Umar di Masjidil Haram: “Wahai Ibnu ‘Umar, apakah ‘Utsman mengikuti perang Badr?” Ibnu ‘Umar menjawab: “Tidak.” Maka dengan girangnya dia berseru: “Allahu Akbar!” –seolah-olah dia dapatkan kebenaran celaan atas Utsman bin ‘Affan–.
Dengan segera Ibnu ‘Umar berkata kepadanya: “Adapun ketidakhadiran Utsman dalam perang Badr karena putri Rasulullah –istrinya– sakit, (Rasul perintahkan untuk merawatnya) dan beliau bersabda:

“Sesungguhnya bagimu pahala mereka yang mengikuti perang Badr dan bagimu pula bagian ghanimah.”

Atas dasar ini, ulama tarikh seperti Az-Zuhri, ‘Urwah bin Az-Zubair, Musa bin ‘Uqbah, Ibnu Ishaq, dan lainnya memasukkan Utsman bin Affan dalam barisan ahlu Badr (orang-orang yang mengikuti perang Badr).

Syubhat kedua: Utsman membuat ladang khusus untuk unta-unta sedekah.
Ladang tersebut terlarang untuk selain unta sedekah.
Kaum Khawarij menuduh perbuatan ini sebagai kezaliman, kebid’ahan, dan kedustaan atas nama Allah.

Ketika ahlu Mesir –para pemberontak– mendatangi Utsman bin Affan mereka berkata:
“Bukalah surat Yunus dan bacalah.”
Lalu mereka hentikan bacaan Utsman ketika sampai pada ayat:

قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ

Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Yunus: 59)

Mereka berkata: “Berhenti kamu! Lihatlah apa yang telah kau perbuat. Engkau membuat tanah terlarang yang dibatasi. Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah ? ”

Utsman menjawab: “Bukan dalam masalah tersebut ayat ini diturunkan! Sungguh Umar bin Al-Khaththab telah melakukannya sebelumku, membatasi tanah khusus untuk unta-unta zakat, lalu aku menambahnya karena unta sedekah semakin bertambah banyak.”

Bantahan Utsman ibarat batu yang dilemparkan ke dalam mulut-mulut pemberontak.
Mereka tidak mampu membalas jawaban Utsman karena ternyata beliau tidak melakukan kebid’ahan.
Bahkan hal itu telah dilakukan Nabi dan Umar bin Al-Khaththab sebelumnya, yang semua itu tidak lain untuk kepentingan kaum muslimin, menjaga unta-unta zakat.

Namun fitnah tetap dihembuskan hingga akhirnya Ahlu Mesir dan Irak terprovokasi untuk memberontak Khalifah.

Massa yang besar dari penduduk Mesir dan Irak terkumpul, terbawa arus syubhat Ibnu Saba’. Mereka menuju Madinah dalam keadaan membenci khalifah, bahkan bertekad menggulingkan kekhilafahannya karena menurut mereka khalifah telah berkhianat.

Dalam perjalanan menuju Madinah, mereka mendengar bahwa Utsman bin ‘Affan berada di luar Madinah, maka mereka bersegera menemui ‘Utsman bin ‘Affan, di awal-awal bulan Dzulqa’dah 35 H.

Dengan penuh kearifan, keteduhan, dan kasih sayang, Utsman menemui mereka, dan terjadilah dialog ilmiah, membantah syubhat-syubhat juhhal. Dengan taufik Allah, Utsman mendinginkan hati-hati mereka yang membara.
Beliau juga membuat kesepakatan-kesepakatan dan perdamaian yang menentramkan jiwa mereka. Mereka pun ridha untuk kembali ke negeri mereka.

Masa yang tadinya penuh kebencian, merasa puas dengan jawaban-jawaban ‘Utsman dan kesepakatan tersebut. Mereka pun pergi untuk kembali ke negeri mereka.

Kenyataan ini membuat geram para penyulut fitnah. Mereka memutar otak dan mencari-cari jalan menyalakan kembali api kebencian yang sempat padam yang sudah sangat lama mereka nanti. Dalam keadaan itu, segera mereka munculkan makar berikutnya yang demikian keji, yaitu: Surat palsu berisi kedustaan atas ‘Utsman bin Affan.

Dalam perjalanan kembali ke Mesir, mereka berpapasan dengan seorang penunggang unta. Dia menampakkan bahwa dirinya melarikan diri, seolah-olah berkata: “Tangkaplah aku.” Mereka pun menangkapnya dan bertanya: “Ada apa dengan engkau?” Dia katakan: “Aku utusan Amirul Mukminin kepada amir Mesir.” Segera mereka periksa orang ini hingga didapatkan padanya sebuah surat atas nama ‘Utsman bin Affan, berisi perintah kepada amir Mesir agar menyalib, membunuh, dan memotong-motong tangan orang-orang Mesir setibanya mereka dari Madinah.

Dengan adanya surat palsu tersebut, api kebencian kepada khalifah kembali berkobar dalam dada-dada kaum yang bodoh. Mereka kembali menuju Madinah kemudian mereka kepung kediaman khalifah Ar-Rasyid Utsman bin Affan. Mereka tidak lagi memercayai ‘Utsman meskipun telah bersumpah bahwasanya beliau tidak pernah mengetahui apalagi menulis surat tersebut.

Tahukah kita apa yang diperbuat bughat pada orang termulia di muka bumi saat itu dan ahli jannah yang masih bernafas di dunia? Mereka paksa Utsman untuk melepaskan kekhilafahannya. Terwujudlah apa yang disabdakan Rasulullah puluhan tahun silam akan datangnya masa di mana Utsman bin Affan dipaksa melepas kekhilafahan.

Dengan tanpa kasih sayang, mereka halangi Utsman untuk shalat di Masjid Nabawi padahal beliaulah yang memperluas masjid di masa Rasulullah. Mereka halangi Utsman untuk minum dari air segar sumur Ar-Ruumah yang beliau wakafkan untuk kaum muslimin. Caci-maki dan cercaan tertuju kepada beliau.

Seperti inikah Islam mengajarkan untuk berbuat kepada seorang sahabat mulia, yang menghabiskan masa hidupnya untuk membela Rasulullah, meninggikan kalimat Allah.....?
Seperti inikah balasan kepada seorang sahabat yang matanya tak pernah kering dari air mata karena takutnya kepada Allah.....?
Seperti inikah Islam mengajarkan untuk bersikap kepada seorang yang telah senja, di umurnya yang ke-83....?
Itukah kasih sayang.....?
Seperti inikah jihad.....?
Laa haula wala quwwata illa billah!
Tidak ada yang mampu kita ucapkan melainkan: Hasbunallahu wa ni’mal wakil.

Sejatinya para sahabat hendak membela Utsman bin Affan. Bahkan banyak di antara mereka menemani khalifah di rumahnya hingga hari terakhir pengepungan. Riwayat-riwayat yang shahih menunjukkan kedatangan banyak sahabat mengusulkan pembelaan dari kaum bughat. Di antara mereka adalah: Haritsah bin Nu’man, Al-Mughirah bin Syu’bah, Abdullah bin Az-Zubair, Zaid bin Tsabit, Al-Hasan bin ‘Ali, Abu Hurairah, dan lainnya.

Namun Utsman bin Affan telah mengambil sebuah keputusan dan sikap yang merupakan wasiat Rasulullah untuk bersabar dan tidak melepaskan kekhilafahan. Beliau tetap kokoh memegang sunnah (wasiat) Rasulullah saat api fitnah telah berkobar di hadapannya.
Abu Hurairah sempat datang dengan pedangnya untuk melakukan pembelaan. Namun Utsman berkata: “Wahai Abu Hurairah, sukakah engkau jika banyak manusia terbunuh dan aku juga terbunuh?
Sungguh demi Allah, seandainya engkau membunuh seorang manusia, seakan-akan engkau membunuh manusia seluruhnya.” Pergilah Abu Hurairah melaksanakan nasihat ‘Utsman.

Kembali ke hadits diatas....
Dari Rasulullah, Utsman mengetahui syahadah yang akan diperolehnya. Suatu hari Rasulullah memanggil Utsman. Beliau bisikkan rahasia akan apa yang akan menimpanya dan apa yang seharusnya dilakukan saat fitnah menimpa. Rahasia itu memang tidak banyak tersingkap, melainkan beberapa yang dikabarkan Utsman bin ‘Affan di hari pengepungan.

Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad (6/51-52) meriwayatkan bahwa saat sahabat menawarkan Utsman bin Affan untuk memerangi pemberontak, mereka berkata: “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau perangi mereka?” Dengan penuh keyakinan beliau katakan:

“Tidak (aku tidak akan perangi mereka), karena sesungguhnya Rasulullah telah mengambil janji dariku, dan aku sabar di atas janji itu.”

Berkali-kali sahabat Rasulullah menawarkan perang melawan pemberontak.
Dengan penuh kearifan Utsman menolak, dan mengingatkan mereka untuk taat kepadanya sebagai khalifah.
Suatu ketaatan yang telah Allah perintahkan atas mereka.

Saudaraku, rahimakumullah.
Sekali lagi kita ingatkan, bahwasanya keputusan Utsman bin ‘Affan, bukanlah kelemahan beliau.
Bukan pula ketidakberanian sahabat untuk melakukan peperangan.
Tetapi, semua keputusan dan sikap Utsman sesungguhnya adalah bagian dari wasiat Rasulullah kepadanya.

Mungkin ada di antara kita bertanya, kenapa Utsman tidak melepaskan kekhilafahan agar terhindar dari fitnah ini?
Bukankah kaum pemberontak hanya ingin menggulingkan Utsman dari kekhilafahan?

Ketahuilah, hal ini pun telah Rasulullah wasiatkan dalam hadits yang shahih. Rasul bersabda:

“Dan jika mereka (pemberontak) memaksamu untuk melepaskan pakaian yang Allah pakaikan kepadamu (yakni kekhilafahan), janganlah engkau lakukan.”

Dari riwayat-riwayat shahih terkait dengan fitnah pembunuhan Utsman bin Affan, disimpulkan bahwa sikap yang beliau pilih sesungguhnya kembali pada beberapa alasan.
Di antaranya:

Wasiat Rasulullah kepada ‘Utsman untuk tidak melepaskan kekhilafahan dan menghadapi fitnah dengan kesabaran.

Beliau tidak ingin menjadi orang yang pertama kali menumpahkan darah kaum muslimin, dan menjadi penyebab peperangan di antara mereka. Sebagaimana tampak dalam riwayat Ahmad dalam Al-Musnad, beliau berkata:

“Aku tidak ingin menjadi orang pertama sesudah Rasulullah yang menyebabkan pertumpahan darah di tengah umatnya.”

Utsman yakin bahwa yang diinginkan pemberontak adalah dirinya, maka beliau tidak ingin menjadikan kaum muslimin sebagai tameng.
Sebaliknya, beliau ingin menjadi tameng untuk kaum muslimin agar tidak terjadi pertumpahan darah di tengah mereka.
Utsman yakin bahwa fitnah akan redam dengan wafatnya beliau, sebagaimana kabar yang Rasulullah sabdakan.
Beliau juga merasa waktunya telah dekat di saat beliau berumur 83 tahun, diperkuat dengan mimpinya bertemu Rasulullah di hari pengepungan.
Nasihat Abdullah bin Salam kepada beliau. Abdullah berkata:

“Tahanlah, tahanlah (dari peperangan) karena dengan itu hujjahmu lebih mendalam.”

Emang sangat menyakitkan apa yang beliau alami.
Dan ini juga dirasakan oleh para sahabat.

Abu Hurairah menangis mengingat wafatnya Utsman bin ‘Affan.
Terbayang di hadapannya apa yang diperbuat bughat terhadap khalifah.
Sebuah tragedi tercatat dalam lembaran tarikh Islam; menorehkan peristiwa kelabu atas umat ummiyah.

Dengan keji, pembunuh-pembunuh itu menumpahkan darah. Tangan menantu Rasulullah ditebas, padahal jari-jemari itulah yang dahulu dipercaya Rasul mencatat wahyu Allah.
Darah pun mengalir membasahi Thaybah.

Dengan penuh cinta dan ridha kepada Allah, Amirul Mukminin mengembuskan nafas terakhir, meraih syahadah dengan membawa hujjah dan kemenangan yang nyata.

Ya Allah, tanamkan cinta dan ridha di hati kami pada sahabat-sahabat Nabi-Mu. Selamatkan hati kami dari kedengkian kepada mereka. Selamatkan pula lisan kami dari cercaan kepada mereka sebagaimana Engkau telah selamatkan tangan kami dari darah-darah mereka.

Aamiin ya Robbal'alamiin.

Syahadah yang Rasulullah kabarkan itu diraih Utsman bin Affan.
Akhirnya perjumpaan yang disabdakan Rasulullah itupun terjadi.

Pagi, Jum’at 12 Dzulhijjah, 35 H, di saat sebagian besar sahabat menunaikan ibadah haji, pengepungan berlanjut.
Hari itu ‘Utsman berpuasa, setelah di malam harinya mimpi bertemu Rasulullah, dan dua sahabatnya.

Dari Abdullah bin Umar bahwa Utsman bin Affan berbicara di hadapan khalayak, “Aku berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di dalam mimpi, lalu beliau mengatakan, ‘Wahai Utsman, berbukalah bersama kami’.”
Maka pada pagi harinya beliau berpuasa dan di hari itulah beliau terbunuh.
(HR. Hakim dalam Mustadrak, 3: 103).

Pagi itu Utsman berada di rumah bersama sejumlah sahabat yang terus bersikukuh hendak membela beliau dari kezaliman bughat. Di antara mereka adalah Al-Hasan bin ‘Ali, ‘Abdullah bin Umar, Abdullah bin Az-Zubair, Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah, dan sejumlah sahabat lainnya.

Dengan sangat, Utsman bin ‘Affan meminta mereka untuk keluar dari rumah, menjauhkan diri dari fitnah. Amirul Mukminin melarang para sahabat melakukan pembelaan dengan peperangan. Beliau tidak ingin terjadi pertumpahan darah di tengah-tengah kaum muslimin hanya dengan sebab beliau. Beliau tidak ingin ada sahabat-sahabat lain terbunuh dalam fitnah ini.

Setelah permintaan Utsman yang sangat kepada para sahabat, akhirnya mereka meninggalkan rumah Amirul Mukminin hingga tidak ada yang tersisa kecuali keluarga Utsman termasuk istri beliau, Na’ilah binti Furafishah.

Amirul Mukminin, Utsman bin ‘Affan tetap di atas wasiat Rasul untuk tidak melepaskan kekhilafahan, baju yang telah Allah pakaikan untuknya.
Beliau pun tetap meminta sahabat untuk tidak melakukan perlawanan, mengingat besarnya fitnah dan khawatir darah kaum muslimin tertumpah.
Inilah sikap yang terbaik: kesabaran, keyakinan, dan keteguhan di atas petunjuk Rasulullah.

Dalam riwayat lain dikisahkan:

Katsir bin ash-Shalat mendatangi Utsman bin Affan dan berkata, “Amirul mukminin, keluarlah dan duduklah di teras depan agar masyarakat melihatmu.
Jika engkau lakukan itu masyarakat akan membelamu.
Utsman tertawa lalu berkata, ‘Wahai Katsir, semalam aku bermimpi seakan-akan aku berjumpa dengan Nabi Allah, Abu Bakar, dan Umar, lalu beliau bersabda, ‘Kembalilah, karena besok engkau akan berbuka bersama kami’. Kemudian Utsman berkata, ‘Demi Allah, tidaklah matahari terbenam esok hari, kecuali aku sudah menjadi penghuni akhirat’.”
(Ibnu Saad dalam ath-Thabaqat, 3: 75).

Selanjutnya , beliau duduk bersimpuh di hadapan mushaf.
Beliau membacanya dalam keadaan berpuasa di hari itu.
Tubuh yang telah tua, rambut yang telah memutih, kulit yang telah mengeriput, usia yang telah dihabiskan untuk Allah, berjihad menegakkan kalimat Allah di muka bumi, kini duduk mentadaburi kalam Rabbul ‘Alamin.
Beliau perintahkan untuk membuka pintu rumah dengan harapan para pengepung tidak berbuat sekehendak hati mereka ketika menyaksikan beliau beribadah kepada Allah, membaca Al-Qur’an.

Tetapi mereka ternyata orang yang telah keras hatinya. Dalam suasana pengepungan dan kekacauan, masuklah seseorang hendak membunuh khalifah. Orang ini datang dan menarik jenggot beliau.

Ustman dengan tenang berkata:
"Jangan sentuh jenggotku karena sesungguhnya ayahmu dulu menghormati jenggot ini."

Kemudian pemberontak itu melepaskannya karena dia ingat bahwa bukan hanya ayahnya yang menghormati, tapi juga Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan setiap orang menghormati Ustman.

Utsman pun berkata mengingatkan: “Wahai fulan, di antara aku dan dirimu ada Kitabullah!”
Diapun pergi meninggalkan Utsman.

