Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
Iman terhadap takdir atau ketetapan Allah Ta’ala adalah pokok Aqidah ahlus sunah wal jamaah.Apa yang menimpa seorang manusia berupa kebaikan dan keburukan, dan apa-apa yang terjadi di muka bumi telah dicatat Allah Ta’ala di Lauhil Mahfudz. Allah berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lohmahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al Hadid 22)
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu mengomentari ayat di atas seraya berkata: “Itu semua –penulisan takdir- telah selesai sebelum diciptakan nafsi [manusia]
(Tafsir At Thobary 13/265)
Imam Muslim meriwayatkan dari Abdillah bin Amr bahwa ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah telah menulis takdir seluruh alam lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi.” (Sahih Muslim Lisyarkh An Nawawi 16/166, Kitab Qadar, Bab Hujaj Adam Wa Musa, hadits 2653)
Maka, ketika manusia mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, ridho dan menerima akan ketentuan Allah Ta’ala adalah sebuah keharusan baginya.
Kita diperintahkan untuk selalu berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Tatkala kita diberi cobaan oleh Allah Ta’ala berupa musibah atau yang semisalnya, dengan inilah mungkin Allah Ta’ala ingin mengangkat derajat kita disisi-Nya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya besarnya balasan sesuai dengan besarnya cobaan, dan bahwasanya Allah Ta’ala ketika mencintai sebuah kaum, maka mereka akan diberi cobaan. Barang siapa yang ridha terhadapnya baginya adalah keridhaan Allah Ta’ala. Dan barang siapa yang menolak, maka baginya kemurkaan-Nya (HR At Tirmidzi)
Sifat Orang Munafiq
Salah satu sifat seorang munafiq adalah menolak takdir Allah Ta’ala dengan menggunakan perkataan-perkataan mereka. Sebagaimana yang Allah Ta’ala abadikan dalam Al-Qur’an surat Ali Imron:
يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَا هُنَا
“Mereka –orang-orang munafik- berkata:”Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini”(QS. Ali Imron: 154)
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair bahwa ayahnya berkata, “dan telah diperlihatkan kepadaku, tatkala rasa takut yang sangat menyelinap pada diri kami, Allah Ta’ala menurunkan rasa kantuk, dan tidak ada seorang diantara kami kecuali dagunya menempel di dada. Demi Allah, sesungguhnya saya mendengar perkataan Mu’tab bin Qusyair, dan tidaklah aku mendengarnya kecuali bagaikan mimpi. Ia mengatakan, ‘Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini. Maka saya hafal perkataannya. Ketika itu turunlah surat Ali Imron 154.”(Fathul Majid 2/766)
Beginilah perkataan orang munafiq, mereka sering mengucapkan kata (اللو) “andaikata”sebagai ungkapan untuk menolak takdir. Kemudian Allah membantah perkataan mereka dengan firman-Nya:
قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ
Katakanlah, sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh”. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu.” (QS. Ali Imran: 154)
Hukum Mengatakan (اللو) “Seandainya” dan Sejenisnya
Sering kita mendegar ucapan “seandainya begini tentu aku akan begini” atau perkataan-perkataan sejenisnya. Bahkan ungkapan itu keluar dari lisan kita secara sadar maupun tidak. Orang munafiq sering mengucapkannya sebagai ungkapan untuk menolak ketentuan Allah Ta’ala. Lantas, apakah hal itu menunjukkan larangan secara mutlaq?
Abdurrahman As Sa’di dalam bukunya “Qaulu Syadid fi Syarh Kitab at Tauhid” menerangkan bahwa kata (اللو) “seandainya” mempunyai dua keadaan.
Pertama, tercela seperti orang mengalami sesuatu yang tidak disukai kemudian berkata, “Seandainya saya tidak melakukannya tentu saya tidak akan terkena musibah ini” atau perkataan semisalnya.
Kedua, boleh bahkan merupakan hal yang terpuji. Seperti orang yang berangan-angan dalam hal kebaikan atau hanya sebagai berita.
