Senin, 23 Oktober 2017

MISKIN TAPI KAYA

بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــــمِ 

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


Imam As-Syafii rahimahullah berkata :

إِذَا مَا كُنْتَ ذَا قَلْبٍ قَنُوْعٍ ..... فَأَنْتَ وَمَالِكُ الدُّنْيَا سَوَاءُ

"Jika engkau memiliki hati yang selalu qona'ah…maka sesungguhnya engkau sama seperti raja dunia."

Qona'ah dalam bahasa kita adalah "nerimo" dengan apa yang ada. Yaitu sifat menerima semua keputusan Allah. Jika kita senantiasa merasa nerima dengan apa yang Allah tentukan buat kita, bahkan kita senantiasa merasa cukup, maka sesungguhnya apa bedanya kita dengan raja dunia. Kepuasan yang diperoleh sang raja dengan banyaknya harta juga kita peroleh dengan harta yang sedikit akan tetapi dengan hati yang qona'ah.

Bahkan bagitu banyak raja yang kaya raya ternyata tidak menemukan kepuasan dengan harta yang berlimpah ruah… oleh karenanya sebenarnya kita katakan "Jika Anda memiliki hati yang senantiasa qona'ah maka sesungguhnya Anda lebih baik dari seorang raja di dunia".

Kalimat qona'ah merupakan perkataan yang ringan di lisan akan tetapi mengandung makna yang begitu dalam. Sungguh Imam As-Syafi'i tatkala mengucapkan bait sya'ir diatas sungguh-sungguh dibangun di atas ilmu yang kokoh dan dalam.

Seseorang yang qona'ah dan senantiasa menerima dengan semua keputusan Allah menunjukkan bahwa ia benar-benar mengimani taqdir Allah yang merupakan salah satu dari enam rukun Iman.

Ibnu Batthool berkata :

وَغِنَى النَّفْسِ هُوَ بَابُ الرِّضَا بِقَضَاءِ اللهِ تَعَالىَ وَالتَّسْلِيْم لأَمْرِهِ، عَلِمَ أَنَّ مَا عِنْدَ اللهِ خَيْرٌ للأَبْرَارِ، وَفِى قَضَائِهِ لأوْلِيَائِهِ الأَخْيَارِ

"Dan kaya jiwa (qona'ah) merupakan pintu keridhoan atas keputusan Allah dan menerima (pasrah) terhadap ketetapanNya, ia mengetahui bahwasanya apa yang di sisi Allah lebih baik bagi orang-orang yang baik, dan pada ketetapan Allah lebih baik bagi wali-wali Allah yang baik" [📚Syarh shahih Al-Bukhari]

Orang yang qona'ah benar-benar telah mengumpulkan banyak amalan-amalan hati yang sangat tinggi nilainya. Ia senantiasa berhusnudzon kepada Allah, bahwasanya apa yang Allah tetapkan baginya itulah yang terbaik baginya. Ia bertawakkal kepada Allah dengan menyerahkan segala urusannya kepada Allah, sedikitnya harta di tangannya tetap menjadikannya bertawakkal kepada Allah, ia lebih percaya dengan janji Allah daripada kemolekan dunia yang menyala di hadapan matanya.

Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata ;

إِنَّ مِنْ ضَعْفِ يَقِيْنِكَ أَنْ تَكُوْنَ بِمَا فِي يَدِكَ أَوْثَقُ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِ اللهِ

"Sesungguhnya diantara lemahnya imanmu engkau lebih percaya kepada harta yang ada di tanganmu dari pada apa yang ada di sisi Allah" [📚Jami'ul 'Uluum wal hikam 2/147]

Orang yang qona'ah tidak terpedaya dengan harta dunia yang mengkilau, dan ia tidak hasad kepada orang-orang yang telah diberikan Allah harta yang berlimpah. Ia qona'ah… ia menerima semua keputusan dan ketetapan Allah. Bagaimana orang yang sifatnya seperti ini tidak akan bahagia..???!!!

Allah berfirman :

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baikdan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [📑QS. An-Nahl : 97]

Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata :الحَيَاةُ الطَّيِّبَةُ الْقَنَاعَةُ Kehidupan yang baik adalah qona'ah." [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thobari dalam 📚tafsirnya 17/290]

Renungkanlah bagaimana kehidupan orang yang paling bahagia yaitu Nabi kita shallallahu 'alahi wa sallam…sebagaimana dituturkan oleh Aisyah radhiallahu 'anhaa :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ لِعُرْوَةَ ابْنَ أُخْتِي إِنْ كُنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى الْهِلَالِ ثُمَّ الْهِلَالِ ثَلَاثَةَ أَهِلَّةٍ فِي شَهْرَيْنِ وَمَا أُوقِدَتْ فِي أَبْيَاتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَارٌ فَقُلْتُ يَا خَالَةُ مَا كَانَ يُعِيشُكُمْ قَالَتْ الْأَسْوَدَانِ التَّمْرُ وَالْمَاءُ إِلَّا أَنَّهُ قَدْ كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِيرَانٌ مِنْ الْأَنْصَارِ كَانَتْ لَهُمْ مَنَائِحُ وَكَانُوا يَمْنَحُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَلْبَانِهِمْ فَيَسْقِينَا

Aisyah berkata kepada 'Urwah, "Wahai putra saudariku, sungguh kita dahulu melihat hilal kemudian kita melihat hilal (berikutnya) hingga tiga hilal selama dua bulan, akan tetapi sama sekali tidak dinyalakan api di rumah-rumah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam". Maka aku (Urwah) berkata, "Wahai bibiku, apakah makanan kalian?", Aisyah berkata, "Kurma dan air", hanya saja Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki tetangga dari kaum Anshoor, mereka memiliki onta-onta (atau kambing-kambing) betina yang mereka pinjamkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk diperah susunya, maka Rasulullahpun memberi susu kepada kami dari onta-onta tersebut" [📓HR Al-Bukhari no 2567 dan Muslim no 2972]

Dua bulan berlalu di rumah Rasulullah akan tetapi tidak ada yang bisa dimasak sama sekali di rumah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Makanan beliau hanyalah kurma dan air.

