Jumat, 15 Desember 2017

BIRRUL WALIDAIN, BERBUAT BAIK TERHADAP ORANG TUA


Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh


1. Pengertian Birrul Walidain

Berbuat baik terhadap orang tua (birrul walidain) adalah memberi kebaikan atau berkhidmat kepada keduanya serta mentaati perintahnya (kecuali yang ma’siat) dan mendoa’kannya apabila keduanya telah wafat. Ibu dan Bapak sebagai orang tua sudah selayaknya mendapatkan kebaikan dan penghormatan dari anaknya. Islam sangat perhatian mengenai masalah ini, sebagaimana sangat jelas ditegaskan dalam firman Allah yang berbunyi. :

“Dan Kamu perintahkan kepada manusia (berbuat baik) terhadap kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah, bahkan menyusukan pula selama kurang lebih 2 tahun. Maka dari itu bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku sajalah tempat kamu kembali”.

2. Dalil Al-Qur’an dan hadist

“Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua Ibu Bapak”. (QS. An-Nisa’ : 36)

Dalam ayat ini (berbuat baik kepada Ibu Bapak) merupakan perintah, dan perintah disini menunjukkan kewajiban, khususnya, karena terletak setelah perintah untuk beribadah dan meng-Esa-kan (tidak mempersekutukan) Allah, serta tidak didapatinya perubahan (kalimat dalam ayat tersebut) dari perintah ini. (Al Adaabusy Syar’iyyah 1/434).

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya”. (QS. Al Isra’:23).

Adapun makna (qadhoo) = Berkata Ibnu Katsir : yakni, mewasiatkan. Berkata Al Qurthubiy : yakni, memerintahkan, menetapkan dan mewajibkan. Berkata Asy Syaukaniy: “Allah memerintahkan untuk berbuat baik pada kedua orang tua seiring dengan perintah untuk mentauhidkan dan beribadah kepada-Nya, ini pemberitahuan tentang betapa besar haq mereka berdua, sedangkan membantu urusan-urusan (pekerjaan) mereka, maka ini adalah perkara yang tidak bersembunyi lagi (perintahnya). (Fathul Qodlir 3/218).

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu Bapanya, Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Maka bersyukurkah kepada-Ku dan kepada kedua orang Ibu Bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.”(QS. Luqman : 14).

Berkata Ibnu Abbas mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua “Tiga ayat dalam Al’Quran yang saling berkaitan dimana tidak diterima salah satu tanpa yang lainnya, kemudian Allah menyebutkan diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya) : “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang Ibu Bapakmu”, Berkata beliau. “Maka, barangsiapa yang bersyukur kepada Allah akan tetapi dia tidak bersyukur pada kedua Ibu Bapaknya, tidak akan diterima (rasa syukurnya) dengan sebab itu.” (Al Kabaair milik Imam Adz Dzahabi hal 40).

Berkaitan dengan ini, Rasulullah Shalallahu’Alaihi Wassallam bersabda (artinya) : “Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb (Allah) ada pada kemurkaan orang tua” (Riwayat Tirmidzi dalam Jami’nya (1/346), Hadits ini Shohih, lihat Solsilah Al Hadits Ash Shahiihah No. 516).

Hadits Al Mughairah bin Syub’ah – mudah-mudahan Allah meridhainya, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam beliau bersabda (artinya): “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian mendurhakai para Ibu, mengubur hidup-hidup anak perempuan, dan tidak mau memberi tetapi meminta-minta (bakhil) dan Allah membenci atas kalian (mengatakan) katanya si fulan begini si fulan berkata begitu (tanpa diteliti terlebih dahulu), banyak bertanya (yang tidak bermanfaat) dan membuang-buang harta”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1757)

3. Keutamaan Birrul Walidain

Termasuk Amalan Yang Paling Mulia

Dari Abdullah bin Mas’ud mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata:Saya bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: Apakah amalan yang paling dicintai oleh Allah?, Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘ Alaihi Wasallam: “Sholat tepat pada waktunya”, Saya bertanya : Kemudian apa lagi?, Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ” Berbuat baik kepada kedua orang tua”. Saya bertanya lagi : Lalu apa lagi?, Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Berjihad di jalan Allah”.(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya).

Merupakan Salah Satu Sebab-Sebab Diampuninya Dosa

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (artinya): “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya….”, hingga akhir ayat berikutnya : “Mereka itulah orang-orang yang kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga. Sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.” (QS. Al Ahqaf 15-16)Diriwayatkan oleh Ibnu Umar mudah-mudahan Allah meridhoi keduanya bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata :Wahai Rasulullah sesungguhnya telah menimpa kepadaku dosa yang besar, apakan masih ada pintu taubat bagi saya?, Maka bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : “Apakah Ibumu masih hidup?”, berkata dia : tidak. Bersabda beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : “Kalau bibimu masih ada?”, dia berkata : “Ya”.
Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : “Berbuat baiklah padanya”.(Diriwayatkan oleh Tirmidzi didalam Jami’nya dan berkata Al’ Arnauth : Perawi-perawinya tsiqoh. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim. Lihat Jaami’ul Ushul (1/406)).

Termasuk Sebab Masuknya Seseorang ke Surga

Dari Abu Hurairah, mudah-mudahan Allah meridhoiny, dia berkata : Saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Celakalah dia, celakalah dia”, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya : Siapa wahai Rasulullah?, Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : “Orang yang menjumpai salah satu atau kedua orang tuanya dalam usia lanjut kemudian dia tidak masuk surga”.
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalan Shahihnya No. 1758, ringkasan)

Dari Mu’awiyah bin Jaahimah mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua, Bahwasanya Jaahimah datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian berkata : “Wahai Rasulullah, saya ingin (berangkat) untuk berperang, dan saya datang (ke sini) untuk minta nasehat pada anda. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Apakah kamu masih memiliki Ibu?”. Berkata dia : “Ya”. bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : “Tetaplah dengannya karena sesungguhnya surga itu dibawah telapak kakinya”.
(Hadits Hasan diriwayatkan oleh Nasa’i dalam Sunannya dan Ahmad dalam Musnadnya). Hadits ini Shohih. (lihat Shahilul Jaami No. 1248)

Merupakan Sebab Keridhoan Allah

Sebagaimana hadits yang terdahulu “Keridhoan Allah ada pada keridhoan kedua orang tua dan kemurkaan-Nya ada pada kemurkaan kedua orang tua”.

Merupakan Sebab Bertambahnya Umur

Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Barangsiapa yang suka Allah besarkan rizkinya dan Allah panjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahim”.

Merupakan Sebab Barokahnya Rizki

Dalilnya, sebagaimana hadits sebelumnya.

4. Bentuk Birrul Walidain

Di antara hak orang tua ketika masih hidup adalah:

Mentaati Mereka Selama Tidak Mendurhakai Allah

Mentaati kedua orang tua hukumnya wajib atas setiap Muslim. Haram hukumnya mendurhakai kedianya. Tidak sedikit pun mendurhakai mereka berdua kecuali apabila mereka menyuruh untuk menyekutukan Allah ataumendurhakai-Nya.AllahSubhanahu wa Ta’ala berfirman: “dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…” (QS. Luqman: 15)

Tidak boleh mentaati makhluk untuk mendurhakai Allah, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: “Tidak ada ketaatan untuk mendurhakai Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam melakukan kebaikan.” (HR. Bukhari no. 4340,7145, 7257, dan Muslim no. 1840, dari Ali radhiyallahu ‘anhu)

Adapun jika bukan dalam perkara yang mendurhakai Allah, wajib mentaati kedua orang tua selamanya dan ini termasuk perkara yang paling diawajibkan. Oleh karena itu, seorang Muslim tidak boleh mendurhakai apa saja yang diperintahkan oleh kedua orang tua.

Berbakti dan Merendahkan Diri di Hadapan Kedua Orang Tua

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada orang tua ibu bapaknya…” (QS. Al-Ahqaaf: 15)”Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuaru pun, Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua ibu bapak….” (QS. An-Nisaa’: 36)

Perintah berbuat baik ini lebih ditegaskan jika usia kedua orang tua semakin tua dan lanjut hingga kondisi mereka melemah dan sangat membutuhkan bantuan dan perhatian dari anaknya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kami jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: ‘Wahai, Rabb-ku, kasihilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Israa’ :23-24)

Di antara bakti terhadap kedua orang tua adalah menjauhkan ucapan dan perbuatan yang dapat menyakiti kedua orang tua, walaupun dengan isyarat atau dengan ucapan ‘ah’. Termasuk berbakti kepada keduanya ialah senantiasa membuat mereka ridha dengan melakukan apa yang mereka inginkan, selama hal itu tidak mendurhakai Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana yang telah disebutkan.

Merendahkan Diri di Hadapan Keduanya

Tidak boleh mengeraskan suara melebihi suara kedua orang tua atau di hadapan mereka berdua. Tidak boleh juga berjalan di depan mereka, masuk dan keluar mendahului mereka, aau mendahului urusan mereka berdua. Rendahkanlah diri di hadapan mereka berdua dengan cara mendahulukan segala urusan mereka, membentangkan dipan untuk mereka, mempersilakan mereka duduk di tempat yang empuk, menyodorkan bantal, janganlah mendului makan dan minum, dan lain sebagainya.

Berbicara Dengan Lembut Di Hadapan Mereka

Berbicara dengan lembut merupakan kesempurnaan bakti kepada kedua orang tua dan merendahkan diri di hadapan mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“… Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al Israa’: 23)Oleh karena itu, berbicaralah kepada mereka berdua dengan ucapan yang lemah lembut dan baik serta dengan lafazh yang bagus.

Meyediakan Makanan Untuk Mereka

Menyediakan makanan juga termasuk bakti kepada kedua orang tua, terutama jika ia memberi mereka makan dari hasil jerih payah sendiri. Jadi, sepantasnya disediakan untuk mereka makanan dan minuman terbaik dan lebih mendahulukan mereka berdua daripada dirinya, anaknya, dan istrinya.

Meminta Izin Kepada Mereka Sebelum Berjihad dan Pergi Untuk Urusan Lainnya

Izin kepada orang tua diperlukan untuk jihad yang belum ditentukan. Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan bertanya: “Ya, Rasulullah, apakah aku boleh ikut berjihad?” Beliau balik bertanya: “Apakah kamu masih mempunyai kedua orang tua?” Laki-laki itu menjawab: “Masih.”Beliau bersabda: “Berjihadlah (dengan cara berbakti) kepada keduanya.” (HR. Bukhari no. 3004, 972, dan Muslim no. 2549, dari Ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anhu)

Memberikan Harta Kepada Orang Tua Menurut Jumlah Yang Mereka Inginkan

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda kepada seorang laki-laki ketika ia berkata:“Ayahku ingin mengambil hartaku.” Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:“Kamu dan hartamu milik ayahmu.” (HR.Ahmad, II/2014, Au Dawud no.3530, dan Ibnu Majah no.2292, dari Ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini tertera dalam kitab Shahiihul Jaamino.1486)

Oleh sebab itu, hendaknya seseorang jangan bersikap bakhil (kikir) terhadap orang yang menyebabkan keberadaan dirinya, memeliharanya ketika kecil dan lemah, serta telah berbat baik kepadanya.


