Sabtu, 01 Agustus 2020

CUCU RASULULLAH YANG SYAHID KARENA DIRACUN ( IMAM HASAN AL MUJTABA RADHIALLAHU’ANHU)

                                 ۞﷽۞

            ╭⊰✿️┈•┈•⊰✿๐ŸŒŸ✿⊱•┈•┈✿️⊱╮
CUCU RASULULLAH YANG SYAHID KARENA DIRACUN
( IMAM HASAN AL MUJTABA RADHIALLAHU’ANHU) 
           •┈┈•⊰✿┈•๐Ÿ”ธ️๐ŸŒน๐Ÿ”ธ️•┈✿⊱•┈┈•
                              ╭⊰✿ •̩̩̩͙े༊


ุจِุณْู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู…ِ ุงู„ู„ู‡ِ ุงู„ุฑَّุญْู…َู†ِ ุงู„ุฑَّุญِูŠْู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู…ِ 
ุงู„ุณَّู„ุงَู…ُ ุนَู„َูŠْูƒُู…ْ ูˆَุฑَุญْู…َุฉُ ุงู„ู„ู‡ِ ูˆَุจَุฑَูƒَุงุชُู‡ُ 

Nama : Hasan
Gelar : al-Mujtaba
Julukan : Abu Muhammad
Ayah : Ali bin Abi Thalib
Ibu : Fathimah az-Zahra
Tempat/Tgl Lahir : Madinah, Selasa 15 Ramadhan 2 H.
Hari/Tgl Wafat : Kamis, 7 Shafar Tahun 49 H.
Umur : 47 Tahun
Sebab Kematian : Diracun Istrinya, Ja'dah binti As-Ath
Makam : Baqi' Madinah
Jumlah Anak : 15 orang; 8 laki-laki dan 7 perempuan
Anak Laki-laki : Zaid, Hasan, Umar, Qosim, Abdullah, Abdurrahman, Husein, Thalhah
Anak Perempuan : Ummu al-Hasan, Ummu al-Husein, Fathimah, Ummu Abdullah, Fathimah, Ummu Salamah, Ruqoiyah
 
๐Ÿ’ฅRIWAYAT HIDUP 
 
"..Maka katakanlah (hai Muhammad): mari kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kalian.. ."
๐Ÿ“–(Surah Al-lmran 61)
 
"Sesungguhnya Allah SWT menjadikan keturunan bagi setiap nabi dan dari tulang sulbinya masing-masing, tetapi Allah menjadikan keturunanku dan tulang sulbi Ali bin Abi Thalib". 
๐Ÿ“š(Kitab Ahlul Bait hal. 273-274)
 
"Semua anak Adam bernasab kepada orang tua lelaki (ayah mereka), kecuali anak-anak Fathimah. Akulah ayah mereka dan akulah yang menurunkan mereka."
๐Ÿ“š(Tafsir Al Manar, dalam menafsirkan Surah al-An’am ayat 84)
 
    Satu ayat di atas serta dua hadis di bawahnya menunjukkan bahwa Hasan dan Husein adalah kecintaan Rasul yang nasabnya disambungkan pada dirinya. 
Hadis yang berbunyi: "Tapi Allah menjadikan keturunanku dari tulang sulbi Ali Bin Abi Thalib", menunjukkan bahwa Rasulullah yang tidak berbicara karena kemauan hawa nafsu kecuali wahyu semata-mata, ingin mengatakan bahwa Hasan dan Husein adalah anaknya beliau s.a.w. 
Begitu juga hadis kedua, beliau mengungkapkan bahwa anak Fathimah bernasab kepada dirinya s.a.w. 
Pernyataan tersebut dipertegas oleh ayat yang di atas, dimana Allah sendiri menyebut mereka dengan istitah ‘anak-anaknya’ yakni putra-putra Muhammad Rasululullah s.a.w.
 
    Nabi juga sering bersabda: "Hasan dan Husein adalah anak-anakku". 
Atas dasar ucapan nabi inilah, Ali bin Abi Thalib berkata kepada anak-anaknya yang lain: "Kalian adalah anak-anakku sedangkan Hasan dan Husein adalah anak-anak Nabi". 
Karena itulah ketika Rasulullah s.a.w masib hidup mereka berdua memanggil Rasulullah "ayah". 
Sedang kepada Imam Ali.  
Husein memanggilnya Abu Al Hasan, sedang Hasan memanggil sebagai Abu al-Husein. 
Ketika Rasulullah s.a.w berpulang kerahmat Allah, barulah mereka berdua memanggil hadrat Ali dengan "ayah".
    Beginilah kedekatan nasab mereka berdua kepada Rasululullah s.a.w. 
Sejak hari lahirnya hingga berumur tujuh tahun Hasan mendapat kasih sayang serta naungan dan didikan langsung dari Rasululullah s.a.w, sehingga beliau dikenal sebagai seorang yang ramah, cerdas, murah hati, pemberani, serta berpengetahuan luas tentang seluruh kandungan setiap wahyu yang diturunkan saat nabi akan menyingkapnya kepada para sahabatnya.
    Dalam kesalehannya, beliau dikenal sebagai orang yang saleh, bersujud dan sangat khusyuk dalam shalatnya. Ketika berwudhu beliau gemetar dan di saat shalat pipinya basah oleh air mata sedang wajahnya pucat karena takut kepada Allah SWT. 
Dalam belas dan kasih sayangnya, beliau dikenal sebagai orang yang tidak segan untuk dengan pengemis dan para penghuni kota yang bertanya tentang masalah agama kepadanya.
    Dari sifat-sifat yang mulia inilah beliau tumbuh menjadi seorang dewasa yang tampan, bijaksana dan berwibawa. 
Setelah kepergian Rasulullah s.a.w beliau langsung berada di bawah naungan dan didikan ayahnya Ali bin Abi Thalib. 
Hampir tiga puluh tahun, beliau bernaung di bawah didikan ayahnya, hingga akhirnya pada tahun 40 Hijriyah. 
Ketika ayahnya terbunuh dengan pedang beracun yang dipukulkan Abdurrahman bin Muljam, Hasan mulai menjabat keimamahan yang ditunjuk oleh Allah SWT.
    Selama masa kepemimpinannya, beliau dihadapkan kepada orang yang sangat memusuhinya dan memusuhi ayahnya, Muawiyah bin Abi Sofyan dari bani Umayyah. Muawiyah bin Abi Sofyan yang sangat tamakan kepada kekuasaan selalu menentang dan menyerang Imam Hasan dengan kekuatan pasukannya. 
Sementara dengan kelicikannya dia menjanjikan hadiah-hadiah yang menarik bagi jeneral dan pengikut Imam Hasan yang mau menjadi pengikutnya.
    Karena banyaknya pengkhianatan yang dilakukan pengikut Imam Hasan yang merupakan akibat bujukan Muawiyah, akhirnya Imam Hasan menerima tawaran darinya. 
Perdamaian bersyarat itu dimaksudkan agar tidak terjadi pertumpahan darah yang lebih banyak di kalangan kaum muslimin. Namun, Muawiyah mengingkari seluruh isi perjanjian itu. 
Kejahatannya pun semakin merajalela, khususnya kepada keluarga Rasulullah dan orang yang mencintai mereka akan selalu ditekan dengan kekerasan dan diperlakukan dengan tidak senonoh.
    Dan pada tahun 50 Hijriah, beliau dikhianati oleh isterinya, Ja'dah putri Ash'ad, yang menaruh racun diminuman Imam Hasan. 
Menurut sejarah, Muawiyah adalah dalang dari usaha pembunuhan anak kesayangan Rasulullah s.a.w ini.
    Akhirnya manusia agung, pribadi mulia yang sangat dicintai oleh Rasulullah kini telah berpulang ke rahmatullah. 
Pemakamannya dihadiri oleh Imam Husein dan para anggota keluarga Bani Hasyim. 
Karena adanya beberapa pihak yang tidak setuju jika Imam Hasan dikuburkan didekat maqam Rasulullah dan ketidaksetujuannya itu dibuktikan dengan adanya hujan panah ke keranda jenazah Imam Hasan . 
Akhirnya untuk kesekian kalinya keluarga Rasulullah yang teraniaya terpaksa harus bersabar. 
Mereka kemudian menglihkan pemakaman Imam Hasan a.s. ke Jannatul Baqi' di Madinah. 
Pada tanggal 8 Syawal 1344 H (21 April 1926) kemudian, pekuburan Baqi' diratakan dengan tanah oleh pemerintah yang berkuasa di Hijaz.
    Imam Hasan telah tiada, pemakamannya pun digusur namun perjuangan serta pengorbanannya yang diberikan kepada Islam akan tetap terkenang di hati sanubari setiap insan yang mengaku dirinya sebagai pengikut dan pencinta Muhammad s.a.w serta Ahlul Baitnya.

Baca juga :

๐Ÿ’ฅLAKI-LAKI SERUPA NABI 

Setelah perkawinannya dengan Ali bin Abi Thalib, Fatimah, puteri Rasulullah , melahirkan anak laki-laki yang mungil, lucu, dan sehat.
 Putera yang lahir pada pertengahan bulan Ramadhan tahun ketiga Hijrah itu disambut oleh Rasulullah dengan penuh kecintaan.
 Rasulullah mengangkatnya, menggendong, merangkul, mendekapkan ke dadanya, kemudian membisikkan adzan di telinga sebelah kanan cucunya itu dan iqamat di telinga sebelah kirinya. Setelah itu, Rasulullah berpaling kepada Ali, menantunya, seraya berkata: “Akan engkau beri nama siapa anak ini?”
            “Demi Allah, aku tak akan mendahului Anda ya Rasulullah,”jawab Ali.
            “Aku sendiri tak akan mendahului Tuhanku,”kata Nabi lagi.
            Di dalam sebagian riwayat diceritakan, bahwa tak lama sesudah dialog tersebut, Jibril kemudian datang menyampaikan pesan tentang nama anak itu, yaitu: Hasan.
            Rasulullah sangat mencintai cucunya ini. 
Di antara sabda beliau sehubungan dengan Al Hasan adalah:
*”Barangsiapa ingin melihat pemuda ahli surga, maka hendaknya ia melihat Hasan bin Ali.”
*”Hasan adalah dari aku dan aku dari Hasan, Allah mencintai orang yang mencintainya.”
            Di dalam hadis yang lain disebutkan, bahwa suatu kali orang melihat Rasulullah s.a.w. memanggul Hasan bin Ali. Di antara orang yang melihat peristiwa itu ada yang mengatakan kepada Al Hasan:”Sungguh, ini adalah tunggangan yang paling nikmat, Nak.” Mendengar ucapan orang itu, Rasulullah saww berkata: “Penunggang yang paling menyenangkan adalah anak ini.”
            Atau, pada kali yang lain, ketika sedang bersujud, Rasulullah berasa bahwa Hasan menaiki pundak beliau. Maka Rasulullah pun melambatkan sujudnya sampai cucunya itu turun.
            Beliau juga pernah bersabda:”Engkau menyerupaiku dalam bentuk dan perangai.”
(Benarlah demikian. Bahkan, pada suatu hari Abu Bakar ash-Shiddiq menggendong Al Hasan sambil berkata: “Engkau lebih menyerupai Nabi daripada Ali.”)
            Sedangkan terhadap Al Hasan dan saudaranya Al Husain , Rasulullah bersabda:
            “Keduanya (Hasan dan Husain) adalah kembang mekarku di dunia.”
            “Keduanya ini adalah anakku dan anak dari anak perempuanku. Ya Tuhan, aku mencintai keduanya dan aku cinta kepada siapa yang mencintai keduanya.”
            Sabda-sabda tersebut di atas cukup menunjukkan kemuliaan Al Hasan.
            Dengan dekatnya hubungan antara Rasulullah dengan cucunya ini, dapatlah dimengerti bahwa dengan sendirinya Al Hasan sempat mengenyam hidup bersama Rasulullah untuk jangka waktu yang cukup lama.
 Ibu Al Hasan, Fatimah az Zahra, adalah satu-satunya puteri Rasulullah yang paling lama mendampingi hidup ayahandanya. 
Fatimah hadir di saat ayahandanya menghadap kembali kepada Allah SWT. Sedangkan ayah Al Hasan, Imam Ali, seperti sudah diterangkan, adalah orang yang sangat dekat dengan Nabi dan termasuk sahabat yang paling berilmu.
            Atas dasar kenyataan itulah maka orang tak lagi merasa sangsi terhadap keluasan ilmu Al Hasan di samping sifat-sifat luhur lain yang mendekat pada peribadinya, antara lain sifat kedermawanannya yang sangat menonjol.
            Tentang ilmunya, diriwayatkan bahwa, suatu hari, Al Hasan berjumpa dengan seorang Yahudi yang sudah tua. Yahudi tua itu tampak kepayahan. Tubuhnya lemah dan pakaiannya kumal. 
Siang itu, ia tengah memanggul sekendi air, berjalan di bawah terik matahari yang menyekat. Ketika kepayahan itulah ia berjumpa dengan Al Hasan yang berpakaian rapih bersih. 
Yahudi tersebut berhenti. 
Dipandangi cucu Rasulullah itu dari ujung rambut hingga ujung kakinya. 
Perbuatan tersebut dilakukannya berulang -ulang. 
Al Hasan merasa heran karenanya. 
Namun belum sempat ia menyampaikan sesuatu, orang tua itu lebih dulu berkata, “Wahai cucu Rasulullah. Ada pertanyaan yang aku ingin engkau menjawabnya!”
            “Tentang apakah itu?’ tanya Al Hasan.
            “Datukmu dulu pernah berkata, bahwa dunia ini adalah penjaranya orang Mukmin dan surganya orang kafir.”
            “Benar demikianlah adanya.”
            “Terus terang, aku melihat yang sebaiknya. Perhatikanlah keadaanku dan keadaanmu. Aku melihat dunia ini adalah sebagai surga bagimu yang mukmin, dan neraka bagiku yang kafir.”
            “Dari mana engkau menarik kesimpulan tersebut?”
            “Lihatlah. Engkau hidup dalam keadaan senang laksana di surga, sedangkan aku? Hidupku sangat sengsara, tak ubahnya dengan hidup di neraka.”
            “Engkau keliru, hai Yahudi. Sesungguhnya, apabila dibandingkan dengan apa yang akan diberikan Allah kepadaku di surga nanti, maka kesenanganku di dunia ini tak ada artinya, sehingga dunia ini ibarat neraka bagiku. 
Sebaliknya, apabila engkau tahu apa yang akan engkau terima di akhirat nanti, maka engkau akan tahu, bahwa hidupmu yang sekarang ini jauh lebih baik, sehingga di dunia ini engkau seakan berada di surga. 
Itulah makna ucapan kekeku Rasulullah s.a.w.”
            Mendengar jawaban Al Hasan yang sangat mengena itu, si Yahudi tertegun. 
Mulutnya terkunci, tak berkata apa-apa lagi.
            Di samping keluasan ilmunya, Al Hasan dikenal juga sebagai orang yang sangat dermawan. Pernah, pada suatu hari, Al Hasan melihat seseorang sedang berdoa. 
Orang tersebut mengadukan kesulitan hidupnya kepada Allah SWT. 
Mengetahui keadaan orang itu dan mendengar doanya, dengan serta merta Al Hasan memberinya uang dalam jumlah yang cukup besar, sehingga orang itu merasa sangat kegirangan.
            Atau pada hari yang lain, yaitu di tengah perjalanannya untuk menunaikan ibadah haji bersama adiknya, Al Husain, dan Ja’far bin Abdullah r.a., sekali lagi kedermawanan Al Hasan terungkap. Alkisah, dalam perjalanannya menuju Mekkah, ketiga orang ini kehabisan bekal. 
Tak ada lagi sisa makanan dan minuman yang dapat mereka gunakan untuk meneruskan perjalanan yang masih cukup jauh. 
Mereka sangat memerlukan tambahan bekal. 
Namun bagaimana?
            Di samping pasir yang tandus itu, di tengah kebingungan mereka, tiba-tiba tampak sebuah rumah. Mereka bertiga kemudin mendatangi rumah tersebut.
            “Assalamu’alaikum,” kata mereka hampir serempak.
            “Wa’alaikum salam,” terdengar seseorang menjawab dari dalam rumah. Orang itu kemudian keluar, yang ternyata adalah seorang wanita tua.
            “Dari manakah kalian?” tanya wanita itu.
            “Kami dari Madinah!” Al Hasan menjawab.
            “Siapakah kalian?”
            “Kami adalah dari Quraisy. Saya adalah Hasan bin Ali, ini adikku Husain, dan itu Ja’far dari kelurgaku juga.”
            “Hendak ke mana kiranya Tuan-Tuan?”
            “Kami hendak ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji.”
            “Adakah sesuatu yang dapat aku bantu untuk kalian?”
            “Terus terang, kami kehabisan bekal. Apakah ibu mempunyai air yang dapat kami bawa?”
            “Astaga..! Ada, ada…silahkan kalian bawa ini!” kata ibu itu sambil menyerahkan tempat airnya.
            “Masihkah kalian mempunyai makanan?”
 Tanya ibu itu lagi.
            “Tidak. Adakah ibu mempunyai makanan?
Kami bermaksud membelinya,” kata Al Hasan.
            “Membeli? Tidak Demi Allah, hanya itu satu-satunya yang aku miliki dan aku bersumpah Tuan-Tuan harus makan itu,” kata ibu tersebut seraya menunjuk satu-satunya domba yang ia miliki.
            Domba itu kemudian dipotong, sebagian dimasak untuk dimakan Al Hasan, Al Husain, dan Ja’far. Sedangkan yang sebagian lagi di bawakan si ibu sebagai bekal untuk melanjutkan perjalanan. Ibu tua itu tak mau menerima hadiah apa-apa dari ketiga orang tamunya.
            “Demi Allah, aku melakukannya dengan ikhlas,” kata ibu itu lagi.
            “Terima kasih banyak. Semoga Allah membalas kebaikan ibu. Kami berharap, apabila ibu datang ke Madinah, sudilah kiranya ibu singgah ke rumah kami. Kami akan senang sekali!” kata Al Hasan mewakili yang lain.
            “Insya Allah.”
            “Assalamu’alaikum,” kata mereka bertiga.
            “Wa’alaikum salam,” jawab ibu itu sambil memandangi kepergian ketiga tamunya.
            Tak lama setelah kepergian tamunya, suami wanita itu pulan. Ia terkejut melihat domba satu-satunya yang ia miliki tak lagi tertambat di tempatnya. Ia segera menanyakan hal tersebut kepada isterinya.
            “ke manakah gerangan domba kita?”
            “Oh … tadi ada tiga orang yang datang kemari. Mereka kehabisan bekal dalam perjalanan mereka untuk berhaji. Aku tak punya apa-apa selain domba itu. Maka ia kupotong dan sebagian dagingnya aku berikan kepada mereka.”
Begitulah jawab sang isteri.
            “Aduuh… Bagaimana engkau dapat berbuat demikian? Siapakah ketiga orang itu?’
            “Mereka mengatakan berasal dari suku Quraish.”
            “Dari mana kamu tahu? Bagaimana kamu bisa percaya begitu saja terhadap ucapan mereka? Kamu tidak mengenalnya, maka bagimana kamu bisa percaya bahawa mereka dari Quraish?” tanya sang suami tak habis pikir.
            “Tandanya tampak dari wajah-wajah mereka!” jawab isterinya.
            Dialog tersebut tersebut hanya berlangsung sampai di situ. Sang suami pun mengikhlaskan pemberian itu setelah mendengar keterangan isterinya.
            Alkisah, beberapa waktu kemudian, daerah tempat ibu itu tinggal tersarang penjenayah yang sangat dahsyat.
Orang-orang daerah tersebut semuanya pergi meninggalkan desa mereka untuk mencari nafkah. Mereka tersebar ke mana-mana. 
Ada yang ke Makkah, ke Madinah dan juga ke tempat-tempat lain. 
Nasib ibu tua dan suaminya pun tak berbeda dengan tetangganya yang lain. 
Sang ibu dan suaminya pergi menuju Madinah. 
Di kota yang baru ini mereka berjalan mencari nafkah untuk menyambung hidup.