Hingga kemudian datang orang lain dari bani Sadus.
Dan ketika Ustman Radhiallahu’anhu melihatnya datang, dia segera mengencangkan tali pengikat celananya, karena dia tidak ingin auratnya terlihat di saat-saat terakhirnya.

Masyaalllah!
Disaat seperti itu beliau masih menunjukkan akhlaknya yg mulia tersebut.
Sangat wajar jika Rasulullah menghormati sahabat dan menantunya karena hal ini.

Kita lanjutkan...
Dengan penuh keberingasan, orang tadi cekik leher khalifah yang telah rapuh hingga sesak dada beliau dan terengah-engah nafas beliau, lalu dia tebaskan pedang ke arah Utsman bin ‘Affan.
Amirul Mukminin melindungi diri dari pedang dengan tangannya yang mulia, hingga terputus bercucuran darah.

Saat itu Utsman berkata:

“Demi Allah, tangan (yang kau potong ini) adalah tangan pertama yang mencatat surat-surat mufashshal.”

Ya… beliau adalah pencatat wahyu Allah dari lisan Rasulullah.
Namun ucapan Utsman yang sesungguhnya nasihat –bagi orang yang memiliki hati– tidak lagi dihiraukan.
Darah mengalir pada mushaf tepat mengenai firman Allah:

“Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 137)

Keseluruhan Surat Al Baqarah ayat :137 adalah sebagai berikut :

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

"Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Kemudian istrinya, Na'ilah berlari untuk melindungi Utsman.
Bukan hanya itu, jari jemari Na’ilah bintu Furafishah terpotong saat melindungi suaminya dari tebasan pedang kaum bughat.
Subhanallah, cermin kesetiaan istri shalihah menghiasi tragedi berdarah di negeri Rasulullah.

Kemudian mereka menghujam dalam perut Ustman Radhiallahu’anhu dengan pedang!
Lalu salah satu pemberontak menerjang dada beliau dan menusuknya 6 KALI! Dengan demikian wafatlah Ustman Radhiallahu’anhu pada umur 83 tahun.

Terwujudlah sabda Rasulullah puluhan tahun silam...!

Dikisahkan di dalam hadits dari Anas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendaki Gunung Uhud, dan bersama beliau Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman. Dan (tatkala gunung itu) berguncang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اُسْكُنْ أُحُدُ – أَظُنُّهُ ضَرَبَهُ بِرِجْلِهِ – فَلَيْسَ عَلَيْكَ إِلَّا نَبِيٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ

“Tenanglah Uhud, tidaklah yang sedang di atasmu melainkan seorang Nabi, seorang Shiddiq (Abu Bakar), dan dua orang yang (akan mati) syahid (‘Umar dan ‘Utsman).” (HR Al-Bukhari, no. 3697)

Dan benarlah apa yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits tersebut.
Sahabat yang mulia, ‘Umar bin Al-Khaththab dan ‘Utsman bin ‘Affan meninggal dunia dalam keadaan syahid. Adapun ‘Umar, beliau dibunuh oleh seorang yang beragama Majusi yang bernama Abu Lu’lu’ah karena dia dendam kepada ‘Umar dan kaum Muslimin. Kemudian ‘Utsman dibunuh oleh orang-orang Khawarij yang memberontak dan mengepung beliau hingga akhirnya membunuhnya.

Allahu Akbar!
Berbukalah Utsman bin Affan bersama Rasulullah sebagaimana mimpinya di malam itu.
Ta’bir mimpi pun tersingkap sudah. Wafatlah khalifah Ar-Rasyid, di hari Jum’at, dalam usia 83 tahun.
Pergilah manusia termulia saat itu menemui ridha Allah dan ampunan-Nya. Menuju jannah-Nya.

Seusai pembunuhan, berteriaklah laki-laki hitam pembunuh ‘Utsman, mengangkat dan membentangkan dua tangannya seraya berkata “Akulah yang membunuh Na’tsal! “

Beberapa lama setelah Utsman dibunuh, para pemberontak tidak memperbolehkan seorang pun untuk menguburkan jenazahnya.

Pada akhirnya, istri Rasulullah, Umayya Habiba menaiki tangga masjid Rasulullah dan berkata:

"Wahai pemberontak!
Jika kalian tidak mengizinkan kami untuk mengubur Ustman, maka AKU ISTRI RASULULLAH...
AKU KEHENDAK RASULULLAH....
AKU KEKASIH RASULULLAH...
AKU IBU ORANG-ORANG BERIMAN...., akan turun ke jalan Madinah tanpa menutupi rambutku dan AKU SENDIRI yang akan menguburkan Ustman!"

Dia tahu bahwa tidak ada satu pemberontak pun yang berani terhadap istri Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam.

Ka'ab ibn Malik R.A. meriwayatkan:

"Demi Allah, jika Umayya ibn Habiba R.A. turun ke jalanan Madinah tanpa menutupi rambutnya, maka Allah akan MENURUNKAN HUJAN BATU DARI LANGIT!"

Dan ketika para pemberontak mendengar ancaman dari istri Rasulullah tersebut, mereka membolehkan jenazah Ustman dikuburkan oleh empat orang:
Hasan R.A., Hussain R.A., Ali R.A., dan Muhammad ibn Talha R.A.
Dan ketika mereka membawa jenazah Ustman untuk dikuburkan, para pemberontak mulai melempari batu ke jenazah Ustman R.A.

__________________________________________
Dalam tafsir Ibnu Katsir terdapat hal yang menguatkan adanya bekas darah dalam ayat tersebut:

Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Yunus ibnu Abdul Ala te­lah membacakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Ziad ibnu Yunus, telah men­ceritakan kepada kami Nafi' ibnu Abu Na'im yang menceritakan bahwa mus-haf USman ibnu Affan dikirimkan kepada sebagian khu­lafa untuk dikoreksi. Ziad melanjutkan kisahnya, "Maka aku bertanya kepadanya (Nafi' ibnu Abu Na'im), 'Sesungguhnya orang-orang me­ngatakan bahwa mus-haf (kopi asli USman ibnu Affan) berada di atas pangkuannya ketika ia dibunuh, lalu darahnya menetesi mus-haf yang ada tulisan firman-Nya:
"Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Bagarah: 137)

Nafi' mengatakan, "Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri darah itu ada yang menetes pada ayat ini, tetapi agak pudar karena berlalu­nya masa.
__________________________________________

"Akibat dari kematian Ustman begitu besar, sampai-sampai Hasan (cucu Rasulullah) meriwayatkan:

"Aku melihat kakekku (Rasulullah) di dalam mimpi, dan dia berdiri di hadapan Arsy Allah Subhanahu wa ta’ala.
Dan inilah pertama kalinya aku melihatnya dalam mimpi dimana dia terlihat khawatir.
Kemudian Abu Bakar Radhiallahu’anhu datang dari belakangnya dan dia menempatkan tangannya di bahu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Kemudian Umar Radhiallahu’anhu datang dari belakangnya dan dia menempatkan tangannya di bahu Abu Bakar. 
Tidak lama setelahnya, Ustman Radhiallahu’anhu datang dan wajahnya yang berlumuran darah.
Tangannya menggenggam kepalanya dan dia berkata 'Wahai Rasulullah, tanyakan kepada mereka karena dosa apakah mereka menjagalku seperti seekor sapi?' Ketika Ustman berkata seperti ini, Arsy Allah mulai bergetar! Kemudian dua sungai darah mengalir dari Arsy Allah Subhanahu wa ta’ala."
Wallahu a’lam.

Pada hari kiamat, ada banyak orang yang gugur sebagai syuhada.
Untuk para syuhada itu, tanah tempatnya meninggal dunia akan bersaksi, namun untuk Ustman ibn Affan, Al-Qur'an yang akan menjadi saksinya, karena dia meninggal dunia tepat di hadapan sebuah Al-Qur'an!

Asyhadu an-La ilaha illallah, wa anna Muhammadan Rasulullah!
Sabda Rasulullah bahwa Utsman akan meraih jannah dengan cobaan yang menimpanya benar-benar terjadi.

Abu Musa Al-Asy’ari mengatakan bahwa:

“Rasulullah memerintahkan Abu Musa untuk memberi kabar gembira kepada Utsman dengan jannah, dengan ujian yang akan menimpanya.”

Allahu Akbar!
Allahu Akbar!
Allahu Akbar!

Allah tak akan diamkan orang-orang yang memusuhi wali-Nya.
Orang-orang yang memberontak Utsman Radhiallahu’anhu dan memiliki andil dalam pembunuhan khalifah yang terzalimi mendapat hukuman pedih dari Allah.
Demikianlah akibat bagi mereka yang memusuhi wali-wali Allah.