Rumah beliau sangatlah sempit sekitar 3,5 kali 5 meter dan sangat sederhana. 'Athoo' Al-Khurosaani rahimahullah berkata : "Aku melihat rumah-rumah istri-istri Nabi terbuat dari pelepah korma, dan di pintu-pintunya ada tenunan serabut-serabut hitam. Aku menghadiri tulisan (keputusan) Al-Waliid bin Abdil Malik (khalifah tatkala itu) dibaca yang memerintahkan agar rumah istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dimasukan dalam areal mesjid Rasululullah. Maka aku tidak pernah melihat orang-orang menangis sebagaimana tangisan mereka tatkala itu (karena rumah-rumah tersebut akan dipugar dan dimasukan dalam areal mesjid). Aku mendengar Sa'iid bin Al-Musayyib berkata pada hari itu :

واللهِ لَوَدِدْتُ أَنَّهُمْ تَرَكُوْهَا عَلَى حَالِهَا يَنْشَأُ نَاشِيءٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ وَيَقْدُمُ الْقَادِمُ مِنَ الأُفُقِ فَيَرَى مَا اكْتَفَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ فِي حَيَاتِهِ فَيَكُوْنُ ذَلِكَ مِمَّا يُزَهِّدُ النَّاسَ فِي التَّكَاثُرِ وَالتَّفَاخُرِ

"Sungguh demi Allah aku sangat berharap mereka membiarkan rumah-rumah Rasulullah sebagaimana kondisinya, agar jika muncul generasi baru dari penduduk Madinah dan jika datang orang-orang dari jauh ke kota Madinah maka mereka akan melihat bagaimana kehidupan Rasulullah, maka hal ini akan menjadikan orang-orang mengurangi sikap saling berlomba-lomba dalam mengumpulkan harta dan sikap saling bangga-banggaan" [📚At-Tobaqoot Al-Kubroo li Ibn Sa'ad 1/499]

Orang-orang mungkin mencibirkan mulut tatkala memandang seorang yang qona'ah yang berpenampilan orang miskin.., karena memang ia adalah seorang yang miskin harta. Akan tetapi sungguh kebahagiaan telah memenuhi hatinya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

"Bukanlah kekayaan dengan banyaknya harta benda, akan tetapi kekayaan yang haqiqi adalah kaya jiwa (hati)" [📓HR Al-Bukhari no 6446 dan Muslim no 1050]

Ibnu Battool rahimahullah berkata, "Karena banyak orang yang dilapangkan hartanya oleh Allah ternyata jiwanya miskin, ia tidak nerimo dengan apa yang Allah berikan kepadanya, maka ia senantiasa berusaha untuk mencari tambahan harta, ia tidak perduli dari mana harta tersebut, maka seakan-akan ia adalah orang yang kekurangan harta karena semangatnya dan tamaknya untuk mengumpul-ngumpul harta. Sesungguhnya hakekat kekayaan adalah kayanya jiwa, yaitu jiwa seseorang yang merasa cukup (nerimo) dengan sedikit harta dan tidak bersemangat untuk menambah-nambah hartanya, dan nafsu dalam mencari harta, maka seakan-akan ia adalah seorang yang kaya dan selalu mendapatkan harta" [📚Syarh Ibnu Batthool terhadap Shahih Al-Bukhari]

Abu Dzar radhiallahu 'anhu menceritakan bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepadanya :

يَا أَبَا ذَر، أَتَرَى كَثْرَةَ الْمَالِ هُوَ الْغِنَى؟ قُلْتُ : نَعَمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ : أَفَتَرَى قِلَّةِ الْمَالِ هُوَ الْفَقْرُ؟ قُلْتُ : نَعَمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ. قال : إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْبِ وَالْفَقْرُ فَقْرُ الْقَلْبِ

"Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang banyaknya harta merupakan kekayaan?". Aku (Abu Dzar) berkata : "Iya Rasulullah". Rasulullah berkata : "Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta merupakan kemiskinan?", Aku (Abu Dzar ) berkata, "Benar Rasulullah". Rasulullahpun berkata : "Sesungguhnya kekayaan (yang hakiki-pen) adalah kayanya hati, dan kemisikinan (yang hakiki-pen) adalah miskinnya hati" [📓HR Ibnu Hibbaan dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam shahih At-Targiib wa At-Tarhiib no 827]

Maka orang yang qona'ah meskpun miskin namun pada hakikatnya sesungguhnya ialah orang yang kaya.

Wallahu a'lam...

SESUATU YANG LEBIH BESAR DARIPADA FITNAH DAJJAL

۞﷽۞

╭⊰✿️•┈•┈•⊰✿ৡৢ˚❁🕌❁˚ৡ✿⊱•┈•┈•✿️⊱╮

SESUATU YANG LEBIH BESAR DARIPADA FITNAH DAJJAL

•┈┈•⊰✿┈•ৡৢ❁˚🌹🌟🌹˚❁ৡ•┈✿⊱•┈┈•

                              ╭⊰✿ •̩̩̩͙े༊


بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــــمِ

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


===================================


Fitnah Dajjal adalah fitnah terbesar semenjak Allah Ta’ala  menciptakan Adam sampai hari kiamat. Keluarnya Dajjal termasuk di antara rangkaian tanda-tanda besar munculnya hari kiamat. Allah Ta’ala menciptakannya disertai beberapa kemampuan di luar kemampuan manusia biasa. Hal tersebut menjadikan akal terkagum-kagum sehingga menjadi bingunglah sebagian manusia yang melihatnya.