Baca juga :


            Di tengah pengembaraannya menyusuri jalan-jalan di Madinah, tanpa sadar, ibu itu melewati rumah Al Hasan Sang ibu rupanya sudah tak ingat lagi kepada ketiga tamunya yang dahulu. 
Itulah sebabnya, ia tak berusaha mencari mereka. Secara kebetulan, ketika ibu itu lewat, Al Hasan sedang duduk di depan rumahnya. 
Al Hasan melihat mereka, dan mengejar sepasang suami-isteri itu, kemudian menegurnya.
            “Ingkatkah ibu kepada saya?” tanyanya.
            “Demi Allah, aku tidak ingat siapa engkau,” jawab ibu itu.
            “Ingkatkah ibu kepada tiga orang tamu yang kehabisan bekal di tengah perjalanan mereka untuk berhaji?”
            “Tidak!”
            “Baiklah, apabila ibu tak ingat kepada saya, maka saya masih dapat mengenali ibu. Saya adalah Hasan bin Ali, orang yang perarnah ibu beri makanan dan minuman untuk bekal saya dan dua orang saudara yang lain menuju Mekkah. 
Mari, silahkan ibu ke rumah saya!” kata Al Hasan seraya mengiringi keduanya menuju kediamannya.
            Di rumah Al Hasan itulah keduanya menceritkan keadaan yang menimpa desa mereka. Al Hasan menyambut keduanya dengan sambutan yang sangat baik. 
Dijamu kedua tamunya itu dengan penuh hormat. Sebelum pulang, Al Hasan memberi keduanya uang seribu dinar dan beberapa ekor kambing. 
Kemudian Al Hasan memanggil pembantunya dan berkata: “Antarkan kedua tamuku ini ke rumah saudaraku, Husain, dan ke rumah Ja’far!”
            “Baik Tuan!” kata kadamnya.
            Mereka bertiga kini dalam perjalanan menuju rumah Husain bin Ali. 
            “Assalamu’alaikum,” kata kadam Al Hasan.
            “Wa alaikum salam,” terdengar jawaban dari dalam rumah.
            Tak lama setelah itu, Al Husain membukakan pintu. Ia mengenal kadam Al Hasan.
            “Aku disuruh mengantarkan kedua tamu ini kemari,” kata teman itu. Al Husain melihat tamunya. Ternyata ia pun masih mengenal ibu tersebut. 
Al Husain segera menyambutnya dengan penuh hormat. “Mari, silakan masuk! Alhamdulillah, akhirnya Allah mempertemukan kita kembali.”
            “Allah Mahabesar!” jawab si ibu.
            Setelah berbincang-bincang, sebelum minta diri, Al Husain memberi ibu tersebut seribu dinar uang dan beberapa ekor domba.
            “Sungguh Anda sangat mulia,” kata si ibu. “Semoga Allah yang membalas semua kebaikan ini,” tambah suaminya.” Assalamu’alaikum.”
            “Wa’alaikumsalam!” jawab Al Husain.
            Mereka berdua mohon diri, dan bersama kadam Al Hasan pergi ke rumah Ja’far.
            Tak beda dengan Al Hasan dan Al Husain, Ja’far bin Abdullah pun menyambut kedua tamunya itu dengan baik. Ternyata, ia pun masih mengenal si ibu tua.
            “Bagaimana kabar kalian!” tanya Ja’far setelah membalas salam keduanya.
            “Alhamdulillah, Allah masih melindungi kami,” kata si suami. “Dan Mahabesar Allah yang telah mempertemukan kita kembali,” kata si isteri.
            Setelah lama mereka berbincang-bincang, Ja’far memerintahkan kadamnya menyiapkan beberapa ekor domba, sedangkan ia sendiri masuk mengambil uang. Ia pun memberi ibu tersebut uang seribu Dinar dan beberapa ekor Domba. 
Setelah mengucapkan terima kasih kepada Ja’far dan bersyukur kepada Allah SWT, mereka pun memohon pulang.
            Suami isteri itu kemudian kembali ke desanya dengan bekal tiga ribu dinar uang dan beberapa ekor domba. 
Mereka menjadi orang yang terkaya di desanya.
            Kedermawanan Al Hasan itu sesuai dengan sabda Nabi s.a.w.:”Kepada Al Hasan aku wariskan kesabaran dan kedermawananku.”
            Sejarah mencatat, bahwa setelah Imam Ali bin Abi Thalib wafat, orang ramai membaiat Al Hasan sebagai Khalifah yang baru. 
Pada masa itu, keadaan kaum Muslim masih belum bersatu benar.
 Pemberontakan telah terjadi sejak Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah. 
Berontakan-berontakan dengan beberapa kelompok kaum Muslimin – yang memerangi Imam Ali dengan alasan menuntut balas atas terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan tak lagi dapat dihindari.
 Di antara orang yang gigih menuntut balas atas kematian Utsman, adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ia yang pada masa pemerintahan Utsman menjadi gubenur di Syam – sudah sejak beberapa waktu sebelumnya menyiapkan tentara. Utsman adalah kerabatnya dari kalangan Bani Umayyah. 
Dengan tak memberi kesempatan kepada Imam Ali untuk menyelidiki kenapa terbunuhnya Utsman, Mu’awiyah berangkat memerangi Imam Ali. Sebenarnyalah, Mu’awiyah sangat menginginkan jabatan Khalifah. 
Karena ia sadar bahwa kaum Muslimin bakal memilih Ali bin Abi Thalib, maka ia buru-buru memerangi Imam Ali dengan dalil menuntut balas atas terbunuhnya Utsman. 
Dalam peperangan dengan Imam Ali itu, Mu’awiyah dan pengikutnya terdesak. Maka selamatlah mereka dari kehancuran.
            Namun demikian pemerintahan Imam Ali ternyata berakhir dengan peristiwa pembunuhan atasnya, ketika beliau sedang memimpin shalat Subuh. 
Suasana negara menjadi tidak menentu sepeninggal Imam Ali. 
Dalam keadaan kacau itulah Al Hasan dibaiat. Mu’awiyah tak tinggal diam mendengar pembaiatan atas Al Hasan. 
Ketika mulai menjabat sebagai Khalifah, Al Hasan yang sadar akan apa yang bakal dilakukan oleh Mu’awiyah, segera menulis surat kepada Mu’awiyah, mengingatkan akan pentingnya persatuan, dan meminta Mu’awiyah untuk juga membaiatnya. 
Surat itu ditulis dengan kata-kata yang baik. 
Tetapi Muawiyah tidak segera membalas surat Al Hasan. 
Mu’awiyah yang pada waktu itu juga mengangkat diri sebagai Khalifah, menyatakan bahwa ia lebih mampu dan lebih berhak menjadi Khalifah daripada Al Hasan. 
Mu’awiyah tak lupa menawarkan “suap” kepada Al Hasan.
            Singkat cerita, keadaan semakin dekat dengan pertelingkahan antara Al Hasan dengan Mu’awiyah. 
Dan Mu’awiyah mulai mencari pengaruh. Ia membujuk setiap orang dan kepala-kepala suku dengan bujukan uang. 
Tak sedikit orang yang karena bujukan duniawi itu akhirnya berpihak kepada Mu’awiyah. 
Setelah merasa kuat, Mu’awiyah kemudian menyiapkan pasukan dari Syam menuju Kufah.
            Al Hasan mengetahui semua rencana dan persiapan Mu’awiyah. 
Dengan cepat ia mengumpulkan penduduk Kufah, yang semuanya berpihak dan memaksa dia untuk menjadi Khalifah. 
Tapi, ternyata pengikut Al Hasan tak cukup setia seperti pengikut Mu’awiyah. 
Setelah pecah pertempuran, panglima pasukan Al Hasan sendiri belot, menjadi pengikut Mu’awiyah, karena imbuhan uang satu juta dirham.
            Berita pembelotan panglima perang Al Hasan itu segera tersebar. 
Perajurit lainnya yang mendengar berita itu kemudian menjadi lalai. 
Dengan membabi buta, mereka bahkan menyerang kemah Khalifah Al Hasan sendiri. 
Mereka merampas harta benda Al Hasan yang ada dikemah tersebut. 
Salah seorang dari mereka, Al Jarrah bin Asad, bahkan menyerang Al Hasan sehingga menimbulkan luka-luka pada tubuh beliau.
            Al Hasan berkata kepadanya, dan perkataannya itu juga ditujukan kepada yang lain: “Dulu kalian membunuh ayahku. Kini kalian menyerang dan berusaha untuk membunuh diriku.”
            Nampaknya, Al Hasan sudah benar-benar tak dapat mempercayai pengikutnya sendiri. 
Orang yang benar-benar setia kepadanya terlalu sedikit untuk dapat meneruskan peperangan. 
Dengan pertimbangan itu, dan mengingat pentingnya keutuhan dan persatuan umat, Al Hasan berniat mengakhiri perang yang jauh tak seimbang, karena hal itu hanya akan menambah banyaknya jumlah korban yang jatuh.
            Namun Al Hasan tidak semudah itu melepaskan jabatan dan membiarkan Mu’awiyah berkuasa semaunya. Sebelum menyerahkan kekhalifahan kepada Mu’awiyah, terlebih dahulu ia mengadakan perjanjian. 
Di antara isi perjanjian yang panjang tersebut, salah satu bagiannya menyebutkan, bahwa sepeninggal Mu’awiyah, kepemimpinan umat akan diserahkan kembali kepada kaum Muslimin untuk memilih sendiri pemimpin yang mereka kehendaki. 
Di sinilah tampak bagaimana Al Hasan benar-benar memperhatikan kepentingan kaum Muslimin. 
Pasal itu akhirnya dilanggar oleh Mu’awiyah yaitu dengan mengangkat putranya, Yazid, sebagai pengganti dirinya, sementara kaum Muslimin tak dapat berbuat apa-apa di bawah ancaman pedang dan sebahagiannya lagi luluh karena bujukan uang dan jabatan.
            Setelah dicapai kesepakatan dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, sebelum meninggalkan Iraq untuk menuju Madinah, Al Hasan sempat menyampaikan pesan dan kesannya untuk penduduk Iraq. Ia antara lain berkata:
            “Wahai penduduk Iraq, ketahuilah, bahwa ada tiga hal yang menyebabkan aku tak lagi berani menggantungkan diriku pada kalian dan tidak dapat mempercayai kalian. Pertama, kalian telah membunuh ayahku; kemudian kalian telah berusaha untuk membunuh aku; dan yang terakhir, kalian telah menyerang dan merampas barang-barang di kemahku. Aku yakin, bahwa orang yang menggantungkan nasibnya kepada kalian, pasti akan ditimpa kekalahan…”
            Setelah itu, Al Hasan meninggalkan Kufah menuju ke Madinah, Konon, penduduk Kufah menangisi perpindahan Al Hasan. Namun rupanya benarlah kata pepatah:”Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya.” Al Hasan tak lagi dapat mengubah pendiriannya.
            Telah bulat tekad Al Hasan untuk meninggalkan Kufah, betapapun orang menahannya. Ia kemudian hidup di Madinah, menekuni ibadah, mendalami ilmu, dan selalu mengisi waktunya dengan amal-amal yang dapat mendekatan diri kepada Allah SWT. Banyak waktu dihabiskannya di Masjid Rasulullah dan membantu setiap orang yang kesusahan.
            Al Hasan dikenal sebagai orang yang tak membeda-bedakan pangkat dan kedudukan. 
Suatu hari, sekelompok orang miskin mengundangnya untuk makan bersama. Al Hasan duduk, makan bersama mereka meski hanya bersantap dengan sepotong roti kering. 
Semua itu ia lakukan dengan sepenuh hati, tanpa bersifat perasaan terpaksa sedikit pun. 
Setelah itu, ia ganti mengundang orang-orang tersebut untuk makan dirumahnya. 
Atau pada kali yang lain, ia memenuhi undangan anak-anak kecil. Begitulah hari-hari Al Hasan di Madinah.
            Sampai ketetapan Allah datang kepadanya. Hari itu, 28 Safar tahun 50 Hijriyah, Al Hasan merasakan sesuatu yang tidak enak pada tubuhnya. Ia terbaring lemah. 
Al Husain, adik kandungnya, duduk disamping tubuh kakaknya. Ia merasa heran mengetahui sakit kakaknya yang sangat mendadak itu. Rupanya, Al Hasan telah diracuni.
            “Katakan, siapakah yang telah meracunimu?” tanya Al Husain.
            “Tiga kali sudah aku diracuni orang, namun yang sekali ini sungguh luar biasa!” kata Al Hasan. 
“Katakanlah, siapakah orang yang telah meracunimu itu!” pinta Al Husain mendesak.
            Rupanya, Al Hasan sengaja tak mau menyebutkan nama orang yang telah meracuninya, meskipun Al Husain mendesak menanyakan hal tersebut.