Benarlah firman Allah dalam sebuah hadits Qudsi:

“Barangsiapa menyakiti wali-Ku, sungguh Aku umumkan perang dengannya…”

Khurqush bin Zuhair As-Sa’di dibunuh oleh ‘Ali bin Abi Thalib pada perang Nahrawan tahun 39 H.
‘Alba’ bin Haitsam As-Sadusi dibunuh pada perang Jamal.
Amr bin Al-Hamaq Al-Khuza’i hidup hingga tahun 51 H, ia ditikam.
‘Umair bin Dhabi’ yang mematahkan tulang rusuk ‘Utsman , hidup hingga zaman Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, dia pun dibunuh.
Demikian pula para pembunuh ‘Utsman  yang selain mereka.

Wallahu a’lam.

Begitu banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari banyaknya kemuliaan yang ada dari sang khalifah Utsman bin Affan.

Sejarah telah mencatat kalimat-kalimat penuh hikmah dari Utsman bertutur tentang Alquran. Ia berkata, “Jika hati kita suci, maka ia tidak akan pernah puas dari kalam Rabb nya.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, bab al-Adab wa at-Tasawwuf).

Beliau juga mengatakan, “Sungguh aku membenci, satu hari berlalu tanpa melihat (membaca) Alquran.” (al-Bidayah wa an-Nihayah oleh Ibnu Katsir, 10: 388).

Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Bagian dunia yang kucintai ada tiga: (1) mengenyangkan orang yang lapar, (2) memberi pakaian mereka yang tak punya, dan (3) membaca Alquran”. (Irsyadul Ibad li Isti’dadi li Yaumil Mi’ad, Hal: 88). Dalam kesempatan lainnya, Utsman berkata, “Ada empat hal ketika nampak merupakan keutamaan. Jika tersembunyi menjadi kewajiban. (1) Berkumpul bersama orang-orang shaleh adalah keutamaan dan mencontoh mereka adalah kewajiban. (2) Membaca Alquran adalah keutamaan dan mengamalkannya adalah kewajiban. (3) Menziarahi kubur adalah keutamaan dan beramal sebagai persiapan untuk mati adalah kewajiban. (4) Dan membesuk orang yang sakit adalah keutamaan dan mengambil wasiat darinya adalah kewajiban”. (Irsyadul Ibad li Isti’dadi li Yaumil Mi’ad, Hal: 90).

Utsman juga berkata, “Ada 10 hal yang disia-siakan: Orang yang berilmu tapi tidak ditanyai. Ilmu yang tidak diamalkan. Pendapat yang benar namun tidak diterima. Senjata yang tidak digunakan. Masjid yang tidak ditegakkan shalat di dalamnya. Mush-haf Alquran yang tidak dibaca. Harta yang tidak diinfakkan. Kendaraan yang tidak dipakai. Ilmu tentang kezuhudan bagi pencinta dunia. Dan usia panjang yang tidak menambah bekal untuk safarnya (ke akhirat).” (Irsyadul Ibad li Isti’dadi li Yaumil Mi’ad, Hal: 91).

Tidak jarang, Allah al-Hakim mewafatkan seseorang sedang melakukan kebiasaannya ketika hidup. Demikian pula yang terjadi pada Utsman. Ia amat dekat dan selalu bersama Alquran. Hingga ia wafat pun sedang membaca Alquran.

Cukuplah sebuah riwayat dari Sufyan bin Uyainah berikut ini untuk mengetahui kedudukan Utsman di sisi Rasulullah ﷺ. Dari Sufyan bin Uyainah, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah ﷺ apabila duduk, maka Abu Bakar duduk di sebelah kanannya, Umar di sebelah kirinya, dan Utsman di hadapannya. Ia menulis rahasia Rasulullah ﷺ.” (Tarikh Dimasy oleh Ibnu Asakir, 26: 344).

Dan demikianlah yang dapat saya sampaikan.
Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari kisah diatas.

Mohon maaf jika ada kekurangannya.
Semua kebaikan datangnya dari Allah dan jika ada kekurangannya semua datang dari saya pribadi yang masih fakir dalam ilmu.

استغفر الله العظيم...
استغفر الله العظيم...
استغفر الله العظيم واتوب اليه.
Dari saya....

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.

KEMATIAN SEBAGAI NASEHAT

بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــــمِ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya dan meminta pertolongan, pengampunan, dan petunjuk-Nya.
Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan keburukan amal  kita.
Barang siapa mendapat dari petunjuk Allah maka tidak akan ada yang menyesatkannya, dan barang siapa yang sesat maka tidak ada pemberi petunjuknya baginya.
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
Ya Allah, semoga doa dan keselamatan tercurah pada Muhammad dan keluarganya, dan sahabat dan siapa saja yang mendapat petunjuk hingga hari kiamat.

Puji dan Syukur tak henti kita panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala yang tiada henti memberikan nikmat, berkah, dan hidayah-Nya kepada kita semua. Karena nikmat dan hidayah dari Allah berupa keimanan dan keislaman-lah yang membuat kita tetap kokoh berjalan di atas jalan Allah.
Dan nikmat kesehatan dan kesempatan dari Allah pula sehingga hari ini kita dapat bersilaturahmi dalam rangka melaksanakan salah satu aktivitas yang merupakan kewajiban kita sebagai umat Islam, yakni menuntut ilmu.

Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, yang diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala ke muka bumi ini sebagai rahmatan lil alamiin, yang telah menggempur kesesatan dan mengibarkan panji-panji kebenaran, serta memperjuangkan islam hingga sampai kepada kita sebagai rahmat tak terperi dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Tema pembicaraan kali ini adalah mengenai sebuah ayat al-Qur’ān yang sekiranya diturunkan kepada gunung niscaya luluh lantak; yang apabila direnungkan oleh pembacanya maka hatinya bergetar ketakutan dan air matanya mengalir; yang jika dihayati oleh orang yang bergelimang maksiat maka ia bertaubat; serta bila dipahami oleh siapa saja yang berpaling dari seruan Allāh maka ia pun bersegera kepadanya-Nya.

Ayat yang menyebutkan tentang pintu gerbang dari sebuah perjalanan panjang nan berat….

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَما الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.”
(QS. Āli `Īmrān [3]: 185.)

Kematian adalah langkah awal dari perjalanan agung yang memisahkan suami dari istrinya, orang tua dari anaknya, kekasih dari yang dicintainya dan saudagar dari kekayaannya.

Perjalanan yang bermuara kepada keabadian; kenikmatan Surga atau kesengsaraan Neraka.
Kematian merupakan hal yang diyakini namun sering kali sengaja dilupakan atau terlupakan; perkara yang diketahui akan tetapi begitu banyak diabaikan.

Rasa sakit dalam proses kematian telah banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan juga Hadist, yaitu sakitnya bagaikan disabet pedang sebanyak 70 kali sabetan, sehingga banyak orang yang lari dan ingin menghindari kematiannya namun setiap makhluk hidup di bumi ini tidak dapat menghindar dari kematian yang telah ditetapkan oleh Allah.
Namun yang akan kita bahas kali ini adalah tentang bagaimana menjadikan kematian tersebut sebagai nasehat.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ – يَعْنِي الْمَوْت

“Perbanyaklah mengingat pemutus segala kelezatan (yakni kematian).” [Riwayat at-Tirmidzi IV/553/2307, Ibn Mājah II/1422/4258]

Dalam rangka mengingat kematian Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan ziarah kubur.
Beliau bersabda:

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوهَا، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْآخِرَةَ

“Dahulu aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur. Namun saat ini lakukanlah ziarah kubur, karena hal itu mengingatkan kalian terhadap akhirat.” [Ash-Shahīhah II/545/886.]

Dahulu, jika Khalifah Utsman Ibn 'Affān berdiri di daerah kuburan maka beliau menangis hingga basah jenggot beliau. Ada yang bertanya, “Disebutkan Surga dan Neraka namun Anda tidak menangis, maka mengapa Anda menangis karena kuburan ini?”

Utsmān menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْقَبْرَ أَوَّلُ مَنَازِلِ الْآخِرَةِ فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ

“Sungguh, kubur merupakan tempat pertama dari akhirat. Jika seseorang selamat darinya, maka yang berikutnya akan lebih mudah. Namun, jika ia tidak selamat, maka yang berikutnya akan lebih keras lagi.”