Telah diriwayatkan dalam hadits shahih bahwasannya Dajjal membawa kebun dan api. Apinya adalah kebun sedangkan kebunnya adalah api. Dia peritahkan langit untuk menurunkan hujan dan menyuruh bumi agar menumbuhkan berbagai tumbuhan.

Dajjal telah menutup kebenaran dengan kebathilan serta menutup kekufurannya dengan kebohongan. Kemampuannya yang hebat tersebut menimbulkan kerancuan yang membingungkan akal, sehingga membuat sebagian manusia tertipu darinya.

Besarnya fitnah yang disebabkan Dajjal menyebabkan hal tersebut menjadi perbincangan para sahabat. Mereka khawatir dan takut fitnah tersebut menimpanya. Tatkala Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam  menjumpai mereka dalam keadaan demikian, ia kabarkan suatu hal yang jauh lebih beliau khawatirkan daripada fitnah Dajjal!. “Maukah aku kabarkan suatu hal yang lebih aku takutkan menimpa kalian daripada Al Masiih Ad Dajjal? Tentu Wahai Rasulullah, jawab para sahabat. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam  melanjutkan, Hal tersebut adalah Syirik Khafiy (Syirik yang tersamar)” 📙(HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Dalam riwayat lain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda, “Sesuatu yang paling aku takutkan menimpa kalian (para sahabat) adalah syirik asghar. Para Sahabat bertanya apa itu? Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, Riya” 📙(HR. Ahmad dan Baihaqi).


 Pengertian Riya

Riya adalah seseorang memperbagus dan menghiasi ibadah yang dia lakukan, agar orang lain melihatnya. Tujuannya adalah pujian dan sanjungan manusia atau maksud lain yang semisal (I’anatul Mustafiid hal. 646). Jadi maksud pembahasan riya di sini fokus pada Ibadah yang asas pokoknya adalah keikhlasan untuk mendapatkan ridha Allah Ta’ala. Orang yang riya berarti ia memalingkan asas tersebut dengan tidak semata-mata mengharapkan ridha Allah atas ibadah yang dilakukan, sehingga perbuatan itu termasuk kesyirikan.

Perbuatan riya termasuk Syirik Khafiy (tersamar) yang menjangkiti niat dan tujuan pelakunya, meskipun secara dzahir dia beribadah kepada Allah Ta’ala. Termasuk jenis Syirik Khafiy adalah sum’ah, yaitu seseorang beribadah agar manusia mendengarkannya. Syaikh ibnu utsaimin rahimahullah dalam kitab Al Qoul Al Mufiid mengatakan termasuk beribadah dengan tujuan ingin dilihat manusia adalah seseorang beribadah agar manusia mendengarkannya. Pelakunya disebut musammi’ (orang yang melakukan sum’ah).

Riya dan Sum’ah keduanya adalah perbuatan syirik. Memiliki kesamaan dalam tujuan ibadah, yaitu sebatas mengharapkan pujian atau sanjungan manusia. Adapun perbedaannya terdapat pada jenis ibadah yang dilakukan. Riya menjangkiti ibadah badan contoh memperbagus shalat dihadapan orang lain, sedangkan sum’ah menjangkiti ibadah lisan semacam memperindah bacaan Al Quran di hadapan manusia.


 Pembagian dan Hukum Riya

Hukum asal riya adalah Syirik Asghar (syirik kecil) yang tidak mengeluarkan pelakunya dari islam. Namun apabila riya  dilakukan di seluruh amal ibadah, dia sama sekali tidak mengharapkan ridha Allah Ta’ala  di setiap ibadahnya serta tujuan dari seluruh ibadahnya hanya untuk diterima masyarakat atau agar harta dan darahnya terjaga, maka yang semisal ini adalah perbuatan riya orang munafik. Dan ini termasuk kedalam Syirik Akbar (Syirik besar yang mengeluarkan dari Islam).

Allah Ta’ala berfirman (artinya), “Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, maka Allah membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri untuk sholat, mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud untuk dilihat orang (Riya), tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit” (QS. An Nisa: 142). (I’anatul Mustafiid).


 Bahaya Riya

↔*Riya Termasuk Perbuatan Syirik*

Setiap dosa yang dilakukan manusia memiliki tingkatan. Dosa terbesar yang dilarang syariat adalah kesyirikan, dan riya termasuk syirik asghar. Sehingga tatkala seseorang melakukan riya, berarti ia telah melakukan perbuatan dosa yang jauh lebih berbahaya, lebih berdosa, dan lebih mengerikan ancaman siksaanya dibandingkan zina, riba, mencuri, atau minum khamr.


Dosa Riya Tidak Diampuni

Allah Ta’ala berfirman (artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa (tingkatannya) di bawah syirik, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar” (QS. An Nisa: 48).

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berjumpa dengan Allah Ta’ala dalam keadaan tidak menyekutukanNya (syirik) dengan sesuatu apapun maka dia akan masuk surga. Barangsiapa berjumpa dengan Allah dalam keadaan menyekutukanNya maka dia akan masuk neraka (HR. Muslim). Adapun pelaku riya  maka diancam dengan neraka (At Tamhiid).

