“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893).
Jumat, 22 Juni 2018
MENGGAPAI RIDHO ALLAH DENGAN BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA
Senin, 18 Juni 2018
TANGIS PERPISAHAN PARA PECINTA RAMADHAN
سْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــم
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
---------------------------------------------------------------------
“Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya.”
Waktu terus bergulir dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu…. Rasanya baru kemarin kita begitu bersemangat mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan, bulan tarbiyah, bulan latihan, bulan Quran, bulan maghfirah, bulan yang penuh berkah. Namun beberapa saat lagi, Ramadhan akan meninggalkan kita, padahal kita belum optimal melaksanakan qiyamul lail kita, belum optimal membaca Al-Quran serta belum optimal melaksanakan ibadah-ibadah lain, target-target yang kita pasang belum semuanya terlaksana. Dan kita tidak akan pernah tahu apakah kita masih dapat berjumpa dengan Ramadhan berikutnya.
Bagi para salafush shalih, setiap bulan Ramadhan pergi meninggalkan mereka, mereka selalu meneteskan air mata. Di lisan mereka terucap sebuah doa yang merupakan ungkapan kerinduan akan datangnya kembali bulan Ramadhan menghampiri diri mereka.
Orang-orang zaman dahulu, dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi sedih. Maka, tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa Rasulullah SAW, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf. Dan di sela-sela i’tikafnya, mereka terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka.
Ada satu riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini tidak saja dialami manusia, tapi juga para malaikat dan makhluk-makhluk Allah lainnya.
Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya. Ini merupakan musibah bagi umatku.”
Kemudian ada seorang sahabat bertanya, “Apakah musibah itu, ya Rasulullah?”
“Dalam bulan itu segala doa mustajab, sedekah makbul, segala kebajikan digandakan pahalanya, dan siksaan kubur terkecuali, maka apakah musibah yang terlebih besar apabila semuanya itu sudah berlalu?”
Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih.
Betapa tidak. Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan. Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.
Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.
Suatu hari, pada sebuah shalat ‘Idul Fithri, Umar bin Abdul Aziz berkata dalam khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan shalat selama tiga puluh hari pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya memohon kepada Allah agar menerima amalan tersebut.”
Salah seorang di antara jama’ah terlihat sedih.
Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram durja? Ada apa gerangan?”
“Ucapanmu benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut. “Akan tetapi, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.”
Kekhawatiran serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah SAW. Di antaranya Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”
Ucapan Sayyidina Ali RA ini mirip dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud RA, “Siapakah gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya untuk kita ‘layati’. Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai orang yang ditolak amalannya, keperkasaan Allah adalah musibah bagimu.”
Imam Mu’alla bin Al-Fadhl RA berkata, “Dahulu para ulama senantiasa berdoa kepada Allah selama enam bulan agar dipertemukan dengan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar diterima amal ibadah mereka (selama Ramadhan).”
Wajar saja, sebab, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tahun depan kita akan kembali berjumpa dengan bulan yang penuh berkah, rahmat, dan maghfirah ini. Karenanya, beruntung dan berbahagialah kita saat berpisah dengan Ramadhan membawa segudang pahala untuk bekal di akhirat.
Jika kita merenungi kondisi salafush shalih dan meneliti bagaimana mereka menghabiskan waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan, bagaimana mereka memakmurkannya dengan amal shalih, niscaya kita mengetahui jauhnya jarak di antara kita dan mereka.
#Saudara-saudariku...
Bagaimana dengan kita? Adakah kesedihan itu hadir di hati kita di kala Ramadhan meninggalkan kita? Atau malah sebaliknya, karena begitu bergembiranya menyambut kedatangan Hari Raya ‘Idul Fithri, sampai-sampai di sepuluh hari terakhir, yang seharunya kita semakin giat melaksanakan amalan-amalan ibadah, kita malah disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat kue, dan lain-lain.
Padahal di sisi lain, masih banyak orang di sekitar kita yang berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi untuk berbuka hari ini, bukan untuk besok, apalagi untuk pesta pora di hari Lebaran.
Tapi apakah salah bila kita menyongsong Hari Raya ‘Idul Fithri dengan kegembiraan? Tentu saja tidak. Bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR Nasa’i).
√ Lebarannya Rasulullah SAW
#Saudara-saudariku...
Idul Fithri adalah anugerah Allah kepada umat Nabi Muhammad, tak salah bila disambut dengan suka cita. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Annas RA. “Rasulullah SAW datang, dan penduduk Madinah memiliki dua hari, mereka gunakan dua hari itu untuk bermain di masa Jahiliyah. Lalu beliau berkata, ‘Aku telah mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa Jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yaitu hari Nahr (‘Idul Adha) dan hari Fithr (‘Idul Fithri)’.”
Hanya saja dalam kegembiraan ini jangan sampai berlebih-lebihan, baik itu dalam berpakaian, berdandan, makan, tertawa. Dan di malam Hari Raya ‘Idul Fithri pun, kita hendaknya tidak terlarut dalam kegembiraan sehingga kita lupa untuk menghidupkan malam kita dengan qiyamul lail. Bukankan kita sudah dilatih untuk menghidupkan malam-malam kita dengan Tarawih selama bulan Ramadhan? Dan Rasulullah SAW pun bersabda, dari Abu Umamah RA, “Barang siapa melaksanakan qiyamul lail pada dua malam ‘Id (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha) dengan ikhlas karena Allah SWT, hatinya tidak akan pernah mati di hari matinya hati-hati manusia’.” (HR Ibnu Majah).
#Saudara-saudariku...
Marilah kita lihat bagaimana Rasulullah SAW menyambut Lebaran dengan keriangan yang bersahaja.
Pagi itu, tepatnya 1 Syawwal, Rasulullah SAW keluar dari tempat i’tikafnya, Masjid Nabawi. Beliau bergegas mempersiapkan diri untuk berkumpul bersama umatnya, melaksanakan salat ‘Id. Nabi juga menyuruh semua kaum muslimin, dewasa, anak-anak, laki-laki, dan perempuan, baik perempuan yang suci maupun yang haid, keluar bersama menuju tempat shalat, supaya mendapat keberkahan pada hari suci tersebut.
Menurut hadits Ummu ‘Athiyyah, “Kami diperintahkan untuk mengeluarkan semua gadis dan wanita, termasuk yang haid, pada kedua hari raya, agar mereka dapat menyaksikan kebaikan hari itu, juga mendapat doa dari kaum muslimin. Hanya saja wanita-wanita yang haid diharapkan menjauhi tempat shalat.” (HR Bukhari-Muslim).
Dikatakan oleh Ibnu Abbas, “Rasulullah SAW keluar dengan seluruh istri dan anak-anak perempuannya pada waktu dua hari raya.” (HR Baihaqi dan Ibnu Majah).
Ibnu Abbas dalam hadits yang diriwayatkannya menuturkan, “Saya ikut pergi bersama Rasulullah SAW (waktu itu Ibnu Abbas masih kecil), menghadiri Hari Raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha, kemudian beliau shalat dan berkhutbah. Dan setelah itu mengunjungi tempat kaum wanita, lalu mengajar dan menasihati mereka serta menyuruh mereka agar mengeluarkan sedekah.”
Sebelum melaksanakan salat ‘Id, terlebih dahulu Rasulullah membersihkan diri. Lalu beliau berdoa, “Ya Allah, sucikanlah hati kami sebagaimana Engkau sucikan badan kami, sucikanlah bathin kami sebagaimana Engkau telah menyucikan lahir kami, sucikanlah apa yang tersembunyi dari orang lain sebagaimana Engkau telah menyucikan apa yang tampak dari kami.”
Ada juga riwayat yang mengatakan, Rasulullah, setelah mandi, memakai parfum. Anas bin Malik berkata, “Rasulullah SAW memerintahkan kita di dua hari raya mengenakan pakaian terbagus yang kita miliki, menggunakan parfum terbaik yang kita miliki, dan berqurban (bersedekah) dengan apa saja yang paling bernilai yang kita miliki.” (HR Al-Hakim, dan sanadnya baik).
Imam Syafi’i dengan sanad yang juga baik meriwayatkan, Rasulullah SAW mengenakan kain burdah (jubah) yang bagus pada setiap hari raya. Pakain terbagus dalam hal ini bukan berarti baru dibeli, tetapi terbagus dari yang dimiliki. Lebih khusus lagi Imam Syafi’i dan Baghawi meriwayatkan, Nabi SAW memakai pakaian buatan Yaman yang indah pada setiap hari raya (Pakaian buatan Yaman merupakan standar keindahan busana saat itu).
Pada hari istimewa itu, beliau mengenakan hullah, pakaiannya yang terbaik yang biasa beliau kenakan setiap hari raya dan hari Jum’at. Ini merupakan tanda syukur kepada Allah, yang telah memberikan nikmat-Nya.
Kemudian, beliau mengambil beberapa butir kurma untuk dimakan. Kurma yang dimakan biasanya jumlahnya ganjil, seperti satu, tiga, dan berikutnya. Ini pertanda, hari itu umat Islam menghentikan puasanya.
Sepanjang perjalanan dari rumah menuju tempat salat ‘Id, Rasulullah tak henti-hentinya mengumandangkan takbir dengan khidmat. “Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahilhamdu.”
Rasulullah SAW selalu melaksanakan shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha di tanah lapang, seperti disebutkan di dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim. Beliau baru melaksanakan salat ‘Id di masjid kalau hari hujan. Menurut ahli fiqih, tempat salat ‘Id yang sering digunakan Rasulullah dan para sahabat itu terletak di sebuah lapangan di pintu timur kota Madinah.
Rasulullah melaksanakan salat ‘Idul Fithri agak siang. Ini untuk memberi kesempatan kepada para sahabat membayar zakat fithrah mereka. Sementara salat ‘Idul Adha dilakukan lebih awal, agar kaum muslimin bisa menyembelih hewan qurban mereka.
Jundab RA berkata, “Rasulullah SAW shalat ‘Idul Fitri dengan kami ketika matahari setinggi dua tombak, dan shalat ‘Idul Adha dengan kami ketika matahari setinggi satu tombak.”
Rasulullah melaksanakan salat ‘Idul Fithri dua rakaat tanpa adzan dan iqamat. Pada rakaat pertama, beliau bertakbir tujuh kali dengan takbiratul ihram dan kaum muslimin di belakangnya bertakbir seperti takbirnya. Kemudian membaca surah Al-Fatihah dan surah lainnya dengan keras.