Sabtu, 09 Desember 2017

MENGENAL SYIRIK DAN TAUHID

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh


Kita sering dengar istilah syirik, namun banyak yg belum tahu apa itu syirik.
Mereka hanya tahu syirik itu menduakan Allah dan dosa yg tdk terampuni,
Tapi mereka belum paham makna menduakan Allah dan makna dosa yg tidak terampuni...

Apa maksud dari kata dosa yang tidak terampuni?
Maksudnya adalah bahwa dosa itu adalah raja dari segala dosa,
Dosa yg tertinggi dari sgala dosa yg kita ketahui selama ini,
Bahkan jika kita kumpulkan semua jenis dosa yg ada di bumi ini, tidaklah bisa menyamai dosa syirik,
Misalkan saja zina, rampok, mencuri smpai bahkan membunuh, semua itu dosa besar, tapi jika dibandingkan dengan dosa syirik, maka sungguh tidak ada apa2nya,
Disinilah makna syirik yg byk orang awwam sampaipun penuntut ilmu yg belum paham akan betapa besarnya konsekwensi dosa syirik.

Kenapa dosa syirik tidaklah begitu jadi perhatian utama dalam hal dosa?
Tapi lebih dominan kemasalah penipuan, korupsi, zina dan pembunuhan?
Karna dosa2 diatas selain syirik, berhubungan dengan intern antar sesama manusia, ini bukti bahwa kita rata2 condong kepada dunia dalam hal materialistis bukan kepada Allah.
Seakan2 Allah itu nomor dua atau bhkan wacana yg tidak pnting.
Bukankah orang yg melakukan dosa syirik tidak berhubungan dengan manusia?
Tapi hanya berhubungan dengan Allah.
Hingga keluar sebuah kalimat,
"Biarkan dia selama tidak mengganggu dan menyakiti orang lain...

...

Inilah bukti bahwa betapa byk manusia yg tidak paham bahkan sama sekali tdk tahu apa itu syirik.
Mari kita simak sepenggal cerita beberapa anak santri yg bertahun-tahun belajar tauhid, tetapi merasa jenuh karna selama bertahun-tahun hanya dominan tauhid saja yg di pelajari.
Lalu akhirnya mengkritisi sang guru agar tdk itu2 saja, tauhid lagi, tauhid lagi dan tauhid melulu.
Maka sang guru mengalah, sang guru lalu bercerita kalo dikampung sebelah ada seorang ayah menzinai anak kandungnya,
Betapa marah dan geramnya para santri2 itu sambil berdiri hendak marah.
Tak sampai disitu, sang guru lalu bercerita bahwa dikampung sebelahnya lagi ada seorang bapak yg menyembelih kambing untuk dipersembahkan kepada tuhan selain Allah,
Apa reaksi para santri itu? Mereka hanya bersikap biasa saja, padahal bila dibandingkan antara dosa berzina dgn menyembelih selain Allah,
Sungguh dosa menyembeli selain Allah adalah syirik akbar, mengalahkan dosa seorang bapak yg menzinai anak kandungnya,

Nb: ingat, jgn salah paham, jgn sampai kita pandang enteng dosa zina...

Maka sang gurupun melanjutkan kalo tauhid ini, bahwasanya para santri2nya belum paham apa itu tauhid...

...

Apakah dosa syirik bisa diampuni? Jawabnya bisa asal dia tobat sebelum dia meninggal dunia sbagaimana firman Allah...

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (53)

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Az Zumar: 53)

ayat diatas mewakili firman2 Allah yg lainnya tentang semua dosa tanpa pengecualian akan diampuni jika dia mau bertaubat termasuk syirik kecil dan syirik besar.

...

Bagaimana dengan perkataan yg begitu populer kalo dosa syirik tidak diampuni...
Maka jawabnya adalah, itu jika dia meninggal sedangkan dia masih melakukan kesyirikan dan masih menyimpan keyakinan2 syirik.
Sebagaimana firman Allah...

                 إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa’: 48)

ayat ini berlaku ketika seseorang telah meninggal dunia, dimana dia tdk sempat bertaubat dari segala dosa-dosa syiriknya, sedangkan selain dosa syrik Allah menggunakan dua opsi,
Kalo tidak diampuni, maka dihukum dulu baru masuk surga.

...

Ada pertanyaan lagi yg umum, kenapa para ulama salaf bgitu gencar-gencarnya mendakwahkan tauhid?
Bukankah orang lain yg syirik dia jg yg masuk neraka,
Ngapain urus mereka, bukankah lebih pantas mengurus mereka yg suka berzina, suka menyakiti orang lain, suka nipu, korupsi dan lain2?
Maka jawabnya adalah...

1. Dakwah utama para nabi dan rasul adalah tauhid, tidaklah Allah mengutus para nabi dan rasul kecuali untuk mengajak kepada tauhid!
Jika kita dengar sejarah para nabi yg umatnya diberi berbagai bencana, hujan banjir, taupan, badai pasir dan byk lagi, tahu kenapa?
Karena mereka menyembah selain Allah, mereka menyembah berhala.
Kecuali kaum nabi luth, bumi pijakan mereka dibalik karna homosexual yg dihalalkan.

2. Kecintaan para ulama kepada umat muslim.

"Dari Abu Hamzah Anas bin Malik, khadim (pembantu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau berkata, “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya”
(HR Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya)

3. Karna syirik, maka bencana merata...

Allah berfirman (yang artinya),
“Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan umat-umat sebelum kalian ketika mereka berbuat kezhaliman,
padahal para rasul telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka sama sekali tidak mau beriman.
Demikianlah Kami membalas orang-orang yang berbuat dosa.
Kemudian, Kami menjadikan kalian sebagai pengganti-pengganti mereka di muka bumi supaya Kami memperhatikan bagaimana kalian berbuat.”
(QS. Yunus: 13-14)

Tidaklah suatu kezhaliman dilakukan melainkan akan menimbulkan bencana. Dan sebesar-besar kezhaliman yang dilakukan seorang hamba adalah menyekutukan Allah (Syirik).

...

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالَّذِيْ نَفْسِي بِيَدِهِ، لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ، وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، أَوْ لَيُوْشِكُنَّ اللهُ يَبْعَثُ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ، ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَ يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ

“Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Kamu harus melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Atau jika tidak, Allah bisa segera menimpakan azab dari sisi-Nya dan ketika kamu berdo’a tidak dikabulkan-Nya.”
(HR. Ahmad dan Tirmidzi).

"Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya"
(Qs. Al-Anfal 25)

4. Tersebarnya kesyirikan dan lama-lama dianggap hal biasa.
Sedangkan gencar"nya para ulama salaf mendakwahkan tauhid, namun kesyirikan tetap semakin meraja lela hingga lama" menjadi hal yg dianggap biasa.

...

5. Tugas utama iblis.
Kita tahu? Apa jenjang iblis dalam menggoda manusia?
Yg utama adalah syirik, lalu bid'ah kemudian dosa-dosa besar lainnya.
Kalo kita telah melakukan kesyirikan, maka iblis gak perlu menggoda pada dosa" lainnya, bahkan tdk melarang kita untuk ibadah, bahkan dia menyuruh kita ibadah, karna iblis tahu, ibadah kita tdk akan pernah diterima selama kita dalam kesyirikan.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan" (Al An’am: 88).

6. Benteng dari musuh2 islam.

"Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).
Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah.
Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong" (Q.S. An-Nisaa [4]: 89)

NB: Mohon jangan gagal paham dengan kalimat TAWAN DAN BUNUHLAH MEREKA,
ayat ini turun dimasa peperangan antara nabi dan orang2 kafir, berlaku dgn 2 syarat, yaitu :
a. Jika dia mengajak kamu pada kekafiran,
b. Berada dilingkungan yg menerapkan hukum islam. Jadi jelas, ini tidak berlaku di Indonesia.

...

7. Kesyirikan ataupun kekafiran menjauhkan kita dari pertolongan Allah, dan musuh" islam hendak membuat kita jadi kafir,

"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.
Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu"
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 120)

Allahu a’lam bish shawab.
Wassalamù'alaíkùm warahmatullaahi wabarakaatuh


Sabtu, 11 November 2017

KEJUJURAN PEMBUKA SELURUH AKHLAK MULIA

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh


Alhamdulillahi Rabbil'alamiin 

Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad 


🌹MAKNA KEJUJURAN 

Asal arti kata ash-shidq (kejujuran) adalah kabar yang bersesuaian dengan kenyataan.

Ash-shidq terdapat pada kabar atau berita. Apabila Anda mengabarkan tentang sesuatu dan kabar tersebut sesuai dengan kejadian sesungguhnya, dikatakan bahwa kabar tersebut jujur. Misalnya, pada hari Ahad Anda mengatakan, “Hari ini hari Ahad”, maka kabar Anda benar. Namun, jika Anda mengatakan, “Hari ini hari Senin”, kabar Anda dusta. Kesimpulannya, jika kabar sesuai dengan realitas yang sesungguhnya, dikatakan sebagai kabar jujur; dan jika tidak, dikatakan sebagai kabar dusta.

Ash-shidq juga terdapat pada ucapan dan perbuatan, yaitu ketika keadaan batin seseorang bersesuaian dengan keadaan lahirnya. Dia mengamalkan sesuatu yang bersesuaian dengan isi hatinya. Oleh karena itu, orang yang berlaku riya’ bisa dikatakan sebagai orang yang tidak jujur. Sebab, dia menampakkan diri di hadapan orang lain sebagai orang yang beribadah kepada Allah, padahal kenyataannya tidak demikian.

Seorang yang musyrik (melakukan kesyirikan) kepada Allahsubhanahu wa ta’ala juga bukan orang yang jujur, karena ia menampakkan diri sebagai orang yang bertauhid, padahal kenyataannya tidak demikian.

Begitu juga halnya orang-orang munafik. Mereka tidak jujur karena menampakkan keimanan, padahal bukan orang-orang yang mukmin.

Seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) juga bukan orang yang jujur. Sebab, ia menampakkan diri mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal pada kenyataannya ia bukan orang yang mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kejujuran adalah salah satu sifat orang-orang yang beriman. Sebaliknya, kedustaan adalah salah satu sifat kaum munafik. (Syarh Riyadhus Shalihin “Bab ash-Shidq”, karya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah )

Kejujuran adalah satu sifat yang telah diperintahkan oleh Allahsubhanahu wa ta’ala, sebagaimana termaktub di dalam al-Qur’anul Karim. Allah subhanahu wa ta’ala juga memuji orang-orang yang memiliki sifat jujur.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur.” (at-Taubah: 119)

Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan pahala yang besar bagi orang-orang yang memiliki sifat jujur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintah umat beliau agar berhias dengan kejujuran karena kejujuran menjadi pembuka dan sarana menuju seluruh akhlak mulia.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, kejujuran itu akan membimbing kepada kebaikan, dan sungguh, kebaikan itu akan membimbing ke surga.”