Karena riya  termasuk kesyrikan, maka pelakunya tidak akan diampuni kecuali dengan taubat yang sebenar-benarnya sebelum pintu taubat ditutup.

Riya Menghapus Amalan yang tercampurinya.
Dalam hadits qudsiy  diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala  berfirman (artinya), “Aku adalah dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa beramal dan dia menyekutukan Aku dengan sesuatu yang lain (dalam amalnya), maka Aku akan tinggalkan dia dengan amalannya” (HR. Muslim).


↔_Termasuk Syirik Khafiy

Riya disifati sebagai perbuatan syirik khafiy (samar) yang menjangkiti hati dan tujuan pelakunya. Perbuatan syirik ini tersamar karena tidak ada yang mengetahui kandungan hati seseorang kecuali Allah Ta’ala  (Al Qoul Al Mufiid). Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengkhawatirkan para sahabatnya terhadap riya, padahal mereka memiliki tingkat keimanan yang tinggi dan merupakan sebaik-baik manusia setelah para Nabi dan Rasul. Maka kita generasi yang jauh dari masa sahabat harus lebih takut terkena riya dan waspada darinya.


↔ Lebih Berbahaya Daripada Fitnah Dajjal

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam lebih mengkhawatirkan riya menjangkiti para sahabatnya, karena keikhlasan dalam ibadah adalah perkara yang sangat sulit. Sebagian salaf (orang shalih terdahulu) berkata, “Tidaklah aku curahkan segenap kemampuanku sebesar perjuanganku untuk mengikhlashkan amal” (Al Qoul Al Mufiid).

Fitnah riya sebabnya samar dan dapat menjangkiti siapapun, baik ia seorang ulama ataupun orang biasa. Kecuali bagi orang yang mendapatkan rahmat dan pertolongan dari Allah Ta’ala. Sedangkan fitnah Dajjal kelak dengan izin Allah Ta’ala tidak akan berpengaruh pada orang-orang beriman.


 Beberapa Contoh Perbuatan Riya

❌ Memperbagus ibadah di hadapan manusia agar dapat predikat sebagai ahli ibadah.

❌ Mengunggah foto saat berdo’a di depan ka’bah agar orang-orang tau dirinya baru pulang haji atau umrah.

❌ Merendahkan dirinya di hadapan manusia dengan tujuan agar mendapat pujian sebagai orang yang tawadhu.


 Di antara cara mengobati Riya

Beberapa kiat untuk mengobati riya (Tauhid Muyassar dan beberapa tambahan)

✔ Mengingat keutamaan orang-orang yang berbuat ikhlas yang syaithan tidak akan mampu menyesatkan.

✔ Bersungguh-sungguh dalam mengikhlaskan amal, tidak merasa nyaman ketika di pertengahan amal tertimpa penyakit riya¸ bahkan segera meninggalkan perasaan riya tersebut.

✔ Mengingat keagungan Allah Ta’ala karena Ia tidak membutuhkan amalan hambaNya.

✔ Mengingat berbagai dampak negatif dan bahaya riya.

✔ Mengingat negeri akhirat, kematian, siksa kubur, dan gelapnya kubur serta siksa neraka.

✔ Meyakini bahwasannya ridha manusia tidak dapat mendatangkan manfaat maupun bahaya baginya.

✔ Berdo’a kepada Allah Ta’ala  dengan doa yang dituntunkan, “Allahumma inni a’uudzubika an usyrika bika syaian wa ana a’lamu wa astaghfiruka limaa laa a’alamu” Artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui (sadari) 

📙(HR al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad” dari Abu Ya’la).


 Tanda-Tanda Keikhlasan

✔✔ Suka menyembunyikan amalan yang tidak perlu untuk ditampakkan.

Allah Ta’ala  berfirman (artinya) “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Baqarah : 271)

✔✔ Selalu menuduh diri kita dengan kekurangan.

Tidak memuji dirinya sendiri apabila dia dapati kebaikan padanya.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mendapatkan kebaikan hendaknya ia memuji Allah. Dan barangsiapa yang menjumpai selain itu, janganlah ia mencela kecuali kepada dirinya sendiri” (HR. Muslim)

✔✔ Tidak menanti balasan dan ucapan terima kasih dari orang lain, karena yang diharapkannya hanya Wajah Allah Ta’ala.

“Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhoan Allah, kami tidak mengharapkan balasan darimu dan tidak pula ucapan terima kasih” (QS. Al Insan: 9).

✔✔ Sikapnya sama saja ketika mendapat pujian atau celaan. Apabila dipuji tidak menambah kerajinannya dan jika dicela tidak mengendorkan dirinya dari beramal.


 Penutup 

Riya adalah penyakit yang muncul karena kejahilan hati. Penyakit ini sulit untuk ditinggalkan, karena sudah menjadi tabi’at manusia mencintai pujian. Padahal hakikat dari pujian manusia kebanyakan adalah tipuan. Bagaimana bisa anda dipuji sebagai orang shalih? Padahal ketika anda sendirian anda bermaksiat kepadaNya.

Mengikhlaskan amalan adalah sebuah kewajiban. Suatu amal tidak akan diterima tatkala tercampuri padanya riya, meskipun dalam prosentase 0.00001 %.

Meskipun demikian kita harus meyakini bahwasannya tidaklah kewajiban datang kecuali kita memiliki kesanggupan untuk melaksanakannya. Karena Allah Ta’ala tidak membebankan kewajiban di luar batas kemampuan seseorang. Dengan bersikap pertengahan mari kita berusaha untuk selalu waspada terhadap bahaya riya.


