Sabtu, 01 Agustus 2020

CUCU RASULULLAH YANG SYAHID DAN DIPENGGAL DALAM TRAGEDI KARBALA ( IMAM HUSEIN RADHIALLAHU’ANHU )

                                ۞﷽۞

            ╭⊰✿️┈•┈•⊰✿๐ŸŒŸ✿⊱•┈•┈✿️⊱╮
CUCU RASULULLAH YANG SYAHID DAN DIPENGGAL DALAM TRAGEDI KARBALA
( IMAM HUSEIN RADHIALLAHU’ANHU )
        •┈┈•⊰✿┈•๐Ÿ”ธ️๐ŸŒน๐Ÿ”ธ️•┈✿⊱•┈┈•
                              ╭⊰✿ •̩̩̩͙े༊



ุจِุณْู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู…ِ ุงู„ู„ู‡ِ ุงู„ุฑَّุญْู…َู†ِ ุงู„ุฑَّุญِูŠْู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู…ِ 
ุงู„ุณَّู„ุงَู…ُ ุนَู„َูŠْูƒُู…ْ ูˆَุฑَุญْู…َุฉُ ุงู„ู„ู‡ِ ูˆَุจَุฑَูƒَุงุชُู‡ُ 

Imam Husein dilahirkan di Madinah, selasa 5 sya’ban 4 H / 584 M; ibunya Sayyidah Fatimah adalah putri kesayangan Rasulullah SAW; Sedangkan ayahandanya, Ali bin Abi Thalib adalah seorang tokoh terkemuka di awal dakwah islam. 
Beliau dibesarkan oleh Pasangan sejoli yang menerima asuhan langsung dari Rasulullah SAW.

 Nama Husein merupakan tasghir (“pengecilan”) dari nama kakaknya Hasan, yang dua-duanya berarti “bahagia”. 
Beliau adalah cucu tersayang Rasullah.
Pernah suatu hari, Rasulullah SAW menunaikan shalat dan sangat lama melakukan sujud. 
Bukan hanya karena ingin lebih dekat kepada Allah SWT, melainkan juga karena menjaga agar Husein dan kakaknya Hasan tidak terjatuh dari punggung beliau. 
Ketika itu kedua cucunda tengah bermain-main di punggung kakekanda yang mulia. 
Sungguh kasih sayang yang luar biasa. 
Nabi sangat mencintai kedua cucunda, sehingga kehidupan mereka seperti kehidupan malaikat; berada dalam naungan Allah SWT. 

Di masa kanak-kanak, mereka mendapat ucapan-ucapan wahyu di lingkungan kenabian. Rasulullah SAW memberi mereka pelajaran dan cara hidup islami. 
Sementara dari lingkungan kedua orang tua, mengambil suri teladan yang mulia. Dalam lingkungan yang mulia seperti itulah Hasan dan Husein hidup berdampingan.

Abu Hurairah bercerita : “Rasulullah Saw datang kepada kami bersama ke dua cucu beliau, Hasan dan Husein. Yang pertama di bahu beliau yang satu, yang ke dua di bahu beliau yang lain. Sesekali Rasulullah menciumi mereka, sampai berhenti di tempat kami berada. Kemudian beliau bersabda :

”Barang siapa mencintai keduanya ( Hasan dan Husein ) berarti juga mencintai daku; barang siapa membenci keduanya berarti juga membenci daku”. 

Pada hadits yang lain :

ุญุณูŠู† ู…ู†ّู‰ ูˆุงู†ุง ู…ู† ุญุณูŠู†, ุงุญุจّ ุงู„ู„ّู‡ ู…ู† ุงุญุจّ ุญุณูŠู†ุง, ุญุณูŠู† ุณุจุท ู…ู† ุงู„ุฃุณุจุงุท. 
( ุฑูˆุงู‡ ุงู„ุชّุฑู…ุฐู‰ ) 
“Husein adalah bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari diri Husein. Semoga Allah swt mencintai orang yang mencintai Husein. Husein adalah salah satu cucu diantara para cucuku”. 
๐Ÿ“š( HR. Turmudzi )

ุงู„ุญุณู† ูˆุงู„ุญุณูŠู† ุฑูŠุญู†ุชุงูŠ ู…ู† ุงู„ุฏّู†ูŠุง. ( ุฑูˆุงู‡ ุงุญู…ุฏ,..) 
“Hasan dan Husein adalah dua wewangian saya dari dunia.” 
๐Ÿ“š( HR. Ahmad, Ibnu Adi, Ibnu Asakir dan Turmudzi )

ู…ู† ุณุฑّู‡ ุงู† ูŠู†ุธุฑ ุงู„ู‰ ุณูŠّุฏ ุดุจุงุจ ุงู‡ู„ ุงู„ุฌู†ّุฉ ูุชูŠู†ุธุฑ ุงู„ู‰ ุงู„ุญุณูŠู†. ( ุฑูˆุงู‡ ุงุจูˆ ูŠุนู„ู‰ ) 
“Barangsiapa yang senang melihat junjungan ( Sayyid ) para penduduk surga, maka hendaklah ia melihat kepada Husein.”
๐Ÿ“š( HR. Abu Ya’la )

“Ya Allah aku memohokan perlindungan kepadamu untuk Husein dan anak cucunya dari godaan syetan yang terkutuk.” 

“Ahli Baitku yang paling kucintai adalah Hasan dan Husein.”

Pada hari ketujuh kelahiran Sayyidina Husein, Rasulullah SAW menyembelih dua ekor kambing kibas berwarna putih keabu-abuan sebagai aqiqah. Kemudian beliau memberikan dua paha kambing itu kepada hadirin, lalu mencukur rambut Husein serta menimbangnya dengan perak. 
Selanjutnya perak itu disedekahkan kepada faqir miskin. Lalu beliau mengurapi kepala cucunda dengan pacar, sebagaimana yang pernah beliau lakukan kepada Sayyidina Hasan. 

Sejak kecil Sayyidina Husein sudah menunjukkan bakat sebagai ilmuwan, perajurit dan orang yang sholeh. 
Bersama kakaknya, bakat sang adik kian berkembang, selama masa pemerintahan empat kholifah pertama. 
Sifat mereka yang luhur mendapat penghargaan dan perhatian yang besar dari para kholifah.


๐Ÿ’ฅKEPRIBADIAN IMAM HUSEIN 

Sayyidina Husein memiliki beberapa gelar. Yaitu :

• Az-Zaki ( yang suci )
• Ar-Rosyid ( yang cerdik )
• Ath-Thoyyib ( yang baik )
• Al-Wafi ( yang setia )
• As-Sayyid ( yang amat terhormat ) 
• At-Tabi’Limardlotillah ( yang mengikuti keridloan Allah swt )
• As-Sibth ( cucu Rasulullah )

Ulama meriwayatkan bahwa Sayyidina Hasan adalah orang yang paling mirip Rasulullah antara dada sampai kepalanya; sedangkan Sayyidina Husein adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah saw antara leher sampai bagian tengah badannya.
Berkali-kali Sayyidina Husein dan Sayyidina Hasan naik di atas punggung Nabi saw, ketika keduanya sedang bercanda ria bersama beliau. 
Bahkan seringkali hal itu dilakukan ketika Nabi saw sedang bersujud di waktu shalat. 
Maka beliaupun tetap bersujud sampai keduanya turun dari punggung beliau. Seorang penyair berkata : 

“Siapakah di alam semesta ini orang yang bisa mendapatkan punggung Nabi Muhammad seperti Husein, 
Ia berhasil mendapatkannya dengan jalan terpuji. “

Sayyidatuna Fatimah Az-Zahra ketika mengunjungi Rasulullah saw, pada waktu beliau sakit yang terakhir dengan ditemani oleh putranya Sayyidina Hasan dan Husein. Ia berkata kepada Rasulullah saw :

“Ya Rasulullah ini adalah kedua putramu, maka berilah warisan keduanya.”

Rasulullah bersabda :

“Adapun Hasan maka ia mewarisi kedermawanan dan kewibawaanku, adapun Husein maka ia mewarisi keberanian dan keluhuranku.”
( HR. Ibnu Mandah, Thabrani, Abu Nu’aim dan Ibnu Asakir )

Sayyidina Husein adalah seorang ahli ibadah dan orang yang sangat ta’at, beliau selalu berpuasa dan berqiyamul lail, dermawan, suka menyambung tali persaudaraan, suka menolong orang yang minta tolong kepadanya dan tekun menjalankan perintah tuhannya. 
Beliau adalah seorang yang sabar menghadapi kesulitan, tabah menerima cobaan, tidak suka marah serta bersedih hati dan tidak suka merasa cemas serta patah semangat.

Para Ulama meriwayatkan bahwa suatu ketika putra Sayyidina Husein meninggal dunia, namun beliau tidak merasa sedih. 
Maka orang-orang bertanya kepadanya tentang hal itu. 
Beliau menjawab :
“Sesungguhnya kami para Ahli Bait selalu meminta kepada Allah swt, maka Allah swt mamberi kami. Lalu bilamana Allah swt menghendaki sesuatu yang tidak kami sukai, sedangkan Allah swt menyukainya, maka kami pun merelakannya.”


Baca juga :


๐Ÿ’ฅLATAR BELAKANG SYAHIDNYA IMAM HUSEIN 

Sesungguhnya orang yang mau mempelajari peristiwa yang menyedihkan ini beserta faktor-faktor pemicunya, tentu akan mengetahui bahwa tangan-tangan bersembunyi yang berlumuran dengan darah-darah kaum muslimin serta kepala-kepala penghianat yang menjadi biang perpecahan kaum muslimin, mereka itulah sebenarnya yang telah memicu terjadinya kejahatan besar ini dan yang telah melakukannya secara keji dan licik. 

Sebagaimana juga mereka sebelumnya telah mengatur scenario pembunuhan terhadap Kholifah Utsman bin Affan ra; setelah mereka berhasil menyebarkan berita-berita bohong dan membuat surat - surat palsu dengan memakai nama Kholifah Utsman ra, Sayyidina Ali serta nama-nama lainnya. Sehingga pada akhirnya mereka berhasil membunuh Kholoifah Utsman ra yang sedang berpuasa dan sedang membaca Al-Qur’an. Beliau tidak mau dilindungi oleh seorangpun dari kalangan para sahabat, agar tidak ada darah seorang muslimpun mengalir gara-gara dirinya.

Dan mereka itulah yang telah menyebabkan terjadinya perang Jamal. Lalu ketika kedua pihak yang sedang bertikai sudah berdamai berkat usaha Qa’ba bin Amr; maka mereka menyulut kembali api peperangan di pagi harinya dan mereka membunuh Sayyidina Thalhah bin Ubaidillah, salah satu dari dari sepuluh orang yang mendapat jaminan surga dari Nabi saw. Padahal Sayyidina Thalhah ketika itu sedang berusaha meleraikan pihak-pihak yang saling bermusuhan. Mereka juga membunuh Sayyidina Zubair yang sedang melakukan Shalat sambil berdoa’ kepada Allah swt agar segera memadamkan api peperangan yang sedang terjadi.