Kejujuran adalah tanda keislaman, timbangan keimanan, pokok agama, dan tanda kesempurnaan seseorang yang memiliki sifat tersebut. Dengan kejujuran, seorang hamba memiliki kedudukan yang tinggi, baik dalam urusan agama maupun urusan dunia. Dengan kejujuran pula, dia akan mencapai kedudukan orang-orang yang mulia.

Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan tentang para pelaku kebaikan dan memuji mereka atas kebaikan amalan mereka, yaitu amalan iman, Islam, sedekah, dan kesabaran, dengan menyebut mereka sebagai golongan orang yang jujur.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Bukanlah menghadapkan wajah kalian ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janji apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang jujur (keimanannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (al-Baqarah: 177)

Dengan kejujuran pula, seorang hamba akan selamat dari berbagai kejelekan. Keberuntungan yang besar didapatkan oleh orang-orang yang memiliki sifat jujur.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kejujuran mereka.” Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar." (al-Maidah: 119)

🌹 KEJUJURAN ADALAH KETENANGAN, KEDUSTAAN ADALAH KEBIMBANGAN

Orang yang jujur adalah orang yang tepercaya dalam mengemban setiap amanah, baik yang berkaitan dengan harta benda, hak-hak, maupun rahasia-rahasia. Orang yang jujur akan mendapatkan ketenteraman hati.

Barang siapa senantiasa menjaga kejujuran ucapannya, baik ketika memerintah dan melarang, ketika membaca al-Qur’an dan berzikir, maupun ketika memberi dan menerima, ia akan tercatat di sisi Allah dan di sisi manusia sebagai orang yang jujur, dicintai, dimuliakan, dan tepercaya. Persaksiannya adalah kebaikan, hukumnya penuh keadilan, berbagai muamalahnya dipenuhi kemanfaatan, dan majelisnya dipenuhi keberkahan.

Orang yang jujur pada setiap amalannya ialah yang terjauhkan dari riya’ dan sum’ah (mencari popularitas). Yang dia inginkan dari amalannya hanyalah wajah Allah subhanahu wa ta’ala semata. Demikian pula seluruh aktivitasnya, ia tidak menginginkan darinya berbagai bentuk makar dan tipu daya.

Dengan kejujuran, seseorang tidak akan mengharapkan balasan selain dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dia akan tegas menyuarakan kebenaran sekalipun pahit dirasakan. Orang yang berlaku jujur tidak akan terpengaruh oleh celaan orang-orang.

Seorang mukmin yang terhiasi akhlak kejujuran tidak akan berdusta. Tidaklah ia berkata selain kebaikan. Ketenteraman hati dan ketenangan sikap terpancar dari hamba yang senantiasa berlaku jujur.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu. Kejujuran adalah ketenangan, sedangkankedustaan adalah kebimbangan.” (HR. at-Tirmidzi, beliau mengatakan, “Hadits shahih”; dari al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma)

🌹 PENGARUH KEJUJURAN DAN PENGARUH KEDUSTAAN

Kejujuran dalam bertutur kata dan berbuat menyebabkan diterimanya sebuah perkataan.

Disebutkan dalam hadits riwayat al-Bukhari rahimahullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kaum musyrikin, “Bagaimana pendapat kalian kalau aku kabarkan kepada kalian bahwa di balik bukit ini ada pasukan berkuda yang akan menyerbu, apakah kalian membenarkan perkataanku?” Mereka menjawab, “Ya, kami belum pernah mendengarmu berdusta.” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya “Kitab at-Tafsir”, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu)

Kaisar Heraklius bertanya kepada kaum musyrikin Makkah (di antaranya Abu Sufyan yang ketika itu belum masuk Islam) tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah dahulu kalian menuduhnya berdusta sebelum ia (Muhammad) menyampaikan apa yang ia sampaikan?”

Abu Sufyan menjawab, “Tidak.”

Kaisar Heraklius mengatakan, “Sungguh, aku mengetahui, tidak mungkin ia meninggalkan perkataan dusta terhadap manusia lantas berani berdusta terhadap Allah subhanahu wa ta’ala.” (HR. al-Bukhari, “Kitab at-Tafsir”, “Bab surat Ali ‘Imran: 64”)

Sebaliknya, kedustaan menyebabkan ditolaknya sebuah perkataan, sekalipun benar. Minimalnya, perkataan tersebut akan diragukan.

Karena pengaruh kedustaan, seseorang digolongkan sebagai orang fasik, sebagaimana halnya firman Allah subhanahu wa ta’ala,

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian itu.” (al-Hujurat: 6)

🌹 PENGARUH KEDUSTAAN TAMPAK PADA WAJAH-WAJAH PENDUSTA

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka. Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kalian.” (Muhammad: 30)

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menerangkan ayat ini, “Maksudnya, dengan tanda-tanda yang ada pada wajah mereka. Adalah kelaziman apabila isi hati mereka diungkapkan oleh lisan mereka. Lisan adalah gayungnya hati. Pada lisan tersebut akan tampak isi hati, baik kebaikan maupun kejelekan.” (Taisirul Karimir Rahman, asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah )

🌹 KEDUSTAAN TERMASUK SIFAT-SIFAT KEMUNAFIKAN 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa "tanda-tanda orang munafik ada tiga : jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika dipercaya ia berkhianat." (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Selain itu, kedustaan akan menghilangkan keberkahan, sedangkan kejujuran akan membuahkan keberkahan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Penjual dan pembeli memiliki hak untuk menentukan pilihan selama keduanya belum berpisah dari tempat transaksi. Jika keduanya berlaku jujur (pada sifat barang) dan menjelaskan (seandainya ada cacat pada barang), niscaya transaksi jual beli tersebut diberkahi. Akan tetapi, kalau keduanya berdusta dan menyembunyikan cacat (barang dagangan), akan dihilangkan keberkahan transaksi jual beli tersebut.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Demikian beberapa pengaruh kejujuran dan kedustaan, dan masih banyak pengaruh lainnya. Kesimpulannya, akhlak kejujuran adalah pembuka dan sarana menuju seluruh akhlak kebaikan, sedangkan kedustaan adalah sarana menuju berbagai bentuk kerusakan akhlak.

Wallahu a’lam bish shawab


Senin, 23 Oktober 2017

MISKIN TAPI KAYA

بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــــمِ 

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


Imam As-Syafii rahimahullah berkata :

إِذَا مَا كُنْتَ ذَا قَلْبٍ قَنُوْعٍ ..... فَأَنْتَ وَمَالِكُ الدُّنْيَا سَوَاءُ

"Jika engkau memiliki hati yang selalu qona'ah…maka sesungguhnya engkau sama seperti raja dunia."

Qona'ah dalam bahasa kita adalah "nerimo" dengan apa yang ada. Yaitu sifat menerima semua keputusan Allah. Jika kita senantiasa merasa nerima dengan apa yang Allah tentukan buat kita, bahkan kita senantiasa merasa cukup, maka sesungguhnya apa bedanya kita dengan raja dunia. Kepuasan yang diperoleh sang raja dengan banyaknya harta juga kita peroleh dengan harta yang sedikit akan tetapi dengan hati yang qona'ah.

Bahkan bagitu banyak raja yang kaya raya ternyata tidak menemukan kepuasan dengan harta yang berlimpah ruah… oleh karenanya sebenarnya kita katakan "Jika Anda memiliki hati yang senantiasa qona'ah maka sesungguhnya Anda lebih baik dari seorang raja di dunia".

Kalimat qona'ah merupakan perkataan yang ringan di lisan akan tetapi mengandung makna yang begitu dalam. Sungguh Imam As-Syafi'i tatkala mengucapkan bait sya'ir diatas sungguh-sungguh dibangun di atas ilmu yang kokoh dan dalam.

Seseorang yang qona'ah dan senantiasa menerima dengan semua keputusan Allah menunjukkan bahwa ia benar-benar mengimani taqdir Allah yang merupakan salah satu dari enam rukun Iman.

Ibnu Batthool berkata :

وَغِنَى النَّفْسِ هُوَ بَابُ الرِّضَا بِقَضَاءِ اللهِ تَعَالىَ وَالتَّسْلِيْم لأَمْرِهِ، عَلِمَ أَنَّ مَا عِنْدَ اللهِ خَيْرٌ للأَبْرَارِ، وَفِى قَضَائِهِ لأوْلِيَائِهِ الأَخْيَارِ

"Dan kaya jiwa (qona'ah) merupakan pintu keridhoan atas keputusan Allah dan menerima (pasrah) terhadap ketetapanNya, ia mengetahui bahwasanya apa yang di sisi Allah lebih baik bagi orang-orang yang baik, dan pada ketetapan Allah lebih baik bagi wali-wali Allah yang baik" [📚Syarh shahih Al-Bukhari]

Orang yang qona'ah benar-benar telah mengumpulkan banyak amalan-amalan hati yang sangat tinggi nilainya. Ia senantiasa berhusnudzon kepada Allah, bahwasanya apa yang Allah tetapkan baginya itulah yang terbaik baginya. Ia bertawakkal kepada Allah dengan menyerahkan segala urusannya kepada Allah, sedikitnya harta di tangannya tetap menjadikannya bertawakkal kepada Allah, ia lebih percaya dengan janji Allah daripada kemolekan dunia yang menyala di hadapan matanya.

Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata ;

إِنَّ مِنْ ضَعْفِ يَقِيْنِكَ أَنْ تَكُوْنَ بِمَا فِي يَدِكَ أَوْثَقُ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِ اللهِ

"Sesungguhnya diantara lemahnya imanmu engkau lebih percaya kepada harta yang ada di tanganmu dari pada apa yang ada di sisi Allah" [📚Jami'ul 'Uluum wal hikam 2/147]

Orang yang qona'ah tidak terpedaya dengan harta dunia yang mengkilau, dan ia tidak hasad kepada orang-orang yang telah diberikan Allah harta yang berlimpah. Ia qona'ah… ia menerima semua keputusan dan ketetapan Allah. Bagaimana orang yang sifatnya seperti ini tidak akan bahagia..???!!!