Pada rakaat kedua, beliau takbir qiyam (berdiri dari sujud) kemudian bertakbir lima kali, kemudian membaca Al-Fatihah, disambung dengan surah lainnya.
Namun ada juga sahabat yang tertinggal shalatnya. Maka misalnya dia hanya mendapat tasyahhud, setelah imam salam dia shalat dua rakaat. Jadi dia shalat dua rakaat, sebagaimana dia ketinggalan dua rakaat dari imam.
Lalu bagaimana dengan orang yang ketinggal shalat hari raya? Menurut Ibnu Mas’ud, “Barang siapa tertinggal shalat hari raya, hendaklah dia shalat empat rakaat sendiri.”
Abu Said Al-Khudri RA berkata, “Rasulullah SAW selalu keluar pada Hari Raya Haji dan Hari Raya Puasa. Beliau memulai dengan shalat. Setelah selesai shalat dan memberi salam, Baginda berdiri menghadap kaum muslimin yang masih duduk di tempat shalatnya masing-masing. Jika mempunyai keperluan yang mesti disampaikan, akan beliau tuturkan hal itu kepada kaum muslimin. Atau ada keperluan lain, maka beliau memerintahkannya kepada kaum muslimin. Beliau pernah bersabda (dalam salah satu khutbahnya di hari raya), ‘Bersedekahlah kalian! Bersedekahlah! Bersedekahlah!’ Dan ternyata kebanyakan yang memberikan sedekah adalah kaum wanita.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ketika berangkat untuk melakukan salat ‘Id, Rasulullah selalu melewati jalan yang berbeda ketika pulangnya. Ini memudahkan para sahabat yang hendak menemui beliau untuk mengucapkan selamat hari raya, sekaligus menunjukkan kepada kaum kafir bahwa inilah umat Islam, yang keluar menuju Allah, dan kembali kepada-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, dan berjalan di muka bumi ini agar memperoleh keridhaan-Nya.
√ Saling Bermaafan
#Saudara-saudariku...
Saat bertemu satu sama lain, kaum muslimin saling bermaafan, seraya saling mendoakan. Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan RA mengatakan, “Aku menemui Watsilah bin Al-Asqa’ pada hari ‘Id, lalu aku mengatakan, ‘Taqabbalallah minna wa minka (Semoga Allah menerima amal ibadahku dan amal ibadahmu).’
Lalu ia menjawab, ‘Taqabbalallah minna wa minka’.
Kemudian Watsilah berkata, ‘Aku menemui Rasulullah SAW pada hari ‘Id, lalu aku mengucapkan: Taqabbalallah minna wa minka.
Lalu Rasulullah SAW menjawab, ‘Ya, taqabbalallah minna wa minka’.” (HR Baihaqi).
Selanjutnya, di masa sahabat, ucapan ini agak berubah sedikit. Jika sebagian sahabat bertemu dengan sebagian yang lain, mereka berkata, “Taqabballahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amal ibadahku dan amal ibadah kalian).” (HR Ahmad dengan sanad yang baik).
Pada hari raya, Rasulullah mempersilakan para sahabat untuk bergembira. Seperti mengadakan pertunjukan tari dan musik, makan dan minum, serta hiburan lainnya. Namun semua kegembiraan itu tidak dilakukan secara berlebihan atau melanggar batas keharaman. Karena, hari itu adalah hari-hari makan, minum, dan dzikir kepada Allah Azza wa Jalla (HR Muslim).
Aisyah RA menceritakan, “Di Hari Raya ‘Idul Fithri, Rasulullah masuk ke rumahku. Ketika itu, di sampingku ada dua orang tetangga yang sedang bernyanyi dengan nyanyian bu’ats (bagian dari nyayian pada hari-hari besar bangsa Arab ketika terjadi perselisihan antara Kabilah Aush dan Khazraj sebelum masuk Islam). Kemudian Rasulullah berbaring sambil memalingkan mukanya.
Tidak lama setelah itu Abu Bakar masuk, lalu berkata, ‘Kenapa membiarkan nyanyian setan berada di samping Rasulullah?’
Mendengar hal itu, Rasulullah menengok kepada Abu Bakar seraya berkata, ‘Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita’.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ada juga riwayat dari Imam Bukhari yang menceritakan, “Rasulullah SAW masuk ke tempatku (Aisyah), kebetulan di sana ada dua orang sahaya sedang menyanyikan syair-syair Perang Bu’ats (Bu’ats adalah nama benteng kepunyaan suku Aus; sedang hari Bu’ats ialah suatu hari yang terkenal di kalangan Arab, waktu terjadi pertempuran besar di antara suku Aus dan Khazraj). Beliau terus masuk dan berbaring di ranjang sambil memalingkan kepalanya.
Tiba-tiba masuk pula Abu Bakar dan membentakku seraya berkata, ‘(Mengapa mereka) mengadakan seruling setan di hadapan Nabi?’
Maka Nabi pun berpaling kepadanya, beliau berkata, ‘Biarkanlah mereka.’
Kemudian setelah beliau terlena, aku pun memberi isyarat kepada mereka supaya keluar, dan mereka pun pergi.
Dan waktu hari raya itu banyak orang Sudan mengadakan permainan senjata dan perisai. Adakalanya aku meminta kepada Nabi SAW untuk melihat, dan adakalanya pula beliau sendiri yang menawarkan, ‘Inginkah kau melihatnya?’
Aku jawab, ‘Ya.’
Maka disuruhnya aku berdiri di belakangnya, hingga kedua pipi kami bersentuhan, lalu sabdanya, ‘Teruskan, hai Bani ‘Arfadah!’
Demikianlah sampai aku merasa bosan.
Maka beliau bertanya, ‘Cukupkah?’
Aku jawab, ‘Cukup.’
‘Kalau begitu, pergilah!’ kata beliau.”
√ Hakikat Kemenangan
#Saudara-saudariku...
Demikianlah, Ramadhan telah melewati kita. Tapi kebaikan-kebaikan lain tetap mesti dipertahakan.
Puasa Ramadhan memang telah berakhir, tapi puasa-puasa sunnah, misalnya, tidaklah berakhir, tetap menanti kita. Seperti puasa enam hari di bulan Syawwal, puasa Senin-Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan (ayyaamul bidh, tanggal 13, 14, dan 15 tiap bulan), puasa Asyura’ (tanggal 10 Muharram), puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), dan lain-lain.
Tarawih memang telah berlalu, tapi Tahajjud, misalnya, tetap menanti kita. Juga bermunajat di tengah malam, yang merupakan kebiasaan orang-orang shalih. Abu Sulaiman Ad-Daaraani rahimahullah berkata, “Seandainya tidak ada malam, niscaya aku tidak ingin hidup di dunia.”
Zakat fithrah memang telah berlalu, tapi zakat wajib dan pintu sedekah masih terbuka lebar pada waktu-waktu yang lain.
Karenanya, memasuki ‘Idul Fithri, yang berarti jiwa kita menjadi fithri (suci), “tampilan” kita harus lebih Islami. Baik tujuan, orientasi, motivasi, fikrah (pemikiran), akhlaq, moral, perilaku, interaksi, kebijakan, aktivitas, kiprah, peran, maupun yang lainnya. Individu, rumah tangga, ataupun sosial. Rakyat, ataupun pejabat. Ini merupakan indikator diterimanya puasa Ramadhan kita. Karena jika Allah SWT menerima amal seseorang, Dia akan menolongnya untuk mengadakan perubahan diri ke arah yang lebih positif dan meningkatkan amal kebajikan.
Seorang penyair Arab mengingatkan dalam sya’irya:
Bukanlah Hari Raya ‘Id itu
bagi orang yang berbaju baru
Melainkan hakikat ‘Id itu
bagi orang yang bertambah ta’atnya
Semoga dengan latihan yang telah kita lakukan selama bulan Ramadhan ini, kita disampaikan Allah kepada ketaqwaan.
Semoga ketaqwaan ini dapat kita terus pertahankan dan kita jadikan sebagai pakaian kita sehari-hari.
Dan semoga kita masih dapat dipertemukan Allah dengan Ramadhan berikutnya. Aamiin yaa Rabbal'alamin
Taqabbalallahu minna waminkum, wakullu ‘aamin wa antum bikhairin.
Wallahul muwafiq
Al afwu minkum...
Hadaanallahu waiyyakum ajma'in
Wallahu'alam bishshawwab...
By : Rita al Khansa
Kamis, 19 April 2018
PENTINGNYA KATA MAAF
۞﷽۞
╭⊰✿️•┈•┈•⊰✿ৡৢ˚❁🕌❁˚ৡ✿⊱•┈•┈•✿️⊱╮
🟤 PENTINGNYA KATA MAAF 🟤
•┈┈•⊰✿┈•ৡৢ❁˚🌹🌟🌹˚❁ৡ•┈✿⊱•┈┈•
╭⊰✿ •̩̩̩͙े༊
بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــــمِ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
===================================
🟤 Ma'af, sebuah kata sederhana, biasa saja, sepele, tak jarang tidak kita perhatikan secara serius.
Di satu sisi ada orang yang ‘malas’ dan pelit untuk mengucapkan kata ma.af, karena menganggap itu nggak penting, merasa tidak melakukan kesalahan fatal sehingga tidak perlu minta ma'af.
🟤 Sementara di sisi lain ada orang-orang yang dengan mudah menghamburkan kata ma’af tanpa dirasakan kedalaman makna dari ma'af itu sendiri, sehingga kesannya hanya kata saja yang terlontar di bibir, terasa ringan , mudah diucapkan dan merasa sudah selesai , sudah plong saat sudah ada kata ma'af.
Sehingga kesannya ma'af hanya sekedar formalitas saja.
Meskipun pasti banyak juga orang yang mengatakan kata ma'af dengan ketulusan hati dan niat sungguh-sungguh disertai hati yang jernih dan dada lapang.
🟤 Mungkin kita dengan mudah meminta ma'af kepada orang lain, tanpa beban dan tulus. Bahkan merasa sudah sewajarnya minta ma'af kepada orang lain , entah itu saudara, teman, tetangga, kenalan dll.
🟤 Tetapi adakah yang ‘lupa’ untuk meminta maaf kepada pasangan?