Mereka juga menghasut orang-orang agar membunuh Sayyidatuna Aisyah ra, maka akibatnya ratusan sahabat terbunuh. Dan mereka juga membunuh Ka’ab bin Sur Al ‘Azdi yang telah mengangkat mushaf atas perintah Sayyidatuna Aisyah untuk menghentikan peperangan diantara mereka.
Demikian juga provokasi keji yang telah berhasil memicu terjadinya perang Shiffin, mereka menghalangi sampainya berita-berita dan orang-orang yang berusaha menciptakan hubungan damai.

Setelah berakhirnya peperangan serta diterimanya Tahkim dan setelah terbunuhnya beribu-ribu nyawa para sahabat dan Tabi’in, maka terlihatlah persekongkolan para dalang terjadinya kekacauan ini. Mereka adalah komplotan Abdullah bin Saba’ seorang pendeta besar yahudi dari Yaman yang masuk islam dengan tujuan menhancurkan islam dari dalam. Pada mulanya ia benci kepada Kholifah Utsman bin Affan ra dan berusaha meruntuhkannya serta menggantikannya dengan Sayyidina Ali.
 
Dengan kelicikannya dan provokasinya, usahanya berhasil mendapat respon di kota-kota besar ketika seperti kota Madinah dan Basrah. Kemudian dia pergi ke Mesir, Kufah dan Damsyik serta beberapa kota lain untuk menyebarkan propaganda tentang kemulyaan Sayyidina Ali kw dan menghasut orang-orang agar tidak simpati kepada Kholifah Utsman bin Affan ra.
Abdullah bin Saba’ sangat berlebihan dalam mengagungkan Sayyidina Ali , bahkan berani membuat hadits-hadits palsu untuk menjatuhkan Kholifah Utsman ra dan menghinakan Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq dan Sayyidina Umar bin Khottob ra. 

Diantara ajaran Abdullah bin Saba’ adalah :

1. Al-Wishoyah : Wasiat. Nabi Muhammad saw berwasiat supaya yang menjadi kholifa sesudah beliau wafat adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Dan mereka memberi gelar Sayyidina Ali “Al-Washyi”, yakni orang yang diberi wasiat.

2. Ar-Roj’ah : kembali. Ia mengajarkan bahwa Nabi Muhammad saw tidak boleh kalah dari Nabi Isa as. Kalau Nabi Isa as akan kembali di akhir zaman, maka Sayyidina Ali kw akan kembali di akhir zaman untuk menegakkan keadilan. Ia mengajarkan bahwa Sayyidina Ali kw tidak mati terbunuh, beliau akan kembali lagi. Ibnu Hazm, seorang ahli tarikh mengatakan bahwa Abdullah bin Saba’ mengabarkan bahwa Sayyidina Ali belum mati tetapi masih bersembunyi dan akan kembali di akhir zaman. Ajaran ini dibawanya dari kepercayaan kaumyahudi yang mengatakan bahwa Nabi Ilyas juga belum mati. Ajaran inilah yang kemudian menjadi kepercayaan orang Syi’ah, bahwa imannya yang terakhir belum mati, sekarang masih bersembunyi dan pada akhir zaman nanti akan kembali untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.

3. Ilahiyah : ketuhanan. Ajaran ini mengatakan bahwa pada diri Sayyidina ali kw, bersamayam unsur-unsur ketuhanan. Olek karena itu beliau mengetahui segala yang ghaib ( kasyaf ). Abdullah bin Saba’ mengangkat Sayyidina Ali kepada kedudukan Tuhan.

Seorang Ulama dan pengarang dari kalangan Syi’ah Mu’tazilah bernama Ibnu Abil Hadid mengakui bahwa Abdullah bin Saba’ ini adalah seorang pendeta Yahudi yang masuk Islam yang mengobarkan Syia’ah Sabaiyah. Diantara pemuka Syi’ah Sabaiyah ini terdapat seorang bernama Muqiroh bin Said yang memfatwakan bahwa Dzat Tuhan bersemayam pada tubuh Sayyidina Ali kw. Seorang lagi yang bernama Ishak bin Zaid yang memfatwakan bahwa orang-orang yang sudah sampai pada derajat yang tinggi, sudah habis taklif baginya, yaitu sudah tidak lagi wajib sholat, puasa dan berbagai kewajiban lainnya. 
Nasib Abdullah bin Saba’ pada akhir hayatnya menjadi orang buangan, yang dibuang oleh Sayyidina Ali kw stelah beliau menjadi Kholifah keempat, beliau marah karena dia membuat fitnah atas diri beliau, dia akhirnya dibuang ke daerah Madain. 

Kelompok Abdullah bin Saba’ ini terpisah menjadi 2 ( dua ) kelompok besar, yaitu :

1. Kelompok yang menyatakan bahwa sesungguhnya Sayyidina Ali kw adalah Allah sendiri yang menciptakan segala sesuatu dan memberi rizki. Dalam hal ini, Sayyidina Ali kw mengajak mereka berdialog, namun mereka ternyata bersikeras mempertahankan pendapatnya. Maka akhirnya Sayyidina Ali kw membakar orang– orang yang diketahui dari golongan mereka dengan api. Kemudian golongan mereka berkata : “Seandainya Ali bukan Allah itu sendiri tentu ia tidak membakar mereka dengan api. Karena sesungguhnya tidak akan melakukan pembakaran dengan api kecuali tuhan.” Mereka berkeyakinan bahwa Ali akan menghidupkan mereka, setelah ia membunuh mereka. Mereka inilah orang-orang yang membawa kepercayaan bahwa tuhan melakukan penitisan kepada makhluknya ( Hulul ) beserta cabang-cabang kepercayaan ini meliputi faham-faham yang sesat.

2. Kelompok yang memberontak terhadap Sayyidina Ali kw setelah terjadinya perang Shiffin. Mereka juga menuduh Ali Kafir, karena beliau telah menghentikan peperangan dan menyetujui Tahkim dengan kitabullah dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi Sayyidina Ali kw dan Muawiyah ra. Sebagian dari mereka juga ada yang mengkafirkan ketiga orang Khalifah sebelum Sayyidina Ali. Mereka ini telah membunuh seorang Tabi’in besar yang bernama Abdullah bin Khobbab ra dan istrinya, karena ia memuji keempat Khulafaur Rasyidin. Kemudian ketika Sayyidina Ali kw meminta agar mereka menyerahkan para pembunuhnya, mereka menolak sambil berkata: “Kami semua ikut membunuh mereka dan kami semua menganggap halal terhadap darah-darah kalian dan darah-darah mereka semua.”


๐Ÿ’ฅ GUGUR SYAHIDNYA SAYYIDINA HUSEIN 

Ketika Muawiyah memberontak, kekholifahan islam terbagi dua : satu di pimpin Imam Ali, lainnya dibawah Muawiyah. Muawiyah adalah famili Kholifah Usman bin Affan, yang sebelumnya menjabat gubernur Damaskus. Ia, sebagaimana keluarga Sayyidina Utsman yang lain, mencurigai Sayyidina Ali terlibat komplotan pembunuh Kholifah Ustman.
Ketika Imam Ali syahid terbunuh, terbukalah peluang bagi Muawiyah untuk menuju jenjang kekuasaan. Demi keutuhan umat islam, Imam Hasan yang menggantikan ayahandanya, berkompromi atau lebih tepat mengalah, dengan menyerahkan kekuasaan kepada kepada Muawiyah. Tapi belakangan Imam Hasan justru diracun hingga wafat pada tahun 50 H / 630 M; beliau meninggal setelah diracun istri mudanya sendiri, Ja’dah binti Al-As’as, atas hasutan kelompok Muawiyah, dengan janji akan mendapat hadiah 100.000 dirham.

Ketika itulah banyak kalangan mendesak Imam Husein agar memberontak terhadap Kholifah Muawiyah. Tapi, beliau hanya menjawab pendek, 
“selama Muawiyah masih hidup, tak ada yang bisa diperbuat, karena begitu kuatnya kholifah itu.”
Di lain pihak, Muawiyah tak terlalu khawatir mendengar isu pemberontakan tersebut dari Gubernur Hijaz, Marwan bin Hakam. Ia bahkan minta Marwan mendekati Imam Husein secara baik-baik.
Pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya sebagai kholifah; Muawiyah merobohkan sendi-sendi demokrasi. Mengikuti saran Mughira, gubernur Basrah, ia mengangkat Yazid sebagai penggantinya. Dengan pengangkatan ini, demokrasi dalam islam menjadi monarki, karena Yazid tiada lain anak Muawiyah. Tindakan itu juga melanggar perjanjian dengan Imam Hasan bahwa pengangkatan kholifah harus melalui pemilihan yang demokratis. 

“Dua orang telah menimbulkan kekacauan di kalangan kaum muslimin : Amr bin Ash, yang menyarankan Muawiyah mengangkat Al qur’an di ujung lembing, ketika hendak berunding dengan Imam Ali; dan Mughira, yang menyarankan agar Muawiyah mengangkat Yazid sebagai kholifah. Jika tidak, tentulah akan terbentuk sebuah dewan Pemilihan” 
kata Imam Hasan dari Basrah. 


Baca juga :


Yazid naik tahta pada bulan April 683 M ( Muawiyah wafat tahun 60 H ). para sejarawan menilai, Yazid ini tidak layak diangkat sebagai kholifah. Bukan hanya terlalu mementingkan kehidupan duniawi, tapi juga karena dia tidak terlalu dekat dengan ulama. Namun dengan licik, ia berusaha memperkuat kekuasaan dengan cara minta sumpah setia dari para ulama, termasuk Imam Husein, yang mewarisi keshalehan dan kesatriaan ayahandanya, Imam Ali, tidak mudah dipaksa atau dibujuk dengan berbagai hadiah.

 Secara bersama, tiga sahabat yang cukup berpengaruh, yaitu Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Abu Bakar dan Abdullah bin Zubair, terang-terangan menolak Yazid. 
Melalui walid bin Utba, gubernur Madinah, Yazid memerintahkannya agar menyuruh seluruh penduduk Madinah untuk membai’at Yazid. Mereka yang menolak pembai’atan Yazid, termasuk Sayyidina Husein menyingkir ke Makkah. 

Selama menetap di Makkah, Sayyidina Husein menerima kiriman surat-surat dari penduduk Kufah serta utusan-utusan mereka. Para utusan ini meminta kepada Sayyidina Husein agar beliau bersedia datang ke Kufah untuk menerima bai’at dari mereka. Karena itulah Sayyidina Husein bermaksud mendatangi mereka; tapi Sayyidina Abdullah bin Abbas dan Abdullah in Umar menasehati beliau agar tidak mendatangi mereka, karena keduanya telah mengetahui sikap orang-orang Kufah dan sebagian orang Iraq yang suka berkhianat. Namun Sayyidina Husein ra berbaik sangka kepada orang-orang yang berkirim surat kepadanya, maka beliau tetap ingin mendatangi penduduk Kufah.