Wallahu muwaffiq


Rabu, 11 Oktober 2017

ASA DIANGKASA HATI TIDAK MEMBUMI

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh


إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya dan meminta pertolongan, pengampunan, dan petunjuk-Nya. 
Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan keburukan amal  kita. 
Barang siapa mendapat dari petunjuk Allah maka tidak akan ada yang menyesatkannya, dan barang siapa yang sesat maka tidak ada pemberi petunjuknya baginya. 
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. 
Ya Allah, semoga doa dan keselamatan tercurah pada Muhammad dan keluarganya, dan sahabat dan siapa saja yang mendapat petunjuk hingga hari kiamat.

*

Puji dan Syukur tak henti kita panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala yang tiada henti memberikan nikmat, berkah, dan hidayah-Nya kepada kita semua. Karena nikmat dan hidayah dari Allah berupa keimanan dan keislaman-lah yang membuat kita tetap kokoh berjalan di atas jalan Allah. 
Dan nikmat kesehatan dan kesempatan dari Allah pula sehingga hari ini kita dapat bersilaturahmi dalam rangka melaksanakan salah satu aktivitas yang merupakan kewajiban kita sebagai umat Islam, yakni menuntut ilmu.

*

Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, yang diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala ke muka bumi ini sebagai rahmatan lil alamiin, yang telah menggempur kesesatan dan mengibarkan panji-panji kebenaran, serta memperjuangkan islam hingga sampai kepada kita sebagai rahmat tak terperi dari Allah subhanahu wa ta’ala.

*

Sebagai seorang manusia wajar saja jika kita punya harapan dan cita-cita. 
Namun untuk mewujudkan semua itu bukankah kita harus berdoa dan Ikhtiar dengan sekuat tenaga untuk mewujudkan asa tersebut....?

Apakah kita bisa berhasil mewujudkannya jika kita tetap males-malesan... ?

*

Begitu pula dengan asa, harapan kita untuk menjadi hamba yang beruntung di akhirat kelak :
Untuk diampuni Allah... 
Untuk bisa masuk surga... 
Untuk terbebas dari api neraka....

Apakah kita akan begitu saja mendapatkan semua itu jika kita tetap terus berbuat dosa...? 
Jika kita tidak melaksanakan perintah Allah...? 
Dan bahkan jika kita selalu melanggar larangan Allah...?

Astaghfirullahal 'adziim waatubu ilaihi.

*

Salim Maula Ubay bin Ka’ab menasehatkan setelah dimintai oleh ‘Umar bin ‘Abdul 'Aziz, “Lantaran sebuah kesalahan yang dilakukannya, Adam dikeluarkan dari surga. 
Adapun kalian, mengerjakan banyak kesalahan, namun herannya kalian mengharapkan masuk surga.”

*

Inilah kelemahan terbesar kita, setelah tertipu untuk berbuat dosa, yaitu angan-angan hampa dan terbujuk prasangka yang melenakan.

*

Al Hasan Al Bashri mengingatkan,

“Ada sekelompok orang yang dilalaikan oleh angan-angan meraih ampunan Allah dan harapan menggapai rahmatNya, sampai-sampai mereka meninggal dunia tanpa membawa amal shalih. 
Salah seorang dari mereka mengatakan (dengan penuh optimisme),

“Saya berprasangka baik kepada Allah dan mengharapkan rahmatNya.”

*

Rupa-rupanya, mereka salah paham terhadap hadits berikut:

Rasulullah bersabda , “Seseorang tidak akan masuk surga karena amalnya.
” Para sahabat Nabi bertanya, “Tidak juga Anda wahai Rasulullah?” 
Rasulullah menjawab, “Tidak juga aku. Kecuali bila Allah menaungi diriku (juga kalian) dengan karunia dan rahmah (serta ampunan) Nya.

Maka berusahalah untuk beramal secara benar. 
Jika tidak bisa, berusahalah mendekati kebenaran. 
Berusahalah di waktu pagi, sore, dan sebagian waktu malam.
Bersikaplah pertengahan (antara berlebihan dan meremehkan).

Bersikaplah pertengahan. Niscaya kalian sampai ke tujuan. 
Janganlah salah seorang dari kalian mengangankan kematian. 
Karena bila ia orang baik, diharapkan ia menambah kebaikan. 
Dan jika ia orang yang buruk, diharapkan ia bisa memperbaiki diri.”

[Muttafaq ‘alaih]

*

Padahal sudah jelas, untuk bisa masuk surga, harus ada jaminan karunia, rahmah, dan ampunan Allah.

Dan agar mendapatkan ketiga jaminan itu, Rasulullah mensyaratkan untuk beribadah kepada Allah seoptimal mungkin dengan metode yang telah beliau tuntunkan.

*

Al Hasan Al Bashri memberikan kritik yang pedas, “Sungguh, ia telah berkata dusta. Kalau saja ia benar-benar berprasangka baik kepada Allah, tentulah ia sungguh-sungguh beramal ketaatan dengan bagus. Sekiranya ia benar-benar mengharap rahmah Allah, sudah pasti ia sungguh-sungguh mencarinya dengan amal-amal shalih. Besar kemungkinan akan binasa, musafir yang mengarungi padang sahara tanpa bekal dan air minum.”

[Al Bidayah wa An Nihayah 9/338]

*

Apa yang dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri ini sangat sesuai dengan firman Allah,

أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ ۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

“Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.”