Meski terkesan sepele, terkadang kita melupakan bahwa jika ada suatu kesalahan/ hal yang kurang berkenan di hati pasangan kita (terutama suami/istri) kita seharusnya juga minta ma'af.
🟤 Dari beberapa obrolan ringan dengan beberapa teman/ tetangga/saudara, sebagian besar mereka merasa tidak perlu minta ma'af kepada pasangan masing-masing.
Jawaban yang mencegangkan adalah karena mereka merasa sudah ‘bukan orang lain lagi’ , ‘sudah keluarga sendiri’, ‘ pasangan sudah menjadi bagian dari kita’ sehingga merasa sah dan wajar saja jika tidak perlu minta ma'af pada pasangan.
🟤 Dan yang lebih membuat terkejut ada yang bahkan saat Hari Raya Idul Fitri pun mereka tidak minta ma'af kepada pasangannya.
Padahal mereka minta ma'af kepada orangtua, sauadara, tetangga, teman, dll lho.
Sementara kepada pasangan mereka bisa ’lupa’?
🟤 Alasan yang disampaikan, bagi suami, menganggap seharusnya istrilah yang minta maaf terlebih dahulu, baru suami yang minta maaf. Sementara bagi istri merasa ya sudah nggak perlulah, lha wong setiap hari ketemu dan merasa suami sudah bukan orang lain lagi. What?
Justru karena setiap hari ketemu itu memungkinkan banyak kesalahan dan khilaf kan....?
🟤 Pernah ada cerita sebuah keluarga saat mereka berantem hebat dan diambang perpisahan. Suami dengan kata-kata kasar mengungkit kepada istrinya kalau selama mereka menikah puluhan tahun, tidak pernah sekalipun istrinya minta ma'af bahkan tidak juga di hari Idul Fitri. Suami merasa tidak diperlakukan sebagai seorang suami, tidak di uwongke, tidak di hargai sebagaimana mestinya. Wah ini gawat.
🟤 Permintaan ma'af kepada pasangan itu sangat..sangat penting. Bahkan penting sekali. Mengapa?
1️⃣〰️Pertama, Meskipun sudah menjadi bagian dari diri kita, tetapi pasangan tetap orang lain yang mempunyai perasaan halus dan pasti ingin dihargai selayaknya orang lain. Jangan menganggap itu tidak penting. Maka tetaplah minta ma'af kalau ada khilaf.
2️⃣〰️Kedua, suami istri biasanya setiap hari bertemu, berkumpul. Bisa dipastikan ada hal-hal yang kurang berkenan di hati masing-masing. Apa salahnya memulai terlebih dahulu ntuk minta ma’af, toh itu juga tidak akan menurunkan harga diri kita. Buat apa gengsi? Justru dengan legowo/lapang dada untuk minta ma’af terlebih dahulu itu adalah sikap mulia
3️⃣〰️Ketiga, dengan ringannya hati, pikiran dan bibir kita berucap ma’af, akan menambah keharmonisan dalam rumah tangga. Rasanya suami/istri tidak akan tega marah, mendiamkan, berbuat kasar kepada pasangannya ketika sudah ada permintaan ma’af. Tentunya dengan hati tulus ikhlas dan benar-benar berusaha untuk tidak berbuat khilaf lagi.
🟤 Ma’af, seuntai kata sederhana yang ringan, mudah diucapkan.
Namun tanpa "maaf", rumah tangga kokoh yang terbina lama bisa runtuh.
Untuk itu sebaiknya jangan berat bibir untuk mengucapkan kata sederhana itu.
Plus di sertai dengan kesungguhan hati, insyaallah bisa menghindarkan dari hal-hal yang tidak kita inginkan.
☄️ Allah berfirman,
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134)
➖ “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu, Allah menyediakan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya baik diwaktu lapang atau sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” 📖(Qs. Al-Imran: 133-134).
Selasa, 17 April 2018
TIDAK SEBANDING...!!
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
------------------------------------------------------
➖“Dunia dibandingkan akhirat lain tidak lain hanyalah seperti seseorang di antara kalian semua yang mencelupkan jarinya ke dalam lautan. Untuk itu, maka hendaklah ia melihat air yang menempel di dalam jarinya setelah menariknya”
📙(HR Muslim )
Sebanyak apapun amalan yang kita lakukan…Sebanyak apapun harta yang kita infakkan di jalan Allah…
Ketahuilah :
------------------------------------------------------
❶ Itu tidak sebanding dengan segala nikmat yang telah Allah berikan kepada kita dari semenjak kita lahir (bahkan sejak kita dalam kandungan ibu) hingga detik ini...
➖Oksigen yang kita hirup, jantung yang bekerja, saraf-saraf yang masih berfungsi dengan baik, demikian pula anggota tubuh lainnya…Ini semua SANGAT MAHAL !
➖Misalkan anda adalah orang yang menanggung biaya orang yang sakit, akibat kekurangannya dalam menikmati nikmat-nikmat diatas : Misalkan anda menuntut dia untuk ‘mengembalikan’ apa yang sudah anda tanggung…
➖Usaha apa yang ia harus lakukan untuk ‘membalas’ semua yang sudah anda bantu kepadanya ?
➖Infak apa yang ia harus salurkan untuk ‘membayar’ semua yang sudah anda bantu kepadanya ?
Nah…!!
-------------
➖Coba bandingkan segala nikmat tersebut, dengan usaha kita untuk bergerak dan berjalan dijalanNya ? Adakah sebanding ?
➖Coba bandingkan dengan jumlah infaq yang kita infakkan ?
Sebandingkah ?
➖Bahkan jika kita beramal shalih semenjak kita lahir, terus-menerus kita beramal dijalanNya hingga saat ini, maka itu tidak cukup ‘membalas’ nikmat-nikmatNya ! Karena nikmatNya tak berbilang…
➖Bahkan jika kita memiliki harta sepenuh bumi semenjak kita lahir, terus-menerus kita infakkan dijalanNya hingga saat ini, maka itu tidak cukup ‘membayar’ nikmat-nikmatNya! Karena nikmatNya tak berbilang…
➖Yang kita harapkan…Agar Dia menerima amalan-amalan kita yang sedikit lagi penuh kekurangan, sehingga kita digolongkanNya sebagai hambaNya yang bersyukur…
➖Yang kita harapkan…Agar Dia menerima infaq-infaq kita yang sedikit, lagi penuh kekurangan, sehingga kita digolongkanNya sebagai hambaNya yang bersyukur…
➖Yang kita harapkan…Agar Dia mengampuni dosa-dosa kita… Karena jika dibandingkan kebaikan dan keburukan serta kekurangan kita… Maka keburukan serta kekurangan kita jauh lebih banyak daripada kebaikan kita…Sehingga dengan rahmatNya ini…kita berharap dimasukkanNya ke surga, dan dijauhkan dari neraka…
----------------------------------------------------
❷ Itu tidak sebanding dengan surgaNya yang amat luas, yang amat penuh kenikmatan tiada tara yang dinikmati secara kekal oleh penghuninya.
➖Misalnya seseorang memetik pahala dan masuk surga karena disebabkan amalnya yang 10 tahun, 100 tahun bahkan 1000 tahun sekalipun…Maka balasan surga Allah itu TIDAK DAPAT DIHARGAI dengan apa yang ia usahakan tersebut…
➖Misalnya seseorang memetik pahala dan masuk surga karena disebabkan infak 100 ribu, atau 100 juta, atau 100 milyar, atau 100 triliun sekalipun…Maka balasan surga Allah itu TIDAK DAPAT DIHARGAI dari apa yang ia infakkan tersebut…
➖Balasan Allah terhadapnya dengan surga itu, bukan karena surga “dihargai” dengan infak dan jerih payahnya tersebut…tapi karena rahmatNya, kasih sayangNya, keMaha PemurahNya terhadap hamba-hambaNya yang beriman dan beramal shaalih keapadaNya…
Pelajarannya apa ?
-------------------------
① Jangan pelit dalam beramal dan berinfaq…
Sungguh Allah Maha Pemurah yang senantiasa memberi nikmat kepada seluruh hambaNya…Maka apa yang menyebabkan kita ragu dan malas dalam menggerakkan badan kita untuk beirbadah kepadaNya ? Apa yang menyebabkan kita ragu dan bakhil dalam mengeluarkan sebagian harta (yang juga hakekatnya diberikanNya dan dititipkanNya pada kita) !?
② Allah mensyariatkan hambaNya untuk beramal dan berinfaq di jalanNya…Akan tetapi Dia tidak butuh dengan itu…Dia berbuat dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, Dia Maha Tahu lagi Maha Bijaksana…Dia Maha Terpuji dan Dia Maha Kaya…
Segala pujian untukNya tidaklah akan berkurang, dengan jeleknya amal kita… Segala kekayaanNya tidaklah akan berkurang, dengan jeleknya infaq kita…Dia menjanjikan surga (karena rahmatNya) bagi hamba-hambaNya yang beriman dan beramal shaalih, dan Dia mengancam neraka (karena keadilanNya) bagi hamba-hambaNya yang kufur lagi jelek amalnya…
Semoga Allah meluruskan keimanan kita, memudahkan kita dalam beramal shalih, dan menjadikan kita termasuk hamba-hambaNya yang diberi rahmatNya, yang dimasukkan ke surga, dan diselamatkanNya dari api neraka ...
Aamiin yaa Rabbal'alamiin...
Minggu, 01 April 2018
JALAN MENUJU KESELAMATAN
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
☄️ Pengertian “JALAN” dan “KESELAMATAN” :
Jalan, yaitu : “Suatu cara atau metode yang bisa mengantarkan seseorang kepada sesuatu yang dimaksud/diinginkan atau yang dituju.”
Bentuknya bisa berupa : perkataan, perbuatan, keyakinan, atau prinsip hidup, pandangan hidup, cita-cita yang kuat, harapan, dll.
Dalam Bahasa Arab, sering disebut dengan : الطريقة ، منهج ، منهاج ، سبيل ، سنة ] [
Keselamatan, yaitu : “selamat atau terlepas dari semua bentuk kejelekan.”
Selamat yang dimaksud disini adalah, selamat di dunia dan di akhirat. Di dunia, selamat dari berbagai penyimpangan dan kesesatan, apakah itu bentuknya berupa kekufuran, kesyirikan, kebid’ahan, dan berbagai macam kemaksiatan dan dosa-dosa. Dan di akhirat nanti, selamat dari adzab/siksa api neraka yang kekal, dan kengerian yang ada di dalamnya.