Baca juga :

           
 Tak ada catatan yang pasti tentang orang yang meracuni Al Hasan. 
Sebagian riwayat menyebutkan, bahwa Al Hasan diracuni oleh isterinya sendiri yang bernama Ja’dah binti Asy’ats.
Terbujuk oleh rayuan Mu’awiyah untuk dikawinkan dengan putranya yang bernama Yazid, ditambah imbuhan seratus ribu dinar, Ja’dah terpikat untuk membunuh Al Hasan. 
Diceritakan, bahwa Ja’dah kemudian menerima uang sebesar seratus ribu dinar itu, namun Mu’awiyah menolak untuk mengawinkan dia dengan Yazid. Ketika ditanya tentang alasannya tidak mengawinkan Ja’dah dengan Yazid, Mu’awiyah berkata: “Bagaimana mungkin aku berani mengawinkan dia dengan anakku? Apabila ia telah tega meracuni cucu Rasulullah s.a.w, maka apa pula yang akan dia lakukan terhadap puteraku, Yazid?” Ja’dah tertegun dan baru sadar setelah semuanya terjadi.
            Jenazah Al Hasan dimakamkan di pekuburan Baqi’, dekat makam neneknya, Fatimah binti Asad. Kaum muslimin berkabung mendengar berita wafatnya Al Hasan. 
Masih jelas dalam ingatan mereka, betapa Al Hasan sangat menyerupai Nabi hampir dalam semua hal. Kerinduan orang kepada Nabi yang biasanya terobati dengan hadirnya Al Hasan kini tak mungkin dinikmati lagi…

Jumat, 31 Juli 2020

11 AMALAN DAPAT JAMINAN RUMAH DI SURGA

                            ۞﷽۞

╭⊰✿️•┈•┈•⊰✿เงกৢ˚❁๐Ÿ•Œ❁˚เงก✿⊱•┈•┈•✿️⊱╮
11 AMALAN DAPAT JAMINAN RUMAH DI SURGA
•┈┈•⊰✿┈•เงกৢ❁˚๐ŸŒน๐ŸŒŸ๐ŸŒน˚❁เงก•┈✿⊱•┈┈•
                              ╭⊰✿ •̩̩̩͙े༊



ุจِุณْู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู…ِ ุงู„ู„ู‡ِ ุงู„ุฑَّุญْู…َู†ِ ุงู„ุฑَّุญِูŠْู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู…ِ
ุงู„ุณَّู„ุงَู…ُ ุนَู„َูŠْูƒُู…ْ ูˆَุฑَุญْู…َุฉُ ุงู„ู„ู‡ِ ูˆَุจَุฑَูƒَุงุชُู‡ُ

===================================

๐Ÿ’Ž Berikut ada beberapa amalan sederhana yang bila di amalkan akan dibangunkan rumah atau istana di surga. 
Amalan-amalan tersebut adalah:

1️⃣. Pertama: Membangun masjid dengan ikhlas karena Allah Ta'ala

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ู…َู†ْ ุจَู†َู‰ ู…َุณْุฌِุฏًุง ู„ِู„َّู‡ِ ูƒَู…َูْุญَุตِ ู‚َุทَุงุฉٍ ุฃَูˆْ ุฃَุตْุบَุฑَ ุจَู†َู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ู„َู‡ُ ุจَูŠْุชًุง ูِู‰ ุงู„ْุฌَู†َّุฉِ

➖ “Siapa yang membangun masjid karena Allah walaupun hanya selubang tempat burung bertelur atau lebih kecil, maka Allah bangunkan baginya (rumah) seperti itu pula di surga.” ๐Ÿ“™ (HR. Ibnu Majah, no. 738. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Mafhash qathaah dalam hadits artinya lubang yang dipakai burung menaruh telurnya dan menderum di tempat tesebut. Dan qathah adalah sejenis burung.

Hadits tentang keutamaan membangun masjid juga disebutkan dari hadits ‘Utsman bin ‘Affan. Di masa Utsman yaitu tahun 30 Hijriyah hingga khilafah beliau berakhir karena terbunuhnya beliau, dibangunlah masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Utsman katakan pada mereka yang membangun sebagai bentuk pengingkaran bahwa mereka terlalu bermegah-megahan. Lalu Utsman membawakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ู…َู†ْ ุจَู†َู‰ ู…َุณْุฌِุฏًุง ู„ِู„َّู‡ِ ุจَู†َู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ู„َู‡ُ ูِู‰ ุงู„ْุฌَู†َّุฉِ ู…ِุซْู„َู‡ُ

➖ “Siapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun baginya semisal itu di surga.” ๐Ÿ“™ (HR. Bukhari, no. 450; Muslim, no. 533).

Kata Imam Nawawi rahimahullah, maksud akan dibangun baginya semisal itu di surga ada dua tafsiran:

1- Allah akan membangunkan semisal itu dengan bangunan yang disebut bait (rumah). Namun sifatnya dalam hal luasnya dan lainnya, tentu punya keutamaan tersendiri. Bangunan di surga tentu tidak pernah dilihat oleh mata, tak pernah didengar oleh telinga, dan tak pernah terbetik dalam hati akan indahnya.

2- Keutamaan bangunan yang diperoleh di surga dibanding dengan rumah di surga lainnya adalah seperti keutamaan masjid di dunia dibanding dengan rumah-rumah di dunia. (Syarh Shahih Muslim, 5: 14)

2️⃣. Kedua: Membaca surat Al-Ikhlas sepuluh kali

Dari Mu’adz bin Anas Al-Juhaniy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ู…َู†ْ ู‚َุฑَุฃَ (ู‚ُู„ْ ู‡ُูˆَ ุงู„ู„َّู‡ُ ุฃَุญَุฏٌ) ุญَุชَّู‰ ูŠَุฎْุชِู…َู‡َุง ุนَุดْุฑَ ู…َุฑَّุงุชٍ ุจَู†َู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ู„َู‡ُ ู‚َุตْุฑุงً ูِู‰ ุงู„ْุฌَู†َّุฉِ

➖ “Siapa yang membaca qul huwallahu ahad sampai ia merampungkannya (surat Al-Ikhlas, pen.) sebanyak sepuluh kali, maka akan dibangunkan baginya rumah di surga.” 
๐Ÿ“™ (HR. Ahmad, 3: 437)

3️⃣. Ketiga: Mengerjakan shalat dhuha empat raka’at dan shalat sebelum Zhuhur empat raka’at*

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ู…َู†ْ ุตَู„َّู‰ ุงู„ุถُّุญَู‰ ุฃَุฑْุจَุนًุง، ูˆَู‚َุจْู„َ ุงู„ุฃُูˆู„َู‰ ุฃَุฑْุจَุนًุง ุจู†ูŠَ ู„َู‡ُ ุจِู‡َุง ุจَูŠْุชٌ ูِูŠ ุงู„ْุฌَู†َّุฉِ

➖ “Siapa yang shalat Dhuha empat raka’at dan shalat sebelum Zhuhur empat raka’at, maka dibangunkan baginya rumah di surga.” 
๐Ÿ“™ (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Awsath)

4️⃣. Keempat: Mengerjakan 12 raka’at shalat rawatib dalam sehari

Dari Ummu Habibah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ู…َู†ْ ุตَู„َّู‰ ุงุซْู†َุชَู‰ْ ุนَุดْุฑَุฉَ ุฑَูƒْุนَุฉً ูِู‰ ูŠَูˆْู…ٍ ูˆَู„َูŠْู„َุฉٍ ุจُู†ِู‰َ ู„َู‡ُ ุจِู‡ِู†َّ ุจَูŠْุชٌ ูِู‰ ุงู„ْุฌَู†َّุฉِ

➖ “Barangsiapa mengerjakan shalat sunnah dalam sehari-semalam sebanyak 12 raka’at, maka karena sebab amalan tersebut, ia akan dibangun sebuah rumah di surga.” 
๐Ÿ“™ (HR. Muslim, no. 728)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ู…َู†ْ ุซَุงุจَุฑَ ุนَู„َู‰ ุซِู†ْุชَู‰ْ ุนَุดْุฑَุฉَ ุฑَูƒْุนَุฉً ู…ِู†َ ุงู„ุณُّู†َّุฉِ ุจَู†َู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ู„َู‡ُ ุจَูŠْุชًุง ูِู‰ ุงู„ْุฌَู†َّุฉِ ุฃَุฑْุจَุนِ ุฑَูƒَุนَุงุชٍ ู‚َุจْู„َ ุงู„ุธُّู‡ْุฑِ ูˆَุฑَูƒْุนَุชَูŠْู†ِ ุจَุนْุฏَู‡َุง ูˆَุฑَูƒْุนَุชَูŠْู†ِ ุจَุนْุฏَ ุงู„ْู…َุบْุฑِุจِ ูˆَุฑَูƒْุนَุชَูŠْู†ِ ุจَุนْุฏَ ุงู„ْุนِุดَุงุกِ ูˆَุฑَูƒْุนَุชَูŠْู†ِ ู‚َุจْู„َ ุงู„ْูَุฌْุฑِ

➖ “Barangsiapa merutinkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari, maka Allah akan membangunkan bagi dia sebuah rumah di surga. Dua belas raka’at tersebut adalah empat raka’at sebelum zhuhur, dua raka’at sesudah zhuhur, dua raka’at sesudah maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya, dan dua raka’at sebelum shubuh.” 
(HR. Tirmidzi, no. 414; Ibnu Majah, no. 1140; An-Nasa’i, no. 1795. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

5️⃣. Kelima: Meninggalkan perdebatan

6️⃣. Keenam: Meninggalkan dusta

7️⃣. Ketujuh: Berakhlak mulia

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ุฃَู†َุง ุฒَุนِูŠู…ٌ ุจِุจَูŠْุชٍ ูِู‰ ุฑَุจَุถِ ุงู„ْุฌَู†َّุฉِ ู„ِู…َู†ْ ุชَุฑَูƒَ ุงู„ْู…ِุฑَุงุกَ ูˆَุฅِู†ْ ูƒَุงู†َ ู…ُุญِู‚ًّุง ูˆَุจِุจَูŠْุชٍ ูِู‰ ูˆَุณَุทِ ุงู„ْุฌَู†َّุฉِ ู„ِู…َู†ْ ุชَุฑَูƒَ ุงู„ْูƒَุฐِุจَ ูˆَุฅِู†ْ ูƒَุงู†َ ู…َุงุฒِุญًุง ูˆَุจِุจَูŠْุชٍ ูِู‰ ุฃَุนْู„َู‰ ุงู„ْุฌَู†َّุฉِ ู„ِู…َู†ْ ุญَุณَّู†َ ุฎُู„ُู‚َู‡ُ

➖ “Aku memberikan jaminan rumah di pinggiran surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar. Aku memberikan jaminan rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan kedustaan walaupun dalam bentuk candaan. Aku memberikan jaminan rumah di surga yang tinggi bagi orang yang bagus akhlaknya.” 
(HR. Abu Daud, no. 4800. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

8️⃣. Kedelapan: Mengucapkan alhamdulillah dan istirja’ (inna lillahi wa innaa ilaihi raaji’un) ketika anak kita wafat

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ุฅِุฐَุง ู…َุงุชَ ูˆَู„َุฏُ ุงู„ْุนَุจْุฏِ ู‚َุงู„َ ุงู„ู„َّู‡ُ ู„ِู…َู„ุงَุฆِูƒَุชِู‡ِ ู‚َุจَุถْุชُู…ْ ูˆَู„َุฏَ ุนَุจْุฏِู‰. ูَูŠَู‚ُูˆู„ُูˆู†َ ู†َุนَู…ْ. ูَูŠَู‚ُูˆู„ُ ู‚َุจَุถْุชُู…ْ ุซَู…َุฑَุฉَ ูُุคَุงุฏِู‡ِ. ูَูŠَู‚ُูˆู„ُูˆู†َ ู†َุนَู…ْ. ูَูŠَู‚ُูˆู„ُ ู…َุงุฐَุง ู‚َุงู„َ ุนَุจْุฏِู‰ ูَูŠَู‚ُูˆู„ُูˆู†َ ุญَู…ِุฏَูƒَ ูˆَุงุณْุชَุฑْุฌَุนَ. ูَูŠَู‚ُูˆู„ُ ุงู„ู„َّู‡ُ ุงุจْู†ُูˆุง ู„ِุนَุจْุฏِู‰ ุจَูŠْุชًุง ูِู‰ ุงู„ْุฌَู†َّุฉِ ูˆَุณَู…ُّูˆู‡ُ ุจَูŠْุชَ ุงู„ْุญَู…ْุฏِ

➖ “Apabila anak seorang hamba meninggal dunia, Allah berfirman kepada malaikat-Nya, “Kalian telah mencabut nyawa anak hamba-Ku?” Mereka berkata, “Benar.” Allah berfirman, “Kalian telah mencabut nyawa buah hatinya?” Mereka menjawab, “Benar.” Allah berfirman, “Apa yang diucapkan oleh hamba-Ku saat itu?” Mereka berkata, “Ia memujimu dan mengucapkan istirja’ (innaa lilaahi wa innaa ilaihi raaji’uun).” Allah berfirman, “Bangunkan untuk hamba-Ku di surga, dan namai ia dengan nama baitul hamdi (rumah pujian).” 
๐Ÿ“™ (HR. Tirmidzi, no. 1021; Ahmad, 4: 415)


Baca juga :