[QS. Al-Araf : 99]

*

Yahya bin Mu’adz Ar Rozi turut menyindir sikap linglung ini, “Amal bagai fatamorgana, qalbu kosong dari takwa, dosa sebanyak butir pasir dan debu. Berharap gadis surga yang jelita. Alangkah jauhnya. Mustahil. Meski tidak minum khamr, engkau sedang mabuk. Alangkah sempurnanya engkau jika amalmu mendahului anganmu. 
Alangkah mulianya engkau jika amalmu mendahului ajalmu. Alangkah perkasanya engkau jika engkau menyelisihi hawa nafsu.”

[Shifah Ash Shafwah 4/92]

*
Sindiran ini mengingatkan kita pada ungkapan Rasulullah, “Barangsiapa ingin mengetahui apa yang akan ia terima di sisi Allah kelak, hendaklah ia melihat hak-hak Allah di sisinya (apa yang telah ia kerjakan).” 

[Sunan Ad-Daruquthni]

*

Alangkah tepatnya, tidak ada yang didapatkan di akhirat selain yang telah dilakukan di dunia.

Ingin tahu, kita menjadi penghuni surga ataukah penghuni neraka ? 
Marilah kita tengok saja apa yang telah kita perbuat.

*

Allah telah mengingatkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

[QS. Al-Hasyr: 18]

*

Rasulullah bahkan telah menyindir, dengan sindiran yang sangat halus namun mengena, “Saya tidak melihat hal yang lebih mengherankan daripada neraka. Orang-orang mengaku takut kepadanya, tapi masih saja bisa tidur nyenyak. Saya juga tidak melihat hal yang lebih mengherankan daripada surga. Orang-orang mengaku ingin memasukinya, tapi masih saja bisa tidur nyenyak.”

[Sunan At-Tirmidzi no. 2728]

*

Begitu seringnya kita menjadi bangkai di malam hari dan menjadi keledai di siang hari. 
Saat matahari hadir, kita masih seperti orang pandir. 
Saat bulan bersemayam, semangat qiyamul lail kerap padam.

Saat awan berkejaran, kita terus saja dalam kelalaian. 
Saat bintang temaram, dalam tidur, kita tenggelam. 
Laksana seonggok kayu yang tidak punya nyawa. 
Tidak tergerak untuk mempersembahkan penghambaan terbaik kepada Allah. Sementara harapan menjadi penghuni surga dan bebas dari neraka sangat tinggi.

*

Kiranya, patut kita simak syair Isma’il bin Qasim AI Baghdadi yang sangat populer,

“Engkau berharap keselamatan, namun engkau tidak menempuh jalannya. 
Adalah sebuah kemustahilan bahtera berlayar di daratan.”

[Al Bidayah wa An Nihayah 10/279]

*
Begitu pula, kita layak untuk menertawakan diri kita sendiri. Bagaimana tidak, kita seringkali menanti upah ibadah. 
Kita tidak sumringah, kalau ibadah kita tidak berbuah upah.

Kita berdakwah, tapi berharap dunia. 
Kita membaca Al-Qur’an, tapi berharap harta. 
Kita membangun masjid, tapi berharap ada kelebihan dana, lantas mengambilnya dengan dalih ganti keringat.

*

Padahal Rasulullah telah bersabda :  “Tidaklah orang yang berperang di jalan Allah kemudian ia mendapatkan harta rampasan perang (lalu mengambilnya untuk kepentingan diri dan kenikmatan dunia) kecuali ia telah mempercepat duapertiga pahala (yang mestinya didapat utuh) di akhirat sehingga masih tersisa sepertiga. 
Apabila tidak mengambil ghanimah semua pahala akan ia dapatkan.”

[Shahih Muslim no. 1906]

*

Bagaimana bisa kita akan meraih surga tertinggi yang kita idam-idamkan, dan terbebas dari neraka yang ganas, kalau ibadah saja masih terengah-engah, dosa saja masih nikmat terasa, dunia saja masih menjadi fokus asa, kepada Allah saja masih sering kita lupa?

lnilah kelemahan kita yang lain. 
Terbiasa dengan dosa-dosa yang dianggap remeh, sehingga tidak ada rasa takut akan adzabnya, atau mengira pasti segera diampuni Allah.

*

Rasulullah memberikan wejangan: “Jauhilah oleh kalian dosa-dosa yang dianggap remeh. 
Sesungguhnya dosa-dosa yang dianggap remeh itu seperti sebuah kaum yang singgah di sebuah lembah. 
Mereka semua mencari kayu bakar maka si A datang membawa sepotong kayu, si B datang membawa sepotong kayu, dan demikian juga yang lain.

Akhirnya dengan kayu-kayu yang terkumpul, mereka bisa memasak roti sampai matang. 
Sesungguhnya bila dosa-dosa yang dianggap remeh itu diberi hukuman oleh Allah, niscaya akan membinasakan pelakunya."

[Musnad Ahmad. Ash Shahihah no. 389; Shahih Al Jami’ no. 2866, 2867]

*

Demikianlah, bahwa kita adalah hamba Allah, kewajiban kita dalam hidup ini hanyalah mempersembahkan ibadah yang terbaik kepada Allah sesuai ketentuan dariNya dengan penuh cinta, pengagungan, dan asa.

*

Dan harus kita ingat bahwa :
Asa Tidak ada gunanya tanpa rahmah, ridha, maghfirah, dan karunia Allah.

*

Tidak perlu kita mengingat-ingat ibadah yang pernah kita sukses mengoptimalkan pelaksanaannya. 
Yang selalu kita ingat semestinya adalah keburukan kita, agar kita tidak ‘ujub dan lengah, agar semangat kita terjaga dan taubat tidak tersendat.

*

Biarlah Allah yang menilai seberapa bermutunya ibadah kita, dan biarlah kita sibuk dengan bertaubat dan terus memperbagus ibadah kita kepada Allah.