Ringkasnya, JALAN MENUJU KESELAMATAN, adalah : “suatu cara atau metode yang bisa kita lakukan/kita tempuh, baik yang berupa ucapan, perbuatan, atau keyakinan, yang bisa mengantarkan kita kepada keselamatan di dunia dan keselamatan di akhirat. Di dunia, selamat dari segala bentuk penyimpangan dan kesesatan. Sedangkan di akhirat, selamat dari siksaan api neraka yang sangat pedih dan kekal.
☄️ MENGAPA KITA HARUS BERUSAHA UNTUK SELAMAT ?
Hal itu karena beberapa sebab :
1. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan kita hidup di dunia ini adalah untuk suatu tujuan yang agung dan mulia, yakni “agar kita beribadah kepada-Nya, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”
Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyaat : 56). Inilah tujuan utama kita diciptakan oleh Alloh dan hidup di dunia ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menciptakan di atas fitrah (kesucian), yakni terlahir sebagai hamba yang bertauhid (mengesakan Alloh Subahanhu wa Ta’ala). Sebagaimana dalam firman-Nya :
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Ar-Ruum : 30).
Catatan : Yang dimaksud dengan “di atas fitrah” itu adalah di atas agama Tauhid (mengesakan Allah dalam beribadah), sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu.
2. Allah Subhanahu wa Ta’ala, juga menjadikan “musuh” bagi kita bangsa manusia ini berupa makhluk yang paling jelek dan terlaknat, yakni “IBLIS”. Yang mana dia itu akan berusaha untuk memalingkan kita dari tujuan hidup dan fitrah kita tersebut. Sebagaimana banyak tersebut dalam Al-Qur’an, tentang sumpah Iblis di hadapan Alloh Ta’ala ketika itu :
قَالَ فَبِمَآ أَغۡوَيۡتَنِي لَأَقۡعُدَنَّ لَهُمۡ صِرَٰطَكَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ١٦ ثُمَّ لَأٓتِيَنَّهُم مِّنۢ بَيۡنِ أَيۡدِيهِمۡ وَمِنۡ خَلۡفِهِمۡ وَعَنۡ أَيۡمَٰنِهِمۡ وَعَن شَمَآئِلِهِمۡۖ وَلَا تَجِدُ أَكۡثَرَهُمۡ شَٰكِرِينَ ١٧
“Iblis menjawab: "Karena Engkau (Ya Allah) telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS Al-A’rof : 16-17)
قَالَ رَبِّ بِمَآ أَغۡوَيۡتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَأُغۡوِيَنَّهُمۡ أَجۡمَعِينَ ٣٩ إِلَّا عِبَادَكَ مِنۡهُمُ ٱلۡمُخۡلَصِينَ ٤٠
“Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.” (QS Al-Hijr : 39-40)
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغۡوِيَنَّهُمۡ أَجۡمَعِينَ ٨٢ إِلَّا عِبَادَكَ مِنۡهُمُ ٱلۡمُخۡلَصِينَ ٨٣ قَالَ فَٱلۡحَقُّ وَٱلۡحَقَّ أَقُولُ ٨٤ لَأَمۡلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنكَ وَمِمَّن تَبِعَكَ مِنۡهُمۡ أَجۡمَعِينَ ٨٥
“Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka. Allah berfirman: "Maka yang benar (adalah sumpah-Ku) dan hanya kebenaran itulah yang Ku-katakan. Sesungguhnya Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan jenis kamu dan dengan orang-orang yang mengikuti kamu di antara mereka kesemuanya.” (QS Shood : 82-85)
Catatan : Dalil-dalil tersebut menunjukkan : Iblis adalah musuh utama manusia di dunia, yang akan memalingkan dan menyesatkan kita dari jalan Allah yang lurus, dengan berbagai cara yang bisa dilakukan. Banyak orang-orang yang akan mengikuti jalannya yang sesat tersebut, kecuali orang-orang yang mukhlish, yakni orang-orang yang telah diberi hidayah oleh Allah Ta’ala untuk kokoh/ istiqomah di atas tauhidnya, wallohu a’lam bis showab.
☄️ LALU, APA SAJA JALAN MENUJU KESELAMATAN ITU ?
Berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah (hadits-hadits yang shohih), maka dapat kita simpulkan/ringkaskan sebagai berikut :
Pertama : Berpegang teguh dengan Agama Islam ini, sampai akhir hayat kita nanti ! Hal ini karena beberapa hal :
1. Hanya Islam agama yang diridhoi oleh Allah ( QS Ali Imron : 19, Al-Maidah : 3)
2. Islam adalah agama yang Haq, selainnya adalah bathil (QS At-Taubah : 33, As-Shof : 9)
3. Agama dan keyakinan manapun selain Agama Islam, tidak akan diterima oleh Alloh Ta’ala (QS Ali Imron : 85)
4. Allah memerintahkan kita, untuk berpegang teguh dengan Agama Islam ini sampai akhir hayat kita (QS Ali Imron : 103, Al-Baqoroh : 132)
5. Islam, adalah syarat agar amal-amal sholih yang kita lakukan, diterima dan diberi pahala oleh Allah Ta’ala. Adapun amalan orang yang kafir, sia-sia saja (QS At-Taubah : 17, Al-Furqon : 23), dan lain-lain.
Dalam hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
والذي نفس محمد بيده ، لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي ولا نصراني، ثم يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به، إلا كان من أصحاب النار
“Demi (Alloh) Yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman tangan-Nya, tidaklah ada seorangpun yang telah mendengar tentang aku, baik dia itu Yahudi ataupun Nashrani, kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya (yakni risalah agama Islam ini), kecuali dia termasuk penghuni neraka (yakni pasti dia akan masuk neraka).” (HR Imam Muslim no. 153)
Kedua : Berusaha untuk selalu berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah (hadits-hadits Rosululloh yang shohih).
Allah Ta’ala berfirman :
ٱتَّبِعُواْ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُمۡ وَلَا تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَۗ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ ٣
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS Al-A’rof : 3)
Makna ayat ini : “Yakni, ikutilah apa yang diturunkan dari Robb-mu, berupa Al-Qur’an dan Al-Hikmah (As-Sunnah), dengan cara kamu melaksanakan perintahnya, dan menjauhi larangan-larangannya. Janganlah kamu mentaati pemimpin selain keduanya, apakah dia itu syaithon, para pemimpin yang jelek ataupun para ulama yang menyesatkan. Akan tetapi sedikit orang diantara kalian yang mau mentaati hal ini dan kembali kepada Al-Haq.” (At-Tafsir Al-Muyassar, hal. 151)
Allah Ta’ala juga berfirman :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَجِيبُواْ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمۡ لِمَا يُحۡيِيكُمۡۖ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَحُولُ بَيۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَقَلۡبِهِۦ وَأَنَّهُۥٓ إِلَيۡهِ تُحۡشَرُونَ ٢٤
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.” (QS Al-Anfal : 24)
Catatan : Memenuhi panggilan Allah dan Rosul-Nya, adalah kehidupan bagi hati kita, agama kita, badan kita, baik di dunia maupun di akhirat nanti.
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
تركت فيكم شيئين ما إن تمسكتم بهما، لن تضلوا بعدي أبدا ؛ كتاب الله وسنتي
“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, (yakni) sesuatu yang apabila kamu berpegang teguh dengan keduanya, kamu tidak akan sesat setelah itu selama-lamanya : (yaitu) Kitabulloh (Al-Qur’an) dan Sunnah-ku.”
Catatan : Yakni, jadikan keduanya sebagai sumber hukum (referensi) dalam menjalankan agama ini, bukan atas dasar kebodohan, bukan karena fanatik golongan, juga bukan dengan berbagai macam amalan-amalan bid’ah.
Ketiga : Berusaha untuk berhukum dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan mengembalikan semua permasalahan yang kita hadapi kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah tersebut, serta tunduk/patuh dengan keputusan hukum keduanya.
Hal ini sebagai bentuk pengamalan dari firman Alloh Ta’ala :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa’ : 59)
Allah Ta’ala juga berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا ٦٥
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (wahai Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An-Nisa’ : 65)
Keempat : Berusaha untuk selalu menghidupkan Sunnah-Sunnah (tuntunan, ajaran atau syari’at) Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, baik dalam hal ibadah kita, akhlak kita, penampilan kita, dan kehidupan kita secara umum. Meskipun dengan cara seperti itu, kita akan dianggap asing/aneh di tengah masyarakat kita itu sendiri.
Dalam hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
بدأ الإسلام غريبا وسيعود غريبا كما بدأ، فطوبى للغرباء
Islam itu awal datangnya adalah asing, dan kelak akan kembali menjadi asing. Maka berbahagialah orang-orang yang asing tersebut.” (HR Imam Muslim no. 145 dan 146)
Dalam hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, Nabi shollallohu ‘alaoihi wa sallam juga bersabda :
يأتي على الناس زمان الصابر فيهم على دينه كالقابض على الجمر
“Akan datang suatu zaman kepada manusia, yang mana orang yang sabar di atas agama ini diantarara mereka (pada waktu itu), keberadaannya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR Imam At-Tirmidzi no. 2260, sanadnya shohih)
Catatan : Keterasingan mereka, bukan karena “nylenehnya” mereka, tetapi karena keistiqomahan mereka dalam berpegang teguh dengan sunnah-sunnah Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, yang pada saat itu sudah banyak diselisihi dan diabaikan oleh kaum muslimin itu sendiri. Lebih-lebih dengan semakin banyaknya tersebarnya bid’ah-bid’ah dalam agama ini.
Kelima : Bersegera dalam melakukan amal-amal sholih, yakni amal-amal yang diwajibkan maupun yang disunnahkan dalam agama kita ini, jangan menunda-nundanya.
Sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :
بادروا بالأعمال الصالحة، فستكون فتن كقطع الليل المظلم، يصبح الرجل مؤمنا ويمسي كافرا، ويمسي مؤمنا و يصبح كافرا، يبيع دينه بعرض من الدنيا
“Bersegeralah beramal sholih, karena akan ada fitnah-fitnah (di akhir zaman), keadaannya seperti potongan-potongan malam yang gelap. (Karena dahsyatnya fitnah tersebut), akan ada seseorang di pagi hari masih dalam keadaan sebagai seorang mu’min, (ternyata) sore harinya berubah menjadi orang yang kafir. (Atau) sore harinya dia mu’min, pagi harinya berubah menjadi orang yang kafir. (Sebab yang demikian itu adalah) dia menjual agamanya (keyakinannya) untuk mendapatkan secuil kesenangan dunia.” (HR Imam Muslim no. 118, dari hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu)
(Lihat juga : QS Ali Imron : 133)
Demikianlah beberapa cara dan upaya yang bisa kita lakukan, agar selamat dari berbagai kesesatan dan penyimpangan di dunia ini, yang ujungnya adalah selamat di akhirat nanti dari adzab api neraka. Apa yang disebutkan di atas bukan pembatasan, tetapi masih banyak yang lainnya, bisa dilihat pada kitab-kitab Aqidah dan Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Wallohu a'lam bish-shawab
Rabu, 28 Maret 2018
INDAHNYA QANA'AH
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
Qana’ah berasal dari kata قنع, artinya adalah merasa cukup, merasa puas, rela terhadap apa-apa yang diberikan & tidak meminta-minta.
Secara istilah qana’ah : merasa cukup atas apa yang telah dikaruniakan Allah Subhanahu wata'ala kepada diri seorang hamba.
Dengan sifat qana'ah ini mampu menjauhkan seorang muslim dari sifat tamak, sifat tersebut berdasarkan pemahaman bahwa rezeki yang didapatkan sudah menjadi ketentuan Allah Subhanahu wata'ala.
Apapun yang diterima dari Allah Subhanahu wata'ala merupakan karunia yang tiada terhingga.
Oleh karena itu, kita sebagai mukmin wajib bersyukur kepada-Nya.
Firman Allah Subhanahu wata'ala:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ (٦)
Artinya: “Dan tidak ada sesuatu binatang melata pun di bumi ini, melainkan Allahlah yang memberi rezekinya.” (QS Hud : 6 )
Ayat diatas menjelaskan bahwa setiap rezeki yang kita peroleh adalah dari Allah Subhanahu wata'ala, Akan tetapi, tidak berarti kita harus pasrah tanpa ada ikhtiar atau usaha, justru kita dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin demi meningkatkan kesejahteraan hidup.
Sifat qana'ah tidak membuat orang mudah putus asa atas ujian dan cobaan yang diberikan Allah Subhanahu wata'ala, baik berupa ketakutan, kelaparan, bencana, maupun kekurangan harta benda. Akan tetapi, mereka akan tetap bersabar menerima ujian tersebut dan tidak patah semangat untuk menjalani kehidupannya kembali.
Hal ini sebagaimana Firman Allah dalam Al Qur’an surah Al Baqarah:155)
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (١٥٥)
Artinya: “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS Al Baqarah:155)
Orang yang memiliki sifat qana'ah merasa cukup dengan apa yang dia dapatkan meskipun sedikit.
Dengan demikian, hati kita bisa menjadi tenang dan jauh dari sifat ketamakan.
Sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
عن عبدالله ابن عمر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : قد افلح من اسلم ورزق كفافا وقنعه الله بما اتاه (رواه مسلم)
Artinya : “dari Abdillah bin Umar r.a berkata Rosululloh shallallahu alaihi wasallam, “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam mendapat rizki secukupnya dan ia merasa cukup dengan apa yang telah Allah berikan kepadanya.” (HR. Muslim)
Allah subhanahu wata'ala berfirman, ”Barang siapa yang mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan sedangkan ia beriman, niscaya kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik” (QS.An-Nahl 98)
Kebanyakan ahli tafsir mengatakan, “kehidupan yang baik di dunia adalah qana’ah”.
Dari Jabir bin Abdullah. Dia mengatakan bahwa RasuluLlah sholallohu alaihi wasallam bersabda, “Qana’ah adalah harta simpanan yang tidak akan pernah habis”.
Abu Hurairah ra. Menyampaikan sabda RasuluLlah sholallohu alaihi wasallam yang Menyatakan :" Jadilah orang yang wara’ maka engkau akan menjadi orang paling ahli ibadah. Jadilah orang qana’ah maka engkau akan menjadi orang yang paling ahli bersyukur. Cintailah orang lain sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi orang mukmin yang paling baik. Berbuatlah baik kepada tetanggamu, maka engkau akan menjadi orang Islam yang baik. Sedikitkan tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati."
Qana’ah salah satu tanda bersyukur.
Sungguh sangat banyak cara atau jalan untuk bersyukur. Salah satunya adalah dengan melazimkan dan memelihara sikap qana’ah.
Dari Abu Hurairoh ,Rasulullah bersabda: “Wakum qani’an takun asykarannasi"
Dan jadilah kalian orang yang qana’ah niscaya engkau menjadi manusia yang bersyukur. " (H.R Ibnu Majah)
Hakikat qana’ah adalah engkau ridha dan menerima berapapun yang diberikan Allah dalam kehidupan dunia ini, baik sedikit ataupun banyak. Engkau menyerahkan urusanmu kepada Allah. Engkau mengetahui dan yakin bahwa Allah lebih tahu dan lebih sayang terhadap dirimu daripada dirimu sendiri. (AbduIlah bin Ibrahim Dawud, Kitab al Qana’ah).
Rela menerima pemberian Allah Ta'ala seadanya, merupakan sesuatu yg sangat berat untuk dilakukan, kecuali orang yg dikaruniai taufik & petunjuk serta dijaga oleh Allah Ta'ala dari keburukan jiwa, kebakhilan & ketamakannya. Karena manusia diciptakan dalam keadaan memiliki rasa cinta yang besar terhadap kepemilikan harta.
Namun meskipun demikian kita dituntut untuk memerangi hawa nafsu supaya dapat menekan sifat tamak & membimbing menuju sikap zuhud & qana’ah.
Dapat disimpulkan bahwa makna qana'ah adalah:
1. Merasa cukup dan puas dengan yang Allah berikan.
2. Selalu yakin bahwa Allah akan mencukupinya.
3. Menjaga diri dari meminta-minta.
4. Selalu bersyukur dalam setiap keadaan.
5. Tidak khawatir dengan urusan dunia
6. Tetapi tidak menanggalkan seluruh dunianya
7. Mengambil dunia secukupnya.
8. Fastabiqul khairat untuk urusan akhirat.
Semoga bermanfaat
Senin, 19 Maret 2018
JODOH ADALAH CERMINAN DIRIMU
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
Manusia manapun tidak ada yang bisa tau dengan siapa mereka akan berjodoh. Seperti apapun wajahmu saat ini tidak bisa kamu jadikan andalan untuk mengetahui dengan siapa kelak kau akan menikah.
Karena jodohmu adalah ceriman dirimu bukanlah cerminan wajahmu, buat kamu yang memiliki fisik sempurna belum tentu akan mendapatkan pasangan yang sempurna pula, begitu pula sebaliknya. Jadi Apa mahar kita sebelum bertemu dengan seorang calon pendamping dalam hidup ?
Jawaban yang tepat adalah “ jagalah diri kalian”.
Karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “ jagalah diri kalian maka istri kalian akan menjaga dirinya”.
Kalau kita ingin mendapatkan seorang calon pendamping hidup yang pemalu, maka diri kitapun harus menjadi seorang pemalu.
Kalau kita menginginkan calon pendamping hidup kita adalah orang yang mampu menjaga pandangannya,maka diri kita pun adalah termasuk menjadi orang yang selalu menjaga pandangnya.
Kalau kita menginginkan calon pendamping hidup kita adalah seorang yang cerdas bahkan ideal, maka kita pun harus berusaha untuk terus belajar unutk menjadi cerdas dan ideal.
Dan kalau kita menginginkan calon mendamping kita adalah seseorang yang rajin pergi ke majelis ta’lim, maka diri kita pun harus termasuk menjadi orang yang rajin pergi ke majelis ta’lim, karena barangkali ketika Allah Subhanahu wa ta’ala berkehendak mempertemukan jodoh kita di dalam sebuah majelis ta’lim.
Karena Allah berfirman :
"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)."
(Qs.An-Nur:26)
Ada sebuah cerita yang sangat menarik, bagaimana seseorang yang sangat taat kepada perintah Allah, baik perangainya, bagus ibadahnya, akhirnya dia dipertemukan dengan seorang wanita idaman para calon bidadari surga, mujahidah dalam urusan agama, serta cantik parasnya dan taat akan perintah Allah dan Rosulnya.
Merekalah Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Azzahra , ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkan kepada siapapun.
Fatimah karib kecilnya puteri kesayangan Rasulullah sungguh memesonanya, kesantunannya, ibadahnya kecekatan kerjanya, parasnya.
Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.
Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta, ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis, namun seiring dengan waktu berjalan Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut dengan cinta.
Tapi ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan, Fatimah dilamar oleh seseorang yang paling akrab paling dekat dengan Rasulullah, lelaki yang membela islam dengan harta dan jiwanya, lelaki yang iman dan akhlaknya yang tak di ragukan lagi, belialulah : Abu Bakar ash Shiddiq.
Ali merasa di uji karena terasa apalah ia dibanding Abu Bakar yang kedudukan nya sangat mulia di sisi Nabi.
Inilah persaudaraan dan cinta “gumam Ali”, aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku ,cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilahkan, ia adalah keberanian atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakar di tolak.
Dan Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Namun pada akhirnya ujian itu belum berakhir ,datanglah seorang lelaki yang gagah perkasa,dengan sebuah keberanian bagaikan seekor singa yang ketika berperang tidak ada yang bisa menandinginya dia adalah: Umar bin Khatab.
Dia datang ke rumah Rasulullah untuk melamar Fatimah ,tapi alangkah begitu bahagianya Ali ketika mendengar kabar kembali, bahwa lamaran Umar di tolak juga oleh Fatimah Azzahra.
Waktu berlalu, akhirnya Ali bin Abi Thalib dipertemukan dengan seorang wanita idamannya yang ketika dalam sholatnya selalu disebutnya, mencoba memantaskan diri serta selalu patuh akan Perintah Allah dan Rosulnya
(Dikutip dari buku: "Jalan Cinta Para Pejuang ).