9️⃣. Kesembilan: Membaca doa masuk pasar

Dari Salim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, dari bapaknya Ibnu ‘Umar, dari kakeknya (‘Umar bin Al-Khattab), ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ู…َู†ْ ุฏَุฎَู„َ ุงู„ุณُّูˆู‚َ ูَู‚َุงู„َ ู„ุงَ ุฅِู„َู‡َ ุฅِู„ุงَّ ุงู„ู„َّู‡ُ ูˆَุญْุฏَู‡ُ ู„ุงَ ุดَุฑِูŠูƒُ ู„َู‡ُ ู„َู‡ُ ุงู„ْู…ُู„ْูƒُ ูˆَู„َู‡ُ ุงู„ْุญَู…ْุฏُ ูŠُุญْูŠِู‰ ูˆَูŠُู…ِูŠุชُ ูˆَู‡ُูˆَ ุญَู‰ٌّ ู„ุงَ ูŠَู…ُูˆุชُ ุจِูŠَุฏِู‡ِ ุงู„ْุฎَูŠْุฑُ ูˆَู‡ُูˆَ ุนَู„َู‰ ูƒُู„ِّ ุดَู‰ْุกٍ ู‚َุฏِูŠุฑٌ ูƒَุชَุจَ ุงู„ู„َّู‡ُ ู„َู‡ُ ุฃَู„ْูَ ุฃَู„ْูِ ุญَุณَู†َุฉٍ ูˆَู…َุญَุง ุนَู†ْู‡ُ ุฃَู„ْูَ ุฃَู„ْูِ ุณَูŠِّุฆَุฉٍ ูˆَุฑَูَุนَ ู„َู‡ُ ุฃَู„ْูَ ุฃَู„ْูِ ุฏَุฑَุฌَุฉٍ

➖ “Siapa yang masuk pasar lalu mengucapkan, “Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku walahul hamdu yuhyii wayumiit wa huwa hayyun laa yamuut biyadihil khoir wahuwa ‘alaa kulli syain qodiir (tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah yang memiliki kekuasaan dan segala pujian untuk-Nya.” Allah akan menuliskan untuknya sejuta kebaikan, menghapus darinya sejuta kejelekan, mengangkat untuknya sejuta derajat, dan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga.” 
๐Ÿ“™ (HR. Tirmidzi, no. 3428. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if)

Dalam riwayat lain disebutkan, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ู…َู†ْ ุฏَุฎَู„َ ุงู„ุณُّูˆْู‚َ ูَุจَุงุนَ ูِูŠْู‡َุง ูˆَุงุดْุชَุฑَู‰ ، ูَู‚َุงู„َ : ู„ุงَ ุฅِู„َู‡ َุฅِู„ุงَّ ุงู„ู„ู‡ُ ูˆَุญْุฏَู‡ُ ู„ุงَ ุดَุฑِูŠْูƒَ ู„َู‡ُ ، ู„َู‡ُ ุงู„ู…ู„ْูƒُ ، ูˆَู„َู‡ُ ุงู„ุญَู…ْุฏُ ، ูŠُุญْูŠِูŠ ูˆَูŠُู…ِูŠْุชُ ، ูˆَู‡ُูˆَ ุนَู„َู‰ ูƒُู„ِّ ุดَูŠْุกٍ ู‚َุฏِูŠْุฑ ، ูƒَุชَุจَ ุงู„ู„ู‡ُ ู„َู‡ُ ุฃَู„ْูَ ุฃَู„ْูِ ุญَุณَู†َุฉٍ ، ูˆَู…َุญَุง ุนَู†ْู‡ُ ุฃَู„ْูَ ุฃَู„ْูِ ุณَูŠِّุฆَุฉٍ ، ูˆَุจَู†َู‰ ู„َู‡ُ ุจَูŠْุชًุง ูِูŠ ุงู„ุฌَู†َّุฉِ

➖ “Siapa yang memasuki pasar lalu ia melakukan jual beli di dalamnya, lantas mengucapkan: Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, yuhyi wa yumiit wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir; maka Allah akan mencatat baginya sejuta kebaikan, akan menghapus darinya sejuta kejelekan dan akan membangunkan baginya rumah di surga.” 
๐Ÿ“™ (HR. Al-Hakim dalam Mustadrak, 1: 722)

Meskipun riwayatnya dha’if atau lemah namun karena kita diperintahkan berdzikir ketika orang itu lalai seperti kala di pasar, maka dzikir di atas masih boleh diamalkan. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“ุฅุฐุง ุชุถู…ู†ุช ุฃุญุงุฏูŠุซ ุงู„ูุถุงุฆู„ ุงู„ุถุนูŠูุฉ ุชู‚ุฏูŠุฑุงً ูˆุชุญุฏูŠุฏุงً ؛ ู…ุซู„ ุตู„ุงุฉ ููŠ ูˆู‚ุช ู…ุนูŠู† ، ุจู‚ุฑุงุกุฉ ู…ุนูŠู†ุฉ ، ุฃูˆ ุนู„ู‰ ุตูุฉ ู…ุนูŠู†ุฉ ؛ ู„ู… ูŠุฌุฒ ุฐู„ูƒ – ุฃูŠ ุงู„ุนู…ู„ ุจู‡ุง – ู„ุฃู† ุงุณุชุญุจุงุจ ู‡ุฐุง ุงู„ูˆุตู ุงู„ู…ุนูŠู† ู„ู… ูŠุซุจุช ุจุฏู„ูŠู„ ุดุฑุนูŠ ، ุจุฎู„ุงู ู…ุง ู„ูˆ ุฑูˆูŠ ููŠู‡ : (ู…َู† ุฏุฎู„ ุงู„ุณูˆู‚ ูู‚ุงู„ : ู„ุง ุฅู„ู‡ ุฅู„ุง ุงู„ู„ู‡ ูƒุงู† ู„ู‡ ูƒุฐุง ูˆูƒุฐุง) ูุฅู† ุฐูƒุฑ ุงู„ู„ู‡ ููŠ ุงู„ุณูˆู‚ ู…ุณุชุญุจ ، ู„ู…ุง ููŠู‡ ู…ู† ุฐูƒุฑ ุงู„ู„ู‡ ุจูŠู† ุงู„ุบุงูู„ูŠู† ، ูุฃู…ุง ุชู‚ุฏูŠุฑ ุงู„ุซูˆุงุจ ุงู„ู…ุฑูˆูŠ ููŠู‡ ูู„ุง ูŠุถุฑ ุซุจูˆุชู‡ ูˆู„ุง ุนุฏู… ุซุจูˆุชู‡

➖ “Jika suatu hadits yang menerangkan fadhilah atau keutamaan suatu amalan dari sisi jumlah atau pembatasan tertentu seperti shalat di waktu tertentu, membaca bacaan tertentu, atau ada tata cara tertentu, tidak boleh diamalkan jika haditsnya berasal dari hadits dha’if. Karena menetapkan tata cara yang khusus dalam ibadah haruslah ditetapkan dengan dalil.

Adapun mengenai doa masuk pasar yaitu haditsnya berbunyi, siapa yang masuk pasar lantas membaca laa ilaha illallah dan seterusnya, maka perlu dipahami bahwa secara umum berdzikir ketika masuk pasar itu disunnahkan. Karena kita diperintahkan berdzikir saat orang-orang itu lalai. Besarnya pahala yang disebutkan dalam hadits tersebut (hingga disebutkan sejuta, pen.) tidaklah menimbulkan problema ketika bacaan tersebut diamalkan, baik nantinya hadits tersebut dihukumi shahih ataukah tidak." 
๐Ÿ“š(Majmu’ Al-Fatawa, 18: 67)

Dalil umum yang memerintahkan kita banyak dzikir termasuk di pasar adalah hadits berikut.

Dari ‘Abdullah bin Busr, ia berkata,

ุฌَุงุกَ ุฃَุนْุฑَุงุจِูŠَّุงู†ِ ุฅِู„َู‰ ุฑَุณُูˆู„ِ ุงู„ู„َّู‡ِ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ูَู‚َุงู„َ ุฃَุญَุฏُู‡ُู…َุง ูŠَุง ุฑَุณُูˆู„َ ุงู„ู„َّู‡ِ ุฃَู‰ُّ ุงู„ู†َّุงุณِ ุฎَูŠْุฑٌ ู‚َุงู„َ « ู…َู†ْ ุทَุงู„َ ุนُู…ُุฑُู‡ُ ูˆَุญَุณُู†َ ุนَู…َู„ُู‡ُ ». ูˆَู‚َุงู„َ ุงู„ุขุฎَุฑُ ูŠَุง ุฑَุณُูˆู„َ ุงู„ู„َّู‡ِ ุฅِู†َّ ุดَุฑَุงุฆِุนَ ุงู„ุฅِุณْู„ุงَู…ِ ู‚َุฏْ ูƒَุซُุฑَุชْ ุนَู„َู‰َّ ูَู…ُุฑْู†ِู‰ ุจِุฃَู…ْุฑٍ ุฃَุชَุดَุจَّุซُ ุจِู‡ِ. ูَู‚َุงู„َ ู„ุงَ ูŠَุฒَุงู„ُ ู„ِุณَุงู†ُูƒَ ุฑَุทْุจุงً ู…ِู†ْ ุฐِูƒْุฑِ ุงู„ู„َّู‡ِ ุนَุฒَّ ูˆَุฌَู„َّ

➖“Ada dua orang Arab (badui) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas salah satu dari mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, manusia bagaimanakah yang baik?” “Yang panjang umurnya dan baik amalannya,” jawab beliau. Salah satunya lagi bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syari’at Islam amat banyak. Perintahkanlah padaku suatu amalan yang bisa kubergantung padanya.” “Hendaklah lisanmu selalu basah untuk berdzikir pada Allah,” jawab beliau. 
(HR. Ahmad 4: 188, sanad shahih kata Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)

Hadits ini menunjukkan bahwa dzikir itu dilakukan setiap saat, bukan hanya di masjid, sampai di sekitar orang-orang yang lalai dari dzikir, kita pun diperintahkan untuk tetap berdzikir.

Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, 
➖ “Ketika hati seseorang terus berdzikir pada Allah maka ia seperti berada dalam shalat. Jika ia berada di pasar lalu ia menggerakkan kedua bibirnya untuk berdzikir, maka itu lebih baik.” 
๐Ÿ“š(Lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 524)

๐Ÿ”Ÿ. Kesepuluh: Menutup celah dalam shaf shalat

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ู…َู†ْ ุณَุฏَّ ูُุฑْุฌَุฉً ุจَู†َู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ู„َู‡ُ ุจَูŠْุชًุง ูِูŠ ุงู„ุฌَู†َّุฉِ ูˆَุฑَูَุนَู‡ُ ุจِู‡َุง ุฏَุฑَุฌَุฉً

➖ “Barang siapa yang menutupi suatu celah (dalam shaf), niscaya Allah akan mengangkat derajatnya karena hal tersebut dan akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga.” 
๐Ÿ“™ (HR. Al-Muhamili dalam Al-Amali, 2: 36. Disebutkan dalam Ash-Shahihah, no. 1892)

1️⃣1️⃣. Kesebelas: Beriman pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Fadhalah bin ‘Ubaid radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ุฃَู†َุง ุฒَุนِูŠู…ٌ ูˆَุงู„ุฒَّุนِูŠู…ُ ุงู„ْุญَู…ِูŠู„ُ ู„ِู…َู†ْ ุขู…َู†َ ุจِูŠ ูˆَุฃَุณْู„َู…َ ูˆَู‡َุงุฌَุฑَ ุจِุจَูŠْุชٍ ูِูŠ ุฑَุจَุถِ ุงู„ْุฌَู†َّุฉِ ูˆَุจِุจَูŠْุชٍ ูِูŠ ูˆَุณَุทِ ุงู„ْุฌَู†َّุฉِ ูˆَุฃَู†َุง ุฒَุนِูŠู…ٌ ู„ِู…َู†ْ ุขู…َู†َ ุจِูŠ ูˆَุฃَุณْู„َู…َ ูˆَุฌَุงู‡َุฏَ ูِูŠ ุณَุจِูŠู„ِ ุงู„ู„َّู‡ِ ุจِุจَูŠْุชٍ ูِูŠ ุฑَุจَุถِ ุงู„ْุฌَู†َّุฉِ ูˆَุจِุจَูŠْุชٍ ูِูŠ ูˆَุณَุทِ ุงู„ْุฌَู†َّุฉِ ูˆَุจِุจَูŠْุชٍ ูِูŠ ุฃَุนْู„َู‰ ุบُุฑَูِ ุงู„ْุฌَู†َّุฉِ ู…َู†ْ ูَุนَู„َ ุฐَู„ِูƒَ ูَู„َู…ْ ูŠَุฏَุนْ ู„ِู„ْุฎَูŠْุฑِ ู…َุทْู„َุจًุง ูˆَู„َุง ู…ِู†ْ ุงู„ุดَّุฑِّ ู…َู‡ْุฑَุจًุง ูŠَู…ُูˆุชُ ุญَูŠْุซُ ุดَุงุกَ ุฃَู†ْ ูŠَู…ُูˆุชَ

➖ “Aku menjamin orang yang beriman kepadaku, masuk islam dan berhijrah dengan sebuah rumah di pinggir surga, di tengah surga, dan surga yang paling tingggi. Aku menjamin orang yang beriman kepadaku, masuk islam dan berjihad dengan rumah di pinggir surga, di tengah surga dan di surga yang paling tinggi. Barangsiapa yang melakukan itu, maka ia tidak membiarkan satu pun kebaikan, dan ia lari dari setiap keburukan, ia pun akan meninggal, di mana saja Allah kehendaki untuk meninggal." 
๐Ÿ“™ (HR. An-Nasa’i, no. 3135. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

๐Ÿ’Ž Semoga kita dimudahkan mendapatkan kaveling rumah atau istana di surga. 
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.


Baca juga :

Kamis, 30 Juli 2020

MAKNA DAN KEUTAMAAN MUHASABAH

                            ۞﷽۞

╭⊰✿️•┈•┈•⊰✿เงกৢ˚❁๐Ÿ•Œ❁˚เงก✿⊱•┈•┈•✿️⊱╮
" MAKNA DAN KEUTAMAAN MUHASABAH "
•┈┈•⊰✿┈•เงกৢ❁˚๐ŸŒน๐ŸŒŸ๐ŸŒน˚❁เงก•┈✿⊱•┈┈•
                              ╭⊰✿ •̩̩̩͙े༊


ุจِุณْู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู…ِ ุงู„ู„ู‡ِ ุงู„ุฑَّุญْู…َู†ِ ุงู„ุฑَّุญِูŠْู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู…ِ
ุงู„ุณَّู„ุงَู…ُ ุนَู„َูŠْูƒُู…ْ ูˆَุฑَุญْู…َุฉُ ุงู„ู„ู‡ِ ูˆَุจَุฑَูƒَุงุชُู‡ُ

===================================

MAKNA DAN PENGERTIAN MUHASABAH

๐ŸŒŸTujuan manfaat muhasabah diri di dalam Islam perlu untuk diketahui dan juga dipahami dengan baik oleh umat islam itu sendiri. 
Karena bila dijalankan dengan baik akan hakekat arti makna sesungguhnya dari muhasabah akan banyak manfaat yang akan diperoleh oleh manusia itu sendiri baik untuk kehidupan dunia dan akheratnya kelak.

๐ŸŒŸMuhasabah berasal dari akar kata hasiba yahsabu hisab, yang artinya secara etimologis adalah melakukan perhitungan. Dalam terminologi syari, makna definisi pengertian muhasabah adalah sebuah upaya evaluasi diri terhadap kebaikan dan keburukan dalam semua aspeknya.

๐ŸŒŸBaik hal tersebut adalah bersifat vertikal, hubungan manusia hamba dengan Allah. Maupun secara hubungan horisontal, yaitu hubungan manusia dengan sesama manusia yang lainnya dalam kehidupan sosial.

๐ŸŒŸIa merupakan salah satu sarana yang dapat mengantarkan manusia mencapai tingkat kesempurnaan sebagai hamba Allah SWT.