*

Andaipun kita telah mampu berupaya seoptimal mungkin dalam beribadah kepada Allah, dan nampaknya kita telah berada di puncak penghambaan, ingatlah sehebat apapun ibadah kita kepada Allah, kita tidak mampu mencapai kesempurnaan.

*

Misalnya terkadang kita lalai dari Allah, lemah semangat ibadah, terlintas keinginan untuk berbuat buruk. 
Kalau hal ini kita sadari, maka tidak pantas merasa telah sukses mengoptimalkan ibadah.

*

Tidak ada gunanya membanggakan keshalihan diri. 
Tidak ada untungnya merasa diri telah suci.

Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan adzab Rabb mereka…. mereka itulah orang-orang yang bersegera untuk mengerjakan kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperoleh (balasan/pahala)nya.”

[QS. Al-Mu`minun: 57, 61]

*

Sebelum kita akhiri, salah satu firman Allah ini sangat tepat dengan keadaan kita yang punya asa tinggi namun tidak disertai dengan pembuktian.

Allah berfirman :

كَلَّا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ

"Sekali-kali tidak ; manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya (secara optimal).”

[QS. `Abasa: 23]

*

Dari uraian di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa kita emang harus punya harapan setinggi angkasa untuk dapat memperoleh Ridho Allah.... 
Menjadi hamba yang beruntung diakhirat... 
Terbebas dari api neraka....
Dan menjadi penghuni Surga...

*

Namun semua itu harus kita imbangi dengan amalan lahir dan batin... 
Dengan menta'ati perintah Allah... 
Menjauhi larangan Allah... 
Menjalankan sunah... 
Menghindari yang subhat dan makhruh...

....sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

*

Demikianlah yang dapat saya sampaikan.
Semoga ada manfaat yang dapat kita ambil bersama.

Mohon maaf atas segala kekurangannya.
Semua kebaikan dan kebenaran datangnya dari Allah dan semua kekurangannya berasal dari saya pribadi yang masih fakir dalam ilmu.
Mohon dimaafkan....

استغفر الله العظيم....
استغفر الله العظيم....
استغفر الله العظيم....

استغفر الله العظيم واتوب اليه

*

Dari saya....

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Minggu, 01 Oktober 2017

HATI - HATI BERKATA : SEANDAINYA

Bismillaahirrahmaanirrahiim 
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 



Iman terhadap takdir atau ketetapan Allah Ta’ala adalah pokok Aqidah ahlus sunah wal jamaah.Apa yang menimpa seorang manusia berupa kebaikan dan keburukan, dan apa-apa yang terjadi di muka bumi telah dicatat Allah Ta’ala di Lauhil Mahfudz. Allah berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lohmahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al Hadid 22)

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu mengomentari ayat di atas seraya berkata: “Itu semua –penulisan takdir- telah selesai sebelum diciptakan nafsi [manusia]

  (Tafsir At Thobary 13/265)
Imam Muslim meriwayatkan dari Abdillah bin Amr bahwa ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Allah telah menulis takdir seluruh alam lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi.” (Sahih Muslim Lisyarkh An Nawawi 16/166, Kitab Qadar, Bab Hujaj Adam Wa Musa, hadits 2653)

Maka, ketika manusia mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, ridho dan menerima akan ketentuan Allah Ta’ala adalah sebuah keharusan baginya.

Kita diperintahkan untuk selalu berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Tatkala kita diberi cobaan oleh Allah Ta’ala berupa musibah atau yang semisalnya, dengan inilah mungkin Allah Ta’ala ingin mengangkat derajat kita disisi-Nya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Sesungguhnya besarnya balasan sesuai dengan besarnya cobaan, dan bahwasanya Allah Ta’ala ketika mencintai sebuah kaum, maka mereka akan diberi cobaan. Barang siapa yang ridha terhadapnya baginya adalah keridhaan Allah Ta’ala. Dan barang siapa yang menolak, maka baginya kemurkaan-Nya (HR At Tirmidzi)

Sifat Orang Munafiq

Salah satu sifat seorang munafiq adalah menolak takdir Allah Ta’ala dengan menggunakan perkataan-perkataan mereka. Sebagaimana yang Allah Ta’ala abadikan dalam Al-Qur’an surat Ali Imron:

يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَا هُنَا

“Mereka –orang-orang munafik- berkata:”Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini”(QS. Ali Imron: 154)

Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair bahwa ayahnya berkata, “dan telah diperlihatkan kepadaku, tatkala rasa takut yang sangat menyelinap pada diri kami, Allah Ta’ala menurunkan rasa kantuk, dan tidak ada seorang diantara kami kecuali dagunya menempel di dada. Demi Allah, sesungguhnya saya mendengar perkataan Mu’tab bin Qusyair, dan tidaklah aku mendengarnya kecuali bagaikan mimpi. Ia mengatakan, ‘Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini. Maka saya hafal perkataannya. Ketika itu turunlah surat Ali Imron 154.”(Fathul Majid 2/766)

Beginilah perkataan orang munafiq, mereka sering mengucapkan kata (اللو) “andaikata”sebagai ungkapan untuk menolak takdir. Kemudian Allah membantah perkataan mereka dengan firman-Nya:

قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ

Katakanlah, sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh”. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu.” (QS. Ali Imran: 154)

Hukum Mengatakan (اللو) “Seandainya” dan Sejenisnya

Sering kita mendegar ucapan “seandainya begini tentu aku akan begini” atau perkataan-perkataan sejenisnya. Bahkan ungkapan itu keluar dari lisan kita secara sadar maupun tidak. Orang munafiq sering mengucapkannya sebagai ungkapan untuk menolak ketentuan Allah Ta’ala. Lantas, apakah hal itu menunjukkan larangan secara mutlaq?