Yuk mari kita pantaskan diri kita untuk menjemput calon pendamping karena kalau cinta berawal dan berakhir karena allah, maka cinta yang lain hanya upaya menunjukan cinta padanya, pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki,selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai.
Wallahu’alam
Selasa, 20 Februari 2018
BEKERJALAH, JANGAN BERGANTUNG PADA ORANG LAIN!
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
Muslim itu tidak boleh malas bekerja mencari nafkah yang halal.
Para nabi telah memberi contoh tauladan yang baik.
Rasulullah seorang pedagang,Nabi Musa penggembala kambing.
Semua pekerjaan itu mulia selama halal dan tidak korupsi.
Seorang kuli bangunan juga harus bangga karena tanpa orang-orang seperti ini ..mereka bukanlah apa-apa.
Kuli bangunan..kuli panggul...kuli rumah tangga...kuli pabrik..adalah unsur utama roda kehidupan dan berjalannya pemerintahan...
"Maka apabila shalat telah selesai dikerjakan, bertebaranlah kamu sekalian di muka bumi dan carilah rezeki karunia Allah(Qs Al Jumu’ah : 10)
“Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekiNya. Dan hanya kepadaNya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”(Qs Al Mulk : 15)
“Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa tali-talinya dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar yang diletakkan di punggungnya untuk dijual sehingga ia bisa menutup kebutuhannya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak(HR Bukhari, no. 1471)
Rasulullah menganjurkan umatnya bekerja mencari nafkah apapun menurut kemampuan, asal jalan yang ditempuh itu halal.
Berusaha dengan bekerja kasar, seperti mengambil kayu bakar di hutan itu lebih terhormat daripada meminta-minta dan menggantungkan diri kepada orang lain.
Seseorang tidak boleh menganggap remeh jenis usaha apapun, meskipun usaha itu dalam pandangan manusia dinilai hina.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya, seorang dari kalian pergi mencari kayu bakar yang dipikul di atas pundaknya itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau tidak(HR Bukhari, no. 1470; Muslim, no. 1042; Tirmidzi, no. 680 dan Nasa-i, V/96)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Adalah Nabi Daud tidak makan, melainkan dari hasil usahanya sendiri(HR Bukhari, no. 2073)
Nabi Daud adalah seorang nabi yang mencukupi kebutuhan dari hasil jerih payahnya sendiri dengan bekerja yang menghasilkan sesuatu, sehingga ia dapat memperoleh uang untuk keperluan hidupnya sehari-hari. Di antaranya sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur`an, bahwa Allah menjinakkan besi buat Nabi Daud, sehingga ia bisa membuat bermacam pakaian besi.
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertashbihlah berulang-ulang bersama Daud”, dan Kami telah melunakkan besi untuknya. (Yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan(Qs Saba` : 10-11)
"Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Nabi Zakaria Alaihissalam adalah seorang tukang kayu(HR Muslim, no. 2379; Ahmad II/296, 405, 485)
Lantas bagaimana dengan para pengemban dakwah( da'i) yang diberi upah setelah berdakwah?
Dari Abu Darda’ ..bahwa Rasulullah bersabda :
“Barangsiapa mengambil sebuah busur sebagai upah dari mengajarkan Al Qur`an, niscaya Allah akan mengalungkan kepadanya busur dari api neraka pada hari Kiamat(Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq (II/427), Al Baihaqi dalam Sunan-nya (VI/126) dari jalur Utsman bin Sa’id Ad Darimi)
Diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Ash Shamit “Aku mengajarkan Al Qur`an dan menulis kepada ahli Shuffah. Lalu mereka menghadiahkan sebuah busur kepadaku....aku pun menemui Beliau dan berkata: “Wahai Rasulullah, seorang lelaki yang telah kuajari menulis dan membaca Al Qur`an telah menghadiahkan sebuah busur kepadaku. Rasulullah bersabda
“Jika engkau suka dikalungkan dengan kalung dari api neraka, maka terimalah! ( Abu Dawud, Ibnu Majah (2157); Ahmad (V/315 dan 324); Al Hakim (II/41, III/356); Al Baihaqi (VI/125))_
Diriwayatkan dari Imran bin Hushain bahwa ia melihat seorang qari sedang membaca Al Qur`an lalu meminta upah.
Beliau mengucapkan kalimat istirja’
(إَنَّ لِلَّهِ وَ إِنَّ إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ ), kemudian berkata: Rasulullah bersabda:
9-مَنْ قَرَأَ الْقُرْانَ فَالْيَسْأَلِ اللهَ بِهِ, فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْانَ يَسْأَلُونَ بِهِ النَّاسَ.
"Barangsiapa membaca Al Qur`an, hendaklah ia meminta pahalanya kepada Allah. Sesungguhnya akan datang beberapa kaum yang membaca Al Qur`an , lalu meminta upahnya kepada manusia( At Tirmidzi (2917); Ahmad )
Dari Abu Sa’id al Khudri bahwasanya ia mendengar Rasulullah bersabda
"Pelajarilah Al Qur`an, dan mintalah surga kepada Allah sebagai balasannya. Sebelum datang satu kaum yang mempelajarinya dan meminta materi dunia sebagai imbalannya. Sesungguhnya ada tiga jenis orang yang mempelajari Al Qur`an. Orang yang mempelajarinya untuk membangga-banggakan diri dengannya, orang yang mempelajarinya untuk mencari makan, orang yang mempelajarinya karena Allah semata”(HR Ahmad, Al Baghawi, Al Hakim)
Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah bersabda
Bacalah Al Qur`an. Bacaan kalian semuanya bagus. Akan datang nanti beberapa kaum yang menegakkan Al Qur`an seperti menegakkan anak panah. Mereka hanya mengejar materi dunia dengannya dan tidak mengharapkan pahala akhirat”. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (830) dan Ahmad (III/357dan 397) dari jalur Muhammad bin Al Munkadir dari Jabir)
"Bacalah Al Qur`an, janganlah engkau mencari makan darinya, janganlah engkau memperbanyak harta dengannya, janganlah engkau anggap remeh dan jangan pula terlalu berlebihan (Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar (4322) dan Ma’anil Atsar (III/18); Ahmad,Thabrani)
"Barangsiapa menuntut ilmu, yang seharusnya ia tuntut semata-mata mencari wajah Allah namun ternyata ia menuntutnya semata-mata mencari keuntungan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan aroma wanginya surga pada hari kiamat(Abu Dawud, 3664; Ahmad, II/338; Ibnu Majah, 252; dan Hakim, I/85 dari Abu Hurairah)
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Jikalau seorang yang berilmu mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya, maka dia akan mendapatkan kemuliaan di antara orang-orang sezamannya. Akan tetapi mereka menyampaikan ilmu kepada pecinta dunia untuk mengharapkan harta mereka, maka mereka menjadi hina(Ibnu Abdil Barr , Ibnu Majah dan Ibnu Abi Syaibah)
Kalau seorang da’i tidak mempunyai mata pencaharian yang memadai, dan dia waktunya habis untuk mengajar dan berdakwah, maka dibolehkan menerima upah. Dan kepada Ulil Amri (penguasa atau pemerintah), selayaknya memberikan imbalan yang setimpal, karena dia mengajar kaum muslimin,rakyatnya.
Menurut jumhur ulama, menerima upah dari mengajarkan Al Qur`an dan berda’wah adalah diperbolehkan, karena mereka juga membutuhkan waktu,tenaga,pikiran dan kelelahan...namun tidak boleh menjadikannya sebagai tujuan.
Senin, 19 Februari 2018
AL-QURAN PENYEMBUH SEGALA PENYAKIT
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٞ وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارٗا ٨٢
“Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penyembuh, dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” [QS. Al-Isra`: 82)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
نُنَزِّلُ
“Kami turunkan.”
Jumhur Ahli Qiraah membacanya dengan diawali nun dan bertasydid. Adapun Abu ‘Amr membacanya dengan tanpa tasydid (نُنْزِلُ). Sedangkan Mujahid membacanya dengan diawali huruf ya` dan tanpa tasydid (يُنْزِلُ). Al-Marwazi juga meriwayatkan demikian dari Hafs. [Tafsir Al-Qurthubi, 10/315 dan Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 3/253]
مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ
“Dari Alquran.”
Kata min (مِنْ) dalam ayat ini, menurut pendapat yang rajih (kuat), menjelaskan jenis dan spesifikasi yang dimiliki Alquran. Kata min di sini tidak bermakna “sebagian”, yang mengesankan bahwa di antara ayat-ayat Alquran, ada yang tidak termasuk syifa` (penawar), sebagaimana yang dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah.
Kata min pada ayat ini seperti halnya yang terdapat dalam firman-Nya:
وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi…” [QS. An-Nur: 55)
Kata min dalam lafal tidaklah bermakna sebagian, sebab mereka seluruhnya adalah orang-orang yang beriman dan beramal saleh. [Lihat Tafsir al-Qurthubi, 10/316, Fathul Qadir, 3/253, dan at-Thibb an-Nabawi, Ibnul Qayyim, hal. 138]
شِفَآءٞ
“Penyembuh.”
Penyembuh yang dimaksud di sini meliputi penyembuh atas segala penyakit, baik rohani maupun jasmani, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam tafsirnya.
Penjelasan Tafsir Ayat
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Allah ‘azza wa jalla mengabarkan tentang kitab-Nya yang diturunkan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Alquran, yang tidak terdapat kebatilan di dalamnya, baik dari sisi depan maupun belakang, yang diturunkan dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji, bahwa sesungguhnya Alquran itu merupakan penyembuh dan rahmat bagi kaum Mukminin. Yaitu menghilangkan segala hal berupa keraguan, kemunafikan, kesyirikan, penyimpangan, dan penyelisihan yang terdapat dalam hati. Alquran-lah yang menyembuhkan itu semua.
Di samping itu, ia (Alquran) merupakan rahmat, yang dengannya membuahkan keimanan, hikmah, mencari kebaikan, dan mendorong untuk melakukannya. Hal ini tidaklah didapatkan, kecuali oleh orang yang mengimani, membenarkan, serta mengikutinya. Bagi orang yang seperti ini, Alquran akan menjadi penyembuh dan rahmat.