๐ŸŒŸMuhasabah Diri berarti introspeksi akan dirinya sendiri, menghitung diri dengan amal yang telah dilakukan dari masa-masa yang telah lalu. Manusia yang beruntung adalah manusia yang tahu akan dirinya sendiri.

๐ŸŒŸDan manusia beruntung akan selalu mempersiapkan dirinya untuk kehidupan kelak yang abadi di yaumul akhir di akhirat yang pasti adanya.

๐ŸŒŸDengan melaksanakan muhasabah, seorang hamba akan selalu menggunakan setiap waktu dari detik, menit, jam dan harinya serta keseluruhan jatah umur kehidupannya di dunia dengan sebaik-baiknya demi meraih keridhoan Allah Ta'ala. 

๐ŸŒŸDengan melakukan penuh akan perhitungan baik itu dalam hal amal ibadah yang wajib dan sunnah. Serta juga muhasabah terhadap amalan sholeh amalan kebaikan yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat secara sosial dan kehidupannya sebagai seorang hamba kepada Allah Sang Khalik.

๐ŸŒŸAllah SWT memerintahkan hamba untuk selalu mengintrospeksi dirinya bermuhasabah diri dengan meningkatkan keimanan serta ketakwaannya kepada Allah Ta'ala.

DALIL TENTANG MUHASABAH

๐ŸŒŸ Berikut dalil-dalil mengenai makna hakekat muhasabah antara lain adalah sebagai berikut :
➖"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" 
๐Ÿ“–(QS.Al-Hasyr (59):18)."

➖Dari Syadad bin Aus r.a, dari Rasulullah SAW, bahwa beliau berkata, "Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT". 
๐Ÿ“™(HR. Imam Turmudzi)


Baca juga :


MANFAAT KEUTAMAAN MUHASABAH

๐ŸŒŸAda beberapa manfaat faedah tujuan serta keutamaan keistimewaan dari muhasabah bagi setiap orang yang beriman yaitu :
Dengan bermuhasabah diri, maka diri setiap muslim akan bisa mengetahui akan aib serta kekurangan dirinya sendiri. Baik itu dalam hal amalan ibadah, kegiatan yang memberikan manfaat untuk banyak manusia. 
Sehingga dengan demikian akan bisa memperbaiki diri apa-apa yang dirasa kurang pada dirinya.
Dalam hal ibadah, kita akan semakin tahu akan hak kewajiban kita sebagai seorang hambaNya dan terus memperbaiki diri dan mengetahui hakekat ibadah bahwasannya manfaat hikmah ibadah adalah demi kepentingan diri kita sendiri. 
Bukan demi kepentingan Allah Ta'ala. 
Karena kita lah manusia yang lemah dan penuh dosa yang memerlukan akan pengampunan dosa-dosa kita yang banyak.
Mengetahui akan segala sesuatu baik itu kecil maupun besar atas apa yang kita lakukan di dunia ini, akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akherat. Inilah salah satu hikmah muhasabah dalam diri setiap manusia.
Membenci hawa nafsu dan mewaspadainya. Dan senantiasa melaksanakan amal ibadah serta ketaatan dan menjauhi segala hal yang berbau kemaksiatan, agar menjadi ringan hisab di hari akhirat kelak.

๐ŸŒŸIntropeksi diri dalam agama adalah bermakna evaluasi diri sebagai salah satu pesan Rasulullah SAW, sangatlah penting dilakukan oleh setiap diri orang Muslim. Dengan sering melakukan muhasabah yang sesungguhnya, ia akan mengetahui berbagai kelemahan, kekurangan dan kesalahan yang ia lakukan. 

KESUKSESAN HIDUP SEORANG MUSLIM 

๐ŸŒŸSalah satu kunci meraih kesuksesan hidup dunia akherat adalah dengan melakukan muhasabah diri. Intropeksi dan evaluasi terhadap dirinya sendiri.

๐ŸŒŸHadits di atas dibuka Rasulullah dengan sabdanya, ‘Orang yang pandai (sukses) adalah yang mengevaluasi dirinya serta beramal untuk kehidupan setelah kematiannya.’ Ungkapan sederhana ini sungguh menggambarkan sebuah visi yang harus dimiliki seorang muslim. Sebuah visi yang membentang bahkan menembus dimensi kehidupan dunia, yaitu visi hingga kehidupan setelah kematian.

๐ŸŒŸSeorang muslim tidak seharusnya hanya berwawasan sempit dan terbatas, sekedar pemenuhan keinginan untuk jangka waktu sesaat. Namun lebih dari itu, seorang muslim harus memiliki visi dan planing perencanaan untuk kehidupannya yang lebih kekal abadi di alam akherat kelak.

๐ŸŒŸKarena orang sukses adalah yang mampu mengatur keinginan singkatnya demi keinginan jangka panjangnya. Orang bertakwa adalah yang "rela" mengorbankan keinginan duniawinya, demi tujuan yang lebih mulia, "kebahagiaan kehidupan ukhrawi."

๐ŸŒŸMuhasabah atau evaluasi atas visi inilah yang digambarkan oleh Rasulullah saw. sebagai kunci pertama dari kesuksesan. Selain itu, Rasulullah saw. juga menjelaskan kunci kesuksesan yang kedua, yaitu action after evaluation. Artinya setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan.

๐ŸŒŸDan hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya dalam hadits di atas dengan ’dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’ Potongan hadits yang terakhir ini diungkapkan Rasulullah saw. langsung setelah penjelasan tentang muhasabah.

๐ŸŒŸKarena muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak lanjut atau perbaikan.

๐ŸŒŸTerdapat hal menarik yang tersirat dari hadits di atas, khususnya dalam penjelasan Rasulullah saw. mengenai kesuksesan. Orang yang pandai senantiasa evaluasi terhadap amalnya, serta beramal untuk kehidupan jangka panjangnya yaitu kehidupan akhirat.

๐ŸŒŸDan evaluasi tersebut dilakukan untuk kepentingan dirinya, dalam rangka peningkatan kepribadiannya sendiri.

๐ŸŒŸSementara kebalikannya, yaitu kegagalan. Disebut oleh Rasulullah saw, dengan "orang yang lemah", memiliki dua ciri mendasar yaitu orang yang mengikuti hawa nafsunya, membiarkan hidupnya tidak memiliki visi, tidak memiliki planing, tidak ada action dari planingnya, terlebih-lebih memuhasabahi perjalanan hidupnya.

๐ŸŒŸSedangkan yang kedua adalah memiliki banyak angan-angan dan khayalan, "berangan-angan terhadap Allah." Maksudnya, adalah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, sebagai berikut : Dia (orang yang lemah), bersamaan dengan lemahnya ketaatannya kepada Allah dan selalu mengikuti hawa nafsunya, tidak pernah meminta ampunan kepada Allah, bahkan selalu berangan-angan bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosanya.

Semoga bermanfaat
Barakallaahu fiikum


Baca juga :

Rabu, 29 Juli 2020

SYAHIDNYA: PEMILIK PEDANG DZULFIKAR KHULAFAUR RASYIDIN AKHIR ALI BIN ABU THALIB

۞﷽۞

            ╭⊰✿️┈•┈•⊰✿๐ŸŒŸ✿⊱•┈•┈✿️⊱╮
SYAHIDNYA: PEMILIK PEDANG DZULFIKAR
KHULAFAUR RASYIDIN AKHIR ALI BIN ABU THALIB 
           •┈┈•⊰✿┈•๐Ÿ”ธ️๐ŸŒน๐Ÿ”ธ️•┈✿⊱•┈┈•
                              ╭⊰✿ •̩̩̩͙े༊


ุจِุณْู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู…ِ ุงู„ู„ู‡ِ ุงู„ุฑَّุญْู…َู†ِ ุงู„ุฑَّุญِูŠْู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู…ِ 
ุงู„ุณَّู„ุงَู…ُ ุนَู„َูŠْูƒُู…ْ ูˆَุฑَุญْู…َุฉُ ุงู„ู„ู‡ِ ูˆَุจَุฑَูƒَุงุชُู‡ُ

     Amirul Mukminin menghadapi masalah yang berat, kondisi negara saat itu tidak stabil, pasukan beliau di Iraq dan di daerah lainnya membangkang perintah beliau, mereka menarik diri dari pasukan. Kondisi di wilayah Syam juga semakin memburuk. Penduduk Syam tercerai berai ke utara dan selatan. Setelah peristiwa tahkim penduduk Syam menyebut Mu’awiyah sebagai amir. Seiring bertambahnya kekuatan penduduk Syam semakin lemah pula kedudukan penduduk Iraq. Padahal amir mereka adalah Ali bin Abi Thalib ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡. sebaik-baik manusia di atas muka bumi pada zaman itu, beliau yang paling taat, paling zuhud, paling alim dan paling takut kepada Allah. Namun walaupun demikian, mereka meninggalkannya dan membiarkannya seorang diri. 

Padahal Ali Radhiyallahu Anhu telah memberikan hadiah-hadiah yang melimpah dan harta-harta yang banyak. Begitulah perlakuan mereka terhadap beliau, hingga beliau tidak ingin hidup lebih lama dan mengharapkan kematian. Karena banyaknya fitnah dan merebaknya pertumpahan darah. Beliau sering berkata, ” Apakah gerangan yang menahan peristiwa yang dinanti-nanti itu? Mengapa ia belum juga terbunuh?” Kemudian beliau berkata, “Demi Allah, aku akan mewarnai ini sembari menunjuk jenggot beliau- dari sini!” sembari menunjuk kepala beliau.54


KRONOLOGIS TERBUNUHNYA ALI ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡

Ibnu Jarir dan pakar-pakar sejarah lainnya55menyebutkan bahwa tiga orang Khawarij berkumpul, mereka adalah Abdurrahman bin Amru yang dikenal dengan sebutan Ibnu Muljam al-Himyari al-Kindi sekutu Bani Jabalah dari suku Kindah al-Mishri, al-Burak bin Abdillah at-Tamimi dan Amru bin Bakr at-Tamimi.56 Mereka mengenang kembali perbuatan Ali bin Abi Thalib yang membunuh teman-teman mereka di Nahrawan, mereka memohon rahmat buat teman-teman mereka itu. Mereka berkata, “Apa yang kita lakukan sepeninggal mereka? Mereka adalah sebaik-baik manusia dan yang paling banyak shalatnya, mereka adalah penyeru manusia kepada Allah. Mereka tidak takut celaan orang-orang yang suka mencela dalam menegakkan agama Allah. Bagaimana kalau kita tebus diri kita lalu kita datangi pemimpin-pemimpin yang sesat itu kemudian kita bunuh mereka sehingga kita membebaskan negara dari kejahatan mereka dan kita dapat membalas dendam atas kematian teman-teman kita.”

Ibnu Muljam berkata, “Aku akan menghabisi Ali bin Abi Thalib!”

Al-Burak bin Abdillah berkata, “Aku akan menghabisi Mu’awiyah bin Abi Sufyan.”

Amru bin Bakr berkata, “Aku akan menghabisi Amru bin al-Ash.”

Merekapun berikrar dan mengikat perjanjian untuk tidak mundur dari niat semula hingga masing-masing berhasil membunuh targetnya atau terbunuh. Merekapun mengambil pedang masing-masing sambil menyebut nama sahabat yang menjadi targetnya. Mereka sepakat melakukannya serempak pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H. Kemudian ketiganya berangkat menuju tempat target masing-masing.

Adapun Ibnu Muljam berangkat ke Kufah. Setibanya di sana ia menyembunyikan identitas, hingga terhadap teman-temannya dari kalangan Khawarij yang dahulu bersamanya. Ketika ia sedang duduk-duduk bersama beberapa orang dari Bani Taim ar-Ribab, mereka mengenang teman-teman mereka yang terbunuh pada peperangan Nahrawan. Tiba-tiba datanglah seorang wanita bernama Qatham binti Asy-Syijnah, ayah dan abangnya dibunuh oleh Ali pada peperangan Nahrawan. Ia adalah wanita yang sangat cantik dan populer. Dan ia telah mengkhususkan diri beribadah dalam masjid jami’. Demi melihatnya Ibnu Muljam mabuk kepayang. Ia lupa tujuannya datang ke Kufah. Ia meminang wanita itu. Qatham mensyaratkan mahar tiga ribu dirham, seorang khadim, budak wanita dan membunuh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu untuk dirinya. Ibnu Muljam berkata, “Engkau pasti mendapatkannya, demi Allah tidaklah aku datang ke kota ini melainkan untuk membunuh Ali.”

Lalu Ibnu Muljam menikahinya dan berkumpul dengannya. Kemudian Qathami mulai mendorongnya untuk melaksanakan tugasnya itu. Ia mengutus seorang lelaki dari kaumnya bernama Wardan, dari Taim Ar-Ribab, untuk menyertainya dan melindunginya. Lalu Ibnu Muljam juga menggaet seorang lelaki lain bernama Syabib bin Bajrah al-Asyja’i al-Haruri. Ibnu Muljam berkata kepadanya, “Maukah kamu memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat?”

“Apa itu?” Tanyanya.

“Membunuh Ali!” Jawab Ibnu Muljam.

Ia berkata, “Celaka engkau, engkau telah mengatakan perkara yang sangat besar! Bagaimana mungkin engkau mampu membunuhnya?”

Ibnu Muljam berkata, “Aku mengintainya di masjid, apabila ia keluar untuk mengerjakan shalat subuh, kita mengepungnya dan kita membunuhnya. Apabila berhasil maka kita merasa puas dan kita telah membalas dendam. Dan bila kita terbunuh maka apa yang tersedia di sisi Allah lebih baik dari-pada dunia.”

Ia berkata, “Celaka engkau, kalaulah orang itu bukan Ali tentu aku tidak keberatan melakukannya, engkau tentu tahu senioritas beliau dalam Islam dan kekerabatan beliau dengan Rasulullah ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู…. Hatiku tidak terbuka untuk membunuhnya.”

Ibnu Muljam berkata, “Bukankah ia telah membunuh teman-teman kita di Nahrawan?”

“Benar!” jawabnya.

“Marilah kita bunuh ia sebagai balasan bagi teman-teman kita yang telah dibunuhnya” kata Ibnu Muljam.

Beberapa saat kemudian Syabib menyambutnya.

Masuklah bulan Ramadhan. 
Ibnu Muljam membuat kesepakatan dengan teman-temannya pada malam Jum’at 17 Ramadhan. Ibnu Muljam berkata, “Malam itulah aku membuat kesepakatan dengan teman-temanku untuk membunuh target masing-masing. 
Lalu mulailah ketiga orang ini bergerak, yakni Ibnu Muljam, Wardan dan Syabib, dengan menghunus pedang masing-masing. 
Mereka duduk di hadapan pintu57yang mana Ali biasa keluar dari-nya. 
Ketika Ali keluar, beliau membangunkan orang-orang untuk shalat sembari berkata, “Shalat….shalat!” 
Dengan cepat Syabib menyerang dengan pedang-nya dan memukulnya tepat mengenai leher beliau. 
Kemudian Ibnu Muljam menebaskan pedangnya ke atas kepala beliau.58 
Darah beliau mengalir membasahi jenggot beliau ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡. 
Ketika Ibnu Muljam menebasnya, ia berkata, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah, bukan milikmu dan bukan milik teman-temanmu, hai Ali!” Ia membaca firman Allah:

ูˆَู…ِู†َ ุงู„ู†َّุงุณِ ู…َู† ูŠَุดْุฑِูŠ ู†َูْุณَู‡ُ ุงุจْุชِุบَุงุก ู…َุฑْุถَุงุชِ ุงู„ู„ّู‡ِ ูˆَุงู„ู„ّู‡ُ ุฑَุคُูˆูٌ ุจِุงู„ْุนِุจَุงุฏِ

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya.” 
๐Ÿ“–(Al-Baqarah: 207).