Kemudian berangkatlah Sayyidina Husein dari Makkah menuju Kufah pada hari Tarwiyah, namun sebelumnya sepupunya yang bernama Muslim bin Aqil bin Abi Thalib telah berangkat lebih dahulu. Akhirnya Sayyidina Husein dibai’at oleh orang-orang Kufah sebanyak 12.000.orang. Akan tetapi tidak berapa lama kemudian, mereka bercerai berai meninggalkan Sayyidina HUsein ketika tindakan mereka ini diketahui oleh Ubaidillah bin Ziyad, penguasa Kufah yang menjadi bawahan Yazid bin Muawiyah. Ubaidillah kemudian menangkap Muslim bin Aqil dan membunuhnya.

Berita terbunuhnya Muslim ini terdengar oleh Sayyidina Husein, ketika beliau sampai di dekat Qadisiyah. Maka saudara-saudara Muslim berkata :
“Kita tidak akan kembali, sehingga kita menuntut balas terhadap kematian saudara kita Muslim bin Aqil atau lebih kita terbunuh.”
Lalu Sayyidina Husein berkata “
“Tidak ada lagi keuntungan hidup sepeninggal kalian.”
Dan Sayyidina Husein memberitahu kepada orang-orang yang menyertainya tentang peristiwa yang telah terjadi serta beliau mengumumkan bahwa barangsiapa yang ingin pergi, maka hendaklah ia segera pergi. Maka mereka segera memisahkan diri, sehingga Sayyidina Husein hanya ditemani oleh sahabat-sahabatnya yang dating bersama dengan dirinya dari Makkah. Mereka berjumlah 70 orang, diantaranya terdapat 30 orang berkuda. Ketika itu Ubaidillah bin Ziyad telah mengirimkan komandan pasukannya yang bernama Hushoin bin Tamin At-Tamimi disertai pasukan berkuda.

Hushoin berhenti di Qadisiyah dan mengatur pasukan kudanya untuk mencegah Sayyidina Husein agar tidak bergerak kemana-mana. Demikian halnya Ubaidillah bin Ziyad juga mengirim 1000 orang pasukan berkuda yang dipimpin oleh Hur bin Yazid At-Tamimi untuk menghadang Sayyidina Husein ra agar tidak pulang meninggalkan tempatnya. Maka merekapun dapat menyusul Sayyidina Husein dan mereka berhenti dihadapannya. 
Peristiwa ini terjadi tengah hari. 

Sayyidina Husein kemudian tampil berbicara kepada mereka :
“Wahai para manusia, ketahuilah bahwa ini adalah alasan saya kepada Allah swt dan kepada kalian, sesungguhnya saya tidak akan mendatangi kalian seandainya surat-surat kalian dan orang-orang utusan kalian dating ke tempat saya. Mereka telah menyatakan : Hendaklah anda datang ke tempat kami, karena kami tidak mempunyai Imam. Semoga lewat diri anda Allah swt menyatukan kami di atas petunjuknya. Dan saya sekarang telah mendatangi kalian, karena itu bila kalian mau menepati janji-janji kalian yang saya percayai kepada saya, maka saya bersedia datang ke kota kalian. Dan bilamana kalian merasa tidak senang terhadap kedatangan saya ini, maka saya siap kembali ke tempat asal mula kedatangan saya.”

Mereka terdiam. Mendengar pernyataan Imam Husein, Hur bin Yazid ragu. Nuraninya ingin membela Imam Husein, tapi ia bimbang, mengingat kekuatan pasukan Ubaidillah bin Ziyad di Iraq. Apalagi ia juga diperintahkan Gubernur Kufah Ubaidillah bin Ziyad, untuk menggiring Imam Husein ke Karbala, sekitar 25 mil di timur laut Kufah.
Kemudian salah seorang dari pihak Sayyidina Husein mengumandangkan adzan, lalu dilaksanakan sholat dzuhur. Maka Hur bin Yazid ikut sholat bersama Sayyidina Husein. Kemudian Hur kembali ke tempatnya semula. 

Ketika Sayyidina Husein juga melaksanakan Sholat ‘Ashar. Kemudian beliau mendatangi mereka sambil berkata :
“Bila kalian semua bertaqwa kepada Allah swt serta mengetahui haq seseorang, tentu hal itu lebih membuat Allah swt ridho. Kami para Ahli Bait adalah lebih utama untuk memimpin masalah ini daripada mereka-mereka yang berjalan dengan sikap arogannya dan kedzolimannya. Karena itu, jika kalian merasa tidak senang kepada kami dan kalian bersikap masa bodoh terhadap haq kami serta pendapat kalian sudah tidak lagi seperti yang pernah dibawa oleh surat-surat dan orang-orang utusan kalian kepada saya, maka saya siap pergi meninggalkan kalian!”

Kemudian Sayyidina Husein mengeluarkan dua wadah yang penuh berisi lembaran-lembaran surat, lalu ia sebar di hadapan mereka. Kemudian Hur bin Yazid at Tamimi berkata :
Sesungguhnya kami telah mendapat perintah bila kami sudah bertemu anda agar kami tidak meninggalkan Anda, sehingga kami dapat membawa Anda dating ke Kufah untuk menghadap Ubaidillah bin Ziyad. 

Ketika itu Sayyidina Husein mengetahui adanya suatu tipu muslihat serta kebohongan yang besar. Lalu beliau mengajukan tawaran kepada Umar bin Sa’ad selaku panglima pasukan Ubaidillah bin Ziyad, agar Umar membiarkan Sayyidina Husein kembali ke tempat asalnya atau mereka membiarkan Sayyidina melakukan jihad di jalan Allah swt atau mereka bersedia membawa Sayyidina Husein pergi menghadap Yazid bin Muawiyah di Damaskus.

Mereka menolak tawaran Sayyidina Husein ini, kecuali jika Sayyidina Husein bersedia tunduk di bawah perintah Ubaidillah bin Ziyad. Dan tawaran inipun ditolak mentah-mentah oleh Sayyidina Husein ra, karena tidaklah pantas bagi seorang cucu Rasulullah saw serta putra dari seorang Kholifah, untuk menyerahkan diri begitu saja. Beliau bertekad untuk siap perang dengan berijtihad serta berkeyakinan bahwa dirinya sedang berada di atas kebenaran dan sesungguhnya mereka berdiri di atas kebatilan. 

Kemudian Sayyidina Husein ra berkata :
“Kami telah ditelantarkan oleh para pengikut kami, karena itu barangsiapa diantara kalian yang ingin pergi (meninggalkan kelompok kami ), maka hendaklah ia pergi tanpa ada yang mempersalahkan dan tanpa mendapat kecaman dari pihak kami.”

Maka kebanyakan dari para pengikutnya memisahkan diri dari Sayyidina Husein, sampai akhirnya Sayyidina Husein hanya ditemani oleh keluarganya sendiri dan sahabat-sahabatnya yang datang dari Makkah bersama dirinya. Sayyidina Husein tidak ingin mereka berpihak kepada dirinya, kecuali bila mereka mengetahui terlebih dahulu terhadap apa yang akan mereka hadapi. Sebenarnya Sayyidina Husein telah menyadari, jika beliau menjelaskan permasalahan yang beliau hadapi kepada mereka, tentu beliau tidak akan ditemani selain oleh orang-orang yang benar-benar setia menyertai dirinya untuk menghadapi kematian bersama-sama.

Sayyidina Husein hanya ditemani oleh 70 orang laki-laki termasuk para pengikutnya dari kalangan Ahli Bait. Sedangkan sebagian orang-orang yang menyertainya dari golongan mereka yang menginginkan terjadinya kekacauan sudah menggabungkan diri ke dalam pasukan Ubaidillah bin Ziyad, agar diri mereka selamat dari ancaman maut di depan mata mereka.
Ketika Sayyidina Husein bersama para sahabatnya ingin berangkat menuju ke tempat asal mereka, mereka dihalangi oleh Hur; dan ia berkata kepada Sayyidina Husein : 
“Saya ingin membawa pergi anda menghadap Ubaidillah bin Ziyad. Saya diperintahkan agar tidak meninggalkan anda, sehingga saya dapat membawa dating ke Kufah. Karena itu, untuk sementara waktu ambillah jalan yang tidak membawamu masuk ke Kufah. Dan janganlah anda menuju Madinah, sehingga saya berkirim surat dahulu kepada Ubaidillah bin Ziyad, sementara anda berkirim surat kepada Yazid selaku atasan Ubaidillah bin Ziyad. Maka dengan cara ini, mudah-mudahan Allah swt memberikan jalan keluar yang dapat memberikan anugerah keselamatan dari cobaan yang menimpa saya berupa keterlibatan saya dengan urusan anda.”

Baca juga :

Maka Sayyidina Husein bergerak meninggalkan jalan Qadisiyah, sedangkan Hur mengiringinya untuk mencegah Sayyidina Husein agar tidak terus pulang.
Ketika telah tiba hari jum’at tanggal 3 Muharram tahun 61 h, datanglah Umar bin Sa’ad bin Abi Waqas dari Kufah dengan diiringi 4.000 orang pasukan berkuda. Pasukan ini kebanyakan terdiri dari orang-orang yang pernah berkirim surat kepada Sayyidina Husein ra dan orang-orang yang pernah membai’atnya. Kemudian Umar menyuruh seorang utusan kepada Sayyidina Husein ra, agar menanyakan kepada Sayyidina Husein tentang alasannya yang telah membawanya kemari, lalu Sayyidina Husein berkata :
“Orang-orang kota kalian telah berkirim surat kepada saya agar dating ke tempat mereka, maka saya melakukannya. Jika kalian tidak senang terhadap hal itu, maka sesungguhnya saya siap pergi dari tempat kalian.”

Kemudian Umar bin Sa’ad melaporkan hal itu kepada Ubaidillah bin Ziyad; lalu Ubaidillah bin Ziyad mengirim perintah kepada Umar agar ia memberikan tawaran kepada Sayyidina Husein untuk bersedia membai’at Yazid; jika Sayyidina Husein mau melakukannya, maka kami akan menentukan sikap kami terhadap terhadap Sayyidina Husein. Namun jika ia tidak bersedia, maka halangilah Sayyidina beserta para pengikutnya dari tempat air. Karena Sayyidina Husein menolak membai’at Yazid, maka mereka menghalangi beliau beserta pengikutnya dari tempat air. Selama 4 hari ( 7-10 Muharram ) rombongan Imam Husein kehausan. Itulah awal kesengsaraan keturunan mulia Rasulullah SAW. Sampai-sampai hal itu membuat Hur bin Yazid, salah seorang komando pasukan Yazid terharu. Pada tanggal 10 Muharram 61 H / 641 M, ia menyaksikan Imam Husein yang sangat sengsara, lunglai, kehausan dan kelaparan.

