Senin, 19 Maret 2018

JODOH ADALAH CERMINAN DIRIMU

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 


Manusia manapun tidak ada yang bisa tau dengan siapa mereka akan berjodoh. Seperti apapun wajahmu saat ini tidak bisa kamu jadikan andalan untuk mengetahui dengan siapa kelak kau akan menikah.

Karena jodohmu adalah ceriman dirimu bukanlah cerminan wajahmu, buat kamu yang memiliki fisik sempurna belum tentu akan mendapatkan pasangan yang sempurna pula, begitu pula sebaliknya. Jadi Apa mahar kita sebelum bertemu dengan seorang calon pendamping dalam hidup ?

Jawaban yang tepat adalah “ jagalah diri kalian”.
Karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “ jagalah diri kalian maka istri kalian akan menjaga dirinya”.

Kalau kita ingin mendapatkan seorang calon pendamping hidup yang pemalu, maka diri kitapun harus menjadi seorang pemalu.
Kalau kita menginginkan calon pendamping hidup kita adalah orang yang mampu menjaga pandangannya,maka diri kita pun adalah termasuk menjadi orang yang selalu menjaga pandangnya.
Kalau kita menginginkan calon pendamping hidup kita adalah seorang yang cerdas bahkan ideal, maka kita pun harus berusaha untuk terus belajar unutk menjadi cerdas dan ideal.
Dan kalau kita menginginkan calon mendamping kita adalah seseorang yang rajin pergi ke majelis ta’lim, maka diri kita pun harus termasuk menjadi orang yang rajin pergi ke majelis ta’lim, karena barangkali ketika Allah Subhanahu wa ta’ala berkehendak mempertemukan jodoh kita di dalam sebuah majelis ta’lim.

Karena Allah berfirman :

"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)."
(Qs.An-Nur:26)

Ada sebuah cerita yang sangat menarik, bagaimana seseorang yang sangat taat kepada perintah Allah, baik perangainya, bagus ibadahnya, akhirnya dia dipertemukan dengan seorang wanita idaman para calon bidadari surga, mujahidah dalam urusan agama, serta cantik parasnya dan taat akan perintah Allah dan Rosulnya.

Merekalah Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Azzahra , ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkan kepada siapapun. 
Fatimah karib kecilnya puteri kesayangan Rasulullah sungguh memesonanya, kesantunannya, ibadahnya kecekatan kerjanya, parasnya.

Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. 
Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta, ia bakar perca, ia tempelkan  ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis, namun seiring dengan waktu berjalan Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut dengan cinta.

Tapi ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan, Fatimah dilamar oleh seseorang yang paling akrab paling dekat dengan Rasulullah, lelaki yang membela islam dengan harta dan jiwanya, lelaki yang iman dan akhlaknya yang tak di ragukan lagi, belialulah : Abu Bakar ash Shiddiq.

Ali merasa di uji karena terasa apalah ia dibanding Abu Bakar yang kedudukan nya sangat mulia di sisi Nabi.
Inilah persaudaraan dan cinta “gumam Ali”, aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku ,cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilahkan, ia adalah keberanian atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. 
Lamaran Abu Bakar di tolak. 
Dan Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. 
Namun pada akhirnya ujian itu belum berakhir ,datanglah seorang lelaki yang gagah perkasa,dengan sebuah keberanian bagaikan seekor singa yang ketika berperang tidak ada yang bisa menandinginya dia adalah: Umar bin Khatab. 
Dia datang ke rumah Rasulullah untuk melamar Fatimah ,tapi alangkah begitu bahagianya Ali ketika mendengar kabar kembali, bahwa lamaran Umar di tolak juga oleh Fatimah Azzahra.

Waktu berlalu, akhirnya Ali bin Abi Thalib dipertemukan dengan seorang wanita idamannya yang ketika dalam sholatnya selalu disebutnya, mencoba memantaskan diri serta selalu patuh akan Perintah Allah dan Rosulnya 
(Dikutip dari buku: "Jalan Cinta Para Pejuang ).