Ali Radhiyallahu Anhu berteriak, “Tangkap mereka!”

Adapun Wardan melarikan diri namun berhasil dikejar oleh seorang lelaki dari Hadhramaut lalu membunuhnya. Adapun Syabib, berhasil menyelamatkan diri dan selamat dari kejaran manusia. 
Sementara Ibnu Muljam berhasil ditangkap.

Ali Radhiyallahu Anhu menyuruh Ja’dah bin Hubairah bin Abi Wahab59 untuk mengimami Shalat Fajar. 
Ali Radhiyallahu Anhu pun dibopong ke rumahnya. Lalu digiring pula Ibnu Muljam kepada beliau dan dibawa kehadapan beliau dalam keadaan dibelenggu tangannya ke belakang pundak, semoga Allah memburukkan rupanya. 
Ali Radhiyallahu Anhu berkata kepadanya,” Apa yang mendorongmu melakukan ini?” Ibnu Muljam berkata, “Aku telah mengasah pedang ini selama empat puluh hari. 
Aku memohon kepada Allah agar aku dapat membunuh dengan pedang ini makhlukNya yang paling buruk!”

Ali Radhiyallahu Anhu berkata kepadanya, “Menurutku engkau harus terbunuh dengan pedang itu. Dan menurutku engkau adalah orang yang paling buruk.”

Kemudian beliau berkata, “Jika aku mati maka bunuhlah orang ini, dan jika aku selamat maka aku lebih tahu bagaimana aku harus memperlakukan orang ini!”

Baca juga :


PEMAKAMAN JENAZAH ALI BIN ABI THALIB ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡

Setelah Ali ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ wafat, kedua puteranya yakni al-Hasan dan al-Husein memandikan jenazah beliau dibantu oleh Abdullah bin Ja’far. Kemudian jenazahnya dishalatkan oleh putera tertua beliau, yakni al-Hasan. Al-Hasan bertakbir sebanyak sembilan kali.60

Jenazah beliau dimakamkan di Darul Imarah di Kufah, karena kekhawatiran kaum Khawarij akan membongkar makam beliau. Itulah yang masyhur. Adapun yang mengatakan bahwa jenazah beliau diletakkan di atas kendaraan beliau kemudian dibawa pergi entah ke mana perginya maka sungguh ia telah keliru dan mengada-ada sesuatu yang tidak diketahuinya. Akal sehat dan syariat tentu tidak membenarkan hal semacam itu. Adapun keyakinan mayoritas kaum Rafidhah yang jahil bahwa makam beliau terletak di tempat suci Najaf, maka tidak ada dalil dan dasarnya sama sekali. Ada yang mengatakan bahwa makam yang terletak di sana adalah makam al-Mughirah bin Syu’bah ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ .

Al-Khathib al-Baghdadi61meriwayatkan dari al-Hafizh Abu Nu’aim dari Abu Bakar Ath-Thalahi dari Muhammad bin Abdillah al-Hadhrami al-Hafizh Muthayyin, bahwa ia berkata, “Sekiranya orang-orang Syi’ah mengetahui makam siapakah yang mereka agung-agungkan di Najaf niscaya mereka akan lempari dengan batu. Sebenarnya itu adalah makam al-Mughirah bin Syu’bah62″

Al-Hafizh Ibnu Asakir63 meriwayatkan dari al-Hasan bin Ali, ia berkata, “Aku mengebumikan jenazah Ali di kamar sebuah rumah milik keluarga ja’dah.”

Abdul Malik bin Umair64 bercerita, “Ketika Khalid bin Abdullah menggali pondasi di rumah anaknya bernama Yazid, mereka menemukan jenazah seorang Syaikh yang terkubur di situ, rambut dan jenggotnya telah memutih. Seolah jenazah itu baru dikubur kemarin. Mereka hendak membakarnya, namun Allah memalingkan niat mereka itu. Mereka membungkusnya dengan kain Qubathi, lalu diberi wewangian dan dibiarkan terkubur di tempat semula. Tempat itu berada dihadapan pintu al-Warraqin setelah kiblat masjid di rumah tukang sepatu. 
Hampir tidak pernah seorang pun bertahan di tempat itu melainkan pasti akan pindah dari situ.

Diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq, ia berkata, “Jenazah Ali dishalatkan pada malam hari dan dimakamkan di Kufah, tem-patnya sengaja dirahasiakan, namun yang pasti di dekat gedung imarah (istana kepresidenan).” 65

Ibnu Kalbi66berkata, “Turut mengikuti proses pemakaman jenazah Ali pada malam itu al-Hasan, al-Husain, Ibnul Hanafiyyah, Abdullah bin Ja’far dan keluarga ahli bait beliau yang lainnya. 
Mereka memakamkannya di dalam kota Kufah, mereka sengaja merahasiakan makam beliau karena kekhawatiran terhadap kebiadaban kaum Khawarij dan kelompok-kelompok lainnya.


TANGGAL_TERBUNUHNYA_ALI_BIN_ABI_THALIB ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ DAN USIA BELIAU 

Ali ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ , terbunuh pada malam Jum’at waktu sahur pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H. Ada yang mengatakan pada bulan Rabi’ul Awwal. 
Namun pendapat pertama lebih shahih dan populer.

Ali ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ ditikam pada hr Jum’at 17 Ramadhan tahun 40 H, tanpa ada perselisihan.67

Ada yang mengatakan beliau wafat pada hari beliau ditikam, ada yang mengatakan pada hari Ahad tanggal 19 Ramadhan.

Al-Fallas berkata, “Ada yang mengatakan, beliau ditikam pada malam dua puluh satu Ramadhan dan wafat pada malam dua puluh empat dalam usia 58 atau 59 tahun.” 68

Ada yang mengatakan, wafat dalam usia 63 tahun.69 Itulah pendapat yang masyhur, demikian dituturkan oleh Muhammad bin al-Hanafiyah, Abu Ja’far al-Baqir, Abu Ishaq as-Sabi’i dan Abu Bakar bin ‘Ayasy. Sebagian ulama lain mengatakan, wafat dalam usia 63 atau 64 tahun. Diriwayatkan dari Abu ja’far al-Baqir, katanya, “Wafat dalam usia 65 tahun.”

Masa kekhalifahan Ali lima tahun kurang tiga bulan. Ada yang mengatakan empat tahun sembilan bulan tiga hari. Ada yang mengatakan empat tahun delapan bulan dua puluh tiga hari, semoga Allah meridhai beliau.70

______________________________________________________________________________________

Footnote :

54 Rasulullah ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู…. telah mengabarkan bahwa Ali ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ akan mati terbunuh seperti yang disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, 1/102-130-156 dan kitab Dala’il an-Nubuwwah karangan al-Baihaqi, 6/438 dengan sanad shahih seperti yang dikatakan oleh Ahmad Syakir.

55 Silahkan lihat Tarikh ath-Thabari, 5/143-146, ath-Thabaqat karangan Ibnu Sa’ad, 3/36-37, al-Muntazham, 5/172-173, al- Kamil, 3/388-389 dan Tarikh Islam juz Khulafaur Rasyidin halaman 607-608.

56 Dalam kitab ath-Thabaqat Ibnu Sa’ad disebutkan bahwa mereka berkumpul di Makkah.

57 As-Suddah adalah pintu rumah dan atap yang menutupi pintu rumah, atau pekarangan di depan rumah, lihat kamus al-Wasith.

58 Qarnul insan, adalah bagian atas kepala. Silakan lihat kamus Muhith.

59 Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam al-Ishabah, 1/484 dan 527, dan menyebutkan kontroversi tentang statusnya apakah termasuk sahabat atau bukan. Ibunya adalah Ummu Hani’ binti Abi Thalib, berarti Ali adalah pamannya.

60 Dalam sejumlah riwayat lainnya disebutkan empat kali takbir, barangkali itulah yang benar, silakan lihat ath-Thabaqat al-Kubra, 3/38.

61 Tarikh Baghdad, 1/138.

62 Karena mereka sangat membenci al-Mughirah bin Syu’bah ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡, pent.

63 Tarikh Dimasyq, 12/420.

64 Silahkan lihat Tarikh Baghdad, 1/137.

65 Silatrkan lihat Tarikh Islam karangan Adz-Dzahabi juz Khulafaur Rasyidin halaman 650.

66 Silakan lihat Tarikh Dimasyq, 12/421.

67 Perkataan beliau, “Tanpa ada perselisihan,” maksudnya tahunnya, adapun bulan dan tanggalnya telah terjadi perselisihan di dalamnya.

68 Silakan lihat Tarikh ath-Thabari, 5/151.

69 Ibnu Sa’ad menukil dalam kitab ath-Thabaqat, 3/381 dari al-Waqidi bahwasanya ia berkata, “Itulah pendapat yang shahih menurut kami.” Saya katakan, Ini bersesuaian dengan pendapat yang mengatakan bahwa tahun kelahirannya adalah dua puluh tahun sebelum Rasulullah ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… diangkat menjadi rasul.

70 Silakan lihat Tarikh ath-Thabari, 5/152-153, demikian pula Tarikh Dimasyq, 12/423 dan 428. Pendapat-pendapat ini saling berdekatan, perbedaan antara pendapat pertama, kedua dan ketiga didasarkan atas perbedaan penentuan tanggal pembai’atan beliau dan tanggal wafat beliau setelah ditikam.


๐Ÿ“š REFERENSI :
ุชุฑุชูŠุจ ูˆุชู‡ุฐูŠุจ ูƒุชุงุจ ุงู„ุจุฏุงูŠุฉ ูˆุงู„ู†ู‡ุงูŠุฉ
Judul Asli: Tartib wa Tahdzib Kitab al-Bidayah wan Nihayah
Penulis: al-Imam al-Hafizh Ibnu Katsir
Pennyusun: Dr.Muhammad bin Shamil as-Sulami
Penerbit: Dar al-Wathan, Riyadh KSA. Cet.I (1422 H./2002 M)
Edisi Indonesia: Al-Bidayah wan-Nihayah Masa Khulafa’ur Rasyidin
Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari
Muraja’ah: Ahmad Amin Sjihab, Lc
Penerbit: Darul Haq, Cetakan I (Pertama) Dzulhijjah 1424 H/ Pebruari 2004 M.

 
Baca juga :


➖DEMIKIANLAH KHAWARIJ DARI ZAMAN KE ZAMAN MEREKA MUDAH MENUMPAHKAN DARAH KAUM MUSLIMIN.
LIHATLAH BAGAIMANA TOKOH KHAWARIJ INI IBNU MULJAM YG MEMBUNUH MANUSIA TERBAIK DI ZAMANNYA SERTA MENANTU RASULULLAH SHALLALLAAHU'ALAIHI WA SALLAAM.

ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU ANHU YANG DIJAMIN MASUK SURGA NAMUN OLEH KHAWARIJ INI DIKATAKAN MAKHLUK ALLAH PALING BURUK.
DAN IBNU MULJAM MENYANGKA IA AKAN MENDAPATKAN KEMULIAN DI DUNIA DAN DI AKHIRAT DENGAN MEMBUNUH ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU ANHU.

LAA ILAHA ILLALLAAH..
BUKANKAH SAMA DAHULU DAN SEKARANG KHAWARIJ MENYANGKA DENGAN SANGKAAN YG DANGKAL BAHWA MEREKA TENGAH BERJIHAD DENGAN MENUMPAHKAN DARAH KAUM MUSLIMIN SERTA MEMPEROLEH KEMULIAN DIDUNIA DAN DIAKHIRAT..
 
ALLAHUL MUSTA'AN.
HANYA KEPADA ALLAH KAMI MENGADU DAN BERLINDUNG DARI KEBODOHAN ORANG-ORANG KHAWARIJ.

Selasa, 28 Juli 2020

SYAHIDNYA: DZUNNUR AIN SANG KHALIFAH DERMAWAN UTSMAN BIN AFFAN

۞﷽۞

            ╭⊰✿️┈•┈•⊰✿๐ŸŒŸ✿⊱•┈•┈✿️⊱╮
            SYAHIDNYA: DZUNNUR AIN 
SANG KHALIFAH DERMAWAN UTSMAN BIN AFFAN 
           •┈┈•⊰✿┈•๐Ÿ”ธ️๐ŸŒน๐Ÿ”ธ️•┈✿⊱•┈┈•
                              ╭⊰✿ •̩̩̩͙े༊


ุจِุณْู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู…ِ ุงู„ู„ู‡ِ ุงู„ุฑَّุญْู…َู†ِ ุงู„ุฑَّุญِูŠْู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู…ِ 
ุงู„ุณَّู„ุงَู…ُ ุนَู„َูŠْูƒُู…ْ ูˆَุฑَุญْู…َุฉُ ุงู„ู„ู‡ِ ูˆَุจَุฑَูƒَุงุชُู‡ُ 

♦️ AKANKAH ANDA MENANGIS BACA KISAH INI

Abu Hurairah menangis mengingat wafatnya Utsman bin ‘Affan. Terbayang di hadapannya apa yang diperbuat bughat terhadap khalifah. Sebuah tragedi tercatat dalam lembaran tarikh Islam; menorehkan peristiwa kelabu atas umat ummiyah.

Dengan keji, pembunuh-pembunuh itu menumpahkan darah. Tangan menantu Rasulullah ditebas, padahal jari-jemari itulah yang dahulu dipercaya Rasul mencatat wahyu Allah. 
Darah pun mengalir membasahi Thaybah.

Dengan penuh cinta dan ridha kepada Allah, Amirul Mukminin menghembuskan nafas terakhir, meraih syahadah dengan membawa hujjah dan kemenangan yang nyata.

Ya Allah, tanamkan cinta dan ridha di hati kami pada sahabat-sahabat Nabi-Mu.
Selamatkan hati kami dari kedengkian kepada mereka. 
Selamatkan pula lisan kami dari cercaan kepada mereka sebagaimana Engkau telah selamatkan tangan kami dari darah-darah mereka.

♦️ UTSMAN_BIN_AFFAN_SAHABAT_YANG_MULIA 

Beliau adalah ‘Utsman bin Affan bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdisy-Syams bin Abdi Manaf. Pada kakeknya, Abdu Manaf, nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah.

Lahir enam tahun setelah tahun gajah. Beriman melalui tangan Abu Bakr Ash-Shiddiq –Abdullah bin Abi Quhafah–, dan termasuk as-sabiqunal awwalun.

Tampan wajahnya, lembut kulitnya, dan lebat jenggotnya. Sosok sahabat mulia ini sangat pemalu hingga malaikat pun malu kepadanya. Demikian Rasulullah menyanjung:

“Tidakkah sepatutnya aku malu kepada seorang (yakni Utsman) yang para malaikat malu kepadanya?”

Mudah menangis kala mengingat akhirat. Jiwanya khusyu’ dan penuh tawadhu’ di hadapan Allah Rabbul ‘alamin.

Beliau adalah menantu Rasulullah yang sangat dikasihi. Memperoleh kemuliaan dengan menikahi dua putri Nabi, Ruqayyah kemudian Ummu Kultsum hingga mendapat julukan Dzunurain(pemilik dua cahaya). Bahkan Rasulullah bersabda: “Seandainya aku masih memiliki putri yang lain sungguh akan kunikahkan dia dengan Utsman.”

Utsman bin ‘Affan adalah figur sahabat yang memiliki kedermawanan luar biasa. Sebelum datangnya risalah Nabi Muhammad, beliau telah menekuni perdagangan hingga memiliki kekayaan. Setelah cahaya Islam terpancar di muka bumi, harta tersebut beliau infakkan untuk menegakkan kalimat Allah.