Umar bin Sa’ad dan Sayyidina Husein berkali-kali mengadakan perundingan, lalu Umar mengirimkan laporan kepada Ubaidillah bin Ziyad yang berbunyi :
“Perlu diketahui bahwa sesungguhnya Allah swt telah memadamkan api kekacauan dan menyatukan semua pandangan. Husein telah memberikan pernyataan kepada saya yaitu ia akan kembali ke tempat asal mula kedatangannya atau anda membiarkan ia mengambil posisi dilokasi tapal batas ( siap tempur ) atau ia boleh mendatangi Yazid untuk mengadakan perdamaian dengannya. Dalam hal ini tentu akan membawa kepuasan bagi anda dan membawa kemaslahatan umat.”

Kemudian Ubaidillah bin Ziyad menyuruh Syamir bin Dzil Jausyan untuk dating kepada Umar dengan membawa surat yang isinya meminta Husein agar tunduk di bawah perintah Ubaidillah bin Ziyad dan memerintahkan agar Umar membawa Husein beserta para pengikutnya untuk menghadap Ubaidillah bin Ziyad; bila Husein menolak maka ia harus diperangi. Selain itu, Ubaidillah bin Ziyad telah berkata kepada Syamir :
“jika Umar bin Sa’ad mau melakukan apa yang kuperintahkan, maka dengarkanlah perintahnya; namun jika ia membangkang maka engkau mengambil alih kepemimpinannya dan tebaslah leher Umar.”

Ubaidillah bin Ziyad di dalam suratnya juga berkata kepada Umar bin Sa’ad :
“Sesungguhnya saya tidak pernah mengirimkan kamu kepada Husein, agar kamu membiarkannya dan tidak pula supaya kamu memberinya harapan serta memperpanjang kesempatannya dan tidak pula supaya kamu berlutut dihadapanku guna memintakan pertolongan untuknya. Perhatikanlah, jika Husein bersama para pengikutnya bersedia tunduk di bawah perintah, maka hadapkanlah mereka kepadaku, lalu jika mereka menolak maka seranglah mereka sehingga kamu dapat membunuh mereka semuanya dan cacahlah tubuh-tubuh mereka, karena sesungguhnya mereka telah berhak menerima hal itu. Kemudian jika Husein telah berhasil dibunuh, maka injaklah dada dan punggungnya dengan kuda-kuda kalian karena sesungguhnya ia adalah seorang yang melakukan tindakan makar, seorang pemberontak, perampok dan orang dzolim. Jika kamu ( Umar ) sanggup melaksanakan perintahkami, maka kami pasti akan memberimu balasan sebagai orang yang menta’ati perintah dan jika kamu membangkang, maka tinggalkanlah pasukan kami serta serahkanlah urusan ini kepada Syamir dan pasukan kami.”
Ketika surat perintah ini diterima Umar bin Sa’ad, maka ia segera memberi komando kepada pasukannya agar segera mempersiapkan diri.

 Peristiwa ini terjadi setelah ashar. Dan Umar memberitahukan kepada Sayyidina Husein tentang isi surat perintah dari Ubaidillah bin Ziyad; kemudian Husein meminta penundaan kepada mereka sampai besok pagi. Ketika malam telah tiba, maka Sayyidina Husein bersama-sama dengan para sahabatnya menjalankan Qiyamul lail semalam penuh, mereka melakukan Shalat serta beristighfar, berdoa’ dan bertadlarru’ kepada Allah swt. 

Kemudian ketika Umar bin Sa’ad telah menjalankan shalat subuh pada hari sabtu ( riwayat lain hari Jum’at, hari Asyura 10 muharam ) maka ia mulai melangsungkan peperangan dan mengepung Sayyidina Husein dari semua penjuru. Sayyidina Husein berseru :
“Wahai orang-orang Kufah, saya tidak pernah melihat manusia lebih berkhianat daripada kalian semua; sungguh jelek kalian dan sungguh celaka sekali, binasalah kalian……….binasalah……kalian telah berteriak-teriak kepada kami, lalu kamipun mendatangi kalian, lalu kalian cepat-cepat membai’at kami secepat lalat dan ketika kami telah berada di tempat kalian, maka kalian langsung bertebaran menjauhkan diri seperti laron-laron yang berhamburan. Kalian menghadapi kami dengan hunusan pedang layaknya musuh-musuh kami yang tidak pernah menyebarkan keadilan kepada kalian, padahal tidak ada dosa yang kami perbuat kepada diri kalian, ingatlah….laknat Allah swt pasti menimpa orang-orang yang dzolim.”

Kemudian Sayyidina Husein ra menyerang mereka dan peperangan ini berlangsung sampai dhuhur; lalu Sayyidina Husein menjalankan shalat. Kemudian setelah sholat dhuhur, beliau kembali berperang, sedangkan kebanyakan dari para pengikutnya sudah habis terbunuh. satu demi satu; sahabat, saudara, sepupu, kemenakan Imam Husein wafat sebagai Syuhada dengan tubuh tertancap panah. Yang mula-mula gugur ialah : Ali Akbar bin Imam Husein, Abdullah bin Ja’far, Kasim bin Husein, seorang anak Muslim bin Aqil dan kemenakan Imam Husein. 

Yazid bin Harits bertempur membela Sayyidina Husein sampai ia terbunuh. Hur bin Ziyad di pihak pasukan Umar bi Sa’ad akhirnya membelot dan membela Sayyidina Husein, sambil berseru :
“Wahai putra Rasulullah sw, saya adalah orang yang pertama kali bertempur melawan kalian dan sekarang ini saya berada di pihakmu, mudah-mudahan saya bisa mendapatkan syafaat dari kakekmu.”
Lalu ia berperang mati-matian membela Sayyidina Husein sampai ia terbunuh dan akhirnya tinggallah Sayyidina Husein bersama bayinya, Ali Al Asghar.

 Suatu saat Ali Asghar berteriak-teriak kehausan minta minum. Sambil menggendong anaknya, Imam Husein mendekati lawan, lalu menyampaikan nasehat. Pasukan Yazid bukannya memberikan seteguk air, mereka justru memanah sang bayi yang tak berdosa itu, sehingga mati syahid seketika. Dengan perasaan campur aduk, sedih dan marah, Imam Husein menggendong Asghar yang berdarah-darah ke pangkuan ibunya, Syahr Banu. 

Ketika itulah beliau tahu, ajalnya menjelang. beliau berperang melawan mereka sampai mereka berhasil melemahkan beliau dengan luka-luka yang banyak dan beliau merasa sangat kehausan, sehingga jatuh ke tanah, lalu seorang laki-laki dari Kindah menyerangnya dengan pedang tepat mengenai kepalanya, maka hal ini membuat darahnya mengalir; kemudian Sayyidina Husein mengambil darah di kepalanya, lalu beliau tuangkan ke tanah sambil berkata :
“Ya Allah bilamana engkau telah menahan pertolonganmu dari langit kepada kami, maka jadikanlah hal itu untuk sesuatu yang terbaik buat kami dan balaslah mereka-mereka yang dzolim ini.”

Sayyidina HUsein merasa haus luar biasa, lalu ia mendekati tempat air untuk minum, tapi Hushain bin Tamim langsung menyerangnya dengan anak panah tepat mengenai mulut Sayyidina Husein, maka Sayyidina Husein berkata :
“Ya Allah bunuhlah Hushain dengan kehausan.”
( Al Allamah Al Juhri berkata : akhirnya Hushain bin Thamim menerima balasan azab berupa rasa panas di dalam perutnya dan rasa kedinginan di punggungnya; sehingga didepannya harus diletakkan es dan kipas, sedangkan di belakang tubuhnya dipasang tempat perapian. Ia menjerit-jerit rasa panas, haus dan dingin. Jika ia minum, tetap tidak merasakan kesegaran/hilang hausnya, walau minum banyak. Hal itu mengakibatkan perutnya menjadi besar dan ia mati setelah beberapa hari wafatnya Sayyidina Husein )

Ketika Sayyidina Husein ra merasa tubuhnya lemah sekali dan tidak mampu bangkit lagi, dikarenakan luka-luka yang banyak, maka beliau memanjatkan doa’ kepadaAllah swt :
Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepadamu terhadap perlakuan yang diberikan kepada cucu Nabi-Mu. Ya Allah hitunglah jumlah mereka dan binasakanlah mereka semua serta janganlah Engkau menyisakan seorangpun dari mereka.”


Baca juga :


Ketika melihat keadaan Sayyidina Husein sudah lemah tak berdaya, mereka menyerang Sayyidina Husein dari semua arah; Shor’ah bin Syarik At Tamimi memukul telapak tangan kiri beliau dengan pedang, kemudian Sinan bin Atsan An Nakha’i menusuk beliau dengan tombak, lalu Syamir bin Dzil Jausan memenggal kepala Sayyidina Husein dan membawanya kehadapan Ubaidillah bin Ziyad.

 Mereka juga menginjak-injak tubuh, punggung dan dada Sayyidina Husein dengan kuda-kuda mereka seperti yang telah diperintahkan Ubaidillah bin Ziyad.
Enam dari tujuh anak-anak Imam Husein Syahid di padang Karbala, juga istri tercintanya, Syahr Banu, salah seorang putri Khosru Yasdajird II dari dinasti Sasanid II, Persia ( Iran ). Empat putranya : Ali Al Akbar, Ali Ausath, Ali Al-Asghar, Abdullah; sedangkan tiga putrinya : Zainab, Sakinah dan Fatimah. Seluruh anak Husein terbunuh, kecuali Ali Ausath yang dibelakang hari terkenal sebagai wali, yaitu Ali Zainal Abidin bin Husein. Dialah satu-satunya keturunan Rasulullah SAW yang selamat dari pembantaian di Karbala.

Ketika pertempuran tak seimbang itu terjadi, Ali Zainal Abidin tengah tergolek sakit di tenda. Beliau hanya ditunggui bibinya, Zainab binti Ali, yang dengan gigih melindunginya ketika beberapa orang anggota pasukan musuh menerobos masuk ke perkemahan yang hanya ditunggui kaum wanita dan anak-anak.
Sayyidatuna Zainab berteriak lantang : 
“Apakah kalian tidak menyisakan satu laki-lakipun dari keluarga kami?” 
perajurit itu tertegun sebentar, kemudian berbalik arah meninggalkan tenda tersebut tanpa mengucapkan sepatah katapun. 

Sementara tubuh Imam Husein dimakamkan di Karbala, kepalanya dimakamkan dengan penuh kehormatan di pemakaman Baqi, Medinah, di sisi makam ibundanya dan kakaknya, Imam Hasan. Menurut riwayat lain, kepala Imam Husein dibawa ke Mesir dan dimakamkan disana. 

Ibnu Hajar memberitahukan sebuah hadits dari suatu sumber yang diriwayatkan dari Ali, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda " Pembunuh Husein kelak akan disiksa dalam peti api, yang beratnya sama dengan siksaan separuh penduduk dunia."

