Senin, 18 Mei 2015

MELAGUKAN BACAAN DAN ADAB TILAWAH AL-QUR’AN

Bismillaahirrahmaanirrahiim 

Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 


MELAGUKAN BACAAN AL-QUR’AN 


Bagaimana keutamaannya?
Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin membawakan judul bab “Sunnahnya memperindah suara ketika membaca Al Qur’an dan meminta orang lain membacanya karena suaranya yang indah dan mendengarkannya.”
Beberapa dalil yang disebutkan oleh beliau berikut ini:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, berkata,

“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا أَذِنَ اللَّهُ لِشَىْءٍ مَا أَذِنَ لِلنَّبِىِّ أَنْ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآن
ِ
“Allah tidak pernah mendengarkan sesuatu seperti mendengarkan Nabi yang indah suaranya melantunkan Al Qur’an dan mengeraskannya.”
(HR. Bukhari no. 5024 dan Muslim no. 792).

Dari Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

يَا أَبَا مُوسَى لَقَدْ أُوتِيتَ مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيرِ آلِ دَاوُد
َ
“Wahai Abu Musa, sungguh engkau telah diberi salah satu seruling keluarga Daud.”
(HR. Bukhari no. 5048 dan Muslim no. 793).

Sedangkan dalam riwayat Muslim disebutkan,
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada Abu Musa,

لَوْ رَأَيْتَنِى وَأَنَا أَسْتَمِعُ لِقِرَاءَتِكَ الْبَارِحَةَ لَقَدْ أُوتِيتَ مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيرِ آلِ دَاوُد
َ
“Seandainya engkau melihatku ketika aku mendengarkan bacaan
Al Qur’anmu tadi malam. Sungguh engkau telah diberi salah satu seruling keluarga Daud”
(HR. Muslim no. 793).

Dari Al Bara’ bin ‘Aazib, ia berkata,

سَمِعْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَقْرَأُ ( وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ ) فِى الْعِشَاءِ ، وَمَا سَمِعْتُ أَحَدًا أَحْسَنَ صَوْتًا مِنْهُ أَوْ قِرَاءَة
ً
“Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam surat Isya surat Ath Thiin
(wath thiini waz zaituun), maka aku belum pernah mendengar suara yang paling indah daripada beliau atau yang paling bagus bacaannya dibanding beliau.”
(HR. Bukhari no. 7546 dan Muslim no. 464)

Beberapa faedah yang diambil dari beberapa hadits di atas:
1- Dibolehkan memperindah suara bacaan Al Qur’an dan perbuatan seperti itu tidaklah makruh. Bahkan memperindah suara bacaan Al Qur’an itu disunnahkan.

2- Memperbagus bacaan Al Quran memiliki pengaruh, yaitu hati semakin lembut, air mata mudah untuk menetes, anggota badan menjadi khusyu’, hati menyatu untuk menyimak, beda bila yang dibacakan yang lain.
Itulah keadaan hati sangat suka dengan suara-suara yang indah. Hati pun jadi lari ketika mendengar suara yang tidak mengenakkan.

3- Diharamkan Al Quran itu dilagukan sehingga keluar dari kaedah dan aturan tajwid atau huruf yang dibaca tidak seperti yang diperintahkan. Pembacaan Al Quran pun tidak boleh serupa dengan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan, bentuk seperti itu diharamkan.

4- Termasuk bid’ah kala membaca Al Quran adalah membacanya dengan nada musik.

5- Disunnahkan mendengarkan bacaan Al Quran yang sedang dibaca dan diam kala itu.

6- Disunnahkan membaca pada shalat ‘Isya’ dengan surat qishorul mufashol seperti surat At Tiin.

Apa yang Dimaksud “Yataghonna bil Quran”?
Kata Imam Nawawi bahwa Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah juga kebanyakan ulama memaknakan dengan,
يُحَسِّن صَوْته بِهِ
“Memperindah suara ketika membaca Al Quran.”

Namun bisa pula maknanya
‘yataghonna bil quran’ adalah mencukupkan diri dengan Al Quran, makna lain pula adalah menjaherkan Al Qur’an. Demikian keterangan Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 6: 71.