Yuk mari kita pantaskan diri kita untuk menjemput calon pendamping karena kalau cinta berawal dan berakhir karena allah, maka cinta yang lain hanya upaya menunjukan cinta padanya, pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki,selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai.

Wallahu’alam


Selasa, 20 Februari 2018

BEKERJALAH, JANGAN BERGANTUNG PADA ORANG LAIN!

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh


Muslim itu tidak boleh malas bekerja mencari nafkah yang halal.
Para nabi telah memberi contoh tauladan yang baik.
Rasulullah seorang pedagang,Nabi Musa penggembala kambing.
Semua pekerjaan itu mulia selama halal dan tidak korupsi.
Seorang kuli bangunan juga harus bangga karena tanpa orang-orang seperti ini ..mereka bukanlah apa-apa.
Kuli bangunan..kuli panggul...kuli rumah tangga...kuli pabrik..adalah unsur utama roda kehidupan dan berjalannya pemerintahan...

"Maka apabila shalat telah selesai dikerjakan, bertebaranlah kamu sekalian di muka bumi dan carilah rezeki karunia Allah(Qs Al Jumu’ah : 10)

“Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekiNya. Dan hanya kepadaNya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”(Qs Al Mulk : 15)

“Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa tali-talinya dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar yang diletakkan di punggungnya untuk dijual sehingga ia bisa menutup kebutuhannya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak(HR Bukhari, no. 1471)

Rasulullah  menganjurkan umatnya bekerja mencari nafkah apapun menurut kemampuan, asal jalan yang ditempuh itu halal.
Berusaha dengan bekerja kasar, seperti mengambil kayu bakar di hutan itu lebih terhormat daripada meminta-minta dan menggantungkan diri kepada orang lain.
Seseorang tidak boleh menganggap remeh jenis usaha apapun, meskipun usaha itu dalam pandangan manusia dinilai hina.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya, seorang dari kalian pergi mencari kayu bakar yang dipikul di atas pundaknya itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau tidak(HR Bukhari, no. 1470; Muslim, no. 1042; Tirmidzi, no. 680 dan Nasa-i, V/96)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah  bersabda: “Adalah Nabi Daud tidak makan, melainkan dari hasil usahanya sendiri(HR Bukhari, no. 2073)

Nabi Daud adalah seorang nabi yang mencukupi kebutuhan dari hasil jerih payahnya sendiri dengan bekerja yang menghasilkan sesuatu, sehingga ia dapat memperoleh uang untuk keperluan hidupnya sehari-hari. Di antaranya sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur`an, bahwa Allah menjinakkan besi buat Nabi Daud, sehingga ia bisa membuat bermacam pakaian besi.

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertashbihlah berulang-ulang bersama Daud”, dan Kami telah melunakkan besi untuknya. (Yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan(Qs Saba` : 10-11)

"Dari Abu Hurairah, Rasulullah  bersabda: “Nabi Zakaria Alaihissalam adalah seorang tukang kayu(HR Muslim, no. 2379; Ahmad II/296, 405, 485)

Lantas bagaimana dengan para pengemban dakwah( da'i) yang diberi upah setelah berdakwah?

Dari Abu Darda’ ..bahwa Rasulullah bersabda :
“Barangsiapa mengambil sebuah busur sebagai upah dari mengajarkan Al Qur`an, niscaya Allah akan mengalungkan kepadanya busur dari api neraka pada hari Kiamat(Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq (II/427), Al Baihaqi dalam Sunan-nya (VI/126) dari jalur Utsman bin Sa’id Ad Darimi)

Diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Ash Shamit “Aku mengajarkan Al Qur`an dan menulis kepada ahli Shuffah. Lalu  mereka menghadiahkan sebuah busur kepadaku....aku pun menemui Beliau dan berkata: “Wahai Rasulullah, seorang lelaki yang telah kuajari menulis dan membaca Al Qur`an telah menghadiahkan sebuah busur kepadaku. Rasulullah bersabda
“Jika engkau suka dikalungkan dengan kalung dari api neraka, maka terimalah! (  Abu Dawud, Ibnu Majah (2157); Ahmad (V/315 dan 324); Al Hakim (II/41, III/356); Al Baihaqi (VI/125))_