Allah berfirman :

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baikdan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [📑QS. An-Nahl : 97]

Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata :الحَيَاةُ الطَّيِّبَةُ الْقَنَاعَةُ Kehidupan yang baik adalah qona'ah." [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thobari dalam 📚tafsirnya 17/290]

Renungkanlah bagaimana kehidupan orang yang paling bahagia yaitu Nabi kita shallallahu 'alahi wa sallam…sebagaimana dituturkan oleh Aisyah radhiallahu 'anhaa :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ لِعُرْوَةَ ابْنَ أُخْتِي إِنْ كُنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى الْهِلَالِ ثُمَّ الْهِلَالِ ثَلَاثَةَ أَهِلَّةٍ فِي شَهْرَيْنِ وَمَا أُوقِدَتْ فِي أَبْيَاتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَارٌ فَقُلْتُ يَا خَالَةُ مَا كَانَ يُعِيشُكُمْ قَالَتْ الْأَسْوَدَانِ التَّمْرُ وَالْمَاءُ إِلَّا أَنَّهُ قَدْ كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِيرَانٌ مِنْ الْأَنْصَارِ كَانَتْ لَهُمْ مَنَائِحُ وَكَانُوا يَمْنَحُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَلْبَانِهِمْ فَيَسْقِينَا

Aisyah berkata kepada 'Urwah, "Wahai putra saudariku, sungguh kita dahulu melihat hilal kemudian kita melihat hilal (berikutnya) hingga tiga hilal selama dua bulan, akan tetapi sama sekali tidak dinyalakan api di rumah-rumah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam". Maka aku (Urwah) berkata, "Wahai bibiku, apakah makanan kalian?", Aisyah berkata, "Kurma dan air", hanya saja Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki tetangga dari kaum Anshoor, mereka memiliki onta-onta (atau kambing-kambing) betina yang mereka pinjamkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk diperah susunya, maka Rasulullahpun memberi susu kepada kami dari onta-onta tersebut" [📓HR Al-Bukhari no 2567 dan Muslim no 2972]

Dua bulan berlalu di rumah Rasulullah akan tetapi tidak ada yang bisa dimasak sama sekali di rumah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Makanan beliau hanyalah kurma dan air.

Rumah beliau sangatlah sempit sekitar 3,5 kali 5 meter dan sangat sederhana. 'Athoo' Al-Khurosaani rahimahullah berkata : "Aku melihat rumah-rumah istri-istri Nabi terbuat dari pelepah korma, dan di pintu-pintunya ada tenunan serabut-serabut hitam. Aku menghadiri tulisan (keputusan) Al-Waliid bin Abdil Malik (khalifah tatkala itu) dibaca yang memerintahkan agar rumah istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dimasukan dalam areal mesjid Rasululullah. Maka aku tidak pernah melihat orang-orang menangis sebagaimana tangisan mereka tatkala itu (karena rumah-rumah tersebut akan dipugar dan dimasukan dalam areal mesjid). Aku mendengar Sa'iid bin Al-Musayyib berkata pada hari itu :

واللهِ لَوَدِدْتُ أَنَّهُمْ تَرَكُوْهَا عَلَى حَالِهَا يَنْشَأُ نَاشِيءٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ وَيَقْدُمُ الْقَادِمُ مِنَ الأُفُقِ فَيَرَى مَا اكْتَفَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ فِي حَيَاتِهِ فَيَكُوْنُ ذَلِكَ مِمَّا يُزَهِّدُ النَّاسَ فِي التَّكَاثُرِ وَالتَّفَاخُرِ

"Sungguh demi Allah aku sangat berharap mereka membiarkan rumah-rumah Rasulullah sebagaimana kondisinya, agar jika muncul generasi baru dari penduduk Madinah dan jika datang orang-orang dari jauh ke kota Madinah maka mereka akan melihat bagaimana kehidupan Rasulullah, maka hal ini akan menjadikan orang-orang mengurangi sikap saling berlomba-lomba dalam mengumpulkan harta dan sikap saling bangga-banggaan" [📚At-Tobaqoot Al-Kubroo li Ibn Sa'ad 1/499]

Orang-orang mungkin mencibirkan mulut tatkala memandang seorang yang qona'ah yang berpenampilan orang miskin.., karena memang ia adalah seorang yang miskin harta. Akan tetapi sungguh kebahagiaan telah memenuhi hatinya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

"Bukanlah kekayaan dengan banyaknya harta benda, akan tetapi kekayaan yang haqiqi adalah kaya jiwa (hati)" [📓HR Al-Bukhari no 6446 dan Muslim no 1050]

Ibnu Battool rahimahullah berkata, "Karena banyak orang yang dilapangkan hartanya oleh Allah ternyata jiwanya miskin, ia tidak nerimo dengan apa yang Allah berikan kepadanya, maka ia senantiasa berusaha untuk mencari tambahan harta, ia tidak perduli dari mana harta tersebut, maka seakan-akan ia adalah orang yang kekurangan harta karena semangatnya dan tamaknya untuk mengumpul-ngumpul harta. Sesungguhnya hakekat kekayaan adalah kayanya jiwa, yaitu jiwa seseorang yang merasa cukup (nerimo) dengan sedikit harta dan tidak bersemangat untuk menambah-nambah hartanya, dan nafsu dalam mencari harta, maka seakan-akan ia adalah seorang yang kaya dan selalu mendapatkan harta" [📚Syarh Ibnu Batthool terhadap Shahih Al-Bukhari]

Abu Dzar radhiallahu 'anhu menceritakan bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepadanya :

يَا أَبَا ذَر، أَتَرَى كَثْرَةَ الْمَالِ هُوَ الْغِنَى؟ قُلْتُ : نَعَمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ : أَفَتَرَى قِلَّةِ الْمَالِ هُوَ الْفَقْرُ؟ قُلْتُ : نَعَمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ. قال : إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْبِ وَالْفَقْرُ فَقْرُ الْقَلْبِ

"Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang banyaknya harta merupakan kekayaan?". Aku (Abu Dzar) berkata : "Iya Rasulullah". Rasulullah berkata : "Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta merupakan kemiskinan?", Aku (Abu Dzar ) berkata, "Benar Rasulullah". Rasulullahpun berkata : "Sesungguhnya kekayaan (yang hakiki-pen) adalah kayanya hati, dan kemisikinan (yang hakiki-pen) adalah miskinnya hati" [📓HR Ibnu Hibbaan dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam shahih At-Targiib wa At-Tarhiib no 827]

Maka orang yang qona'ah meskpun miskin namun pada hakikatnya sesungguhnya ialah orang yang kaya.

Wallahu a'lam...

SESUATU YANG LEBIH BESAR DARIPADA FITNAH DAJJAL

۞﷽۞

╭⊰✿️•┈•┈•⊰✿ৡৢ˚❁🕌❁˚ৡ✿⊱•┈•┈•✿️⊱╮

SESUATU YANG LEBIH BESAR DARIPADA FITNAH DAJJAL

•┈┈•⊰✿┈•ৡৢ❁˚🌹🌟🌹˚❁ৡ•┈✿⊱•┈┈•

                              ╭⊰✿ •̩̩̩͙े༊


بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــــمِ

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


===================================


Fitnah Dajjal adalah fitnah terbesar semenjak Allah Ta’ala  menciptakan Adam sampai hari kiamat. Keluarnya Dajjal termasuk di antara rangkaian tanda-tanda besar munculnya hari kiamat. Allah Ta’ala menciptakannya disertai beberapa kemampuan di luar kemampuan manusia biasa. Hal tersebut menjadikan akal terkagum-kagum sehingga menjadi bingunglah sebagian manusia yang melihatnya.

Telah diriwayatkan dalam hadits shahih bahwasannya Dajjal membawa kebun dan api. Apinya adalah kebun sedangkan kebunnya adalah api. Dia peritahkan langit untuk menurunkan hujan dan menyuruh bumi agar menumbuhkan berbagai tumbuhan.

Dajjal telah menutup kebenaran dengan kebathilan serta menutup kekufurannya dengan kebohongan. Kemampuannya yang hebat tersebut menimbulkan kerancuan yang membingungkan akal, sehingga membuat sebagian manusia tertipu darinya.

Besarnya fitnah yang disebabkan Dajjal menyebabkan hal tersebut menjadi perbincangan para sahabat. Mereka khawatir dan takut fitnah tersebut menimpanya. Tatkala Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam  menjumpai mereka dalam keadaan demikian, ia kabarkan suatu hal yang jauh lebih beliau khawatirkan daripada fitnah Dajjal!. “Maukah aku kabarkan suatu hal yang lebih aku takutkan menimpa kalian daripada Al Masiih Ad Dajjal? Tentu Wahai Rasulullah, jawab para sahabat. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam  melanjutkan, Hal tersebut adalah Syirik Khafiy (Syirik yang tersamar)” 📙(HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Dalam riwayat lain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda, “Sesuatu yang paling aku takutkan menimpa kalian (para sahabat) adalah syirik asghar. Para Sahabat bertanya apa itu? Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, Riya” 📙(HR. Ahmad dan Baihaqi).


 Pengertian Riya

Riya adalah seseorang memperbagus dan menghiasi ibadah yang dia lakukan, agar orang lain melihatnya. Tujuannya adalah pujian dan sanjungan manusia atau maksud lain yang semisal (I’anatul Mustafiid hal. 646). Jadi maksud pembahasan riya di sini fokus pada Ibadah yang asas pokoknya adalah keikhlasan untuk mendapatkan ridha Allah Ta’ala. Orang yang riya berarti ia memalingkan asas tersebut dengan tidak semata-mata mengharapkan ridha Allah atas ibadah yang dilakukan, sehingga perbuatan itu termasuk kesyirikan.

Perbuatan riya termasuk Syirik Khafiy (tersamar) yang menjangkiti niat dan tujuan pelakunya, meskipun secara dzahir dia beribadah kepada Allah Ta’ala. Termasuk jenis Syirik Khafiy adalah sum’ah, yaitu seseorang beribadah agar manusia mendengarkannya. Syaikh ibnu utsaimin rahimahullah dalam kitab Al Qoul Al Mufiid mengatakan termasuk beribadah dengan tujuan ingin dilihat manusia adalah seseorang beribadah agar manusia mendengarkannya. Pelakunya disebut musammi’ (orang yang melakukan sum’ah).

Riya dan Sum’ah keduanya adalah perbuatan syirik. Memiliki kesamaan dalam tujuan ibadah, yaitu sebatas mengharapkan pujian atau sanjungan manusia. Adapun perbedaannya terdapat pada jenis ibadah yang dilakukan. Riya menjangkiti ibadah badan contoh memperbagus shalat dihadapan orang lain, sedangkan sum’ah menjangkiti ibadah lisan semacam memperindah bacaan Al Quran di hadapan manusia.


 Pembagian dan Hukum Riya

Hukum asal riya adalah Syirik Asghar (syirik kecil) yang tidak mengeluarkan pelakunya dari islam. Namun apabila riya  dilakukan di seluruh amal ibadah, dia sama sekali tidak mengharapkan ridha Allah Ta’ala  di setiap ibadahnya serta tujuan dari seluruh ibadahnya hanya untuk diterima masyarakat atau agar harta dan darahnya terjaga, maka yang semisal ini adalah perbuatan riya orang munafik. Dan ini termasuk kedalam Syirik Akbar (Syirik besar yang mengeluarkan dari Islam).

Allah Ta’ala berfirman (artinya), “Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, maka Allah membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri untuk sholat, mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud untuk dilihat orang (Riya), tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit” (QS. An Nisa: 142). (I’anatul Mustafiid).


 Bahaya Riya

↔*Riya Termasuk Perbuatan Syirik*

Setiap dosa yang dilakukan manusia memiliki tingkatan. Dosa terbesar yang dilarang syariat adalah kesyirikan, dan riya termasuk syirik asghar. Sehingga tatkala seseorang melakukan riya, berarti ia telah melakukan perbuatan dosa yang jauh lebih berbahaya, lebih berdosa, dan lebih mengerikan ancaman siksaanya dibandingkan zina, riba, mencuri, atau minum khamr.