`Utsmān melanjutkan, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

مَا رَأَيْتُ مَنْظَراً قَطُّ إِلاَّ وَالْقَبْرُ أَفْظَعُ مِنْهُ

“Tidaklah aku melihat suatu pemandangan pun (di dunia) melainkan kuburan lebih buruk darinya.”
[Riwayat at-Tirmidzi IV/553/2308; Ibn Mājah II/1426/4267; Ahmad I/63/454]

Ka`b berkata, “Barangsiapa mengenal kematian, niscaya menjadi remehlah segala musibah dan kegundahan dunia.” [Al-Ihyā’, vol. IV, hal. 451.]

Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa yang banyak mengingat kematian niscaya akan menjadi sedikit kegembiraannya dan sedikit kedengkiannya.”

Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Aku senang dengan kemiskinan, karena hal itu semakin membuatku merendah kepada Rabbku. Aku senang dengan kematian, karena kerinduanku kepada Rabbku. Dan aku menyukai sakit, karena hal itu akan menghapuskan dosa-dosaku.”

Terkadang seseorang menyadari tengah jauh dari-Nya, sehingga terpuruk dalam kehampaan jiwa yang demikian menyakitkan, meskipun secara zahir dikelilingi oleh kenikmatan duniawi.
Ia ingin keluar dari kondisi tersebut, namun ia bingung untuk mencari penawar yang praktis dan tepat.

Mengingat kematian adalah kunci dari obat rohani yang sangat efisien dan ampuh.
Apapun bentuk kesenangan yang melenakan dan menjauhkan dari-Nya, baik berupa harta, wanita, jabatan, anak-anak dan lain sebagainya, seluruhnya akan terputus oleh kematian.

Salah satu penyebab utama kerusakan kalbu yang menimpa banyak orang sehingga mereka terjerumus ke dalam kubangan dosa dan maksiat adalah karena jauhnya mereka dari mengingat dan menghayati kematian yang menanti di depan mereka.

Karena itu Rabī` Ibn Abī Rāsyid berkata,

لَوْ فَارَقَ ذِكْرَ الْمَوْتِ قَلْبِيْ سَاعَةً لَخَشِيْتُ أَنْ يَفْسدَ عَلَيَّ قَلْبِيْ

“Sekiranya kalbuku terpisah sesaat saja dari mengingat kematian, maka aku benar-benar khawatir kalbuku menjadi rusak.”
[Lihat Shifah ash-Shafwah, vol. III, hal. 109; dan az-Zuhd, Ibnu’l Mubārak, hal. 90. Dalam al-Ihyā’, vol. IV, hal. 451, ucapan tersebut dinisbatkan kepada ar-Rabī` Ibn Khutsaim, namun yang tepat adalah sebagaimana telah disebutkan. Allāhu a`lam.]

Seorang wanita pernah mendatangi `Āisyah untuk mengeluhkan tentang kekerasan kalbu.
Āisyah berkata: “Perbanyaklah mengingat kematian, niscaya kalbu itu akan menjadi lembut (baik).”

Dikisahkan bahwa ar-Rabī` Ibn Khutsaim menggali kuburan di tempat tinggalnya dan tidur di dalamnya beberapa kali dalam sehari, agar selalu mengingat kematian.

Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata: “Beruntunglah orang yang senantiasa mengingat waktu datangnya kematian. Tidaklah seorang hamba memperbanyak mengingat kematian kecuali akan tampak buahnya di dalam amal perbuatannya.”

`Umar Ibn `Abdu’l `Azīz berkata: “Perbanyaklah mengingat kematian. Sekiranya engkau hidup dalam kelapangan maka hal itu akan menyempitkanmu.
Namun apabila engkau hidup dalam kesempitan maka hal itu akan melapangkanmu.”
[Al-Ihyā’, vol. IV, hal. 451.]

Tidak cukupkah kematian sebagai nasehat?
Bayangkanlah ketika datangnya kematian dengan sekaratnya, alam kubur dengan kesunyian dan kegelapannya, hari kebangkitan dengan detail perhitungannya, serta Neraka dengan siksanya yang kekal atau Surga dengan kenikmatannya nan abadi.

Kita masih saja terperdaya oleh kelezatan dunia yang fana.
Saat kematian membawa kita ke kubur, adakah kenikmatan dunia yang masih terasa?

Semuanya musnah tak berbekas.
Mana rumah yang megah, pakaian yang indah, wajah yang rupawan, tubuh yang bagus, istri yang jelita, kekasih yang dicintai, anak yang dibanggakan, jabatan yang tinggi dan kedudukan yang terhormat?

Kita terbenam dalam tanah.
Di atas, bawah, kanan dan kiri kita hanyalah tanah.
Tiada kawan kecuali kegelapan yang sangat pekat, kesempitan dan serangga yang menggerogoti daging kita.
Kita benar-benar mengharapkan kumpulan amal shalih yang mendampingi dan membantu kita, namun sayangnya harapan dan penyesalan tidak lagi berguna.

Kita menganggap kematian itu berada pada posisi yang sangat jauh dari kita, padahal ia begitu dekatnya.
Waktu berlalu bagaikan kedipan mata. Masa kecil dan remaja bertahun-tahun yang lalu hanyalah bagai hari kemarin, dan tanpa terasa kita telah berada di hari ini.

Begitu pula yang akan terjadi dengan esok hari.
Sampai kemudian kematian tiba-tiba datang menjemput kita untuk mengarungi sebuah perjalanan yang sangat panjang dan berat, sementara kita belum memiliki bekal untuk itu, karena kesengajaan dan kelalaian kita.

Syaikh Abdul Malik al-Qasim berkata, “Betapa seringnya, di sepanjang hari yang kita lalui kita membawa [jenazah] orang-orang yang kita cintai dan teman-teman menuju tempat tinggal tersebut [alam kubur]. Akan tetapi seolah-olah kematian itu tidak mengetuk kecuali pintu mereka, dan tidak menggoncangkan kecuali tempat tidur mereka. Adapun kita; seolah-olah kita tak terjamah sedikit pun olehnya!!”

Berbahagialah hamba-hamba Allah yang senantiasa bercermin dari kematian. Tak ubahnya seperti guru yang baik, kematian memberikan banyak pelajaran, membingkai makna hidup, bahkan mengawasi alur kehidupan agar tak lari menyimpang.

Nilai-nilai pelajaran yang ingin diungkapkan guru kematian begitu banyak, menarik, bahkan menenteramkan.
Di antaranya adalah apa yang mungkin sering kita rasakan dan lakukan.
Secara garis besar terdapat 5 nilai yang dapat kita ambil sebagai berikut :

1. Kematian mengingatkan bahwa waktu sangat berharga

Tak ada sesuatu pun buat seorang mukmin yang mampu mengingatkan betapa berharganya nilai waktu selain kematian. Tak seorang pun tahu berapa lama lagi jatah waktu pentasnya di dunia ini akan berakhir. Sebagaimana tak seorang pun tahu di mana kematian akan menjemputnya.

Ketika seorang manusia melalaikan nilai waktu pada hakekatnya ia sedang menggiring dirinya kepada jurang kebinasaan. Karena tak ada satu detik pun waktu terlewat melainkan ajal kian mendekat.

Allah swt mengingatkan itu dalam surah Al-Anbiya ayat 1, “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).”

Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan mata. Tiba-tiba, lisan tergerak untuk mengatakan, “Ya Allah, mundurkan ajalku sedetik saja. Akan kugunakan itu untuk bertaubat dan mengejar ketinggalan.” Tapi sayang, permohonan tinggallah permohonan. Dan, kematian akan tetap datang tanpa ada perundingan.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surah Ibrahim ayat 44:

“Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang zalim: ‘Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul….”

2. Kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa

Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah akhir segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang telah dimainkan, ketika sutradara mengatakan ‘habis’, usai sudah permainan. Semua kembali kepada peran yang sebenarnya.

Sebagus-bagusnya peran yang kita mainkan, tak akan pernah melekat selamanya.
Silakan kita bangga ketika dapat peran sebagai orang kaya.
Silakan kita menangis ketika berperan sebagai orang miskin yang menderita.

Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya.
Semuanya akan berakhir.
Dan, peran-peran itu akan dikembalikan kepada sang sutradara untuk dimasukkan kedalam laci-laci peran.

Teramat naif kalau ada manusia yang berbangga dan yakin bahwa dia akan menjadi orang yang kaya dan berkuasa selamanya.
Pun begitu, teramat naif kalau ada manusia yang merasa akan terus menderita selamanya.
Semua berawal, dan juga akan berakhir. Dan akhir itu semua adalah kematian.