Yang Tidak Melagukan Al Quran,Tercelakah?
Kalau tidak membaguskan bacaan Al Qur’an atau tidak melagukannya apakah tercela?

Apa syaratnya jika boleh melagukan Al Qur’an?
Hadits berikut barangkali bisa jadi renungan. Dari Abu Lubababh Basyir bin ‘Abdul Mundzir radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآن
ِ
“Barangsiapa yang tidak memperindah suaranya ketika membaca Al Qur’an, maka ia bukan dari golongan kami.”
(HR. Abu Daud no. 1469 dan Ahmad 1: 175. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Kata Imam Nawawi bahwa Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah juga kebanyakan ulama memaknakan ‘yataghonna bil Qur’an’ adalah,

يُحَسِّن صَوْته بِه
ِ
“Memperindah suara ketika membaca Al Quran.”

Sedangkan menurut Sufyan bin ‘Uyainah
yang dimaksud adalah mencukupkan diri dengan Al Qur’an

Ada yang katakan pula, yang dimaksud adalah mencukupkan
Al Qur’an dari manusia.

Ada pendapat lain pula yang menyatakan, mencukupkan diri dengan Al Qur’an dari hadits dan berbagai kitab lainnya.

Al Qadhi ‘Iyadh menyatakan bahwa sebenarnya ada dua pendapat yang dinukil dari Ibnu ‘Uyainah.

Adapun ulama Syafi’i dan yang sependapat dengannya menyatakan bahwa yang dimaksud adalah memperindah dan memperbagus bacaan Al Qur’an. Ulama Syafi’iyah berdalil dengan hadits lainnya,
زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُم
ْ
“Baguskanlah suara bacaan Al Qur’an kalian.”
(HR. Abu Daud no. 1468 dan An Nasai no. 1016. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Al Harawi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
“yataghonna bil Quran” adalah menjaherkan (mengeraskan) bacaannya.

Abu Ja’far Ath Thobari sendiri mengingkari pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud
yataghonna bil Quran adalah mencukupkan diri.

Ath Thobari tidak menyetujuinya
karena bertentangan dengan makna bahasa dan maknanya itu sendiri.

Ada perbedaan pula dalam pemaknaan hadits lainnya,

“Barangsiapa yang tidak memperindah suaranya ketika membaca Al Qur’an, maka ia bukan dari golongan kami.”

Pendapat yang lebih kuat, yang dimaksud
“yataghonna bil Qur’an”
adalah membaguskan suara bacaan Al Qur’an.

Riwayat lain menguatkan maksud tersebut,
“yataghonna bil qur’an adalah mengeraskannya.”
(Lihat Syarh Shahih Muslim, 6: 71).

Adapun yang dimaksud dengan tidak termasuk golongan kami orang yang tidak memperindah bacaan Al Qur’an adalah ditafsirkan dengan dua makna:

Tidak termasuk golongan kami, orang yang tidak membaguskan bacaan Al Qur’an

Tidak termasuk golongan kami, orang yang tidak mencukupkan dengan Al Qur’an dari selainnya.
(‘Aunul Ma’bud, 4: 271).

Kalau kita lihat dari pendapat yang dikuatkan oleh Imam Nawawi sebelumnya, yang dimaksud adalah tidak termasuk golongan kami, orang yang tidak membaguskan bacaan Al Qur’an.

Namun aturan dalam melagukan Al Qur’an harus
memenuhi syarat berikut:

Tidak dilagukan dengan keluar dari kaedah dan aturan tajwid.

Huruf yang dibaca tetap harus jelas sesuai yang diperintahkan.

Tidak boleh serupa dengan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan. 

📚(Lihat Bahjatun Nazhirin, 1: 472)



ADAB TILAWAH AL QURAN 


1. Mengikhlaskan niat untuk Allah semata. Karena tilawah al-Qur’an termasuk ibadah, sebagaimana telah disebutkan pada keutamaan tilawah.