Abu Na'im meriwayatkan bahwa pada hari terbunuhnya Sayyidina Husein, terdengar Jin meratap dan pada hari itu juga terjadi gerhana matahari hingga tampak bintang-bintang di tengah hari bolong. Langit di bagian ufuk menjadi kemerah-merahan selama enam bulan, tampak seperti warna darah.

Sayyidina Husein sungguh telah memasuki suatu pertempuran menentang orang yang bathil dan mendapatkan syahidnya di sana. Menurut al-Amiri, Sayidina Husein dikarunia 6 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Dan dari keturunan Sayyidina Husein yang meneruskan keturunannya hanya Ali al-Ausath yang diberi gelar 'Zainal Abidin'. Sedangkan Muhammad, Ja'far, Ali al-Akbar, Ali al-Ashgor , Abdullah, tidak mempunyai keturunan (ketiga nama terakhir gugur bersama ayahnya sebagai syahid di karbala). Sedangkan anak perempuannya adalah: Zainab, Sakinah dan Fathimah.

Kekuasaan Yazid dan keturunannya tidak lama. Mukhtar bin Abi Ubaid Ats Tsaqafi berhasil membunuh Ubaidillah bin Ziyad dan Umar bin Sa’ad bin Abi Waqas dan membunuh satu persatu para pembunuh Sayyidina Husein yang lainnya; sehingga ia dapat menghabisi mereka semua.

Makam Imam Husein di Karbala, sudah diziarahi sejak empat tahun setelah Imam Husein syahid. Peziarah pertama pada 65 H / 654 M ialah Sulaiman bin Murad, salah seorang ulama generasi awal asal Madinah. Menurut sejarawan Ibnu Asir dalam kitabnya Al Kamil fi at-Tarikh li Ibn Asir, sejak 436 H / 1016 M kedatangan para peziarah di Karbala semakin meningkat. Ketika itu upacara ritual di Karbala mendapat dukungan dari seorang dermawan bernama Ummu Musa, yang tidak lain adalah Ibunda Khalifah Al-Mahdi dari Dinasti Abbasiyah ( 159-169 H/ 739-749 ).
Tapi lebih dari setengah abad kemudian, Khalifah Mutawakkil ( 232-247 H / 812-827 M ) menghancurkan kubah makam Imam Husein pada tahun 236 H / 816 M, dan menghukum berat para peziarah yang datang ke makam tersebut. Kebijakan ini dibuat, hanya karena gara-gara kelompok syiah memberontak. Namun sekitar satu abad kemudian, sebuah masyhad yang luas dengan kubahnya dibangun disalah satu sudut makam Imam Husein.

 Sejak itu para peziarah pun kembali ramai. Keramaian itu tak lama; dua tahun kemudian, Dabba bin Muhammad As’adi, pemimpin sejumlah suku di ‘Ain tamr, tak jauh dari Karbala, menghancurkannya kembali.
Tapi, pada tahun yang sama, 369 H / 949 M , penyangga Masyhad Husein diperkuat kembali oleh Addud bin Abdullah dari Dinasti Bani Buwaihi. Pembangunan Masyhad itu diteruskan dengan membangun tembok makam oleh Hasan bin Buwaihi. Pada bulan Rabi’ul awal 407 H / 987 M, sekitar 38 tahun kemudian, bangunan utama dan beberapa ruang Masyhad terbakar.

Tapi makam yang dianggap suci dan keramat itu dibangun kembali. Setengah abad kemudian beberapa tokoh datang berziarah. Mereka itu, misalnya Sultan Malik Syah dari Bani Saljuk, yang berziarah pada tahun 479 H / 1059 M. kemudian Ghazan Mahmud dari Dinasti Ilikh Khan, Persia, bersama ayahnya, Argun. Mereka sempat membangun kanal untuk mengalirkan air sungai Eufrat ke Masyhad, yang kemudian dikenal dengan nama Nahr Al-Huseiniyah, “air suci Husein”.
Sultan Pasha Agung dari kekhalifahan Turki usmani ( 1520-1566 M ) sempat memperbaiki kanal tersebut dan memperindahnya dengan taman. Sementara Sultan Murad III ( 1574-1595 M ) pernah minta walikota Baghdad, Ali pasha bin Alwan, membangun sebuah ruangan di Masyhad Husein. Kemudian Radhiah Sultan Begum, putri Sultan Husein I dari Dinasti Safawi (1694-1722 M) mempekerjakan 20.000 orang untuk memperluas Masyhad Husein. Pada abad ke 18 M, Agha Muhammad Khan dari Dinasti Kajar menghadiahkan kubah dan menara berlapis emas untuk makam Husein.
Kompleks makam Imam Husein sangat luas, dua kali lapangan sepak bola. Di samping makam itu terdapat makam Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib, paman Sayyidina Husein dan Hurr bin Yazid. 


๐Ÿ’ฅ KATA-KATA MUTIARA IMAM HUSEIN BIN ALI BIN ABI THALIB :

“Kebutuhan orang-orang kepada kalian adalah merupakan nikmat-nikmat Allah swt untuk kalian; maka janganlah bosan terhadap nikmat-nikmat Allah swt itu sehingga ia akan pergi menjauhkan diri.”

“Orang yang berkeperluan tidaklah berarti memuliakan dirinya dengan tidak meminta kepadamu, maka dari itu muliakanlah dirimu dengan tidak menolak permintaannya.”

“Sabar adalah mahkota, kesetiaan adalah harga diri, memberi adalah kenikmatan, banyak bicara adalah membual ( omong kosong ), tergesa-gesa adalah kebodohan, kebodohan adalah aib, berlebih-lebihan ( dalam berkata ) adalah kebohongan, berteman dengan orang yang ahli berbuat hina adalah kejahatan dan berteman dengan ahli kefasikan adalah pusat prasangka buruk.”

“Bilamana dunia dianggap sebagai sesuatu yang sangat berharga,
maka sesungguhnya pahala Allah swt adalah lebih berharga dan lebih mulia,
Bilamana tubuh ini dirawat hanya untuk menyambut kematian, 
maka terbunuhnya seseorang dengan pedang di jalan Allah swt lebih utama.
Bilamana rizki adalah bagian yang sudah ditentukan,
maka sedikitnya keserakahan seseorang dalam berusaha adalah lebih baik.
Bilamana harta benda dihimpun hanya untuk ditinggalkan,
maka apakah gunanya seseorang pelit terhadap sesuatu yang pasti ia tinggalkan,”

“Bilamana dirimu digigit oleh kekejaman masa,
maka janganlah kamu mengadu kepada manusia.
Dan janganlah kamu meminta selain kepada Allah Tuhan yang Maha penolong, yang Maha Tahu dan yang Maha Benar.
Karena seandainya kamu hidup dan kamu telah berkeliling dari belahan barat sampai kebelahan timur,
maka tentu kamu tidak menemukan seorangpun yang mampu membuat orang lain bahagia atau sengsara.” 

 
๐Ÿ’ฅWASIAT NASEHAT IMAM HUSEIN BIN ALI ABI THALIB : 

“Kebutuhan orang-orang kepada kalian adalah merupakan nikmat-nikmat Allah swt untuk kalian; maka janganlah bosan terhadap nikmat-nikmat Allah swt itu sehingga ia akan pergi menjauhkan diri.”

“Orang yang berkeperluan tidaklah berarti memuliakan dirinya dengan tidak meminta kepadamu, maka dari itu muliakanlah dirimu dengan tidak menolak permintaannya.”

“Sabar adalah mahkota, kesetiaan adalah harga diri, memberi adalah kenikmatan, banyak bicara adalah membual ( omong kosong ), tergesa-gesa adalah kebodohan, kebodohan adalah aib, berlebih-lebihan ( dalam berkata ) adalah kebohongan, berteman dengan orang yang ahli berbuat hina adalah kejahatan dan berteman dengan ahli kefasikan adalah pusat prasangka buruk.”

“Bilamana dunia dianggap sebagai sesuatu yang sangat berharga,
maka sesungguhnya pahala Allah swt adalah lebih berharga dan lebih mulia,
Bilamana tubuh ini dirawat hanya untuk menyambut kematian, 
maka terbunuhnya seseorang dengan pedang di jalan Allah swt lebih utama.
Bilamana rizki adalah bagian yang sudah ditentukan,
maka sedikitnya keserakahan seseorang dalam berusaha adalah lebih baik.
Bilamana harta benda dihimpun hanya untuk ditinggalkan,
maka apakah gunanya seseorang pelit terhadap sesuatu yang pasti ia tinggalkan,”

“Bilamana dirimu digigit oleh kekejaman masa,
maka janganlah kamu mengadu kepada manusia.
Dan janganlah kamu meminta selain kepada Allah Tuhan yang Maha penolong, yang Maha Tahu dan yang Maha Benar.
Karena seandainya kamu hidup dan kamu telah berkeliling dari belahan barat sampai kebelahan timur,
maka tentu kamu tidak menemukan seorangpun yang mampu membuat orang lain bahagia atau sengsara.”

#Subhanallah.....
#Laa_ilaaha_illallaahu_Allahu_Akbar.

#Allahumma_sholli_ala_sayyidina_Muhammad_wa_ala_ali_sayyidina_Muhammad.

#Allahumma_sholli_wasalim_wabarik_alaihi
#Aamiin_yaa_Rabbal_alamiin


Baca juga :

CUCU RASULULLAH YANG SYAHID KARENA DIRACUN ( IMAM HASAN AL MUJTABA RADHIALLAHU’ANHU)

                                 ۞﷽۞

            ╭⊰✿️┈•┈•⊰✿๐ŸŒŸ✿⊱•┈•┈✿️⊱╮
CUCU RASULULLAH YANG SYAHID KARENA DIRACUN
( IMAM HASAN AL MUJTABA RADHIALLAHU’ANHU) 
           •┈┈•⊰✿┈•๐Ÿ”ธ️๐ŸŒน๐Ÿ”ธ️•┈✿⊱•┈┈•
                              ╭⊰✿ •̩̩̩͙े༊


ุจِุณْู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู…ِ ุงู„ู„ู‡ِ ุงู„ุฑَّุญْู…َู†ِ ุงู„ุฑَّุญِูŠْู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู…ِ 
ุงู„ุณَّู„ุงَู…ُ ุนَู„َูŠْูƒُู…ْ ูˆَุฑَุญْู…َุฉُ ุงู„ู„ู‡ِ ูˆَุจَุฑَูƒَุงุชُู‡ُ 

Nama : Hasan
Gelar : al-Mujtaba
Julukan : Abu Muhammad
Ayah : Ali bin Abi Thalib
Ibu : Fathimah az-Zahra
Tempat/Tgl Lahir : Madinah, Selasa 15 Ramadhan 2 H.
Hari/Tgl Wafat : Kamis, 7 Shafar Tahun 49 H.
Umur : 47 Tahun
Sebab Kematian : Diracun Istrinya, Ja'dah binti As-Ath
Makam : Baqi' Madinah
Jumlah Anak : 15 orang; 8 laki-laki dan 7 perempuan
Anak Laki-laki : Zaid, Hasan, Umar, Qosim, Abdullah, Abdurrahman, Husein, Thalhah
Anak Perempuan : Ummu al-Hasan, Ummu al-Husein, Fathimah, Ummu Abdullah, Fathimah, Ummu Salamah, Ruqoiyah
 