3. Kematian mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa

Fikih Islam menggariskan kita bahwa tak ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke liang lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia..
Kaya atau miskin, penguasa atau rakyat jelata, semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan. Cuma kain kafan itu.
Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang telanjang.

Lalu, masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita meraih keberhasilan....?
Masih patutkah kita membangga-banggakan harta dengan sebutan kepemilikan....?
Kita datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergi pun bersama sesuatu yang tak berharga.

Ternyata, semua hanya peran.
Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika peran usai, kepemilikan pun kembali kepada Allah.

Lalu dengan keadaan seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa kecuali, hanya hamba Allah...?
Setelah itu, kehidupan pun berlalu melupakan peran yang pernah kita mainkan.

4. Kematian mengingatkan bahwa hidup sementara

Kejayaan dan kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuah khayalan bahwa ia akan hidup selamanya hingga kapan pun.
Seolah ia ingin menyatakan kepada dunia bahwa tak satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat ini.

Ketika sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia tersadar bahwa, segalanya akan berpisah.
Dan pemisah kenikmatan itu bernama "kematian".
Hidup tak jauh dari siklus: awal, berkembang, dan kemudian berakhir.

5. Kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga

Seorang hamba Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar bahwa hidup teramat berharga.
Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman.
Seorang petani yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga dengan sungguh-sungguh.
Petani itu khawatir, ia tidak mendapat apa-apa ketika ladang harus dikembalikan.

Mungkin, inilah maksud ungkapan Imam Ghazali ketika menafsirkan surah Al-Qashash ayat 77,
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) dunia…” dengan menyebut, “Ad-Dun-ya mazra’atul akhirah.” (Dunia adalah ladang buat akhirat).

Orang yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya untuk mengingat sesuatu itu.
Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu yang paling diingat.
Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang menghargai arti kehidupan.

Tak ada yang akan bisa lepas dari kematian termasuk junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ) akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula). (QS. 39:30)

Memang perjalanan menuju akhirat merupakan suatu perjalanan yang panjang.
Suatu perjalanan yang banyak aral dan cobaan, yang dalam menempuhnya kita memerlukan perjuangan dan pengorbanan yang tidak sedikit.
Yaitu suatu perjalanan abadi yang menentukan apakah kita termasuk penduduk surga atau neraka.

Perjalanan abadi itu adalah kematian yang akan menjemput kita, yang kemudian dilanjutkan dengan pertemuan kita dengan alam akhirat.

Karena keagungan perjalanan ini, Rasulullah Saw bersabda:

“Andai saja engkau mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya engkau akan sedikit tertawa dan banyak menangis”. (Mutafaq ‘Alaih)

Maksudnya apabila kita tahu hakekat kematian dan keadaan alam akhirat serta kejadian-kejadian di dalamnya, niscaya kita akan ingat bahwa setelah kehidupan ini akan ada kehidupan lain yang lebih abadi.

Allah SWT berfirman: “Dan kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. (Al-A’la: 17).

Sayangnya di zaman kita sekarang, kebanyakan kita kadang lebih memprioritaskan dunia, tidak sedikit dari kita yang melupakan kehidupan akhirat. Kita kejar dunia dengan berbagai cara kita tempuh dengan banyak jalan hingga lupa akan kata-kata bijak bahwa kita di dunia tak lebih hanya seorang anak manusia yang tengah safar (perjalanan) yang hanya sekejap.

Kita lupa akan perjalanan panjang itu dan lebih memilih kehidupan dunia yang tidak kekal.
Kita korbankan akhirat dan menggantinya dengan dunia.

Tidakkah kita takut dengan ancaman Allah...?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya): “Barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka dia akan mendapatkan penghidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata: “Wahai Rabbku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta padahal dulu aku bisa melihat?”. [Allah menjawab] Demikianlah yang pantas kamu dapatkan, sebab telah datang kepadamu ayat-ayat Kami tetapi kamu justru melupakannya. Maka, pada hari ini kamu pun dilupakan.”
(QS. Thaha: 124-126)

Di dalam ayat lain, Allah juga berfirman (yang artinya),
“Dan dikatakan: Pada hari ini Kami melupakan kalian sebagaimana halnya dahulu kalian melupakan pertemuan dengan hari kalian ini, tempat tinggal untuk kalian adalah neraka, sama sekali tidak ada bagi kalian seorang penolong.”
(QS. Al-Jatsiyah: 34).

Imam al-Qurthubi menjelaskan, bahwa maksud dari ‘kalian melupakan pertemuan dengan hari kalian ini’ adalah: ‘kalian meninggalkan amal untuk akhirat’ (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [19/173])

Ulama Salaf berkata,

كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا

“Cukuplah kematian sebagai pemberi nasehat.”
[Lihat Shifah ash-Shafwah vol. I, hal. 639; al-`Āqibah fī Dzikri’l Maut, hal. 43; dan al-Ihyā’, vol. IV, hal. 450. Adapun hadits Nabi s.a.w. dengan lafal dimaksud, maka tidak valid.]

‘Amar bin Yasir radhiyallahu’anhu berkata: “Cukuplah kematian sebagai pemberi nasehat dan pelajaran. Cukuplah keyakinan sebagai kekayaan. Dan cukuplah ibadah sebagai kegiatan yang menyibukkan.”

Cukuplah kematian menjadikan hati kita bersedih, menjadikan mata kita menangis, perpisahan dengan orang-orang yang kita cintai, penghilang segala kenikmatan kita , pemutus segala cita-cita kita.
Wahai orang yang tertipu oleh dunianya,wahai orang yang berpaling dari Allah , wahai orang yang lengah dari ketaatan kepada Rabbnya, wahai orang yang setiap kali dinasihati, hawa nafsunya menolak nasihat ini, wahai orang yang dilalaikan oleh nafsunya dan tertipu oleh angan-angan panjangnya...

Pernahkah kita memikirkan saat-saat kematian sedangkan kita tetap dalam keadaanmu semula?

Sekaya apapun kita , sesukses apa-pun karir kita, sepandai apapun kita , secantik/setampan apapun kita, sekuat apapun badan kita , sekeras apapun kerja kita untuk mengumpulkan harta yang banyak, marilah tetap ingat!
Seperti ini nanti kita , terbujur kaku dan tidak berdaya.
Hendaklah kita mengambil nasehat dan pelajaran dari kematian itu.
Sebab manakala kita tidak bisa mengambil pelajaran dari kematian, niscaya nasehat apapun tidak akan berguna bagi kita.

Oleh karena itu, ketika kita dinasehati saat kita ditinggalkan oleh orang yang kita kasihi atau sosok yang berharga bagi kita, bahwa kematian pasti akan menghampiri kita , dan rumah terakhir ini menjadi keharusan bagi kita, maka kita harus bersiap-siap untuk menyambutnya, mengevaluasi diri kita sebelum diri kita dievaluasi (dihisab).

Kita dulu lahir telanjang dan tidak membawa apa-apa, dan sekarang kembali pada Allah juga telanjang dan tidak membawa apa-apa, selain amal saleh.

Tentang kematian sebagai nasehat, dalam hadits yang lain, Rasulullah Saw bersabda :
“…..aku tinggalkan dua penasehat, yang satu pandai bicara dan yang satu pendiam. Yang pandai bicara yakni Al Qur'an, dan yang diam saja ialah kematian ...”

Selama hayat masih dikandung badan, marilah kita siapkan bekal sebanyak-banyaknya untuk menyempurnakan perjalanan keabadian itu, yaitu dengan melakukan ketaatan-ketaatan kepada Allah, menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi semua larangan-larangan-Nya, serta marilah kita perbanyak taubat dari segala dosa-dosa yang telah kita lakukan.

Marilah kita mencoba merenungi sisa-sisa umur kita, muhasabah pada diri kita masing-masing.
Tentang masa muda kita, untuk apa kita pergunakan.
Apakah untuk melaksanakan taat kepada Allah ataukah hanya bermain-main saja ?

Tentang harta kita, dari mana kita peroleh, halalkah ia atau haram ?
Dan untuk apa kita belanjakan, apakah untuk kita belanjakan di jalan Allah, bersedekah ataukah hanya untuk berfoya-foya?

Dan terus kita muhasabah terhadap diri kita dari hari-hari yang telah kita lalui. Sekarang marilah kita tanyakan kepada diri kita masing-masing.
Apakah kematian sudah menjadi penasehat kita....?