♦️ SUMUR_AR_RUMAH 

Tahukah Anda, apa itu sumur Ar-Rumah? 
Sumber air Madinah yang beliau beli dengan harga sangat mahal sebagai wakaf untuk muslimin di saat mereka kehausan dan membutuhkan tetes-tetes air. Rasulullah menawarkan jannah bagi siapa yang membelinya. 
Utsman pun bersegera meraih janji itu. 
Demi Allah! Beliau telah meraih jannah yang dijanjikan.

Sosok yang mulia ini, tidak pernah berat untuk berinfak di jalan Allah, berapapun besarnya harta yang diinfakkan. Beliau keluarkan seribu dinar (emas) guna menyiapkan Jaisyul ‘Usrah, pasukan perang ke Tabuk, yang berjumlah tidak kurang dari 30.000 pasukan. Seraya membolak-balikan emas yang Utsman infakkan, Rasulullah bersabda:

“Tidaklah membahayakan bagi Utsman apapun yang dia lakukan sesudah hari ini.” (Karena sesungguhnya dia telah diampuni)

Allahu Akbar! Betapa indah sabda Rasulullah mengiringi pengorbanan Utsman bin Affan. Allah l terima infak itu, Allah l pelihara dengan tangan kanan-Nya yang mulia dan Dia lipat gandakan pahala untuknya.

Di antara keutamaan ‘Utsman bin ‘Affan, Allah jamin jannah atasnya bersama sembilan orang lainnya. Rasulullah bersabda:

“… Dan ‘Utsman di jannah….” (Al-Hadits)

Sebagian kecil keutamaan di atas cukup sebagai dalil yang muhkam –pasti– atas keutamaan Utsman bin ‘Affan. Di atas keyakinan inilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah beragama.

Baca juga :

♦️ FITNAH_ITU_AKAN_TERJADI 

Wafatnya Umar bin Al-Khaththab adalah awal kemunculan fitnah. Umar adalah pintu yang menutup fitnah. Begitu pintu dipatahkan, gelombang fitnah akan terus menimpa umat ini, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Hudzaifah bin Al-Yaman dalam Shahihain.

Pernahkah terbayang bahwa Utsman akan dibunuh dalam keadaan terzalimi? Mungkin kita tidak membayangkannya. Tetapi demi Allah, Utsman bin Affan telah mengetahui dirinya akan terbunuh, dengan kabar yang diperolehnya dari kekasih Allah, Nabi Muhammad.

Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, beliau berkata:

“Rasulullah pernah menyebutkan sebuah fitnah, lalu lewatlah seseorang. Beliau bersabda: “Pada fitnah itu, orang yang bertutup kepala ini akan terbunuh.” Berkata Ibnu ‘Umar:” Akupun melihat (orang itu), ternyata ia adalah ‘Utsman bin ‘Affan.”

Segala yang terjadi di muka bumi ini telah Allah tetapkan dan catat dalam Lauhul Mahfuzh. Sebagian dari takdir, Allah beritahukan kepada Rasul-Nya, termasuk berita terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan dalam keadaan syahid. Utsman menunggu saat-saat itu dengan penuh ridha dan keyakinan.

Rasulullah mengiringi berita tersebut dengan wasiat tentang apa yang harus dilakukan saat fitnah menerpa, sebagaimana akan kita lalui bersama sebagian riwayat tersebut. Maka berjalanlah Utsman dalam menghadapi fitnah tersebut dengan memegang teguh wasiat Rasulullah.

♦️ ABDULLAH_BIN_SABA_DI_BALIK_WAFATNYA_UTSMAN_BIN_AFFAN 

Abdullah bin Saba’ atau Ibnu As-Sauda’ adalah seorang Yahudi yang menampakkan keislaman di masa ‘Utsman bin ‘Affan. Dia muncul di tengah-tengah muslimin dengan membawa makar yang sangat membahayakan, menebar bara fitnah untuk memecah-belah barisan kaum muslimin.

Tidak mudah memang bagi Ibnu Saba’ menyalakan api di tengah kejayaan Islam, di tengah kekuasaan Islam yang telah meluas ke seluruh penjuru timur dan barat, di saat muslimin memiliki kewibawaan di mata musuh-musuhnya kala itu. Namun setan tak pernah henti mengajak manusia menuju jalan-jalan kesesatan, sebagaimana Iblis telah berkata di hadapan Allah:

Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” 
๐Ÿ“š(Al-A’raf: 16-17)

Ibnu Saba’ memulai makarnya bersama para pendukungnya dengan menanamkan kebencian pada khalifah ‘Utsman bin Affan di tengah kaum yang dungu lagi bodoh. Tujuannya pasti: Memudarkan kemulian-kemuliaan ‘Utsman bin Affan di hadapan manusia dan menjatuhkan kewibawaan khalifah.

Kenapa orang-orang bodoh yang dituju? Karena mereka itulah kaum yang tidak mengerti siapa Utsman. Mereka pula kelompok yang mudah disetir hawa nafsunya. Demikianlah gaya dan model pemberontak. Sebelum menggulingkan penguasa, mereka sebarkan kejelekan di tengah orang-orang bodoh, membuat arus bawah yang sukar untuk dibendung.

Kaki Ibnu Sauda’ yang penuh kebengisan dan kedengkian pada syariat Allah menjelajah negeri. Fitnahnya dia mulai dari Hijaz; Makkah, Madinah, Thaif, lalu Bashrah, lalu Kufah. Kemudian masuklah ia ke wilayah Damaskus (Syam). Usaha demi usaha dia tempuh di sana, namun impian belum mampu ia wujudkan. Dia tidak kuasa menyalakan api kebencian terhadap khalifah ‘Utsman di tengah-tengah kaum muslimin di negeri-negeri tersebut, hingga penduduk Syam mengusirnya.

Dengan segala kebusukan, pergilah Ibnu Saba’ ke Mesir. Di sanalah dia dapatkan tempat berdiam. Di tempat baru inilah dia dapatkan lahan subur untuk membangun makar besarnya, menggulingkan khalifah Utsman dan merusak agama Islam.

Mulai Ibnu Saba’ leluasa menghubungi munafiqin dan orang-orang yang berpenyakit, hingga terkumpul massa dari penduduk Mesir dan Irak guna membantu makarnya. Bersama pembantu-pembantunya, dia sebarkan keyakinan-keyakinan menyimpang serta tuduhan-tuduhan dusta atas khalifah di tengah-tengah kaum yang bodoh lagi menyimpan kemunafikan. Hingga suatu saat nanti, terwujudlah cita-citanya: menumpahkan darah khalifah dan memecah-belah barisan muslimin.

Baca juga :

♦️ SYUBHAT-SYUBHAT IBNU SABA’ UNTUK MENJATUHKAN KEHORMATAN UTSMAN BIN AFFAN 

Mereka yang mengetahui kemuliaan Utsman dari sabda Rasulullah tidak akan terpengaruh hasutan Ibnu Saba’, sehingga tidaklah mengherankan kalau dia tidak berhasil melakukan makarnya di tengah-tengah ahli Madinah atau Makkah. Berbeda keadaannya di Mesir, ia berhasil menebar syubhat-syubhat berisi celaan kepada Utsman bin ‘Affan, yang seandainya diketahui hakikatnya justru merupakan keutamaan dan pujian atas Utsman bin Affan. Namun ketika gelombang fitnah telah menggulung dan sabda Rasulullah tidak lagi dihiraukan, banyak di antara juhhal (orang-orang bodoh) berjatuhan menjadi korban.

Pada kesempatan yang sangat terbatas ini, kita cukupkan dua syubhat beserta jawabannya sebagai gambaran atas kebodohan dan jauhnya kaum pemberontak dari ilmu.

➖Syubhat pertama: ‘Utsman tidak mengikuti perang Badr. Ini merupakan aib (cela) bagi Utsman, maka tidak pantas ia menjadi khalifah.

Utsman bin Affan memang tidak mengikuti perang Badr, Ramadhan 2 H. Akan tetapi tidak ikutnya beliau dalam perang Badr bukanlah aib sebagaimana sahabat-sahabat lain yang tidak mengikutinya juga tidak mendapat celaan. Karena pada perang Badr Rasulullah tidak mengharuskan sahabat untuk menyertai beliau. Terlebih lagi jika kita mengetahui sebab tidak ikutnya Utsman dalam perang Badr.

Dalam perang Badr, Rasulullah memerintahkan Utsman untuk tetap di rumah merawat istrinya, Ruqayyah, yang merupakan putri Rasulullah. Maka jawablah dengan jujur: “Pantaskah seorang yang melaksanakan perintah Rasul kemudian dicela dengan sebab itu?”

Bahkan sebaliknya, dengan melaksanakan perintah Rasul beliau mendapat keutamaan taat di samping beliau juga mendapatkan keutamaan ahlu Badr dan pahala mereka. Oleh karena itu, Rasulullah mengikutsertakan Utsman dalam ghanimah Badr.

Suatu saat, seorang Khawarij bertanya kepada Abdullah bin ‘Umar di Masjidil Haram: “Wahai Ibnu ‘Umar, apakah ‘Utsman mengikuti perang Badr?” Ibnu ‘Umar menjawab: “Tidak.” Maka dengan girangnya dia berseru: “Allahu Akbar!” –seolah-olah dia dapatkan kebenaran celaan atas Utsman bin ‘Affan–. Dengan segera Ibnu ‘Umar berkata kepadanya: “Adapun ketidakhadiran Utsman dalam perang Badr karena putri Rasulullah –istrinya– sakit, (Rasul perintahkan untuk merawatnya) dan beliau bersabda:

“Sesungguhnya bagimu pahala mereka yang mengikuti perang Badr dan bagimu pula bagian ghanimah.”

Atas dasar ini, ulama tarikh seperti Az-Zuhri, ‘Urwah bin Az-Zubair, Musa bin ‘Uqbah, Ibnu Ishaq, dan lainnya memasukkan Utsman bin Affan dalam barisan ahlu Badr (orang-orang yang mengikuti perang Badr).

➖Syubhat kedua: Utsman membuat ladang khusus untuk unta-unta sedekah. Ladang tersebut terlarang untuk selain unta sedekah. Kaum Khawarij menuduh perbuatan ini sebagai kezaliman, kebid’ahan, dan kedustaan atas nama Allah.

Ketika ahlu Mesir –para pemberontak– mendatangi Utsman bin Affan mereka berkata: “Bukalah surat Yunus dan bacalah.” Lalu mereka hentikan bacaan Utsman ketika sampai pada ayat:

Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Yunus: 59)

Mereka berkata: “Berhenti kamu! Lihatlah apa yang telah kau perbuat. Engkau membuat tanah terlarang yang dibatasi. Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah l? ”

Utsman menjawab: “Bukan dalam masalah tersebut ayat ini diturunkan! Sungguh Umar bin Al-Khaththab telah melakukannya sebelumku, membatasi tanah khusus untuk unta-unta zakat, lalu aku menambahnya karena unta sedekah semakin bertambah banyak.”

Bantahan Utsman ibarat batu yang dilemparkan ke dalam mulut-mulut pemberontak. Mereka tidak mampu membalas jawaban Utsman karena ternyata beliau tidak melakukan kebid’ahan. Bahkan hal itu telah dilakukan Nabi dan Umar bin Al-Khaththab sebelumnya, yang semua itu tidak lain untuk kepentingan kaum muslimin, menjaga unta-unta zakat.

Baca juga :


♦️ AHLU MESIR DAN IRAK TERPROVOKASI UNTUK MEMBERONTAK KHALIFAH 

Massa yang besar dari penduduk Mesir dan Irak terkumpul, terbawa arus syubhat Ibnu Saba’. Mereka menuju Madinah dalam keadaan membenci khalifah, bahkan bertekad menggulingkan kekhilafahannya karena menurut mereka khalifah telah berkhianat.

Dalam perjalanan menuju Madinah, mereka mendengar bahwa Utsman bin ‘Affan berada di luar Madinah, maka mereka bersegera menemui ‘Utsman bin ‘Affan, di awal-awal bulan Dzulqa’dah 35 H.

Dengan penuh kearifan, keteduhan, dan kasih sayang, Utsman menemui mereka, dan terjadilah dialog ilmiah, membantah syubhat-syubhat juhhal. Dengan taufik Allah, Utsman mendinginkan hati-hati mereka yang membara. Beliau juga membuat kesepakatan-kesepakatan dan perdamaian yang menentramkan jiwa mereka. Mereka pun ridha untuk kembali ke negeri mereka.

♦️ MENINGGALKAN UTSMAN DAN KISAH SURAT PALSU 

Masa yang tadinya penuh kebencian, merasa puas dengan jawaban-jawaban ‘Utsman dan kesepakatan tersebut. Mereka pun pergi untuk kembali ke negeri mereka.

Kenyataan ini membuat geram para penyulut fitnah. Mereka memutar otak dan mencari-cari jalan menyalakan kembali api kebencian yang sempat padam yang sudah sangat lama mereka nanti. Dalam keadaan itu, segera mereka munculkan makar berikutnya yang demikian keji, yaitu: Surat palsu berisi kedustaan atas ‘Utsman bin Affan.

Dalam perjalanan kembali ke Mesir, mereka berpapasan dengan seorang penunggang unta. Dia menampakkan bahwa dirinya melarikan diri, seolah-olah berkata: “Tangkaplah aku.” Mereka pun menangkapnya dan bertanya: “Ada apa dengan engkau?” Dia katakan: “Aku utusan Amirul Mukminin kepada amir Mesir.” Segera mereka periksa orang ini hingga didapatkan padanya sebuah surat atas nama ‘Utsman bin Affan, berisi perintah kepada amir Mesir agar menyalib, membunuh, dan memotong-motong tangan orang-orang Mesir setibanya mereka dari Madinah.

♦️ KEMBALI KE MADINAH MELAKUKAN PENGEPUNGAN 

Dengan adanya surat palsu tersebut, api kebencian kepada khalifah kembali berkobar dalam dada-dada kaum yang bodoh. Mereka kembali menuju Madinah kemudian mereka kepung kediaman khalifah Ar-Rasyid Utsman bin Affan. Mereka tidak lagi memercayai ‘Utsman meskipun telah bersumpah bahwasanya beliau tidak pernah mengetahui apalagi menulis surat tersebut.

Tahukah kita apa yang diperbuat bughat pada orang termulia di muka bumi saat itu dan ahli jannah yang masih bernafas di dunia? Mereka paksa Utsman untuk melepaskan kekhilafahannya. Terwujudlah apa yang disabdakan Rasulullah puluhan tahun silam akan datangnya masa di mana Utsman bin Affan dipaksa melepas kekhilafahan.

Dengan tanpa kasih sayang, mereka halangi Utsman untuk shalat di Masjid Nabawi padahal beliaulah yang memperluas masjid di masa Rasulullah. Mereka halangi Utsman untuk minum dari air segar sumur Ar-Rumah yang beliau wakafkan untuk kaum muslimin. Caci-maki dan cercaan tertuju kepada beliau.

Seperti inikah Islam mengajarkan untuk berbuat kepada seorang sahabat mulia, yang menghabiskan masa hidupnya untuk membela Rasulullah, meninggikan kalimat Allah? Seperti inikah balasan kepada seorang sahabat yang matanya tak pernah kering dari air mata karena takutnya kepada Allah? Seperti inikah Islam mengajarkan untuk bersikap kepada seorang yang telah senja, di umurnya yang ke-83? Itukah kasih sayang? Seperti inikah jihad? Laa haula wala quwwata illa billah! Tidak ada yang mampu kita ucapkan melainkan: Hasbunallahu wa ni’mal wakil.