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ


Sesungguhnya seluruh amalan itu tergantung pada niatnya. [HR. Bukhari-Muslim]


2. Menghadirkan hati (konsentrasi) ketika membaca, khusyu’, tenang dan sopan, berusaha terpengaruh (terkesan) dengan yang sedang dibaca, dengan memahami (menghayati) atau memikirkan (tafakkur-tadabbur) sebagaimana tujuan utama dalam tilawah.

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ


Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an?! [An-Nisa’:82, Muhammad:24]


Sopan, sebagai upaya memuliakan Kalam Allah Azza wa Jalla. Khusyu’ atau memusatkan hati dan pikiran (konsentrasi) sebagai upaya mengambil hikmah yang terkandung pada ayat yang kita baca; menampakkan kesedihan dan menangis, (ketika membaca ayat-ayat yang menceritakan adzab (siksa) neraka. Dan apabila tidak bisa maka berusahalah untuk bisa menangis. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ نَزَلَ بِحُزْنٍ فَإِذَا قَرَأْتُمُوهُ فَابْكُوا فَإِنْ لَمْ تَبْكُوا فَتَبَاكَوْا


Sesungguhnya al-Qur’an ini turun dengan kesedihan, maka jika kamu membacanya hendaklah kamu menangis, jika kamu tidak (bisa) menagis, maka berusahalah untuk menangis. [HR. Ibnu Majah] [7]


Allah berfirman:

وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا


Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’. [Al-Israa : 109]


Ibnu Mas’ud berkata.

قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَأْ عَلَيَّ الْقُرْآنَ قَالَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ قَالَ إِنِّي أَشْتَهِي أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي فَقَرَأْتُ النِّسَاءَ حَتَّى إِذَا بَلَغْتُ ( فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا ) رَفَعْتُ رَأْسِي أَوْ غَمَزَنِي رَجُلٌ إِلَى جَنْبِي فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَرَأَيْتُ دُمُوعَهُ تَسِيلُ


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm berkata kepadaku: “Bacakanlah al-Qur’an kepadaku!” saya pun berkata: Ya Rasulullah, apakah saya harus membacakan al-Qur’an kepadamu, sedangkan al-Qur’an diturunkan kepadamu?” Maka beliau menjawab: “Benar, akan tetapi saya senang (ingin) mendengarkan bacaan dari orang lain”. Kemudian sayapun membaca surat an-Nisa’ sampai: “Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)”. (ayat 41). Maka beliaupun berkata: “Cukup-cukup, maka tatkala saya melirik kepada beliau, beliau meneteskan air mata. [HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya]


3. Tilawah al-Qur’an, hendaknya di tempat yang suci (haram atau dilarang di WC) atau tempat-tempat yang tidak pantas untuk tilawah al-Qur’an yang suci. Terutama di masjid sebagai upaya memakmurkan masjid

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللهَ


Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menuaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) sela in kepada Allah. [At-Taubah : 18]


Selain di tempat yang suci, kitapun sebaiknya dalam keadaan suci (tidak dalam keadaan hadast besar dan hadats kecil) untuk memuliakan kalam Allah Ta’ala


4. Membaca do`a Isti`adzah (berlindungan kepada Allah Ta’ala dari godaan setan) ketika hendak membaca al-Qur’an.


Allah berfirman

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ


Apabila kamu membaca al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. [An-Nahl :98]


Membaca basmalah apabila membaca al-Qur’an dari awal surat, kecuali surat at-Taubah. Berlindung kepada Allah Ta’ala, yakni membaca:

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ


hukumnya wajib menurut sebagian ulama’ . [Lihat Mabahits fi Ulumil Qur’an]


Dan diantara bentuk membersihkan jasmani (selain mandi) ialah bersiwak atau memakai sikat dan pasta gigi dalam rangka membersihkan sisa makanan yang terdapat pada sela-sela gigi yang dapat membusuk, yang membuat mulut kita tidak enak baunya. Bersiwak merupakan salah satu bentuk ittiba` kepada sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa mendapat 2 kebaikan, bersih di mulut dan mendapat keridhaan Allah Ta’ala:

مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ


Bersih dimulut dan mendapatkan ridha dari Tuhan (Allah Ta’ala )”. [HR. Bukhari dalam bab Shaum.1831].