๐Ÿ’ฅRIWAYAT HIDUP 
 
"..Maka katakanlah (hai Muhammad): mari kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kalian.. ."
๐Ÿ“–(Surah Al-lmran 61)
 
"Sesungguhnya Allah SWT menjadikan keturunan bagi setiap nabi dan dari tulang sulbinya masing-masing, tetapi Allah menjadikan keturunanku dan tulang sulbi Ali bin Abi Thalib". 
๐Ÿ“š(Kitab Ahlul Bait hal. 273-274)
 
"Semua anak Adam bernasab kepada orang tua lelaki (ayah mereka), kecuali anak-anak Fathimah. Akulah ayah mereka dan akulah yang menurunkan mereka."
๐Ÿ“š(Tafsir Al Manar, dalam menafsirkan Surah al-An’am ayat 84)
 
    Satu ayat di atas serta dua hadis di bawahnya menunjukkan bahwa Hasan dan Husein adalah kecintaan Rasul yang nasabnya disambungkan pada dirinya. 
Hadis yang berbunyi: "Tapi Allah menjadikan keturunanku dari tulang sulbi Ali Bin Abi Thalib", menunjukkan bahwa Rasulullah yang tidak berbicara karena kemauan hawa nafsu kecuali wahyu semata-mata, ingin mengatakan bahwa Hasan dan Husein adalah anaknya beliau s.a.w. 
Begitu juga hadis kedua, beliau mengungkapkan bahwa anak Fathimah bernasab kepada dirinya s.a.w. 
Pernyataan tersebut dipertegas oleh ayat yang di atas, dimana Allah sendiri menyebut mereka dengan istitah ‘anak-anaknya’ yakni putra-putra Muhammad Rasululullah s.a.w.
 
    Nabi juga sering bersabda: "Hasan dan Husein adalah anak-anakku". 
Atas dasar ucapan nabi inilah, Ali bin Abi Thalib berkata kepada anak-anaknya yang lain: "Kalian adalah anak-anakku sedangkan Hasan dan Husein adalah anak-anak Nabi". 
Karena itulah ketika Rasulullah s.a.w masib hidup mereka berdua memanggil Rasulullah "ayah". 
Sedang kepada Imam Ali.  
Husein memanggilnya Abu Al Hasan, sedang Hasan memanggil sebagai Abu al-Husein. 
Ketika Rasulullah s.a.w berpulang kerahmat Allah, barulah mereka berdua memanggil hadrat Ali dengan "ayah".
    Beginilah kedekatan nasab mereka berdua kepada Rasululullah s.a.w. 
Sejak hari lahirnya hingga berumur tujuh tahun Hasan mendapat kasih sayang serta naungan dan didikan langsung dari Rasululullah s.a.w, sehingga beliau dikenal sebagai seorang yang ramah, cerdas, murah hati, pemberani, serta berpengetahuan luas tentang seluruh kandungan setiap wahyu yang diturunkan saat nabi akan menyingkapnya kepada para sahabatnya.
    Dalam kesalehannya, beliau dikenal sebagai orang yang saleh, bersujud dan sangat khusyuk dalam shalatnya. Ketika berwudhu beliau gemetar dan di saat shalat pipinya basah oleh air mata sedang wajahnya pucat karena takut kepada Allah SWT. 
Dalam belas dan kasih sayangnya, beliau dikenal sebagai orang yang tidak segan untuk dengan pengemis dan para penghuni kota yang bertanya tentang masalah agama kepadanya.
    Dari sifat-sifat yang mulia inilah beliau tumbuh menjadi seorang dewasa yang tampan, bijaksana dan berwibawa. 
Setelah kepergian Rasulullah s.a.w beliau langsung berada di bawah naungan dan didikan ayahnya Ali bin Abi Thalib. 
Hampir tiga puluh tahun, beliau bernaung di bawah didikan ayahnya, hingga akhirnya pada tahun 40 Hijriyah. 
Ketika ayahnya terbunuh dengan pedang beracun yang dipukulkan Abdurrahman bin Muljam, Hasan mulai menjabat keimamahan yang ditunjuk oleh Allah SWT.
    Selama masa kepemimpinannya, beliau dihadapkan kepada orang yang sangat memusuhinya dan memusuhi ayahnya, Muawiyah bin Abi Sofyan dari bani Umayyah. Muawiyah bin Abi Sofyan yang sangat tamakan kepada kekuasaan selalu menentang dan menyerang Imam Hasan dengan kekuatan pasukannya. 
Sementara dengan kelicikannya dia menjanjikan hadiah-hadiah yang menarik bagi jeneral dan pengikut Imam Hasan yang mau menjadi pengikutnya.
    Karena banyaknya pengkhianatan yang dilakukan pengikut Imam Hasan yang merupakan akibat bujukan Muawiyah, akhirnya Imam Hasan menerima tawaran darinya. 
Perdamaian bersyarat itu dimaksudkan agar tidak terjadi pertumpahan darah yang lebih banyak di kalangan kaum muslimin. Namun, Muawiyah mengingkari seluruh isi perjanjian itu. 
Kejahatannya pun semakin merajalela, khususnya kepada keluarga Rasulullah dan orang yang mencintai mereka akan selalu ditekan dengan kekerasan dan diperlakukan dengan tidak senonoh.
    Dan pada tahun 50 Hijriah, beliau dikhianati oleh isterinya, Ja'dah putri Ash'ad, yang menaruh racun diminuman Imam Hasan. 
Menurut sejarah, Muawiyah adalah dalang dari usaha pembunuhan anak kesayangan Rasulullah s.a.w ini.
    Akhirnya manusia agung, pribadi mulia yang sangat dicintai oleh Rasulullah kini telah berpulang ke rahmatullah. 
Pemakamannya dihadiri oleh Imam Husein dan para anggota keluarga Bani Hasyim. 
Karena adanya beberapa pihak yang tidak setuju jika Imam Hasan dikuburkan didekat maqam Rasulullah dan ketidaksetujuannya itu dibuktikan dengan adanya hujan panah ke keranda jenazah Imam Hasan . 
Akhirnya untuk kesekian kalinya keluarga Rasulullah yang teraniaya terpaksa harus bersabar. 
Mereka kemudian menglihkan pemakaman Imam Hasan a.s. ke Jannatul Baqi' di Madinah. 
Pada tanggal 8 Syawal 1344 H (21 April 1926) kemudian, pekuburan Baqi' diratakan dengan tanah oleh pemerintah yang berkuasa di Hijaz.
    Imam Hasan telah tiada, pemakamannya pun digusur namun perjuangan serta pengorbanannya yang diberikan kepada Islam akan tetap terkenang di hati sanubari setiap insan yang mengaku dirinya sebagai pengikut dan pencinta Muhammad s.a.w serta Ahlul Baitnya.

Baca juga :