Kalau memang iya, lantas apa yang menjadikan diri kita terperdaya dengan kehidupan dunia, padahal kita tahu akan meninggalkannya.
Perlu kita ingat bahwa pangkat, harta dan kekayaan dunia yang kita miliki tidak akan bisa kita bawa untuk mendekat dan menemui Allah.
Hanya amal saleh yang akan kita bawa nanti, yang dapat membawa kita menemui Allah.

Suatu ketika Imam Ali Bin Abu Thalib melewati daerah pekuburan.
Beliau mengucapkan salam lalu berkata, “Wahai para penghuni kubur, istri kalian maka telah dinikahi, rumah kalian telah dihuni dan harta kalian telah dibagi. Inilah kabar dari kami, maka bagaimana kabar kalian?”
[Tasliyah Ahl al-Mashā'ib, hal. 194 dan al-`Āqibah fī Dzikri'l Maut, hal. 196.]

Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya:
“Siapakah yang paling cerdik dari kalangan kaum mukminin?”
Beliau menjawab:

أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولئِكَ الْأَكْيَاسُ

“Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik persiapannya untuk setelah kematian.
Mereka itulah orang-orang yang cerdik.”

[Shahīh at-Targhīb wa’t Tarhīb III/164/3335.]

Kebanyakan dari kita emang sudah yakin akan pasti datangnya kematian namun masih lalai, kita juga pasti sangat mengharapkan surga namun tidak serius untuk mencarinya.

Sangat tepatlah apa yang pernah dikatakan oleh Hasan al-Bashri berikut ini :

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata: “Tidaklah aku melihat sebuah perkara yang meyakinkan yang lebih mirip dengan perkara yang meragukan daripada keyakinan manusia terhadap kematian sementara mereka lalai darinya. Dan tidaklah aku melihat sebuah kejujuran yang lebih mirip dengan kedustaan daripada ucapan mereka, ‘Kami mencari surga’ padahal mereka tidak mampu menggapainya dan tidak serius dalam mencarinya.”

Sebagai penutup, saya kutipkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah sebagai berikut:

“Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi, ” Siapakah orang mukmin yang paling baik? ‘ Beliau menjawab, ‘ Yang paling baik akhlak nya.’ Ia bertanya, ‘ Siapakah orang mukmin yang paling beruntung?’ Beliau menjawab, ‘ Yang paling banyak mengingat kematian, dan yang paling baik persiapan nya untuk (alam) setelah kematiannya. Itulah orang-orang yang beruntung.”
(HR.Ibnu Majah)

Semoga Allah Swt menjadikan kita dan anak keturunan kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang cerdas, yang paling banyak mengingat kematian dan mengumpulkan sebanyak-banyak amal untuk persiapan bekal setelah kematian.
Aamiin ya Robbal'alamiin.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan.
Semoga ada manfaat yang dapat kita ambil bersama.
Mohon maaf jika ada kekurangannya.
Jika ada kebaikan dan kebenarannya semua datang dari Allah dan jika ada kekurangannya semua datang dari saya pribadi yang masih fakir dalam ilmu.

Dari saya....

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.

INILAH PARA PENGHUNI LANGIT KE-1 HINGGA KE-7

۞﷽۞

╭⊰✿️•┈•┈•⊰✿เงกৢ˚❁๐Ÿ•Œ❁˚เงก✿⊱•┈•┈•✿️⊱╮
๐ŸŒ  INILAH PARA PENGHUNI LANGIT KE-1 HINGGA KE-7 ๐ŸŒ 
 •┈┈•⊰✿┈•เงกৢ❁˚๐ŸŒน๐ŸŒŸ๐ŸŒน˚❁เงก•┈✿⊱•┈┈•
                        ╭⊰✿ •̩̩̩͙े༊




ุจِุณْู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู…ِ ุงู„ู„ู‡ِ ุงู„ุฑَّุญْู…َู†ِ ุงู„ุฑَّุญِูŠْู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู…ِ
ุงู„ุณَّู„ุงَู…ُ ุนَู„َูŠْูƒُู…ْ ูˆَุฑَุญْู…َุฉُ ุงู„ู„ู‡ِ ูˆَุจَุฑَูƒَุงุชُู‡ُ

======================================

๐ŸŒ Peristiwa Isra' Mi'raj adalah salah satu peristiwa yang agung dalam perjalanan hidup Nabi Muhammad Sholallahu alaihi wa sallam. 
Isra' secara bahasa berasal dari kata 'saro' yang berarti perjalanan di malam hari. Adapun secara istilah, Isra' adalah perjalanan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersama malaikat Jibril dari Mekkah ke Baitul Maqdis (Palestina), berdasarkan firman ALLAH dalam surat Al-Isra : 1 yang berbunyi :

ุณُุจْุญَุงู†َ ุงู„َّุฐِูŠ ุฃَุณْุฑَู‰ ุจِุนَุจْุฏِู‡ِ ู„َูŠْู„ุงً ู…ِّู†َ ุงู„ْู…َุณْุฌِุฏِ ุงู„ْุญَุฑَุงู…ِ ุฅِู„َู‰ ุงู„ْู…َุณْุฌِุฏِ ุงู„ุฃَู‚ْุตَู‰
➖"Maha Suci ALLAH, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha." ๐Ÿ“–(Al-Isra : 1)

๐ŸŒ Mi'raj secara bahasa adalah suatu alat yang dipakai untuk naik. Adapun secara istilah, Mi'raj berarti tangga khusus yang digunakan oleh Nabi Muhammad untuk naik dari bumi menuju ke atas langit, berdasarkan firman ALLAH dalam Al-Qur'an di surat An-Najm ayat 1-18. Bagi umat Muslim wajib hukumnya mengimani dan meyakini sebagai suatu kebenaran dari ALLAH. Pada peristiwa itu Nabi Muhammad Sholallahu alaihi wa sallam bertemu dengan ALLAH subhanahu wa ta’ala dan mendapat perintah menjalankan Shalat 5 waktu sehari.

๐ŸŒ Dalam perjalanan bertemu Sang Pencipta, Rasulullah ditemani malaikat Jibril dengan mengendarai Buraaq, yaitu hewan putih panjang, berbadan besar melebihi keledai dan bersayap. Sekali melangkah, Buraaq bisa menempuh perjalanan sejuta mata memandang dalam sekejap. 

๐ŸŒ Rasulullah SAW melewati 7 langit dan bertemu dengan para penghuni di setiap tingkatan. Kabar ini dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Imam Muslim dari Anas bin Malik. 
Berikut adalah para penghuni langit ke-1 sampai ke-7 : 

●LANGIT KE-1 
------------------------
Ketika mencapai langit tingkat pertama, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertemu dengan manusia sekaligus wali ALLAH pertama di muka bumi, Nabi Adam Alaihissalam . 

Saat bertemu Nabi Adam , Rasulullah sempat bertegur sapa sebelum akhirnya meninggalkan dan melanjutkan perjalanannya. 
Nabi Adam membekali Rasulullah dengan doa, supaya Rasulullah selalu diberi kebaikan pada setiap urusan yang dihadapinya. Sambil mengucapkan salam, Rasulullah meninggalkan langit pertama untuk menuju langit kedua.

●LANGIT KE-2 
-------------------------
Sesampainya di langit kedua, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bertemu dengan Nabi Isa Alaihissalam dan Nabi Yahya Alaihissalam. 
Seperti halnya di langit pertama, Rasulullah disapa dengan ramah oleh kedua nabi pendahulunya. Sewaktu akan meninggalkan langit kedua, Nabi Isa dan Nabi Yahya juga mendoakan kebaikan kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah bersama malaikat Jibril terbang menuju langit ketiga.

●LANGIT KE-3 
-------------------------
Tidak disangka, di langit ketiga, Rasulullah bertemu dengan Nabi Yusuf Alaihissalam manusia tertampan yang pernah diciptakan ALLAH di bumi. Dalam pertemuannya, Nabi Yusuf memberikan sebagian dari ketampanan wajahnya kepada Nabi Muhammad . Dan juga akhir pertemuannya, Nabi Yusuf memberikan doa kebaikan kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. 

●LANGIT KE-4 
-------------------------
Setelah berpisah dengan Nabi Yusuf di langit ketiga, Rasulullah melanjutkan perjalanan dan sampailah Beliau di langit keempat. 
Pada tingkatan ini, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bertemu Nabi Idris Alaihissalam , yaitu manusia pertama yang mengenal tulisan, dan nabi yang berdakwah kepada Bani Qabil dan Memphis di Mesir untuk beriman kepada ALLAH Subhanahu wa ta’ala . 
Seperti pertemuan dengan nabi-nabi sebelumnya, Nabi Idris memberikan doa kepada Rasulullah supaya diberi kebaikan pada setiap urusan yang dilakukannya.