5. Menghadap kiblat hal ini juga sebagai upaya menghidupkan sunnah dalam bermajlis.

خَيرُْ المجالس ما استقبل القبلة (رواه الطبرانى فى الأوسط من حديث ابن عمر


Sebaik-baik Majlis adalah yang menghadap kearah qiblat. [HR. Thabrani dalan Al-Ausath hadits dari Ibnu Umar]. [8]


6. Membaguskan suara dengan tidak ghuluw (melewati batas), riya` (agar dilihat orang) , sum`ah (agar didengar orang) atau ujub (mengagumi diri sendiri).

زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ ..رواه أحمد وابن ماجة والنسائى والحاكم وصححه


Perindahlah (bacaan) Al-Qur`an dengan suara kalian. (HR. Ahmad, Ibnu Majah Nasa`i dan Hakim menshahihkannya] [9].


Tetapi jangan sampai seseorang mengeraskan bacaannya di dalam mushalla (masjid) sementara orang lain dalam keadaan shalat, sedangkan hal yang demikian itu telang dilarang.

خَرَجَ عَلَى النَّاسِ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَقَدْ عَلَتْ أَصْوَاتُهُمْ بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ إِنَّ الْمُصَلِّيَ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيهِ بِهِ وَلَا يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ


Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada suatu kaum, sedang mereka sementara dalam keadaan shalat dan mengeraskan bacaannya, maka Nabi n bersabda: “Setiap kalian bermunajat (berbisik-bisik) kepada Rabbnya, maka janganlah kalian mengeraskan bacaan (Al-Qur`an) kalian atas sebagian yang lain. [HR. Imam Malik dalam kitabnya “Al-Muwatha`”[1/80]), Ibnu Abdil Barr berkata: “Ini adalah hadits shahih] [10]. [Lihat: Majaalis Syahrur Ramadhan; Syaikh Al-Utsaimin]


7. Hendaknya membaca dengan sirri (pelan) apabila dikhawatirkan dapat menimbulkan riya` atau sum`ah pada dirinya atau dapat mengganggu ketenangan dalam Masjid sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm.

الجْاَهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرُ بِالصَّدَقَةِ .


Mengeraskan (dalam membaca) Al-Qur`an sama dengan menampakan dalam bershadaqah. [Minhajul Muslim, hal.71] [11]


Dan telah diketahui bahwa shadaqah yang dicintai adalah yang sembunyi-sembunyi, kecuali dalam keadaan tertentu yang berfaidah. Misalnya: untuk mendorong orang lain agar melakukan seperti yang kita lakukan.


8. Hendaknya membaca Al-Qur`an dengan tartil.

وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيلا


Dan bacalah al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. [Al-Muzammil : 4]


Ali bin Abi Thalib menjelaskan ma`na tartil dalam ayat tersebut diatas adalah: ”Mentajwidkan huruf-hurufnya dengan mengetahui tempat-tempat berhentinya”. [Syarh Mandhumah Al-Jazariyah, hl. 13]

Maka seyogyanya bagi kita bersabar, jangan terburu ingin segera selesai (khatam) dalam membaca Al-Qur`an atau terburu nafsu ingin segera menguasai (memahami) Al-Qur`an sehingga lalai memperhatikan kaidah-kaidah dalam tilawah.

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dalam tilawah, menamatkan al-Qur’an kurang dari 3 malam, sebab tidak akan bisa memahami maknanya. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لَا يَفْقَهُ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فِي أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثٍ


Barangsiapa membaca al-Qur’an kurang dari 3 hari maka tidak akan dapat memahaminya. 

[HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah]

Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma supaya mengkhatamkan al-Qur’an setiap 7 hari (sekali). 