Dosa Riya Tidak Diampuni

Allah Ta’ala berfirman (artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa (tingkatannya) di bawah syirik, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar” (QS. An Nisa: 48).

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berjumpa dengan Allah Ta’ala dalam keadaan tidak menyekutukanNya (syirik) dengan sesuatu apapun maka dia akan masuk surga. Barangsiapa berjumpa dengan Allah dalam keadaan menyekutukanNya maka dia akan masuk neraka (HR. Muslim). Adapun pelaku riya  maka diancam dengan neraka (At Tamhiid).

Karena riya  termasuk kesyrikan, maka pelakunya tidak akan diampuni kecuali dengan taubat yang sebenar-benarnya sebelum pintu taubat ditutup.

Riya Menghapus Amalan yang tercampurinya.
Dalam hadits qudsiy  diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala  berfirman (artinya), “Aku adalah dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa beramal dan dia menyekutukan Aku dengan sesuatu yang lain (dalam amalnya), maka Aku akan tinggalkan dia dengan amalannya” (HR. Muslim).


↔_Termasuk Syirik Khafiy

Riya disifati sebagai perbuatan syirik khafiy (samar) yang menjangkiti hati dan tujuan pelakunya. Perbuatan syirik ini tersamar karena tidak ada yang mengetahui kandungan hati seseorang kecuali Allah Ta’ala  (Al Qoul Al Mufiid). Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengkhawatirkan para sahabatnya terhadap riya, padahal mereka memiliki tingkat keimanan yang tinggi dan merupakan sebaik-baik manusia setelah para Nabi dan Rasul. Maka kita generasi yang jauh dari masa sahabat harus lebih takut terkena riya dan waspada darinya.


↔ Lebih Berbahaya Daripada Fitnah Dajjal

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam lebih mengkhawatirkan riya menjangkiti para sahabatnya, karena keikhlasan dalam ibadah adalah perkara yang sangat sulit. Sebagian salaf (orang shalih terdahulu) berkata, “Tidaklah aku curahkan segenap kemampuanku sebesar perjuanganku untuk mengikhlashkan amal” (Al Qoul Al Mufiid).

Fitnah riya sebabnya samar dan dapat menjangkiti siapapun, baik ia seorang ulama ataupun orang biasa. Kecuali bagi orang yang mendapatkan rahmat dan pertolongan dari Allah Ta’ala. Sedangkan fitnah Dajjal kelak dengan izin Allah Ta’ala tidak akan berpengaruh pada orang-orang beriman.


 Beberapa Contoh Perbuatan Riya

❌ Memperbagus ibadah di hadapan manusia agar dapat predikat sebagai ahli ibadah.

❌ Mengunggah foto saat berdo’a di depan ka’bah agar orang-orang tau dirinya baru pulang haji atau umrah.

❌ Merendahkan dirinya di hadapan manusia dengan tujuan agar mendapat pujian sebagai orang yang tawadhu.


 Di antara cara mengobati Riya

Beberapa kiat untuk mengobati riya (Tauhid Muyassar dan beberapa tambahan)

✔ Mengingat keutamaan orang-orang yang berbuat ikhlas yang syaithan tidak akan mampu menyesatkan.

✔ Bersungguh-sungguh dalam mengikhlaskan amal, tidak merasa nyaman ketika di pertengahan amal tertimpa penyakit riya¸ bahkan segera meninggalkan perasaan riya tersebut.

✔ Mengingat keagungan Allah Ta’ala karena Ia tidak membutuhkan amalan hambaNya.

✔ Mengingat berbagai dampak negatif dan bahaya riya.

✔ Mengingat negeri akhirat, kematian, siksa kubur, dan gelapnya kubur serta siksa neraka.

✔ Meyakini bahwasannya ridha manusia tidak dapat mendatangkan manfaat maupun bahaya baginya.

✔ Berdo’a kepada Allah Ta’ala  dengan doa yang dituntunkan, “Allahumma inni a’uudzubika an usyrika bika syaian wa ana a’lamu wa astaghfiruka limaa laa a’alamu” Artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui (sadari) 

📙(HR al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad” dari Abu Ya’la).


 Tanda-Tanda Keikhlasan

✔✔ Suka menyembunyikan amalan yang tidak perlu untuk ditampakkan.

Allah Ta’ala  berfirman (artinya) “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Baqarah : 271)

✔✔ Selalu menuduh diri kita dengan kekurangan.

Tidak memuji dirinya sendiri apabila dia dapati kebaikan padanya.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mendapatkan kebaikan hendaknya ia memuji Allah. Dan barangsiapa yang menjumpai selain itu, janganlah ia mencela kecuali kepada dirinya sendiri” (HR. Muslim)

✔✔ Tidak menanti balasan dan ucapan terima kasih dari orang lain, karena yang diharapkannya hanya Wajah Allah Ta’ala.

“Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhoan Allah, kami tidak mengharapkan balasan darimu dan tidak pula ucapan terima kasih” (QS. Al Insan: 9).

✔✔ Sikapnya sama saja ketika mendapat pujian atau celaan. Apabila dipuji tidak menambah kerajinannya dan jika dicela tidak mengendorkan dirinya dari beramal.


 Penutup 

Riya adalah penyakit yang muncul karena kejahilan hati. Penyakit ini sulit untuk ditinggalkan, karena sudah menjadi tabi’at manusia mencintai pujian. Padahal hakikat dari pujian manusia kebanyakan adalah tipuan. Bagaimana bisa anda dipuji sebagai orang shalih? Padahal ketika anda sendirian anda bermaksiat kepadaNya.

Mengikhlaskan amalan adalah sebuah kewajiban. Suatu amal tidak akan diterima tatkala tercampuri padanya riya, meskipun dalam prosentase 0.00001 %.

Meskipun demikian kita harus meyakini bahwasannya tidaklah kewajiban datang kecuali kita memiliki kesanggupan untuk melaksanakannya. Karena Allah Ta’ala tidak membebankan kewajiban di luar batas kemampuan seseorang. Dengan bersikap pertengahan mari kita berusaha untuk selalu waspada terhadap bahaya riya.


Wallahu muwaffiq


Rabu, 11 Oktober 2017

ASA DIANGKASA HATI TIDAK MEMBUMI

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh


إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya dan meminta pertolongan, pengampunan, dan petunjuk-Nya. 
Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan keburukan amal  kita. 
Barang siapa mendapat dari petunjuk Allah maka tidak akan ada yang menyesatkannya, dan barang siapa yang sesat maka tidak ada pemberi petunjuknya baginya. 
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. 
Ya Allah, semoga doa dan keselamatan tercurah pada Muhammad dan keluarganya, dan sahabat dan siapa saja yang mendapat petunjuk hingga hari kiamat.

*

Puji dan Syukur tak henti kita panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala yang tiada henti memberikan nikmat, berkah, dan hidayah-Nya kepada kita semua. Karena nikmat dan hidayah dari Allah berupa keimanan dan keislaman-lah yang membuat kita tetap kokoh berjalan di atas jalan Allah. 
Dan nikmat kesehatan dan kesempatan dari Allah pula sehingga hari ini kita dapat bersilaturahmi dalam rangka melaksanakan salah satu aktivitas yang merupakan kewajiban kita sebagai umat Islam, yakni menuntut ilmu.

*

Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, yang diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala ke muka bumi ini sebagai rahmatan lil alamiin, yang telah menggempur kesesatan dan mengibarkan panji-panji kebenaran, serta memperjuangkan islam hingga sampai kepada kita sebagai rahmat tak terperi dari Allah subhanahu wa ta’ala.

*

Sebagai seorang manusia wajar saja jika kita punya harapan dan cita-cita. 
Namun untuk mewujudkan semua itu bukankah kita harus berdoa dan Ikhtiar dengan sekuat tenaga untuk mewujudkan asa tersebut....?

Apakah kita bisa berhasil mewujudkannya jika kita tetap males-malesan... ?

*

Begitu pula dengan asa, harapan kita untuk menjadi hamba yang beruntung di akhirat kelak :
Untuk diampuni Allah... 
Untuk bisa masuk surga... 
Untuk terbebas dari api neraka....

Apakah kita akan begitu saja mendapatkan semua itu jika kita tetap terus berbuat dosa...? 
Jika kita tidak melaksanakan perintah Allah...? 
Dan bahkan jika kita selalu melanggar larangan Allah...?

Astaghfirullahal 'adziim waatubu ilaihi.

*

Salim Maula Ubay bin Ka’ab menasehatkan setelah dimintai oleh ‘Umar bin ‘Abdul 'Aziz, “Lantaran sebuah kesalahan yang dilakukannya, Adam dikeluarkan dari surga. 
Adapun kalian, mengerjakan banyak kesalahan, namun herannya kalian mengharapkan masuk surga.”

*

Inilah kelemahan terbesar kita, setelah tertipu untuk berbuat dosa, yaitu angan-angan hampa dan terbujuk prasangka yang melenakan.

*

Al Hasan Al Bashri mengingatkan,

“Ada sekelompok orang yang dilalaikan oleh angan-angan meraih ampunan Allah dan harapan menggapai rahmatNya, sampai-sampai mereka meninggal dunia tanpa membawa amal shalih. 
Salah seorang dari mereka mengatakan (dengan penuh optimisme),

“Saya berprasangka baik kepada Allah dan mengharapkan rahmatNya.”

*

Rupa-rupanya, mereka salah paham terhadap hadits berikut:

Rasulullah bersabda , “Seseorang tidak akan masuk surga karena amalnya.
” Para sahabat Nabi bertanya, “Tidak juga Anda wahai Rasulullah?” 
Rasulullah menjawab, “Tidak juga aku. Kecuali bila Allah menaungi diriku (juga kalian) dengan karunia dan rahmah (serta ampunan) Nya.

Maka berusahalah untuk beramal secara benar. 
Jika tidak bisa, berusahalah mendekati kebenaran. 
Berusahalah di waktu pagi, sore, dan sebagian waktu malam.
Bersikaplah pertengahan (antara berlebihan dan meremehkan).

Bersikaplah pertengahan. Niscaya kalian sampai ke tujuan. 
Janganlah salah seorang dari kalian mengangankan kematian. 
Karena bila ia orang baik, diharapkan ia menambah kebaikan. 
Dan jika ia orang yang buruk, diharapkan ia bisa memperbaiki diri.”

[Muttafaq ‘alaih]

*

Padahal sudah jelas, untuk bisa masuk surga, harus ada jaminan karunia, rahmah, dan ampunan Allah.

Dan agar mendapatkan ketiga jaminan itu, Rasulullah mensyaratkan untuk beribadah kepada Allah seoptimal mungkin dengan metode yang telah beliau tuntunkan.

*

Al Hasan Al Bashri memberikan kritik yang pedas, “Sungguh, ia telah berkata dusta. Kalau saja ia benar-benar berprasangka baik kepada Allah, tentulah ia sungguh-sungguh beramal ketaatan dengan bagus. Sekiranya ia benar-benar mengharap rahmah Allah, sudah pasti ia sungguh-sungguh mencarinya dengan amal-amal shalih. Besar kemungkinan akan binasa, musafir yang mengarungi padang sahara tanpa bekal dan air minum.”