๐Ÿ’ฅLAKI-LAKI SERUPA NABI 

Setelah perkawinannya dengan Ali bin Abi Thalib, Fatimah, puteri Rasulullah , melahirkan anak laki-laki yang mungil, lucu, dan sehat.
 Putera yang lahir pada pertengahan bulan Ramadhan tahun ketiga Hijrah itu disambut oleh Rasulullah dengan penuh kecintaan.
 Rasulullah mengangkatnya, menggendong, merangkul, mendekapkan ke dadanya, kemudian membisikkan adzan di telinga sebelah kanan cucunya itu dan iqamat di telinga sebelah kirinya. Setelah itu, Rasulullah berpaling kepada Ali, menantunya, seraya berkata: “Akan engkau beri nama siapa anak ini?”
            “Demi Allah, aku tak akan mendahului Anda ya Rasulullah,”jawab Ali.
            “Aku sendiri tak akan mendahului Tuhanku,”kata Nabi lagi.
            Di dalam sebagian riwayat diceritakan, bahwa tak lama sesudah dialog tersebut, Jibril kemudian datang menyampaikan pesan tentang nama anak itu, yaitu: Hasan.
            Rasulullah sangat mencintai cucunya ini. 
Di antara sabda beliau sehubungan dengan Al Hasan adalah:
*”Barangsiapa ingin melihat pemuda ahli surga, maka hendaknya ia melihat Hasan bin Ali.”
*”Hasan adalah dari aku dan aku dari Hasan, Allah mencintai orang yang mencintainya.”
            Di dalam hadis yang lain disebutkan, bahwa suatu kali orang melihat Rasulullah s.a.w. memanggul Hasan bin Ali. Di antara orang yang melihat peristiwa itu ada yang mengatakan kepada Al Hasan:”Sungguh, ini adalah tunggangan yang paling nikmat, Nak.” Mendengar ucapan orang itu, Rasulullah saww berkata: “Penunggang yang paling menyenangkan adalah anak ini.”
            Atau, pada kali yang lain, ketika sedang bersujud, Rasulullah berasa bahwa Hasan menaiki pundak beliau. Maka Rasulullah pun melambatkan sujudnya sampai cucunya itu turun.
            Beliau juga pernah bersabda:”Engkau menyerupaiku dalam bentuk dan perangai.”
(Benarlah demikian. Bahkan, pada suatu hari Abu Bakar ash-Shiddiq menggendong Al Hasan sambil berkata: “Engkau lebih menyerupai Nabi daripada Ali.”)
            Sedangkan terhadap Al Hasan dan saudaranya Al Husain , Rasulullah bersabda:
            “Keduanya (Hasan dan Husain) adalah kembang mekarku di dunia.”
            “Keduanya ini adalah anakku dan anak dari anak perempuanku. Ya Tuhan, aku mencintai keduanya dan aku cinta kepada siapa yang mencintai keduanya.”
            Sabda-sabda tersebut di atas cukup menunjukkan kemuliaan Al Hasan.
            Dengan dekatnya hubungan antara Rasulullah dengan cucunya ini, dapatlah dimengerti bahwa dengan sendirinya Al Hasan sempat mengenyam hidup bersama Rasulullah untuk jangka waktu yang cukup lama.
 Ibu Al Hasan, Fatimah az Zahra, adalah satu-satunya puteri Rasulullah yang paling lama mendampingi hidup ayahandanya. 
Fatimah hadir di saat ayahandanya menghadap kembali kepada Allah SWT. Sedangkan ayah Al Hasan, Imam Ali, seperti sudah diterangkan, adalah orang yang sangat dekat dengan Nabi dan termasuk sahabat yang paling berilmu.
            Atas dasar kenyataan itulah maka orang tak lagi merasa sangsi terhadap keluasan ilmu Al Hasan di samping sifat-sifat luhur lain yang mendekat pada peribadinya, antara lain sifat kedermawanannya yang sangat menonjol.
            Tentang ilmunya, diriwayatkan bahwa, suatu hari, Al Hasan berjumpa dengan seorang Yahudi yang sudah tua. Yahudi tua itu tampak kepayahan. Tubuhnya lemah dan pakaiannya kumal. 
Siang itu, ia tengah memanggul sekendi air, berjalan di bawah terik matahari yang menyekat. Ketika kepayahan itulah ia berjumpa dengan Al Hasan yang berpakaian rapih bersih. 
Yahudi tersebut berhenti. 
Dipandangi cucu Rasulullah itu dari ujung rambut hingga ujung kakinya. 
Perbuatan tersebut dilakukannya berulang -ulang. 
Al Hasan merasa heran karenanya. 
Namun belum sempat ia menyampaikan sesuatu, orang tua itu lebih dulu berkata, “Wahai cucu Rasulullah. Ada pertanyaan yang aku ingin engkau menjawabnya!”
            “Tentang apakah itu?’ tanya Al Hasan.
            “Datukmu dulu pernah berkata, bahwa dunia ini adalah penjaranya orang Mukmin dan surganya orang kafir.”
            “Benar demikianlah adanya.”
            “Terus terang, aku melihat yang sebaiknya. Perhatikanlah keadaanku dan keadaanmu. Aku melihat dunia ini adalah sebagai surga bagimu yang mukmin, dan neraka bagiku yang kafir.”
            “Dari mana engkau menarik kesimpulan tersebut?”
            “Lihatlah. Engkau hidup dalam keadaan senang laksana di surga, sedangkan aku? Hidupku sangat sengsara, tak ubahnya dengan hidup di neraka.”
            “Engkau keliru, hai Yahudi. Sesungguhnya, apabila dibandingkan dengan apa yang akan diberikan Allah kepadaku di surga nanti, maka kesenanganku di dunia ini tak ada artinya, sehingga dunia ini ibarat neraka bagiku. 
Sebaliknya, apabila engkau tahu apa yang akan engkau terima di akhirat nanti, maka engkau akan tahu, bahwa hidupmu yang sekarang ini jauh lebih baik, sehingga di dunia ini engkau seakan berada di surga. 
Itulah makna ucapan kekeku Rasulullah s.a.w.”
            Mendengar jawaban Al Hasan yang sangat mengena itu, si Yahudi tertegun. 
Mulutnya terkunci, tak berkata apa-apa lagi.
            Di samping keluasan ilmunya, Al Hasan dikenal juga sebagai orang yang sangat dermawan. Pernah, pada suatu hari, Al Hasan melihat seseorang sedang berdoa. 
Orang tersebut mengadukan kesulitan hidupnya kepada Allah SWT. 
Mengetahui keadaan orang itu dan mendengar doanya, dengan serta merta Al Hasan memberinya uang dalam jumlah yang cukup besar, sehingga orang itu merasa sangat kegirangan.
            Atau pada hari yang lain, yaitu di tengah perjalanannya untuk menunaikan ibadah haji bersama adiknya, Al Husain, dan Ja’far bin Abdullah r.a., sekali lagi kedermawanan Al Hasan terungkap. Alkisah, dalam perjalanannya menuju Mekkah, ketiga orang ini kehabisan bekal. 
Tak ada lagi sisa makanan dan minuman yang dapat mereka gunakan untuk meneruskan perjalanan yang masih cukup jauh. 
Mereka sangat memerlukan tambahan bekal. 
Namun bagaimana?
            Di samping pasir yang tandus itu, di tengah kebingungan mereka, tiba-tiba tampak sebuah rumah. Mereka bertiga kemudin mendatangi rumah tersebut.
            “Assalamu’alaikum,” kata mereka hampir serempak.
            “Wa’alaikum salam,” terdengar seseorang menjawab dari dalam rumah. Orang itu kemudian keluar, yang ternyata adalah seorang wanita tua.
            “Dari manakah kalian?” tanya wanita itu.
            “Kami dari Madinah!” Al Hasan menjawab.
            “Siapakah kalian?”
            “Kami adalah dari Quraisy. Saya adalah Hasan bin Ali, ini adikku Husain, dan itu Ja’far dari kelurgaku juga.”
            “Hendak ke mana kiranya Tuan-Tuan?”
            “Kami hendak ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji.”
            “Adakah sesuatu yang dapat aku bantu untuk kalian?”
            “Terus terang, kami kehabisan bekal. Apakah ibu mempunyai air yang dapat kami bawa?”
            “Astaga..! Ada, ada…silahkan kalian bawa ini!” kata ibu itu sambil menyerahkan tempat airnya.
            “Masihkah kalian mempunyai makanan?”
 Tanya ibu itu lagi.
            “Tidak. Adakah ibu mempunyai makanan?
Kami bermaksud membelinya,” kata Al Hasan.
            “Membeli? Tidak Demi Allah, hanya itu satu-satunya yang aku miliki dan aku bersumpah Tuan-Tuan harus makan itu,” kata ibu tersebut seraya menunjuk satu-satunya domba yang ia miliki.
            Domba itu kemudian dipotong, sebagian dimasak untuk dimakan Al Hasan, Al Husain, dan Ja’far. Sedangkan yang sebagian lagi di bawakan si ibu sebagai bekal untuk melanjutkan perjalanan. Ibu tua itu tak mau menerima hadiah apa-apa dari ketiga orang tamunya.
            “Demi Allah, aku melakukannya dengan ikhlas,” kata ibu itu lagi.
            “Terima kasih banyak. Semoga Allah membalas kebaikan ibu. Kami berharap, apabila ibu datang ke Madinah, sudilah kiranya ibu singgah ke rumah kami. Kami akan senang sekali!” kata Al Hasan mewakili yang lain.
            “Insya Allah.”
            “Assalamu’alaikum,” kata mereka bertiga.
            “Wa’alaikum salam,” jawab ibu itu sambil memandangi kepergian ketiga tamunya.
            Tak lama setelah kepergian tamunya, suami wanita itu pulan. Ia terkejut melihat domba satu-satunya yang ia miliki tak lagi tertambat di tempatnya. Ia segera menanyakan hal tersebut kepada isterinya.
            “ke manakah gerangan domba kita?”
            “Oh … tadi ada tiga orang yang datang kemari. Mereka kehabisan bekal dalam perjalanan mereka untuk berhaji. Aku tak punya apa-apa selain domba itu. Maka ia kupotong dan sebagian dagingnya aku berikan kepada mereka.”
Begitulah jawab sang isteri.
            “Aduuh… Bagaimana engkau dapat berbuat demikian? Siapakah ketiga orang itu?’
            “Mereka mengatakan berasal dari suku Quraish.”
            “Dari mana kamu tahu? Bagaimana kamu bisa percaya begitu saja terhadap ucapan mereka? Kamu tidak mengenalnya, maka bagimana kamu bisa percaya bahawa mereka dari Quraish?” tanya sang suami tak habis pikir.
            “Tandanya tampak dari wajah-wajah mereka!” jawab isterinya.
            Dialog tersebut tersebut hanya berlangsung sampai di situ. Sang suami pun mengikhlaskan pemberian itu setelah mendengar keterangan isterinya.
            Alkisah, beberapa waktu kemudian, daerah tempat ibu itu tinggal tersarang penjenayah yang sangat dahsyat.
Orang-orang daerah tersebut semuanya pergi meninggalkan desa mereka untuk mencari nafkah. Mereka tersebar ke mana-mana. 
Ada yang ke Makkah, ke Madinah dan juga ke tempat-tempat lain. 
Nasib ibu tua dan suaminya pun tak berbeda dengan tetangganya yang lain. 
Sang ibu dan suaminya pergi menuju Madinah. 
Di kota yang baru ini mereka berjalan mencari nafkah untuk menyambung hidup.


Baca juga :