♦️ PEMBELAAN_SAHABAT 

Sejatinya para sahabat hendak membela Utsman bin Affan. Bahkan banyak di antara mereka menemani khalifah di rumahnya hingga hari terakhir pengepungan. Riwayat-riwayat yang shahih menunjukkan kedatangan banyak sahabat mengusulkan pembelaan dari kaum bughat. Di antara mereka adalah: Haritsah bin Nu’man, Al-Mughirah bin Syu’bah, Abdullah bin Az-Zubair, Zaid bin Tsabit, Al-Hasan bin ‘Ali, Abu Hurairah, dan lainnya.

Namun Utsman bin Affan telah mengambil sebuah keputusan dan sikap yang merupakan wasiat Rasulullah untuk bersabar dan tidak melepaskan kekhilafahan. Beliau tetap kokoh memegang sunnah (wasiat) Rasulullah saat api fitnah telah berkobar di hadapannya. Abu Hurairah sempat datang dengan pedangnya untuk melakukan pembelaan. Namun Utsman berkata: “Wahai Abu Hurairah, sukakah engkau jika banyak manusia terbunuh dan aku juga terbunuh? Sungguh demi Allah, seandainya engkau membunuh seorang manusia, seakan-akan engkau membunuh manusia seluruhnya.” Pergilah Abu Hurairah melaksanakan nasihat ‘Utsman.

Dari Rasulullah, Utsman mengetahui syahadah yang akan diperolehnya. Suatu hari Rasulullah memanggil Utsman. Beliau bisikkan rahasia akan apa yang akan menimpanya dan apa yang seharusnya dilakukan saat fitnah menimpa. Rahasia itu memang tidak banyak tersingkap, melainkan beberapa yang dikabarkan Utsman bin ‘Affan di hari pengepungan.

Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad (6/51-52) meriwayatkan bahwa saat sahabat menawarkan Utsman bin Affan untuk memerangi pemberontak, mereka berkata: “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau perangi mereka?” Dengan penuh keyakinan beliau katakan:

“Tidak (aku tidak akan perangi mereka), karena sesungguhnya Rasulullah telah mengambil janji dariku, dan aku sabar di atas janji itu.”

Berkali-kali sahabat Rasulullah menawarkan perang melawan pemberontak. Dengan penuh kearifan Utsman menolak, dan mengingatkan mereka untuk taat kepadanya sebagai khalifah. Suatu ketaatan yang telah Allah perintahkan atas mereka.

Saudaraku, rahimakumullah. Sekali lagi kita ingatkan, bahwasanya keputusan Utsman bin ‘Affan, bukanlah kelemahan beliau. Bukan pula ketidakberanian sahabat untuk melakukan peperangan. Tetapi, semua keputusan dan sikap Utsman sesungguhnya adalah bagian dari wasiat Rasulullah kepadanya.

Mungkin ada di antara kita bertanya, kenapa Utsman tidak melepaskan kekhilafahan agar terhindar dari fitnah ini? Bukankah kaum pemberontak hanya ingin menggulingkan Utsman dari kekhilafahan?

Ketahuilah, hal ini pun telah Rasulullah n wasiatkan dalam hadits yang shahih. Rasul bersabda:

“Dan jika mereka (pemberontak) memaksamu untuk melepaskan pakaian yang Allah l pakaikan kepadamu (yakni kekhilafahan), janganlah engkau lakukan.”

Dari riwayat-riwayat shahih terkait dengan fitnah pembunuhan Utsman bin Affan, disimpulkan bahwa sikap yang beliau pilih sesungguhnya kembali pada beberapa alasan. Di antaranya:

Wasiat Rasulullah kepada ‘Utsman untuk tidak melepaskan kekhilafahan dan menghadapi fitnah dengan kesabaran.

Beliau tidak ingin menjadi orang yang pertama kali menumpahkan darah kaum muslimin, dan menjadi penyebab peperangan di antara mereka. Sebagaimana tampak dalam riwayat Ahmad dalam Al-Musnad, beliau berkata:

“Aku tidak ingin menjadi orang pertama sesudah Rasulullah yang menyebabkan pertumpahan darah di tengah umatnya.”

Utsman yakin bahwa yang diinginkan pemberontak adalah dirinya, maka beliau tidak ingin menjadikan kaum muslimin sebagai tameng. Sebaliknya, beliau ingin menjadi tameng untuk kaum muslimin agar tidak terjadi pertumpahan darah di tengah mereka.
Utsman yakin bahwa fitnah akan redam dengan wafatnya beliau, sebagaimana kabar yang Rasulullah sabdakan. Beliau juga merasa waktunya telah dekat di saat beliau berumur 83 tahun, diperkuat dengan mimpinya bertemu Rasulullah n di hari pengepungan. Nasihat Abdullah bin Salam kepada beliau. Abdullah berkata:

“Tahanlah, tahanlah (dari peperangan) karena dengan itu hujjahmu lebih mendalam.”

Baca juga :


♦️ SYAHADAH YANG RASULULLAH KABARKAN ITU DIRAIH UTSMAN BIN AFFAN 

Pagi, Jum’at 12 Dzulhijjah, 35 H, di saat sebagian besar sahabat menunaikan ibadah haji, pengepungan berlanjut. Hari itu ‘Utsman berpuasa, setelah di malam harinya bertemu Rasulullah, dan dua sahabatnya: Abu Bakar serta ‘Umar, dalam mimpi yang membahagiakan. Di mimpi itu Rasulullah bersabda: “Wahai ‘Utsman, berbukalah bersama kami.” Utsman pun terbangun dengan merasa bahagia dan berpuasa.

Pagi itu Utsman berada di rumah bersama sejumlah sahabat yang terus bersikukuh hendak membela beliau dari kezaliman bughat. Di antara mereka adalah Al-Hasan bin ‘Ali, ‘Abdullah bin Umar, Abdullah bin Az-Zubair, Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah, dan sejumlah sahabat lainnya.

Dengan sangat, Utsman bin ‘Affan meminta mereka untuk keluar dari rumah, menjauhkan diri dari fitnah. Amirul Mukminin melarang para sahabat melakukan pembelaan dengan peperangan. Beliau tidak ingin terjadi pertumpahan darah di tengah-tengah kaum muslimin hanya dengan sebab beliau. Beliau tidak ingin ada sahabat-sahabat lain terbunuh dalam fitnah ini.

Setelah permintaan Utsman yang sangat kepada para sahabat, akhirnya mereka meninggalkan rumah Amirul Mukminin hingga tidak ada yang tersisa kecuali keluarga Utsman termasuk istri beliau, Na’ilah bintu Furafishah.

Amirul Mukminin, Utsman bin ‘Affan tetap di atas wasiat Rasul untuk tidak melepaskan kekhilafahan, baju yang telah Allah pakaikan untuknya. Beliau pun tetap meminta sahabat untuk tidak melakukan perlawanan, mengingat besarnya fitnah dan khawatir darah kaum muslimin tertumpah. Inilah sikap yang terbaik: kesabaran, keyakinan, dan keteguhan di atas petunjuk Rasulullah.

Utsman, beliau duduk bersimpuh di hadapan mushaf. Beliau membacanya dalam keadaan berpuasa di hari itu. Tubuh yang telah tua, rambut yang telah memutih, kulit yang telah mengeriput, usia yang telah dihabiskan untuk Allah, berjihad menegakkan kalimat Allah di muka bumi, kini duduk mentadaburi kalam Rabbul ‘Alamin. Beliau perintahkan untuk membuka pintu rumah dengan harapan para pengepung tidak berbuat sekehendak hati mereka ketika menyaksikan beliau beribadah kepada Allah, membaca Al-Qur’an.

Tetapi mereka ternyata orang yang telah keras hatinya. Dalam suasana pengepungan dan kekacauan, masuklah seseorang hendak membunuh khalifah. Orang ini datang dan menarik jenggot Ustman. Ustman dengan tenang berkata

"Jangan sentuh jenggotku karena sesungguhnya ayahmu dulu menghormati jenggot ini." 

Kemudian pemberontak itu melepaskannya karena dia ingat bahwa bukan hanya ayahnya yang menghormati, tapi juga Rasulullah S.A.W. dan setiap orang menghormati Ustman. Utsman pun berkata mengingatkan: “Wahai fulan, di antara aku dan dirimu ada Kitabullah!” Diapun pergi meninggalkan Utsman, hingga datang orang lain dari bani Sadus. Dan ketika Ustman R.A. melihat nya datang, dia segera mengencangkan tali pengikat celananya, karena dia tidak ingin auratnya terlihat di saat-saat terakhirnya.

Dengan penuh keberingasan, dia cekik leher khalifah yang telah rapuh hingga sesak dada beliau dan terengah-engah nafas beliau, lalu dia tebaskan pedang ke arah Utsman bin ‘Affan. Amirul Mukminin menlindungi diri dari pedang dengan tangannya yang mulia, hingga terputus bercucuran darah. Saat itu Utsman berkata:

“Demi Allah, tangan (yang kau potong ini) adalah tangan pertama yang mencatat surat-surat mufashshal.”

Ya… beliau adalah pencatat wahyu Allah dari lisan Rasulullah. Namun ucapan Utsman yang sesungguhnya nasihat –bagi orang yang memiliki hati– tidak lagi dihiraukan. Darah mengalir pada mushaf tepat mengenai firman Allah:

“Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 137)

Kemudian istrinya, Na'ilah berlari untuk melindungi Utsman. Bukan hanya itu, jari jemari Na’ilah bintu Furafishah terpotong saat melindungi suaminya dari tebasan pedang kaum bughat. Subhanallah, cermin kesetiaan istri shalihah menghiasi tragedi berdarah di negeri Rasulullah.

Kemudian mereka menghujam dalam perut Ustman R.A. dengan pedang! Lalu salah satu pemberontak menerjang dada Ustman R.A. dan menusuknya 6 KALI! Dengan demikian wafatlah Ustman R.A. pada umur 83 tahun.
Terwujudlah sabda Rasulullah puluhan tahun silam. Ketika itu, Rasulullah bersama dengan Abu Bakr, Umar, dan Utsman di atas Uhud, tiba-tiba Uhud bergoncang. Rasul pun bersabda:

“Diamlah wahai Uhud, yang berada di atasmu adalah seorang nabi, seorang shiddiq, dan dua orang syahid.”

Allahu Akbar! Berbukalah Utsman bin Affan bersama Rasulullah sebagaimana mimpinya di malam itu. Ta’bir mimpi pun tersingkap sudah. Wafatlah khalifah Ar-Rasyid, di hari Jum’at, dalam usia 83 tahun. Pergilah manusia termulia saat itu menemui ridha Allah dan ampunan-Nya. Menuju jannah-Nya.

Seusai pembunuhan, berteriaklah laki-laki hitam pembunuh ‘Utsman, mengangkat dan membentangkan dua tangannya seraya berkata “Akulah yang membunuh Na’tsal! “

Beberapa lama setelah Utsman dibunuh, para pemberontak tidak memperbolehkan seorang pun untuk menguburkan jenazahnya. Pada akhirnya, istri Rasulullah, Umayya Habiba menaiki tangga masjid Rasulullah dan berkata

"Wahai pemberontak! Jika kalian tidak mengizinkan kami untuk mengubur Ustman R.A., maka AKU ISTRI RASULULLAH S.A.W., AKU KEHENDAK RASULULLAH S.A.W., AKU KEKASIH RASULULLAH S.A.W., AKU IBU ORANG-ORANG BERIMAN, akan turun ke jalan Madinah tanpa menutupi rambutku dan AKU SENDIRI yang akan menguburkan Ustman!"

Dia tahu bahwa tidak ada satu pemberontak pun yang berani terhadap istri Rasulullah S.A.W. Ka'ab ibn Malik R.A. meriwayatkan: 

"Demi Allah, jika Umayya ibn Habiba R.A. turun ke jalanan Madinah tanpa menutupi rambutnya, maka Allah akan MENURUNKAN HUJAN BATU DARI LANGIT!"

Dan ketika para pemberontak mendengar ancaman dari istri Rasulullah S.A.W., mereka membolehkan jenazah Ustman dikuburkan oleh empat orang: Hasan R.A., Hussain R.A., Ali R.A., dan Muhammad ibn Talha R.A. Dan ketika mereka membawa jenazah Ustman untuk dikuburkan, para pemberontak mulai melempari batu ke jenazah Ustman R.A.
Amrita bin Arta meriwayatkan

"Ketika aku dan Aisyah R.A. pulang dari berhaji, kami melihat Al-Qur'an dimana darah Ustman terjatuh ke atasnya pada ayat 'Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 137).'

♦️ #Akibat dari kematian Ustman begitu besar, sampai-sampai Hasan (cucu Rasulullah) meriwayatkan:

"Aku melihat kakekku (Rasulullah) di dalam mimpi, dan dia berdiri di hadapan Arsy Allah S.W.T. Dan inilah pertama kalinya aku melihatnya dalam mimpi dimana dia terlihat khawatir. Kemudian Abu Bakar R.A. datang dari belakangnya dan dia menempatkan tangannya di bahu Rasulullah S.A.W. Kemudian Umar R.A. datang dari belakangnya dan dia menempatkan tangannya di bahu Abu Bakar R.A. Tidak lama setelahnya, Ustman R.A. datang dan wajahnya yang berlumuran darah. Tangannya menggenggam kepalanya dan dia berkata 'Wahai Rasulullah, tanyakan kepada mereka karena dosa apakah mereka menjagalku seperti seekor sapi?' Ketika Ustman R.A. berkata seperti ini, Arsy Allah mulai bergetar! Kemudian dua sungai darah mengalir dari Arsy Allah S.W.T."

Pada hari kiamat, ada banyak orang yang gugur sebagai syuhada. Untuk para syuhada itu, tanah tempatnya meninggal dunia akan bersaksi, namun untuk Ustman ibn Affan, Al-Qur'an yang akan menjadi saksinya, karena dia meninggal dunia tepat di hadapan sebuah Al-Qur'an!

Asyhadu an-La ilaha illallah, wa anna Muhammadan Rasulullah! Sabda Rasulullah bahwa Utsman akan meraih jannah dengan cobaan yang menimpanya benar-benar terjadi.

Abu Musa Al-Asy’ari mengatakan bahwa:

“Rasulullah memerintahkan Abu Musa untuk memberi kabar gembira kepada Utsman dengan jannah, dengan ujian yang akan menimpanya.”

♦️ AKHIR KEHIDUPAN PEMBUNUH-PEMBUNUH UTSMAN BIN ‘AFFAN RADHIALLAHU’ANHU 

Orang-orang yang memberontak Utsman Radhiallahu’anhu dan memiliki andil dalam pembunuhan khalifah yang terzalimi mendapat hukuman pedih dari Allah. 
Demikianlah akibat bagi mereka yang memusuhi wali-wali Allah.

Benarlah firman Allah dalam sebuah hadits Qudsi:

“Barangsiapa menyakiti wali-Ku, sungguh Aku umumkan perang dengannya…”

Khurqush bin Zuhair As-Sa’di dibunuh oleh ‘Ali bin Abi Thalib pada perang Nahrawan tahun 39 H.
‘Alba’ bin Haitsam As-Sadusi dibunuh pada perang Jamal.
Amr bin Al-Hamaq Al-Khuza’i hidup hingga tahun 51 H, ia ditikam.
‘Umair bin Dhabi’ yang mematahkan tulang rusuk ‘Utsman, hidup hingga zaman Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, dia pun dibunuh. 
Demikian pula para pembunuh ‘Utsman yang selain mereka.

Wallahu a’lam.