[Al Bidayah wa An Nihayah 9/338]

*

Apa yang dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri ini sangat sesuai dengan firman Allah,

أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ ۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

“Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.”

[QS. Al-Araf : 99]

*

Yahya bin Mu’adz Ar Rozi turut menyindir sikap linglung ini, “Amal bagai fatamorgana, qalbu kosong dari takwa, dosa sebanyak butir pasir dan debu. Berharap gadis surga yang jelita. Alangkah jauhnya. Mustahil. Meski tidak minum khamr, engkau sedang mabuk. Alangkah sempurnanya engkau jika amalmu mendahului anganmu. 
Alangkah mulianya engkau jika amalmu mendahului ajalmu. Alangkah perkasanya engkau jika engkau menyelisihi hawa nafsu.”

[Shifah Ash Shafwah 4/92]

*
Sindiran ini mengingatkan kita pada ungkapan Rasulullah, “Barangsiapa ingin mengetahui apa yang akan ia terima di sisi Allah kelak, hendaklah ia melihat hak-hak Allah di sisinya (apa yang telah ia kerjakan).” 

[Sunan Ad-Daruquthni]

*

Alangkah tepatnya, tidak ada yang didapatkan di akhirat selain yang telah dilakukan di dunia.

Ingin tahu, kita menjadi penghuni surga ataukah penghuni neraka ? 
Marilah kita tengok saja apa yang telah kita perbuat.

*

Allah telah mengingatkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

[QS. Al-Hasyr: 18]

*

Rasulullah bahkan telah menyindir, dengan sindiran yang sangat halus namun mengena, “Saya tidak melihat hal yang lebih mengherankan daripada neraka. Orang-orang mengaku takut kepadanya, tapi masih saja bisa tidur nyenyak. Saya juga tidak melihat hal yang lebih mengherankan daripada surga. Orang-orang mengaku ingin memasukinya, tapi masih saja bisa tidur nyenyak.”

[Sunan At-Tirmidzi no. 2728]

*

Begitu seringnya kita menjadi bangkai di malam hari dan menjadi keledai di siang hari. 
Saat matahari hadir, kita masih seperti orang pandir. 
Saat bulan bersemayam, semangat qiyamul lail kerap padam.

Saat awan berkejaran, kita terus saja dalam kelalaian. 
Saat bintang temaram, dalam tidur, kita tenggelam. 
Laksana seonggok kayu yang tidak punya nyawa. 
Tidak tergerak untuk mempersembahkan penghambaan terbaik kepada Allah. Sementara harapan menjadi penghuni surga dan bebas dari neraka sangat tinggi.

*

Kiranya, patut kita simak syair Isma’il bin Qasim AI Baghdadi yang sangat populer,

“Engkau berharap keselamatan, namun engkau tidak menempuh jalannya. 
Adalah sebuah kemustahilan bahtera berlayar di daratan.”

[Al Bidayah wa An Nihayah 10/279]

*
Begitu pula, kita layak untuk menertawakan diri kita sendiri. Bagaimana tidak, kita seringkali menanti upah ibadah. 
Kita tidak sumringah, kalau ibadah kita tidak berbuah upah.

Kita berdakwah, tapi berharap dunia. 
Kita membaca Al-Qur’an, tapi berharap harta. 
Kita membangun masjid, tapi berharap ada kelebihan dana, lantas mengambilnya dengan dalih ganti keringat.

*

Padahal Rasulullah telah bersabda :  “Tidaklah orang yang berperang di jalan Allah kemudian ia mendapatkan harta rampasan perang (lalu mengambilnya untuk kepentingan diri dan kenikmatan dunia) kecuali ia telah mempercepat duapertiga pahala (yang mestinya didapat utuh) di akhirat sehingga masih tersisa sepertiga. 
Apabila tidak mengambil ghanimah semua pahala akan ia dapatkan.”

[Shahih Muslim no. 1906]

*

Bagaimana bisa kita akan meraih surga tertinggi yang kita idam-idamkan, dan terbebas dari neraka yang ganas, kalau ibadah saja masih terengah-engah, dosa saja masih nikmat terasa, dunia saja masih menjadi fokus asa, kepada Allah saja masih sering kita lupa?

lnilah kelemahan kita yang lain. 
Terbiasa dengan dosa-dosa yang dianggap remeh, sehingga tidak ada rasa takut akan adzabnya, atau mengira pasti segera diampuni Allah.

*

Rasulullah memberikan wejangan: “Jauhilah oleh kalian dosa-dosa yang dianggap remeh. 
Sesungguhnya dosa-dosa yang dianggap remeh itu seperti sebuah kaum yang singgah di sebuah lembah. 
Mereka semua mencari kayu bakar maka si A datang membawa sepotong kayu, si B datang membawa sepotong kayu, dan demikian juga yang lain.

Akhirnya dengan kayu-kayu yang terkumpul, mereka bisa memasak roti sampai matang. 
Sesungguhnya bila dosa-dosa yang dianggap remeh itu diberi hukuman oleh Allah, niscaya akan membinasakan pelakunya."

[Musnad Ahmad. Ash Shahihah no. 389; Shahih Al Jami’ no. 2866, 2867]

*

Demikianlah, bahwa kita adalah hamba Allah, kewajiban kita dalam hidup ini hanyalah mempersembahkan ibadah yang terbaik kepada Allah sesuai ketentuan dariNya dengan penuh cinta, pengagungan, dan asa.

*

Dan harus kita ingat bahwa :
Asa Tidak ada gunanya tanpa rahmah, ridha, maghfirah, dan karunia Allah.

*

Tidak perlu kita mengingat-ingat ibadah yang pernah kita sukses mengoptimalkan pelaksanaannya. 
Yang selalu kita ingat semestinya adalah keburukan kita, agar kita tidak ‘ujub dan lengah, agar semangat kita terjaga dan taubat tidak tersendat.

*

Biarlah Allah yang menilai seberapa bermutunya ibadah kita, dan biarlah kita sibuk dengan bertaubat dan terus memperbagus ibadah kita kepada Allah.

*

Andaipun kita telah mampu berupaya seoptimal mungkin dalam beribadah kepada Allah, dan nampaknya kita telah berada di puncak penghambaan, ingatlah sehebat apapun ibadah kita kepada Allah, kita tidak mampu mencapai kesempurnaan.

*

Misalnya terkadang kita lalai dari Allah, lemah semangat ibadah, terlintas keinginan untuk berbuat buruk. 
Kalau hal ini kita sadari, maka tidak pantas merasa telah sukses mengoptimalkan ibadah.

*

Tidak ada gunanya membanggakan keshalihan diri. 
Tidak ada untungnya merasa diri telah suci.

Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan adzab Rabb mereka…. mereka itulah orang-orang yang bersegera untuk mengerjakan kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperoleh (balasan/pahala)nya.”

[QS. Al-Mu`minun: 57, 61]

*

Sebelum kita akhiri, salah satu firman Allah ini sangat tepat dengan keadaan kita yang punya asa tinggi namun tidak disertai dengan pembuktian.

Allah berfirman :

كَلَّا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ

"Sekali-kali tidak ; manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya (secara optimal).”

[QS. `Abasa: 23]

*

Dari uraian di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa kita emang harus punya harapan setinggi angkasa untuk dapat memperoleh Ridho Allah.... 
Menjadi hamba yang beruntung diakhirat... 
Terbebas dari api neraka....
Dan menjadi penghuni Surga...

*

Namun semua itu harus kita imbangi dengan amalan lahir dan batin... 
Dengan menta'ati perintah Allah... 
Menjauhi larangan Allah... 
Menjalankan sunah... 
Menghindari yang subhat dan makhruh...

....sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

*

Demikianlah yang dapat saya sampaikan.
Semoga ada manfaat yang dapat kita ambil bersama.

Mohon maaf atas segala kekurangannya.
Semua kebaikan dan kebenaran datangnya dari Allah dan semua kekurangannya berasal dari saya pribadi yang masih fakir dalam ilmu.
Mohon dimaafkan....

استغفر الله العظيم....
استغفر الله العظيم....
استغفر الله العظيم....

استغفر الله العظيم واتوب اليه

*

Dari saya....

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Minggu, 01 Oktober 2017

HATI - HATI BERKATA : SEANDAINYA

Bismillaahirrahmaanirrahiim 
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 



Iman terhadap takdir atau ketetapan Allah Ta’ala adalah pokok Aqidah ahlus sunah wal jamaah.Apa yang menimpa seorang manusia berupa kebaikan dan keburukan, dan apa-apa yang terjadi di muka bumi telah dicatat Allah Ta’ala di Lauhil Mahfudz. Allah berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lohmahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al Hadid 22)

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu mengomentari ayat di atas seraya berkata: “Itu semua –penulisan takdir- telah selesai sebelum diciptakan nafsi [manusia]

  (Tafsir At Thobary 13/265)
Imam Muslim meriwayatkan dari Abdillah bin Amr bahwa ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Allah telah menulis takdir seluruh alam lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi.” (Sahih Muslim Lisyarkh An Nawawi 16/166, Kitab Qadar, Bab Hujaj Adam Wa Musa, hadits 2653)

Maka, ketika manusia mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, ridho dan menerima akan ketentuan Allah Ta’ala adalah sebuah keharusan baginya.

Kita diperintahkan untuk selalu berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Tatkala kita diberi cobaan oleh Allah Ta’ala berupa musibah atau yang semisalnya, dengan inilah mungkin Allah Ta’ala ingin mengangkat derajat kita disisi-Nya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Sesungguhnya besarnya balasan sesuai dengan besarnya cobaan, dan bahwasanya Allah Ta’ala ketika mencintai sebuah kaum, maka mereka akan diberi cobaan. Barang siapa yang ridha terhadapnya baginya adalah keridhaan Allah Ta’ala. Dan barang siapa yang menolak, maka baginya kemurkaan-Nya (HR At Tirmidzi)

Sifat Orang Munafiq

Salah satu sifat seorang munafiq adalah menolak takdir Allah Ta’ala dengan menggunakan perkataan-perkataan mereka. Sebagaimana yang Allah Ta’ala abadikan dalam Al-Qur’an surat Ali Imron:

يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَا هُنَا

“Mereka –orang-orang munafik- berkata:”Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini”(QS. Ali Imron: 154)

Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair bahwa ayahnya berkata, “dan telah diperlihatkan kepadaku, tatkala rasa takut yang sangat menyelinap pada diri kami, Allah Ta’ala menurunkan rasa kantuk, dan tidak ada seorang diantara kami kecuali dagunya menempel di dada. Demi Allah, sesungguhnya saya mendengar perkataan Mu’tab bin Qusyair, dan tidaklah aku mendengarnya kecuali bagaikan mimpi. Ia mengatakan, ‘Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini. Maka saya hafal perkataannya. Ketika itu turunlah surat Ali Imron 154.”(Fathul Majid 2/766)

Beginilah perkataan orang munafiq, mereka sering mengucapkan kata (اللو) “andaikata”sebagai ungkapan untuk menolak takdir. Kemudian Allah membantah perkataan mereka dengan firman-Nya:

قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ

Katakanlah, sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh”. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu.” (QS. Ali Imran: 154)

Hukum Mengatakan (اللو) “Seandainya” dan Sejenisnya

Sering kita mendegar ucapan “seandainya begini tentu aku akan begini” atau perkataan-perkataan sejenisnya. Bahkan ungkapan itu keluar dari lisan kita secara sadar maupun tidak. Orang munafiq sering mengucapkannya sebagai ungkapan untuk menolak ketentuan Allah Ta’ala. Lantas, apakah hal itu menunjukkan larangan secara mutlaq?