            Di tengah pengembaraannya menyusuri jalan-jalan di Madinah, tanpa sadar, ibu itu melewati rumah Al Hasan Sang ibu rupanya sudah tak ingat lagi kepada ketiga tamunya yang dahulu. 
Itulah sebabnya, ia tak berusaha mencari mereka. Secara kebetulan, ketika ibu itu lewat, Al Hasan sedang duduk di depan rumahnya. 
Al Hasan melihat mereka, dan mengejar sepasang suami-isteri itu, kemudian menegurnya.
            “Ingkatkah ibu kepada saya?” tanyanya.
            “Demi Allah, aku tidak ingat siapa engkau,” jawab ibu itu.
            “Ingkatkah ibu kepada tiga orang tamu yang kehabisan bekal di tengah perjalanan mereka untuk berhaji?”
            “Tidak!”
            “Baiklah, apabila ibu tak ingat kepada saya, maka saya masih dapat mengenali ibu. Saya adalah Hasan bin Ali, orang yang perarnah ibu beri makanan dan minuman untuk bekal saya dan dua orang saudara yang lain menuju Mekkah. 
Mari, silahkan ibu ke rumah saya!” kata Al Hasan seraya mengiringi keduanya menuju kediamannya.
            Di rumah Al Hasan itulah keduanya menceritkan keadaan yang menimpa desa mereka. Al Hasan menyambut keduanya dengan sambutan yang sangat baik. 
Dijamu kedua tamunya itu dengan penuh hormat. Sebelum pulang, Al Hasan memberi keduanya uang seribu dinar dan beberapa ekor kambing. 
Kemudian Al Hasan memanggil pembantunya dan berkata: “Antarkan kedua tamuku ini ke rumah saudaraku, Husain, dan ke rumah Ja’far!”
            “Baik Tuan!” kata kadamnya.
            Mereka bertiga kini dalam perjalanan menuju rumah Husain bin Ali. 
            “Assalamu’alaikum,” kata kadam Al Hasan.
            “Wa alaikum salam,” terdengar jawaban dari dalam rumah.
            Tak lama setelah itu, Al Husain membukakan pintu. Ia mengenal kadam Al Hasan.
            “Aku disuruh mengantarkan kedua tamu ini kemari,” kata teman itu. Al Husain melihat tamunya. Ternyata ia pun masih mengenal ibu tersebut. 
Al Husain segera menyambutnya dengan penuh hormat. “Mari, silakan masuk! Alhamdulillah, akhirnya Allah mempertemukan kita kembali.”
            “Allah Mahabesar!” jawab si ibu.
            Setelah berbincang-bincang, sebelum minta diri, Al Husain memberi ibu tersebut seribu dinar uang dan beberapa ekor domba.
            “Sungguh Anda sangat mulia,” kata si ibu. “Semoga Allah yang membalas semua kebaikan ini,” tambah suaminya.” Assalamu’alaikum.”
            “Wa’alaikumsalam!” jawab Al Husain.
            Mereka berdua mohon diri, dan bersama kadam Al Hasan pergi ke rumah Ja’far.
            Tak beda dengan Al Hasan dan Al Husain, Ja’far bin Abdullah pun menyambut kedua tamunya itu dengan baik. Ternyata, ia pun masih mengenal si ibu tua.
            “Bagaimana kabar kalian!” tanya Ja’far setelah membalas salam keduanya.
            “Alhamdulillah, Allah masih melindungi kami,” kata si suami. “Dan Mahabesar Allah yang telah mempertemukan kita kembali,” kata si isteri.
            Setelah lama mereka berbincang-bincang, Ja’far memerintahkan kadamnya menyiapkan beberapa ekor domba, sedangkan ia sendiri masuk mengambil uang. Ia pun memberi ibu tersebut uang seribu Dinar dan beberapa ekor Domba. 
Setelah mengucapkan terima kasih kepada Ja’far dan bersyukur kepada Allah SWT, mereka pun memohon pulang.
            Suami isteri itu kemudian kembali ke desanya dengan bekal tiga ribu dinar uang dan beberapa ekor domba. 
Mereka menjadi orang yang terkaya di desanya.
            Kedermawanan Al Hasan itu sesuai dengan sabda Nabi s.a.w.:”Kepada Al Hasan aku wariskan kesabaran dan kedermawananku.”
            Sejarah mencatat, bahwa setelah Imam Ali bin Abi Thalib wafat, orang ramai membaiat Al Hasan sebagai Khalifah yang baru. 
Pada masa itu, keadaan kaum Muslim masih belum bersatu benar.
 Pemberontakan telah terjadi sejak Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah. 
Berontakan-berontakan dengan beberapa kelompok kaum Muslimin – yang memerangi Imam Ali dengan alasan menuntut balas atas terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan tak lagi dapat dihindari.
 Di antara orang yang gigih menuntut balas atas kematian Utsman, adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ia yang pada masa pemerintahan Utsman menjadi gubenur di Syam – sudah sejak beberapa waktu sebelumnya menyiapkan tentara. Utsman adalah kerabatnya dari kalangan Bani Umayyah. 
Dengan tak memberi kesempatan kepada Imam Ali untuk menyelidiki kenapa terbunuhnya Utsman, Mu’awiyah berangkat memerangi Imam Ali. Sebenarnyalah, Mu’awiyah sangat menginginkan jabatan Khalifah. 
Karena ia sadar bahwa kaum Muslimin bakal memilih Ali bin Abi Thalib, maka ia buru-buru memerangi Imam Ali dengan dalil menuntut balas atas terbunuhnya Utsman. 
Dalam peperangan dengan Imam Ali itu, Mu’awiyah dan pengikutnya terdesak. Maka selamatlah mereka dari kehancuran.
            Namun demikian pemerintahan Imam Ali ternyata berakhir dengan peristiwa pembunuhan atasnya, ketika beliau sedang memimpin shalat Subuh. 
Suasana negara menjadi tidak menentu sepeninggal Imam Ali. 
Dalam keadaan kacau itulah Al Hasan dibaiat. Mu’awiyah tak tinggal diam mendengar pembaiatan atas Al Hasan. 
Ketika mulai menjabat sebagai Khalifah, Al Hasan yang sadar akan apa yang bakal dilakukan oleh Mu’awiyah, segera menulis surat kepada Mu’awiyah, mengingatkan akan pentingnya persatuan, dan meminta Mu’awiyah untuk juga membaiatnya. 
Surat itu ditulis dengan kata-kata yang baik. 
Tetapi Muawiyah tidak segera membalas surat Al Hasan. 
Mu’awiyah yang pada waktu itu juga mengangkat diri sebagai Khalifah, menyatakan bahwa ia lebih mampu dan lebih berhak menjadi Khalifah daripada Al Hasan. 
Mu’awiyah tak lupa menawarkan “suap” kepada Al Hasan.
            Singkat cerita, keadaan semakin dekat dengan pertelingkahan antara Al Hasan dengan Mu’awiyah. 
Dan Mu’awiyah mulai mencari pengaruh. Ia membujuk setiap orang dan kepala-kepala suku dengan bujukan uang. 
Tak sedikit orang yang karena bujukan duniawi itu akhirnya berpihak kepada Mu’awiyah. 
Setelah merasa kuat, Mu’awiyah kemudian menyiapkan pasukan dari Syam menuju Kufah.
            Al Hasan mengetahui semua rencana dan persiapan Mu’awiyah. 
Dengan cepat ia mengumpulkan penduduk Kufah, yang semuanya berpihak dan memaksa dia untuk menjadi Khalifah. 
Tapi, ternyata pengikut Al Hasan tak cukup setia seperti pengikut Mu’awiyah. 
Setelah pecah pertempuran, panglima pasukan Al Hasan sendiri belot, menjadi pengikut Mu’awiyah, karena imbuhan uang satu juta dirham.
            Berita pembelotan panglima perang Al Hasan itu segera tersebar. 
Perajurit lainnya yang mendengar berita itu kemudian menjadi lalai. 
Dengan membabi buta, mereka bahkan menyerang kemah Khalifah Al Hasan sendiri. 
Mereka merampas harta benda Al Hasan yang ada dikemah tersebut. 
Salah seorang dari mereka, Al Jarrah bin Asad, bahkan menyerang Al Hasan sehingga menimbulkan luka-luka pada tubuh beliau.
            Al Hasan berkata kepadanya, dan perkataannya itu juga ditujukan kepada yang lain: “Dulu kalian membunuh ayahku. Kini kalian menyerang dan berusaha untuk membunuh diriku.”
            Nampaknya, Al Hasan sudah benar-benar tak dapat mempercayai pengikutnya sendiri. 
Orang yang benar-benar setia kepadanya terlalu sedikit untuk dapat meneruskan peperangan. 
Dengan pertimbangan itu, dan mengingat pentingnya keutuhan dan persatuan umat, Al Hasan berniat mengakhiri perang yang jauh tak seimbang, karena hal itu hanya akan menambah banyaknya jumlah korban yang jatuh.
            Namun Al Hasan tidak semudah itu melepaskan jabatan dan membiarkan Mu’awiyah berkuasa semaunya. Sebelum menyerahkan kekhalifahan kepada Mu’awiyah, terlebih dahulu ia mengadakan perjanjian. 
Di antara isi perjanjian yang panjang tersebut, salah satu bagiannya menyebutkan, bahwa sepeninggal Mu’awiyah, kepemimpinan umat akan diserahkan kembali kepada kaum Muslimin untuk memilih sendiri pemimpin yang mereka kehendaki. 
Di sinilah tampak bagaimana Al Hasan benar-benar memperhatikan kepentingan kaum Muslimin. 
Pasal itu akhirnya dilanggar oleh Mu’awiyah yaitu dengan mengangkat putranya, Yazid, sebagai pengganti dirinya, sementara kaum Muslimin tak dapat berbuat apa-apa di bawah ancaman pedang dan sebahagiannya lagi luluh karena bujukan uang dan jabatan.
            Setelah dicapai kesepakatan dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, sebelum meninggalkan Iraq untuk menuju Madinah, Al Hasan sempat menyampaikan pesan dan kesannya untuk penduduk Iraq. Ia antara lain berkata:
            “Wahai penduduk Iraq, ketahuilah, bahwa ada tiga hal yang menyebabkan aku tak lagi berani menggantungkan diriku pada kalian dan tidak dapat mempercayai kalian. Pertama, kalian telah membunuh ayahku; kemudian kalian telah berusaha untuk membunuh aku; dan yang terakhir, kalian telah menyerang dan merampas barang-barang di kemahku. Aku yakin, bahwa orang yang menggantungkan nasibnya kepada kalian, pasti akan ditimpa kekalahan…”
            Setelah itu, Al Hasan meninggalkan Kufah menuju ke Madinah, Konon, penduduk Kufah menangisi perpindahan Al Hasan. Namun rupanya benarlah kata pepatah:”Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya.” Al Hasan tak lagi dapat mengubah pendiriannya.
            Telah bulat tekad Al Hasan untuk meninggalkan Kufah, betapapun orang menahannya. Ia kemudian hidup di Madinah, menekuni ibadah, mendalami ilmu, dan selalu mengisi waktunya dengan amal-amal yang dapat mendekatan diri kepada Allah SWT. Banyak waktu dihabiskannya di Masjid Rasulullah dan membantu setiap orang yang kesusahan.
            Al Hasan dikenal sebagai orang yang tak membeda-bedakan pangkat dan kedudukan. 
Suatu hari, sekelompok orang miskin mengundangnya untuk makan bersama. Al Hasan duduk, makan bersama mereka meski hanya bersantap dengan sepotong roti kering. 
Semua itu ia lakukan dengan sepenuh hati, tanpa bersifat perasaan terpaksa sedikit pun. 
Setelah itu, ia ganti mengundang orang-orang tersebut untuk makan dirumahnya. 
Atau pada kali yang lain, ia memenuhi undangan anak-anak kecil. Begitulah hari-hari Al Hasan di Madinah.
            Sampai ketetapan Allah datang kepadanya. Hari itu, 28 Safar tahun 50 Hijriyah, Al Hasan merasakan sesuatu yang tidak enak pada tubuhnya. Ia terbaring lemah. 
Al Husain, adik kandungnya, duduk disamping tubuh kakaknya. Ia merasa heran mengetahui sakit kakaknya yang sangat mendadak itu. Rupanya, Al Hasan telah diracuni.
            “Katakan, siapakah yang telah meracunimu?” tanya Al Husain.
            “Tiga kali sudah aku diracuni orang, namun yang sekali ini sungguh luar biasa!” kata Al Hasan. 
“Katakanlah, siapakah orang yang telah meracunimu itu!” pinta Al Husain mendesak.
            Rupanya, Al Hasan sengaja tak mau menyebutkan nama orang yang telah meracuninya, meskipun Al Husain mendesak menanyakan hal tersebut.


Baca juga :

           
 Tak ada catatan yang pasti tentang orang yang meracuni Al Hasan. 
Sebagian riwayat menyebutkan, bahwa Al Hasan diracuni oleh isterinya sendiri yang bernama Ja’dah binti Asy’ats.
Terbujuk oleh rayuan Mu’awiyah untuk dikawinkan dengan putranya yang bernama Yazid, ditambah imbuhan seratus ribu dinar, Ja’dah terpikat untuk membunuh Al Hasan. 
Diceritakan, bahwa Ja’dah kemudian menerima uang sebesar seratus ribu dinar itu, namun Mu’awiyah menolak untuk mengawinkan dia dengan Yazid. Ketika ditanya tentang alasannya tidak mengawinkan Ja’dah dengan Yazid, Mu’awiyah berkata: “Bagaimana mungkin aku berani mengawinkan dia dengan anakku? Apabila ia telah tega meracuni cucu Rasulullah s.a.w, maka apa pula yang akan dia lakukan terhadap puteraku, Yazid?” Ja’dah tertegun dan baru sadar setelah semuanya terjadi.
            Jenazah Al Hasan dimakamkan di pekuburan Baqi’, dekat makam neneknya, Fatimah binti Asad. Kaum muslimin berkabung mendengar berita wafatnya Al Hasan. 
Masih jelas dalam ingatan mereka, betapa Al Hasan sangat menyerupai Nabi hampir dalam semua hal. Kerinduan orang kepada Nabi yang biasanya terobati dengan hadirnya Al Hasan kini tak mungkin dinikmati lagi…