Abdurrahman As Sa’di dalam bukunya “Qaulu Syadid fi Syarh Kitab at Tauhid” menerangkan bahwa kata (اللو) “seandainya” mempunyai dua keadaan.

Pertama, tercela seperti orang mengalami sesuatu yang tidak disukai kemudian berkata, “Seandainya saya tidak melakukannya tentu saya tidak akan terkena musibah ini” atau perkataan semisalnya.

Kedua, boleh bahkan merupakan hal yang terpuji. Seperti orang yang berangan-angan dalam hal kebaikan atau hanya sebagai berita.

Sedangkan kata(اللو) “seandainya” menjadi enam kelompok. (Qoulu Al Mufid 2/361-362) yaitu:

1. Kata itu digunakan sebagai ungkapan untuk menolak sebuah syariat Allah Ta’ala.

Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang munafiq, terkhusus Abdullah bin Ubay. Allah Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ قَالُوا لإخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا

Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: “Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh”.(QS. Ali Imron: 168)

Imam At Thabari meriwayatkan dari Ibnu Ishaq ketika ia menafsirkan ayat ” لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا ” yaitu, kematian adalah sebuah keniscayaan. Jikalau [orang munafik] sanggup menolak mati pada dirinya, maka lakukanlah. Mereka mengatakan hal itu hanya untuk menyembunyikan kemunafikan dan ingin meninggalkan Jihad Fi Sabilillah. Mereka menginginkan tinggal di dunia dan lari dari kematian. (Tafsir Ath Thabari 3/206). Maka hal ini diharamkan Allah Ta’ala.

2. Digunakan sebagai ungkapan untuk menolak takdir dari Allah Ta’ala.

Hal ini sebagaimana yang telah kami terangkan di atas. Yaitu tentang salah satu sifat orang munafik. Maka, ini juga dilarang Allah Ta’ala.

3. Sebagai ungkapan penyesalan.

Seperti perkataan siswa yang tidak naik kelas“Seandainya tahun ini saya belajar rajin, saya akan naik kelas”. Ia mengucapkannya bukan untuk menolak takdir, akan tetapi hanya sebatas penyesalan. Maka, hal ini juga dilarang oleh Islam. Karena penyesalan akan menimbulkan kesedihan dan kefuturan, yang mana itu semua adalah pintu-pintu masuknya setan untuk menggoda manusia.

4. Berhujah dengan takdir dalam hal kemaksiatan kepada Allah.

Seringkali ketika kita menasehati orang yang berbuat maksiat, mereka mengatakan “Ini adalah takdir Allah Ta’ala. Seandainya Allah Ta’ala tidak menakdirkannya, saya tidak akan melakukannya.” Allah Ta’ala menolak hujjah orang-orang yang menyekutukan-Nya, dan tetap memasukkan mereka dalam neraka. Allah Ta’ala berfirman:

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلا آبَاؤُنَا وَلا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلا تَخْرُصُونَ

“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun”. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta. “(QS. Al An’am: 148)

5. Digunakan sebagai angan-agan atau cita-cita.

Dalam masalah ini, hukumnya tergantung kepada objek atau apa yang menjadi angan-anganaya. Jika digunakan utuk angan-angan yang baik, maka hukumnya juga baik. Sebaliknya jika ia mengangan-angan hal yang buruk, maka tidak diperbolehkan. Sebagaimana hadits panjang tentang 4 golongan. Salah satu dari mereka berangan-angan “seandainya saya mempunyai harta, sungguh saya akan beramal sebagaimana sifulan beramal” yaitu dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Dan yang lain juga mengatakan sebagaimana yang pertama, akan tetapi ia berangan-angan dalam kemaksiatan. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda untuk yang pertama

فَهُوَ فِيْ نِيَتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ

“Dan ia hanya meniatkan, maka pahala keduanya sama”

Kemudian beliau bersabda bagi golangan kedua:

فَهُوَ فِيْ نِيَتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ

“Dan ia hanya meniatkan, maka dosa keduanya sama”

6. Digunakan untuk sebatas berita.

Seperti perkataan “seandainya pak guru masuk, saya akan selalu memperhatikannya dan mengambil faedah yang banyak dari beliau.” Hal ini diperbolehkan oleh Islam. Sebab RasulullahShallallahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda:

لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الهَدْيِ وَلَأَحَلَلْتُ مَعَكُمْ

“Seandainya aku menemui urusanku (haji) saya tidak akan berpaling, saya tidak akan membawa hewan qurban dan pasti akan bertahalul bersama kalian” (HR. Bukhari)

Ikhwan sekalian...Takdir adalah rahasia Allah Ta’ala dan tidak perlu untuk dicari. Kita hanya diperintahkan untuk bersemangat dalam beramal. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallambersabda:

“Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah Ta’ala dari pada mukmin yang lemah dan semuanya mempunyai kebaikan. Bersegeralah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah Ta’ala [dalam segala urusan] dan janganlah bersikap lemah. Dan apabila kalian mendapatkan musibah jangan katakan “seandainya saya berbuat begitu, saya akan begini atau begitu” akan tetapi telah ditetapkan Allah Ta’ala dan apa bila Dia berkehendak maka akan terlaksana, karena sesungguhnya (اللو) “seandainya” membuka amalan syaithon” (HR muslim)

Dari hadits ini Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam memberikan anjuran kepada kita untuk selalu bersemangat beramal dalam dua keadaan. Keadaan yang sesuai dengan cita-cita, dan keadaan yang tidak menyenangkan.