Abdurrahman As Sa’di dalam bukunya “Qaulu Syadid fi Syarh Kitab at Tauhid” menerangkan bahwa kata (اللو) “seandainya” mempunyai dua keadaan.

Pertama, tercela seperti orang mengalami sesuatu yang tidak disukai kemudian berkata, “Seandainya saya tidak melakukannya tentu saya tidak akan terkena musibah ini” atau perkataan semisalnya.

Kedua, boleh bahkan merupakan hal yang terpuji. Seperti orang yang berangan-angan dalam hal kebaikan atau hanya sebagai berita.

Sedangkan kata(اللو) “seandainya” menjadi enam kelompok. (Qoulu Al Mufid 2/361-362) yaitu:

1. Kata itu digunakan sebagai ungkapan untuk menolak sebuah syariat Allah Ta’ala.

Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang munafiq, terkhusus Abdullah bin Ubay. Allah Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ قَالُوا لإخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا

Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: “Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh”.(QS. Ali Imron: 168)

Imam At Thabari meriwayatkan dari Ibnu Ishaq ketika ia menafsirkan ayat ” لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا ” yaitu, kematian adalah sebuah keniscayaan. Jikalau [orang munafik] sanggup menolak mati pada dirinya, maka lakukanlah. Mereka mengatakan hal itu hanya untuk menyembunyikan kemunafikan dan ingin meninggalkan Jihad Fi Sabilillah. Mereka menginginkan tinggal di dunia dan lari dari kematian. (Tafsir Ath Thabari 3/206). Maka hal ini diharamkan Allah Ta’ala.

2. Digunakan sebagai ungkapan untuk menolak takdir dari Allah Ta’ala.

Hal ini sebagaimana yang telah kami terangkan di atas. Yaitu tentang salah satu sifat orang munafik. Maka, ini juga dilarang Allah Ta’ala.

3. Sebagai ungkapan penyesalan.

Seperti perkataan siswa yang tidak naik kelas“Seandainya tahun ini saya belajar rajin, saya akan naik kelas”. Ia mengucapkannya bukan untuk menolak takdir, akan tetapi hanya sebatas penyesalan. Maka, hal ini juga dilarang oleh Islam. Karena penyesalan akan menimbulkan kesedihan dan kefuturan, yang mana itu semua adalah pintu-pintu masuknya setan untuk menggoda manusia.

4. Berhujah dengan takdir dalam hal kemaksiatan kepada Allah.

Seringkali ketika kita menasehati orang yang berbuat maksiat, mereka mengatakan “Ini adalah takdir Allah Ta’ala. Seandainya Allah Ta’ala tidak menakdirkannya, saya tidak akan melakukannya.” Allah Ta’ala menolak hujjah orang-orang yang menyekutukan-Nya, dan tetap memasukkan mereka dalam neraka. Allah Ta’ala berfirman:

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلا آبَاؤُنَا وَلا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلا تَخْرُصُونَ

“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun”. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta. “(QS. Al An’am: 148)

5. Digunakan sebagai angan-agan atau cita-cita.

Dalam masalah ini, hukumnya tergantung kepada objek atau apa yang menjadi angan-anganaya. Jika digunakan utuk angan-angan yang baik, maka hukumnya juga baik. Sebaliknya jika ia mengangan-angan hal yang buruk, maka tidak diperbolehkan. Sebagaimana hadits panjang tentang 4 golongan. Salah satu dari mereka berangan-angan “seandainya saya mempunyai harta, sungguh saya akan beramal sebagaimana sifulan beramal” yaitu dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Dan yang lain juga mengatakan sebagaimana yang pertama, akan tetapi ia berangan-angan dalam kemaksiatan. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda untuk yang pertama

فَهُوَ فِيْ نِيَتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ

“Dan ia hanya meniatkan, maka pahala keduanya sama”

Kemudian beliau bersabda bagi golangan kedua:

فَهُوَ فِيْ نِيَتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ

“Dan ia hanya meniatkan, maka dosa keduanya sama”

6. Digunakan untuk sebatas berita.

Seperti perkataan “seandainya pak guru masuk, saya akan selalu memperhatikannya dan mengambil faedah yang banyak dari beliau.” Hal ini diperbolehkan oleh Islam. Sebab RasulullahShallallahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda:

لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الهَدْيِ وَلَأَحَلَلْتُ مَعَكُمْ

“Seandainya aku menemui urusanku (haji) saya tidak akan berpaling, saya tidak akan membawa hewan qurban dan pasti akan bertahalul bersama kalian” (HR. Bukhari)

Ikhwan sekalian...Takdir adalah rahasia Allah Ta’ala dan tidak perlu untuk dicari. Kita hanya diperintahkan untuk bersemangat dalam beramal. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallambersabda:

“Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah Ta’ala dari pada mukmin yang lemah dan semuanya mempunyai kebaikan. Bersegeralah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah Ta’ala [dalam segala urusan] dan janganlah bersikap lemah. Dan apabila kalian mendapatkan musibah jangan katakan “seandainya saya berbuat begitu, saya akan begini atau begitu” akan tetapi telah ditetapkan Allah Ta’ala dan apa bila Dia berkehendak maka akan terlaksana, karena sesungguhnya (اللو) “seandainya” membuka amalan syaithon” (HR muslim)

Dari hadits ini Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam memberikan anjuran kepada kita untuk selalu bersemangat beramal dalam dua keadaan. Keadaan yang sesuai dengan cita-cita, dan keadaan yang tidak menyenangkan.

 

Senin, 11 September 2017

ISTRI MARAH /MENDIAMKAN SUAMI....??

Bismillaahirrahmaanirrahiim 

Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh


Setiap wanita mendambakan suami yang shalih, lembut, setia, pengertian, bertutur kata halus, berilmu, membimbing, bertanggung jawab, dan kriteria-kriteria ideal lainnya. Namun harus diingat, bahwa suami itu adalah manusia bukan malaikat.

Tak jarang, kita temukan banyak sekali ketidakpedulian, ucapan kasar, dan pukulan dari suami terkadang menghampiri seorang istri. Isak tangis pun menyeruak dari istri yang telah memiliki banyak anak tersebut. Belum lagi diperberat dengan perbuatan suami yang melanggar batasan-batasan agama.

Manakala istri masih mengharapkan kebaikan dari suaminya, maka nasihat pun ia berikan kepada suami. Namun, manakala nasihat tidak mempan lagi, terkadang seorang istri pun ngambek dengan mendiamkan suami, dengan harapan suami kembali sadar dan kembali ke jalannya yang lurus.

Inilah potret kehidupan sebuah keluarga, di mana istri tidak betah dengan perlakuan suami terhadapnya ataupun perilakunya. Bagaimana sikap seorang istri? Bolehkah istri mendiamkan suami dalam rangka menasihatinya?

Sabar senjata utama
Langkah pertama yang selayaknya ditempuh seorang istri adalah bersabar dengan kesabaran yang tidak ada batasnya. Sabar adalah menahan diri dalam ketaatan kepada Allah, dalam meninggalkan perbuatan dosa, dan dalam menghadapi musibah. Dengan sabar dalam ketaatan kepada Allah, maka dituntut dari seorang istri untuk senantiasa menjalankan hak-hak suami, meskipun suami menyakitinya. Dengan sabar dalam meninggalkan maksiat, maka istri dituntut untuk tidak melanggar batasan-batasan Allah dalam berkeluarga sehingga ia tidak dicap sebagai istri durhaka. Dan dengan sabar ketika menghadapi musibah, maka seorang istri dituntut untuk tidak banyak menggerutu, menyesal, dan tidak mengeluh karena sedang diberi cobaan dari Allah dalam menghadapi suami yang berperilaku kasar terhadapnya.

Pahala di balik kesabaran
Sabar adalah perbuatan yang amat sulit dan membutuhkan perjuangan keras, karena seseorang yang berusaha sabar berarti ia telah memikul beban yang sangat berat di pundaknya. Tidak ada yang kuat memikul beban tersebut melainkan orang yang betul-betul mengenal Allah. Karenanya, Allah U memberikan pahala yang begitu besar kepada orang-orang yang sabar.

Allah berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (az-Zumar :10)

Syekh Assa’di menjelaskan, “Sabar di sini mencakup seluruh macam kesabaran, yaitu sabar dalam menerima takdir Allah yang menyakitkan sehingga ia tidak mengeluh, sabar dalam menahan diri dari maksiat sehingga ia tidak melakukan perbuatan maksiat, dan sabar dalam taat kepada Allah sehingga ia menjalankan kewajibannya, kemudian Allah menjanjikan bagi orang-orang yang bersabar pahala yang tanpa batas, yaitu tanpa batasan tertentu dan tidak bisa dihitung maupun diperkirakan.” (Tafsir as-Sa;di : 720)

Selain itu, Allah juga bersama orang-orang yang bersabar. Artinya, jika Allah bersama orang-orang yang bersabar, maka tidak ada lagi satu hal pun yang bisa membahayakan hamba tersebut. Karena Allahlah yang akan menolongnya.

Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (al-Baqarah :153)

Ayat ini menegaskan, bahwa Allah bersama orang-orang yang menjadikan sabar sebagai sifatnya, akhlaknya, dan tabiatnya.

Adapun makna Allah bersama orang-orang yang sabar adalah Allah akan menolongnya, memberi taufik kepadanya, dan membimbingnya dalam menghadapi segala problematika, sehingga kesulitan pun terasa ringan, perkara yang besar pun terasa kecil, kesulitan pun terasa mudah bahkan hilang sama sekali. (Tafsir as-Sa’di :74)

Seorang istri yang sabar dalam menghadapi suami, yang mungkin terkadang menyakitinya, ia begitu yakin bahwa apa yang ia lakukan adalah ladang ibadah, niscaya Allah akan memberikan kemudahan kepadanya dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang ia hadapi.

Allah berfirman :

{الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا }

Dialah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (al-Mulk ayat : 2)

Semua pemberian dunia dari Allah  kepada seorang hamba adalah untuk dilihat bagaimana hamba tersebut beramal dengan cara yang diperintahkan Allah. Mobil, tanah, tabungan, suami, anak, kedudukan, dan semua yang bersifat duniawi diberikan Allah untuk menguji apakah seorang hamba sanggup menggunakan dan semua pemberian itu untuk beramal shalih yang diridhai Allah atau tidak.

Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam - bersabda,

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ

“Sesungguhnya dunia itu manis. Dan sesungguhnya Allah telah menunjuk kalian sebagai khalifah (dengan cara membuat kalian menguasainya) di dalamnya. Kemudian Allah memerhatikan bagaimana kalian beramal.” (Riwayat Muslim 13/286)

Bijak dalam memberi nasihat
Setelah berusaha sabar, maka langkah berikutnya adalah sang istri berusaha memberi nasihat suaminya. Yang perlu diingat, tidak semua orang yang ingin memberi nasihat tahu bagaimana cara memberi nasihat, sehingga betapa banyak kalimat baik hanya menjadi penghalang kebaikan hanya karena salah penyampaian kalimat tersebut. Dari sini, ada beberapa adab yang diperhatikan istri ketika ingin menasihati suaminya, antara lain :

1. Meluruskan niat saat menasihati, yaitu hanya karena mengharap wajah Allah, ia betul-betul mengharapkan kebaikan dari orang yang ia nasihati, bukan hanya karena ingin tersohor karena dikatakan istri yang shalihah, bukan karena ingin membuka aib dan mencela suami, dan juga bukan karena balas dendam.

Dikatakan niat istri lurus jika ia dalam menasihati jika ia dalam menasihati ingin melaksanakan perintah Allah, karena besarnya kasih sayangnya kepada suami, dan ingin kebenaran menang mengalahkan kebatilan dan keburukan.

2. Lemah lembut dalam memberi nasihat

Memberi nasihat adalah menginginkan kebaikan pada orang yang akan diberi nasihat. Jika yang akan diberi nasihat berbuat salah, tentunya kita ingin dia menyadari kesalahannya, dan hal ini sulit tercapai jika tidak dibarengi kelemah lembutan dalam memberi nasihat. Apalagi yang diberi nasihat adalah suami yang merupakan pemimpin baginya, suami yang kedudukannya lebih tinggi darinya, sehingga kelemah lembutan dalam memberi nasihat sebuah keharusan.

Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menegaskan,

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya tidaklah lemah lembut mengiringi sesuatu melainkan akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu melainkan akan berubah menjadi buruk.” (Diriwayatkan oleh Muslim 16/493)

3. Memilih waktu dan tempat yang tepat

Tidak kalah penting dari sebelumnya dalam memberi nasihat adalah memilih waktu dan tempat yang tepat. Tidak semua perkataan yang ingin diucapkan seseorang itu harus diucapkan saat itu juga. Ia harus memperhatikan waktu dan tempat yang tepat. Karena kemungkinan suami belum siap karena sedang dalam masalah lainnya, atau di tempat yang memang tidak tepat untuk memberi nasihat. Jika dilaksanakan, justru akan memperkeruh keadaan.

4. Memberi kesempatan suami untuk mengubah diri

Mengubah watak dan perilaku seseorang tidaklah mudah seperti membalik telapak tangan. Perubahan perilaku membutuhkan waktu dan proses. Sehingga, istri harus menambah kesabaran untuk menanti perubahan dari suaminya.

5.Berdoa kepada Allah dan bertawakal

Setelah berupaya dengan segenap tenaga yang ia miliki, ia pun harus sering berdoa memohon kepada Allah agar suaminya diberi hidayah. Karena semua qalbu manusia itu di tangan Allah, Allah membolak balikkan qalbu seseorang sesuai kehendak-Nya. Setelah itu, ia pun menyerahkan hasilnya kepada Allah. Dengan tawakal yang sebenar-benarnya, Allah akan menjadi penolongnya.

Tidak membalas keburukan dengan keburukan
Setelah mengetahui adab-adab seorang istri menasihati suami, maka bisa disimpulkan bahwa istri tidak boleh mendiamkan suami karena ingin menasihatinya. Karena hal itu berarti menafikan kesabaran yang menuntut pemiliknya untuk menahan diri dari perbuatan salah, padahal mendiamkan suami adalah perbuatan salah karena bukan hak istri untuk memboikot suami. Selain itu, mendiamkan suami bukanlah adab dalam menasihati. Sehingga, nasihat yang tidak disertai adab-adab nasihat kemungkinan kecil akan berhasil.

Demikianlah, semoga memberi manfaat bagi kita semua.



📚Ditulis oleh : Ust. Abu Rufaid Agus Susehno, Lc
Sumber : Rubrik Fikih Keluarga, Majalah Sakinah, Vol. 11 No. 11



Selasa, 22 Agustus 2017

MENYINGKAP RAHASIA KEAJAIBAN BUMI DALAM AL QURAN

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakatuh


Sebelum menyingkap rahasia dan keajaiban ciptaan Allah di dalam Al Qur’an, kita perlu mengawalinya dengan berpikir tentang ayat-ayat Allah. Dan dalam berpikir tentang ayat-ayat Allah, percayalah bahwa Al Qur’an is always one step ahead of science. Penjelasan Al Qur’an selalu selangkah atau bahkan lebih maju dibandingkan penemuan-penemuan sains modern. Hal ini tidaklah aneh, sebab sains adalah usaha manusia untuk memahami ciptaanNya beserta hukum-hukum yang meliputinya dan Al Qur’an adalah kitab yang diturunkan sebagai petunjuk tentang berbagai hal, baik yang sudah diketahui maupun yang belum dipahami manusia sebelumnya. Jika kita memakai sains sebagai acuan untuk ‘membaca’ Al-Qur’an, suatu saat kita akan mendapati sains yang tergopoh-gopoh dalam ‘mengikuti’ Al Qur’an.

Allah dalam Al Qur’an Surat Al Mulk ayat 3 dan 4 memberi ‘tantangan’ kepada manusia untuk mengobservasi apakah ada yang tidak seimbang (disorder) pada ciptaanNya. Pun hingga pengobservasi lelah, niscaya tak akan ditemukan ketidakseimbangan. Lebih jauh dari itu, antara Al Qur’an (ayatqouliyah) dan objek ciptaanNya yang lain (ayat kauniyah) pun tidak akan ditemukan ketidakselarasan. Mari kita coba gunakan peta pikir berikut: Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Mengetahui memberi ‘jalan formal’ berupa wahyu kepada rasul-rasulNya berupa ayat-ayat qouliyah, ayat-ayat yang terfirman. Ayat-ayat qouliyahtersebut merupakan pedoman hidup bagi manusia dan kebenarannya bersifat mutlak sepanjang masa. Beriringan atau setelahnya, Allah juga memberi ‘jalan non-formal’ berupa ilham kepada manusia, baik muslim ataupun bukan, berupa ilmu untuk membaca ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat yang terhampar. Saat ini kita sudah mengenal berbagai ilmu untuk membaca ayat-ayat kauniyah seperti biologi, fisika, kimia, dll. yang biasa kita kategorikan sebagai sains. Karena berupa akumulasi temuan-temuan manusia dari berbagai masa, sains sendiri bersifat eksperimental dan kebenarannya bersifat relatif bergantung pada kemajuan berpikir dan peradaban manusia itu sendiri.

Kedua ‘jalan’ dalam peta berpikir di atas bukan merupakan prioritas kesatu dan kedua, sebab keduanya diperlukan untuk berpikir dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah. Yang menarik adalah ayat qouliyah ini sering mengisyaratkan ayat kauniyah. Coba renungkan kedua ayat berikut dan coba cari hubungannya dengan ilmu-ilmu yang sudah kita pelajari:
”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Tiadakah kamu cukup bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Al Qur’an Surat Fushshilat (41) ayat 53)
”Sekiranya kami turunkan al Qur’an ini kepada sebuah gunung pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir” (Al Qur’an surat Al Hasyr (59) ayat 21)

Dalam ayatNya yang lain, yakni Surat Al Anbiya (21) ayat 30, Allah menyampaikan bahwa bumi dan langit dahulunya padu dan kemudian dipisahkan antara keduanya. Hal ini mirip dengan teori Big Bang, di mana alam semesta dimodelkan berawal dari satu poin dan terus mengembang. Namun Big Bang sendiri sejauh ini masih berupa teori – karenanya masih perlu pembuktian-pembuktian untuk memperkuat kedudukannya. Tapi ini terlihat seperti sejalan dengan yang ada dalam Al Qur’an. Setelah “bang” terjadi pengembangan hingga pada suatu masa tertentu terjadi peningkatan kecepatan perkembangan. Ekspansi/perkembangan terjadi karena adanya supernova dari bintang yang berada pada jarak yang paling jauh di alam semesta. Pertanyaannya: apakah alam semesta akan berkembang terus menerus?Al Qur’an memberi beberapahint bagi kita,  “(Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama. Begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti kami tepati. Sesungguhnya Kami-lah yang akan melaksanannya” (Al Qur’an Surat Al Anbiya’ (21) ayat 104)

Pada ayat yang lain disebutkan ”Sesungguhnya Allah Menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap. Dan sungguh, ketika keduanya akan lenyap tidak dapat seorangpun yang dapat menahannya kecuali Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (Al Qur’an surat al Faathir ayat 41).
Bumi ditahan agar tidak lenyap, bagaimana cara menahannya? Apakah bumi ini digantung? Dimana gantungannya? Tak ada. Yang kita tahu adalah terdapat sebuah gaya yang disebut gaya gravitasi dan itu menjadi penahan planet-planet dan galaksi-galaksi. Gaya gravitasi ini kita pelajari sebagai Hukum gravitasi universal.  Dari bumi yang mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh gravitasi bulan, matahari, planet-planet di tata surya, oleh galaksi bima sakti sendiri dan bahkan gravitasi galaksi selain bima sakti, Allah-lah yang menciptakan itu semua. Bagaimana apabila jarak antara bumi-matahari makin didekatkan sehingga gravitasinya juga berubah? Yang paling mudah ditebak adalah hilangnya air yang dibutukan penghuni bumi. Bagaimana bila bumi digeser menjauh dari matahari? Maka gas-gas yang ringan akan berkumpul semua di bumi. Dengan kata lain bumi diletakkan dan ditahan oleh Allah dalam posisi yang sangat pas untuk keberlangsungan kehidupan. Inilah kuasa AllahSubhanahu wata’ala.

Kita juga telah mengenal geothermal, anugerah Allah yang ditanam dalam bumi berupa panas yang dapat dimanfaatkan. Energi yang terletak pada claycap dapat dimanfaatkan dalam bentuk uap panas dengan tekanan yang sangat besar. Pemanfaatan itu dapat berbentuk listrik untuk disebarkan kepada penduduk, atau sebagai green house, atau bisa juga untuk pengeringan hasil perkebunan-pertanian, penghangatan air agar ikan bisa gemuk, dan lain-lain. Keunggulan energi geothermal adalah sifatnya terbarukan (renewable), ramah lingkungan, tidak tergantung pada pergantian musim, dan masih banyak lagi. Sekarang coba cari isyarat mengenai geotermal dalam Al Qur’an atau sunnah.

Mari sekali lagi kita renungkan ayatNya yang lain:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu,”Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberikan kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan,”Berdirilah kamu”, maka berdirilah niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al Qur’an Surat Al Mujadilah ayat 11)