[HR. Mutafaq Alaih]


Adapun beberapa riwayat dari Salafus Shalih yang menyatakan bahwa di antara mereka ada yang mengkhatamkan al-Qur’an sehari semalam sekali, atau 2 kali khatam, atau 3 kali dan bahkan ada juga yang 8 kali khatam, maka semua itu tidak bisa menjadi hujjah karena bertentangan dengan hadits di atas. Demikian juga sekelompok Salaf tidak menyukai mengkhatamkan Al-Qur’an dalam sehari semalam. Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth mengomentari hadits di atas dengan perkataan: “Inilah yang benar dan sesuai dengan Sunnah. [Lihat At-Tibyan Fi Adab Hamalatil Qur’an, tahqiq: Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth, hal: 49]


Bacaan dengan perlahan-perlahan (tartil), bukan dengan cepat-cepat, hal yang demikian itu akan membantu dalam tadabbur (memahami) maknanya dan menghindari dari kesalahan dalam melafadzkan atau mengeluarkan huruf-hurufnya. Di dalam Shahih Bukhari disebutkan.

سُئِلَ أَنَسٌ كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَتْ مَدًّا ثُمَّ قَرَأَ ( بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ) يَمُدُّ بِبِسْمِ اللَّهِ وَيَمُدُّ بِالرَّحْمَنِ وَيَمُدُّ بِالرَّحِيمِ


Dari anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ketika ditanya tentang qira’ah (bacaan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia berkata: “Bahwa bacaannya panjang-panjang, kemudian membaca: ( بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ memanjangkan (بِبِسْمِ اللَّهِ ) kemudian (الرَّحْمَنِ) kemudian (الرَّحِيمِ ) [HR. Bukhari, 5046].

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهَا ذَكَرَتْ أَوْ كَلِمَةً غَيْرَهَا قِرَاءَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ آيَةً آيَةً


Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha, bahwa dia menyebutkan bacaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu (beliau) memutus-mutus bacaannya ayat per ayat (satu ayat-satu ayat). [HR. Ahmad (6/3020, Abu Dawud (4001) Tirmidzi (2927) dan Dishahihkan An-Nawawi, dalam “Al-Majmu’” 3/333 ]


Dalam kitab Majalis Fi Syahri Ramadhan karya Syaikh Utsaimin dijelaskan, bahwa tidak mengapa dengan (bacaan) cepat yang tidak sampai merubah lafadz, dan tidak meninggalkan sebagian huruf atau idghamnya. Tetapi apabila tidak benar dalam pengucapan idghamnya, sampai salah dalam lafadznya, maka hal itu haram, karena yang demikian berarti mengganti lafadz al-Qur’an”.


9. Hendaknya sujud, ketika membaca ayat-ayat yang mengisyaratkan sujud, hal ini dilakukan dalam keadaan berwudhu’, di waktu siang maupun malam, dengan takbir dan mengucapkan: سبحان ربي الأعلى( Suci Rabbku yang Maha Tinggi) dan hendaklah berdoa, kemudian bangun dari sujud tanpa takbir dan tanpa salam. [Majaalis Syahrur Ramadhan; Syaikh Al-Utsaimin]


BACA ALQURAN HARUS TAU BHW DIRINYA MJD TUJUAN SERUAN ALQURAN & ANCAMANNYA 


“Kelebihan bacaan secara pelan-pelan atas bacaan secara keras sama dengan kelebihan shadaqah secara sembunyi-sembunyi atas shadaqah secara terang-terangan.” (Diriwayatkan Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Jadi bacaan pelan-pelan yang bisa didengar sendiri. Memang bacaan secara keras diperbolehkan pada saat-saat tertentu untuk tujuan yang benar, seperti untuk menguji kebenaran hapalan, agar dia tidak malas dan mengantuk, untuk membangunkan orang-orang yang tidur. Tentang bacaan Al-Qur’an dalam shalat, mana yang harus dijelaskan dan mana yang harus disembunyikan, sudah dijelaskan dalam berbagai kitab fiqih.