Sedangkan kata(اللو) “seandainya” menjadi enam kelompok. (Qoulu Al Mufid 2/361-362) yaitu:
1. Kata itu digunakan sebagai ungkapan untuk menolak sebuah syariat Allah Ta’ala.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang munafiq, terkhusus Abdullah bin Ubay. Allah Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ قَالُوا لإخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا
Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: “Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh”.(QS. Ali Imron: 168)
Imam At Thabari meriwayatkan dari Ibnu Ishaq ketika ia menafsirkan ayat ” لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا ” yaitu, kematian adalah sebuah keniscayaan. Jikalau [orang munafik] sanggup menolak mati pada dirinya, maka lakukanlah. Mereka mengatakan hal itu hanya untuk menyembunyikan kemunafikan dan ingin meninggalkan Jihad Fi Sabilillah. Mereka menginginkan tinggal di dunia dan lari dari kematian. (Tafsir Ath Thabari 3/206). Maka hal ini diharamkan Allah Ta’ala.
2. Digunakan sebagai ungkapan untuk menolak takdir dari Allah Ta’ala.
Hal ini sebagaimana yang telah kami terangkan di atas. Yaitu tentang salah satu sifat orang munafik. Maka, ini juga dilarang Allah Ta’ala.
3. Sebagai ungkapan penyesalan.
Seperti perkataan siswa yang tidak naik kelas“Seandainya tahun ini saya belajar rajin, saya akan naik kelas”. Ia mengucapkannya bukan untuk menolak takdir, akan tetapi hanya sebatas penyesalan. Maka, hal ini juga dilarang oleh Islam. Karena penyesalan akan menimbulkan kesedihan dan kefuturan, yang mana itu semua adalah pintu-pintu masuknya setan untuk menggoda manusia.
4. Berhujah dengan takdir dalam hal kemaksiatan kepada Allah.
Seringkali ketika kita menasehati orang yang berbuat maksiat, mereka mengatakan “Ini adalah takdir Allah Ta’ala. Seandainya Allah Ta’ala tidak menakdirkannya, saya tidak akan melakukannya.” Allah Ta’ala menolak hujjah orang-orang yang menyekutukan-Nya, dan tetap memasukkan mereka dalam neraka. Allah Ta’ala berfirman:
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلا آبَاؤُنَا وَلا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلا تَخْرُصُونَ
“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun”. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta. “(QS. Al An’am: 148)
5. Digunakan sebagai angan-agan atau cita-cita.
Dalam masalah ini, hukumnya tergantung kepada objek atau apa yang menjadi angan-anganaya. Jika digunakan utuk angan-angan yang baik, maka hukumnya juga baik. Sebaliknya jika ia mengangan-angan hal yang buruk, maka tidak diperbolehkan. Sebagaimana hadits panjang tentang 4 golongan. Salah satu dari mereka berangan-angan “seandainya saya mempunyai harta, sungguh saya akan beramal sebagaimana sifulan beramal” yaitu dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Dan yang lain juga mengatakan sebagaimana yang pertama, akan tetapi ia berangan-angan dalam kemaksiatan. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda untuk yang pertama
فَهُوَ فِيْ نِيَتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ
“Dan ia hanya meniatkan, maka pahala keduanya sama”
Kemudian beliau bersabda bagi golangan kedua:
فَهُوَ فِيْ نِيَتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
“Dan ia hanya meniatkan, maka dosa keduanya sama”
6. Digunakan untuk sebatas berita.
Seperti perkataan “seandainya pak guru masuk, saya akan selalu memperhatikannya dan mengambil faedah yang banyak dari beliau.” Hal ini diperbolehkan oleh Islam. Sebab RasulullahShallallahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda:
لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الهَدْيِ وَلَأَحَلَلْتُ مَعَكُمْ
“Seandainya aku menemui urusanku (haji) saya tidak akan berpaling, saya tidak akan membawa hewan qurban dan pasti akan bertahalul bersama kalian” (HR. Bukhari)
Ikhwan sekalian...Takdir adalah rahasia Allah Ta’ala dan tidak perlu untuk dicari. Kita hanya diperintahkan untuk bersemangat dalam beramal. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallambersabda:
“Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah Ta’ala dari pada mukmin yang lemah dan semuanya mempunyai kebaikan. Bersegeralah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah Ta’ala [dalam segala urusan] dan janganlah bersikap lemah. Dan apabila kalian mendapatkan musibah jangan katakan “seandainya saya berbuat begitu, saya akan begini atau begitu” akan tetapi telah ditetapkan Allah Ta’ala dan apa bila Dia berkehendak maka akan terlaksana, karena sesungguhnya (اللو) “seandainya” membuka amalan syaithon” (HR muslim)
Dari hadits ini Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam memberikan anjuran kepada kita untuk selalu bersemangat beramal dalam dua keadaan. Keadaan yang sesuai dengan cita-cita, dan keadaan yang tidak menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar dan saran anda akan sangat bermanfaat untuk kemajuan blog ini.