●LANGIT KE-5 
-------------------------
Sesampainya di langit kelima, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertemu dengan Nabi Harun Alaihissalam , yaitu nabi yang mendampingi saudaranya, Nabi Musa Alaihissalam berdakwah mengajak Raja Firaun yang menyebut dirinya tuhan dan kaum Bani Israil untuk beriman kepada ALLAH Nabi Harun terkenal sebagai nabi yang memiliki kepandaian berbicara dan meyakinkan orang. Di langit kelima, Nabi Harun mendoakan Rasulullah senantiasa selalu mendapatkan kebaikan pada setiap perbuatannya. Setelah bertemu, kemudian Rasulullah melanjutkan perjalanannya ke langit keenam. 

●LANGIT KE-6 
------------------------
Pada langit keenam, Rasulullah dan malaikat Jibril bertemu dengan Nabi Musa Alaihissalam , yaitu nabi yang memiliki jasa besar dalam membebaskan Bani Israil dari perbudakan dan menuntunnya menuju kebenaran Illahi.
 Nabi Musa juga terkenal dengan sifatnya yang penyabar dan penyayang selama menghadapi kolot dan bebalnya Bani Israil. Selama bertemu dengan Rasulullah, Nabi Musa menyambut layaknya kedua sahabat yang lama tidak pernah ketemu. Penuh kehangatan dan keakraban. Sebelum Rasulullah SAW pamit meninggalkan langit keenamm Nabi Musa AS melepasnya dengan doa kebaikan.

●LANGIT KE-7 
------------------------
Tibalah Rasulullah ke langit ketujuh. 
Di langit ini, Rasulullah bertemu dengan bapaknya para nabi yaitu Nabi Ibrahim Alaihissalam . 
Sewaktu bertemu, Nabi Ibrahim sedang menyandarkan punggungnya ke Baitul Ma'muur, yaitu suatu tempat yang disediakan oleh ALLAH kepada para malaikatnya. Setiap harinya, tidak kurang dari 70 ribu malaikat masuk kedalam. Kemudian Nabi Ibrahim mengajak Rasulullah untuk pergi ke Sidratul Muntaha sebelum bertemu dengan ALLAH untuk menerima perintah wajib Shalat. Sidratul Muntaha merupakan sebuah pohon yang menandai akhir dari batas langit ketujuh. Masih dalam hadits yang sama, Rasulullah menceritakan bentuk fisik dari Sidratul Muntaha, yaitu berdaun lebar seperti telinga gajah dan buahnya yang menyerupai tempayan besar.

๐ŸŒ Namun ciri fisik Sidratul Muntaha berubah ketika ALLAH Subhanahu wa ta’ala datang, bahkan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sendiri tidak bisa berkata-kata menggambarkan keindahan pohon Sidratul Muntaha. 
Pada kepercayaan agama lain, Sidratul Muntaha juga diartikan sebagai pohon kehidupan. Di Sidratul Muntaha inilah Nabi Muhammad Sholallahu alaihi wa sallam berdialog dengan ALLAH Subhanahu wa ta’ala untuk menerima perintah wajib Shalat lima waktu dalam sehari.

=====================================

✨✨✨TAMBAHAN✨✨✨

Di antara hadits shahih yang menyebutkan kisah ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya , dari sahabat Anas bin Malik :Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

➖“ Didatangkan kepadaku Buraaq – yaitu yaitu hewan putih yang panjang, lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari baghal, dia meletakkan telapak kakinya di ujung pandangannya (maksudnya langkahnya sejauh pandangannya). Maka sayapun menungganginya sampai tiba di Baitul Maqdis, lalu saya mengikatnya di tempat yang digunakan untuk mengikat tunggangan para Nabi. Kemudian saya masuk ke masjid dan shalat 2 rakaat kemudian keluar . Kemudian datang kepadaku Jibril ‘alaihis salaam dengan membawa bejana berisi khamar dan bejana berisi air susu. Aku memilih bejana yang berisi air susu. Jibril kemudian berkata : “ Engkau telah memilih (yang sesuai) fitrah”.

Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit (pertama) dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?”

Dia menjawab:“Jibril”.

Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?”

Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?”

Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit) dan saya bertemu dengan Adam. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.

Kemudian kami naik ke langit kedua, lalu Jibril ‘alaihis salaam meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?”

Dia menjawab: “Jibril”.

Dikatakan lagi:“Siapa yang bersamamu?”

Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?”

Dia menjawab:“Dia telah diutus”.

Maka dibukakan bagi kami (pintu langit kedua) dan saya bertemu dengan Nabi ‘Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakariya shallawatullahi ‘alaihimaa, Beliau berdua menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.

Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit ketiga dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?”

Dia menjawab:“Jibril”.

Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?”

Dia menjawab:“Muhammad”

Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?”

Dia menjawab:“Dia telah diutus”.

Maka dibukakan bagi kami (pintu langit ketiga) dan saya bertemu dengan Yusuf ‘alaihis salaam yang beliau telah diberi separuh dari kebagusan(wajah). Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.

Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit keempat dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?”

Dia menjawab:“Jibril”.

Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?”

Dia menjawab: “Muhammad”

Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?”

Dia menjawab: “Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit keempat) dan saya bertemu dengan Idris alaihis salaam. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Allah berfirman yang artinya : “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi” (Maryam:57).

Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit kelima dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?”

Dia menjawab:“Jibril”.

Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?”

Dia menjawab:“Muhammad”

Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?”

Dia menjawab:“Dia telah diutus”.

Maka dibukakan bagi kami (pintu langit kelima) dan saya bertemu dengan Harun ‘alaihis salaam. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.

Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit keenam dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?”

Dia menjawab:“Jibril”.

Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?”

Dia menjawab: “Muhammad”

Dikatakan: “Apakah dia telah diutus?”

Dia menjawab:“Dia telah diutus”.

Maka dibukakan bagi kami (pintu langit) dan saya bertemu dengan Musa. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.

Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit ketujuh dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?”

Dia menjawab: “Jibril”.

Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?”

Dia menjawab, “Muhammad”

Dikatakan, “Apakah dia telah diutus?”

Dia menjawab, “Dia telah diutus”.

Maka dibukakan bagi kami (pintu langit ketujuh) dan saya bertemu dengan Ibrahim. Beliau sedang menyandarkan punggunya ke Baitul Ma’muur. Setiap hari masuk ke Baitul Ma’muur tujuh puluh ribu malaikat yang tidak kembali lagi.

Kemudian Ibrahim pergi bersamaku ke Sidratul Muntaha. Ternyata daun-daunnya seperti telinga-telinga gajah dan buahnya seperti tempayan besar.

Tatkala dia diliputi oleh perintah Allah, diapun berubah sehingga tidak ada seorangpun dari makhluk Allah yang sanggup mengambarkan keindahannya

 Lalu Allah mewahyukan kepadaku apa yang Dia wahyukan. Allah mewajibkan kepadaku 50 shalat sehari semalam. 

Kemudian saya turun menemui Musa ’alaihis salam. 

Lalu dia bertanya: “Apa yang diwajibkan Tuhanmu atas ummatmu?”.

Saya menjawab: “50 shalat”.

Dia berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan, karena sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu mengerjakannya. Sesungguhnya saya telah menguji dan mencoba Bani Isra`il”.

Beliau bersabda :“Maka sayapun kembali kepada Tuhanku seraya berkata: “Wahai Tuhanku, ringankanlah untuk ummatku”.

Maka dikurangi dariku 5 shalat. Kemudian saya kembali kepada Musa dan berkata:“Allah mengurangi untukku 5 shalat”.

Dia berkata:“Sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu mengerjakannya, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”.

Maka terus menerus saya pulang balik antara Tuhanku Tabaraka wa Ta’ala dan Musa ‘alaihis salaam, sampai pada akhirnya Allah berfirman:

“Wahai Muhammad, sesungguhnya ini adalah 5 shalat sehari semalam, setiap shalat (pahalanya) 10, maka semuanya 50 shalat. Barangsiapa yang meniatkan kejelekan lalu dia tidak mengerjakannya, maka tidak ditulis (dosa baginya) sedikitpun. Jika dia mengerjakannya, maka ditulis(baginya) satu kejelekan”.

Kemudian saya turun sampai saya bertemu dengan Musa ’alaihis salaam seraya aku ceritakan hal ini kepadanya. Dia berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”, maka sayapun berkata: “Sungguh saya telah kembali kepada Tuhanku sampai sayapun malu kepada-Nya”. 

๐Ÿ“™(H.R Muslim 162)