Adapun orang kafir yang menzalimi dirinya sendiri, maka tatkala mendengarkan Alquran tidaklah bertambah baginya, melainkan semakin jauh dan semakin kufur. Dan sebab ini ada pada orang kafir itu, BUKAN pada Alqurannya. Seperti firman Allah ‘azza wa jalla:
قُلۡ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ هُدٗى وَشِفَآءٞۚ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ فِيٓ ءَاذَانِهِمۡ وَقۡرٞ وَهُوَ عَلَيۡهِمۡ عَمًىۚ أُوْلَٰٓئِكَ يُنَادَوۡنَ مِن مَّكَانِۢ بَعِيدٖ ٤٤
“Katakanlah: ‘Alquran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Alquran itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh’.” [QS. Fushshilat: 44)
Dan Allah ‘azza wa jalla juga berfirman:
وَإِذَا مَآ أُنزِلَتۡ سُورَةٞ فَمِنۡهُم مَّن يَقُولُ أَيُّكُمۡ زَادَتۡهُ هَٰذِهِۦٓ إِيمَٰنٗاۚ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فَزَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنٗا وَهُمۡ يَسۡتَبۡشِرُونَ ١٢٤ وَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ فَزَادَتۡهُمۡ رِجۡسًا إِلَىٰ رِجۡسِهِمۡ وَمَاتُواْ وَهُمۡ كَٰفِرُونَ ١٢٥
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.
Adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” [QS At-Taubah: 124-125]
Dan masih banyak ayat yang menjelaskan tentang hal ini.” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/60)
Al-’Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata pula dalam menjelaskan ayat ini:
“Alquran mengandung penyembuh dan rahmat. Dan ini tidak berlaku untuk semua orang, namun hanya bagi kaum Mukminin yang membenarkan ayat-ayat-Nya dan berilmu dengannya. Adapun orang-orang zalim yang tidak membenarkan dan tidak mengamalkannya, maka ayat-ayat tersebut tidaklah menambah baginya, kecuali kerugian. Karena hujjah telah ditegakkan kepadanya dengan ayat-ayat itu.
Penyembuhan yang terkandung dalam Alquran bersifat umum, meliputi penyembuhan hati dari berbagai syubhat, kejahilan, berbagai pemikiran yang merusak, penyimpangan yang jahat, dan berbagai tendensi yang batil. Sebab ia (Alquran) mengandung ilmu yakin, yang dengannya akan musnah setiap syubhat dan kejahilan. Ia merupakan pemberi nasihat serta peringatan, yang dengannya akan musnah setiap syahwat yang menyelisihi perintah Allah ‘azza wa jalla. Di samping itu, Alquran juga menyembuhkan jasmani dari berbagai penyakit.
Adapun rahmat, maka sesungguhnya di dalamnya terkandung sebab-sebab dan sarana untuk meraihnya. Kapan saja seseorang melakukan sebab-sebab itu, maka dia akan menang dengan meraih rahmat dan kebahagiaan yang abadi, serta ganjaran kebaikan, cepat ataupun lambat.” [Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 465]
Alquran Menyembuhkan Penyakit Jasmani
Suatu hal yang menjadi keyakinan setiap Muslim, bahwa Alquranul Karim diturunkan Allah ‘azza wa jalla untuk memberi petunjuk kepada setiap manusia, menyembuhkan berbagai penyakit hati yang menjangkiti manusia, bagi mereka yang diberi hidayah oleh Allah ‘azza wa jalla dan dirahmati-Nya. Namun apakah Alquran dapat menyembuhkan penyakit jasmani?
Dalam hal ini, para ulama menukilkan dua pendapat: Ada yang mengkhususkan penyakit hati. Ada pula yang menyebutkan penyakit jasmani dengan cara meruqyah, ber-ta’awudz, dan semisalnya. Ikhtilaf ini disebutkan al-Qurthubi dalam Tafsir-nya. Demikian pula disebutkan asy-Syaukani dalam Fathul Qadir, lalu beliau berkata: “Dan tidak ada penghalang untuk membawa ayat ini kepada dua makna tersebut.” [Fathul Qadir, 3/253]
Pendapat ini semakin ditegaskan Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Zadul Ma’ad:
“Alquran adalah penyembuh yang sempurna dari seluruh penyakit hati dan jasmani, demikian pula penyakit dunia dan Akhirat. Dan tidaklah setiap orang diberi keahlian dan taufik untuk menjadikannya sebagai obat. Jika seorang yang sakit konsisten berobat dengannya, dan meletakkan pada sakitnya dengan penuh kejujuran dan keimanan, penerimaan yang sempurna, keyakinan yang kokoh, dan menyempurnakan syaratnya, niscaya penyakit apapun tidak akan mampu menghadapinya selama-lamanya.
Bagaimana mungkin penyakit tersebut mampu menghadapi firman Dzat yang memiliki langit dan bumi? Jika diturunkan kepada gunung, maka ia akan menghancurkannya. Atau diturunkan kepada bumi, maka ia akan membelahnya. Maka tidak satu pun jenis penyakit, baik penyakit hati maupun jasmani, melainkan dalam Alquran ada cara yang membimbing kepada obat dan sebab (kesembuhan)nya.” [Zadul Ma’ad, 4/287]
Berikut ini kami sebutkan beberapa riwayat berkenaan tentang pengobatan dengan Alquran.
Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya dari hadis ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Beliau radhiallahu ‘anha berkata: “Adalah Rasulullah ﷺ terkena sihir [1], sehingga beliau ﷺ menyangka, bahwa beliau ﷺ mendatangi istrinya, padahal tidak mendatanginya.
Lalu beliau ﷺ berkata: ‘Wahai ‘Aisyah, tahukah kamu, bahwa Allah ‘azza wa jalla telah mengabulkan permohonanku? Dua lelaki telah datang kepadaku. Kemudian salah satunya duduk di sebelah kepalaku dan yang lain di sebelah kakiku.
Yang di sisi kepalaku berkata kepada yang satunya: ‘Kenapa beliau?’
Dijawab: ‘Terkena sihir.’
Yang satu bertanya: ‘Siapa yang menyihirnya?’
Dijawab: ‘Labid bin Al-A’sham, lelaki dari Banu Zuraiq sekutu Yahudi. Ia seorang munafik.’
(Yang satu) bertanya: ‘Dengan apa?’
Dijawab: ‘Dengan sisir, rontokan rambut.’
(Yang satu) bertanya: ‘Di mana?’
Dijawab: ‘Pada mayang korma jantan di bawah batu yang ada di bawah sumur Dzarwan’.”
Aisyah radhiallahu ‘anha lalu berkata: “Nabi ﷺ lalu mendatangi sumur tersebut hingga beliau ﷺ mengeluarkannya.
Beliau ﷺ lalu berkata: ‘Inilah sumur yang aku diperlihatkan seakan-akan airnya adalah air daun pacar dan pohon kormanya seperti kepala-kepala setan’. Lalu dikeluarkan.
Aku bertanya: ‘Mengapa engkau tidak mengeluarkannya (dari mayang korma jantan tersebut, pen.)?’
Beliau ﷺ menjawab: ‘Demi Allah, sungguh Allah telah menyembuhkanku dan aku membenci tersebarnya kejahatan di kalangan manusia’.”
[Hadis ini diriwayatkan al-Bukhari dalam Shahih-nya (kitab at-Thib, bab Hal Yustakhrajus Sihr? jilid 10, no. 5765, bersama al-Fath). Juga dalam Shahih-nya (kitab al-Adab, bab Innallaha Ya`muru bil ‘Adl, jilid 10, no. 6063]
[Juga diriwayatkan oleh al-Imam asy-Syafi’i sebagaimana yang terdapat dalam Musnad asy-Syafi’i (2/289, dari Syifa`ul ‘Iy), al-Asfahani dalam Dala`ilun Nubuwwah (170/210), dan al-Lalaka`i dalam Syarah Ushul ‘azza wa jalla’tiqad Ahlis Sunnah (2/2272)]. Namun ada tambahan bahwa ‘Aisyah berkata: “Dan turunlah (firman Allah ‘azza wa jalla):
قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلۡفَلَقِ ١ مِن شَرِّ مَا خَلَقَ ٢
Hingga selesai bacaan surah tersebut.”
Demikian pula yang diriwayatkan al-Imam Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya, dari hadis Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Sekelompok [2] sahabat Nabi berangkat dalam suatu perjalanan yang mereka tempuh. Singgahlah mereka di sebuah kampung Arab. Mereka pun meminta agar dijamu sebagai tamu, namun penduduk kampung tersebut enggan menjamu mereka.
Selang beberapa waktu kemudian, pemimpin kampung tersebut terkena sengatan (kalajengking). Penduduk kampung tersebut pun berusaha mencari segala upaya penyembuhan, namun sedikit pun tak membuahkan hasil. Sebagian mereka ada yang berkata: ‘Kalau sekiranya kalian mendatangi sekelompok orang itu (yaitu para sahabat), mungkin sebagian mereka ada yang memiliki sesuatu.’
Mereka pun mendatanginya, lalu berkata: “Wahai rombongan, sesungguhnya pemimpin kami tersengat (kalajengking). Kami telah mengupayakan segala hal, namun tidak membuahkan hasil. Apakah salah seorang di antara kalian memiliki sesuatu?
Sebagian sahabat menjawab: ‘Iya. Demi Allah, aku bisa meruqyah. Namun demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kalian, namun kalian tidak menjamu kami. Maka aku tidak akan meruqyah untuk kalian, hingga kalian memberikan upah kepada kami.’
Mereka pun setuju untuk memberi upah beberapa ekor kambing [3]. Maka dia (salah seorang sahabat) pun meludahinya dan membacakan atas pemimpin kaum itu Alhamdulillahi rabbil ‘alamin (al-Fatihah). Pemimpin kampung tersebut pun merasa terlepas dari ikatan, lalu dia berjalan tanpa ada gangguan lagi.
Mereka lalu memberikan upah sebagaimana telah disepakati.
Sebagian sahabat berkata: ‘Bagilah.’
Sedangkan yang meruqyah berkata: ‘Jangan kalian lakukan, hingga kita menghadap Rasulullah ﷺ lalu kita menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. Kemudian menunggu apa yang beliau ﷺ perintahkan kepada kita.’
Mereka pun menghadap Rasulullah ﷺ kemudian melaporkan hal tersebut.
Maka beliau ﷺ bersabda: ‘Tahu dari mana kalian bahwa itu (al-Fatihah, pen.) memang ruqyah?’