Orang yang membaca Al-Qur’an harus melihat bagaimana kelembutan dan kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya, bagaimana Allah menyusupkan makna kalam-Nya ke dalam pemahaman mereka. Dia harus menyadari bahwa apa yang dibacanya bukan ucapan manusia. Karena itu dia harus merasakan keagungan Allah yang seakan berbicara dengannya dan sekaligus memahami kalam-Nya. Sebab pemahaman dan pengamatan merupakan tujuan dari bacaan. Jika tidak bisa paham kecuali dengan mengulang bacaan, satu ayat umpamanya, maka hendaknya dia mengulanginya.

Abu Dzar meriwayatkan dari Nabi SAW, bahwa beliau mendirikan shalat malam, dengan membaca satu ayat yang diulang-ulangi, yaitu, “Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau juga.”

(Al-Maidah: 118)


Begitu pula yang pernah dilakukan Tamim Ad-Dari dan Ar-Rabi’ bin Khaitsam saat membaca firman Allah dalam shalat malamnya,

“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka?” 

(Al-Jatsiyah: 21)


Orang yang membaca Al-Qur’an harus membuat gambaran yang pasti dan menyimak setiap ayat yang dibaca. Apabila dia membaca ayat,

“Yang menciptakan langit dan bumi”,

hendaklah dia menyadari keagungan-Nya dan memperhatikan kekuasaan-Nya

atas segala sesuatu yang dilihatnya. Jika dia membaca, 

“Maka terangkanlah kepadaku tentang nuthfah yang kalian percayaka”,

(Al-Waqi’ah: 58),


Hendaklah dia memikirkan air mani yang jumlahnya ribuan, lalu dari satu bagian dari malam ini, dibagi-bagi menjadi daging dan tulang, urat dan nadi, lalu membentuk bagian-bagian tertentu seperti kepala, tangan, kaki lalu badan yang utuh muncul sifat-sifat yang mulia, tangan seperti mendengar,

melihat, berfikir dan lain-lainnya. Perhatikanlah dengan seksama semua keajaiban ini. Jika sedang membaca ayat-ayat yang menjelaskan para pendusta, maka hendaklah dia merasa takut dari murka dan kelalaian dalam mengikuti perintah.

Dia harus bisa melepaskan diri dari hal-hal yang bisa menghambat pemahaman, seperti membayangkan bahwa setan membuatnya tidak sanggup memahami satu huruf pun dan membelenggu pikirannya. Dia harus mengulang lagi bacaannya hingga hasratnya untuk memahami maknanya bisa pulih. Sebagai contoh, dia merasa terus-menerus melakukan dosa, atau memiliki sifat sombong atau tidak bisa melepaskan dari hawa nafsu. Hal ini menyebabkan hati yang pekat dan berkarat dan berkarat. Perumpamaannya seperti bercak-bercak di cermin, yang menghalangi kejelasan hakikat. Hati itu bisa diibaratkan cermin, dan nafsu, seperti halnya membersihkan permukaan cermin.

Orang yang membaca Al-Qur’an harus tahu bahwa dirinyalah yang menjadi tujuan seruan Al-Qur’an dan ancamannya. Kisah-kisah yang disebutkan di dalamnya, bukan untuk obrolan, tetapi sebagai pelajaran. Maka hendaklah dia membacanya dengan seksama lalu berbuat sesuai dengan petunjuknya. Perumpamaan pembaca Al-Qur’an yang durhaka sekalipun dia sudah membacanya berulang kali, seperti orang yang berulang kali membaca surat raja, lalu dia tidak mau mendukung kerajaannya. Apa yang diperintahkan dalam surat itu tidak mau dipelajarinya, sehingga dia tidak bisa melaksanakan perintahnya. Jika tidak mau memahami dan juga tidak melaksanakan perintah, berarti bisa dikatakan melecehkan dan bisa mendatangkan murka.

Dia tidak boleh merasa dirinya kuat dan perkasa, tidak boleh melihat dirinya sebagai orang yang suci, tetapi dia harus melihat dirinya sebagai orang yang serba memiliki keterbatasan. Hal ini bisa menyebabkan taqarrubnya kepada Allah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dan saran anda akan sangat bermanfaat untuk kemajuan blog ini.