Lalu beliau ﷺ berkata: ‘Kalian telah benar. Bagilah (upahnya) dan berilah untukku bagian bersama kalian’, sambil beliau ﷺ tertawa.”
Adapun hadis yang diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik obat adalah Alquran.”
Dan hadis:
الْقُرْءآنُ هُوَ الدَّوَاءُ
“Alquran adalah obat.”
Keduanya adalah hadis yang Dhaif, telah dilemahkan oleh al-Allamah al-Albani rahimahullah dalam Dha’if al-Jami’ ash-Shagir, no. 2885 dan 4135.
Membuka Klinik Ruqyah
Di antara penyimpangan terkait dengan ruqyah adalah menjadikannya sebagai profesi, seperti halnya dokter atau bidan yang membuka praktik khusus. Ini merupakan amalan yang menyelisihi metode ruqyah di zaman Rasulullah ﷺ.
Asy-Syaikh Saleh Alus Syaikh berkata ketika menyebutkan beberapa penyimpangan dalam meruqyah:
“Pertama, dan yang paling besar (kesalahannya), adalah menjadikan bacaan (untuk penyembuhan) atau ruqyah sebagai sarana untuk mencari nafkah, di mana dia memfokuskan diri secara penuh untuk itu. Memang telah dimaklumi, bahwa manusia membutuhkan ruqyah. Namun memfokuskan diri untuk itu, bukanlah bagian dari petunjuk para sahabat di masanya. Padahal di antara mereka ada yang sering meruqyah. Namun bukan demikian petunjuk para sahabat dan tabi’in. (Menjadikan meruqyah sebagai profesi) baru muncul di masa-masa belakangan.
Petunjuk Salaf dan bimbingan as-Sunnah dalam meruqyah adalah seseorang memberikan manfaat kepada saudara-saudaranya, baik dengan upah ataupun tidak. Namun janganlah dia memfokuskan diri dan menjadikannya sebagai profesi seperti halnya dokter yang mengkhususkan dirinya (pada perkara ini). Ini baru dari sudut pandang bahwa hal tersebut tidak terdapat (contohnya) pada zaman generasi pertama.
Demikian pula dari sisi lainnya. Apa yang kami saksikan pada orang-orang yang mengkhususkan diri (dalam meruqyah) telah menimbulkan banyak hal terlarang. Siapa yang mengkhususkan dirinya untuk meruqyah, niscaya engkau mendapatinya memiliki sekian penyimpangan. Sebab dia butuh prasyarat-prasyarat tertentu yang harus dia tunaikan dan yang harus dia tinggalkan. Serta ‘menjual’ tanpa petunjuk.
Barang siapa meruqyah melalui kaset-kaset, suara-suara, di mana dia membaca di sebuah kamar, sementara speaker berada di kamar yang lain, dan yang semisalnya, merupakan hal yang menyelisihi nash. Ini sepantasnya dicegah untuk menutup pintu (penyimpangan). Sebab sangat mungkin akan menjurus kepada hal-hal tercela dari para peruqyah yang mempopulerkan perkara-perkara yang terlarang atau yang tidak diperkenankan syariat. [Ar-Ruqa wa Ahkamuha, Asy-Syaikh Saleh Alus Syaikh, hal. 20-21]
Selasa, 06 Februari 2018
CELAKALAH TUMIT YANG TIDAK TERBASUH WUDHU!
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
Banyak di antara kaum Muslimin yang ketika mencuci/membasuh kaki saat berwudhu tidak memerhatikan tumitnya.
Mereka tergesa-gesa ketika berwudhu, hanya sekadar menjulurkan kaki di bawah kran air yang mengalir, sehingga ada banyak bagian dari tumitnya yang tidak terbasuh dengan air. Ini adalah kesalahan besar yang wajib untuk diingatkan, karena mereka menunaikan shalat dalam keadaan tidak sah wudhunya
Ada hadis yang membicarakan ancaman bagi orang yang tidak berwudhu dengan sempurna. Dalilnya adalah:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ سَافَرْنَاهُ فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقْنَا الصَّلاَةَ صَلاَةَ الْعَصْرِ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ ، فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا ، فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ « وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ » . مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثً
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: “Kami pernah tertinggal dari Rasulullah ﷺ dalam suatu safar. Kami lalu menyusul beliau dan ketinggalan shalat, yaitu shalat ‘Ashar. Kami berwudhu sampai bagian kaki hanya diusap (tidak dicuci, -pen). Lalu beliau ﷺ memanggil dengan suara keras dan berkata: “Celakalah tumit-tumit dari api Neraka.” Beliau ﷺ menyebut dua atau tiga kali. (HR. Bukhari no. 96 dan Muslim no. 241). Yang namanya diusap, berarti tangan cukup dibasahi lalu menyentuh bagian anggota wudhu, tanpa air mesti dialirkan.
Dalam riwayat Muslim, disebutkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Amr berkata:
رَجَعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِمَاءٍ بِالطَّرِيقِ تَعَجَّلَ قَوْمٌ عِنْدَ الْعَصْرِ فَتَوَضَّئُوا وَهُمْ عِجَالٌ فَانْتَهَيْنَا إِلَيْهِمْ وَأَعْقَابُهُمْ تَلُوحُ لَمْ يَمَسَّهَا الْمَاءُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ أَسْبِغُوا الْوُضُوءَ »
“Kami pernah kembali bersama Rasulullah ﷺ dari Makkah menuju Madinah hingga sampai di air di tengah jalan, sebagian orang tergesa-gesa untuk shalat ‘Ashar. Lalu mereka berwudhu dalam keadaan terburu-buru. Kami pun sampai pada mereka dan melihat air tidak menyentuh tumit mereka. Rasulullah ﷺ lantas bersabda: “Celakalah tumit-tumit dari api Neraka. Sempurnakanlah wudhu kalian.” (HR. Muslim no. 241).
Yang dimaksud a’qoob dalam hadis di atas adalah urat di atas tumit, disebut ‘aroqib. Kata ‘wail’ dalam hadis menunjukkan ancaman dan hukuman.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata: “Hadis di atas adalah ancaman untuk tumit (perkara yang kecil), namun ancaman ini berlaku juga untuk hal yang lebih dari itu. Karena jika tidak dimaafkan yang sepele seperti tumit, maka yang lebih dari itu tentu tidak dimaafkan.” (At Ta’liqot ‘ala ‘Umdatil Ahkam, hal. 26).
Hadis ini juga menerangkan wajibnya menyempurnakan wudhu dan perintah membasuh anggota-anggota wudhu. Yang luput dari hal ini, ia terjerumus dalam dosa besar karena diancam dengan Neraka seperti itu. Diterangkan oleh Syaikh As Sa’di di halaman yang sama.
Syaikh As Sa’di juga mengatakan: “Jika menganggap sepele dalam berwudhu tercela, begitu pula berlebihan dan mendapati was-was dalam wudhu juga sama tercela.” (At Ta’liqot ‘ala ‘Umdatil Ahkam, hal. 26).
Faidah yang terdapat dalam Hadis:
Pertama:
Wajibnya membasuh/mencuci kedua kaki dengan air secara sempurna ketika berwudhu. Tidak cukup hanya dengan mengusapnya. Sebab seandainya dengan mengusap saja cukup, niscaya Nabi ﷺ tidak akan memberikan ancaman Neraka bagi orang yang tidak membasuh/mencuci kedua tumitnya. Demikian penjelasan Ibnu Khuzaimah, Ibnu Abdil Barr, dan an-Nawawi. Dalam sebagian riwayat Muslim dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi ﷺ bersabda: “Celakalah mata kaki yang tidak terbasuh air itu karena jilatan api Neraka.” Dalam riwayat ini juga dikatakan, bahwa suatu ketika Nabi ﷺ melihat seorang lelaki yang tidak membasuh kedua tumitnya, lantas beliau ﷺ memberikan teguran keras semacam itu. Sehingga hal ini menjadi bantahan bagi kaum Syiah yang hanya mewajibkan mengusap kaki. Ini adalah pendapat yang batil, menyelisihi Alquran dan Sunnah Rasulullah ﷺ serta Ijma’ umat Islam. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ…
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” [QS. Al Maidah: 6]
Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Para sahabat Rasulullah ﷺ sepakat mengenai wajibnya membasuh/mencuci kedua kaki.” (Lihat Syarh Muslim [3/29-32], Fath al-Bari [1/319-320], al-Istidzkar [2/51] pdf).
Kedua:
Menunjukkan siksa Neraka ada dua macam. Pertama siksaan yang sifatnya menyeluruh tanpa terkecualikan (seluruh badan). Dan yang kedua adalah siksaan yang sifatnya parsial, seperti disebutkan dalam hadis. Hanya tumitnya saja yang disiksa tanpa anggota tubuh yang lain.
Ketiga:
Perintah untuk menyempurnakan wudhu. Yang dimaksud menyempurnakan wudhu adalah menunaikan hak masing-masing anggota badan yang dibersihkan/dibasuh ketika wudhu (Lihat Taudhih al-Ahkam [1/217], Syarh Muslim [3/41])
Keempat:
Termasuk dalam perintah menyempurnakan wudhu adalah menyela-nyelai jari-jari kaki dengan air.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi dan dihasankan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma:
“Apabila kamu berwudhu, maka sela-selailah jari tangan dan jari kakimu.”
Hadis semakna juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dari sahabat Laqith bin Shabirah radhiyallahu’anhu yang disahkan oleh Tirmidzi sendiri, al-Baghawi dan Ibnu al-Qaththan (Lihat Nail al-Authar [1/182] dan Tuhfat al-Ahwadzi [1/149-150] ).
Kelima:
Barang siapa meninggalkan anggota wudhu tidak terbasuh oleh air, meskipun hanya selebar kuku, maka wudhunya tidaklah sah. Berkata Al Imam An Nawawy: Ini adalah perkara yang telah disepakati (oleh para ulama). Telah diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari shahabat Umar Ibnul Khattab, beliau berkata:
أَنَّ رَجُلًا تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى
“Bahwa seorang laki-laki berwudhu, lalu meninggalkan (kering) selebar kuku di atas kakinya. Saat Nabi ﷺ melihatnya, maka beliau ﷺ pun bersabda: “Kembali dan perbaguslah wudhumu.” Maka dia kembali (berwudhu) kemudian melakukan shalat.”
Wallahu a'lam