Diriwayatkan dari Imran bin Hushain bahwa ia melihat seorang qari sedang membaca Al Qur`an lalu meminta upah.
Beliau mengucapkan kalimat istirja’
(إَنَّ لِلَّهِ وَ إِنَّ إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ ), kemudian berkata: Rasulullah bersabda:
9-مَنْ قَرَأَ الْقُرْانَ فَالْيَسْأَلِ اللهَ بِهِ, فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْانَ يَسْأَلُونَ بِهِ النَّاسَ.
"Barangsiapa membaca Al Qur`an, hendaklah ia meminta pahalanya kepada Allah. Sesungguhnya akan datang beberapa kaum yang membaca Al Qur`an , lalu meminta upahnya kepada manusia( At Tirmidzi (2917); Ahmad )

Dari Abu Sa’id al Khudri bahwasanya ia mendengar Rasulullah bersabda
"Pelajarilah Al Qur`an, dan mintalah surga kepada Allah sebagai balasannya. Sebelum datang satu kaum yang mempelajarinya dan meminta materi dunia sebagai imbalannya. Sesungguhnya ada tiga jenis orang yang mempelajari Al Qur`an. Orang yang mempelajarinya untuk membangga-banggakan diri dengannya, orang yang mempelajarinya untuk mencari makan, orang yang mempelajarinya karena Allah semata”(HR  Ahmad, Al Baghawi, Al Hakim)

Dari Jabir bin Abdillah,  Rasulullah bersabda
Bacalah Al Qur`an. Bacaan kalian semuanya bagus. Akan datang nanti beberapa kaum yang menegakkan Al Qur`an seperti menegakkan anak panah. Mereka hanya mengejar materi dunia dengannya dan tidak mengharapkan pahala akhirat”. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (830) dan Ahmad (III/357dan 397) dari jalur Muhammad bin Al Munkadir dari Jabir)

"Bacalah Al Qur`an, janganlah engkau mencari makan darinya, janganlah engkau memperbanyak harta dengannya, janganlah engkau anggap remeh dan jangan pula terlalu berlebihan (Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar (4322) dan Ma’anil Atsar (III/18); Ahmad,Thabrani)

"Barangsiapa menuntut ilmu, yang seharusnya ia tuntut semata-mata mencari wajah Allah namun ternyata ia menuntutnya semata-mata mencari keuntungan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan aroma wanginya surga pada hari kiamat(Abu Dawud, 3664; Ahmad, II/338; Ibnu Majah, 252; dan Hakim, I/85 dari Abu Hurairah)

Abdullah bin Mas’ud  berkata: “Jikalau seorang yang berilmu mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya, maka dia akan mendapatkan kemuliaan di antara orang-orang sezamannya. Akan tetapi mereka menyampaikan ilmu kepada pecinta dunia untuk mengharapkan harta mereka, maka mereka menjadi hina(Ibnu Abdil Barr , Ibnu Majah dan Ibnu Abi Syaibah)

Kalau seorang da’i tidak mempunyai mata pencaharian yang memadai, dan dia waktunya habis untuk mengajar dan berdakwah, maka dibolehkan menerima upah. Dan kepada Ulil Amri (penguasa atau pemerintah), selayaknya memberikan imbalan yang setimpal, karena dia mengajar kaum muslimin,rakyatnya.
Menurut jumhur ulama, menerima upah dari mengajarkan Al Qur`an dan berda’wah adalah diperbolehkan, karena mereka juga membutuhkan waktu,tenaga,pikiran dan kelelahan...namun tidak boleh menjadikannya sebagai tujuan.


Senin, 19 Februari 2018

AL-QURAN PENYEMBUH SEGALA PENYAKIT

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh



وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٞ وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارٗا ٨٢

“Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penyembuh, dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” [QS. Al-Isra`: 82)

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
نُنَزِّلُ
“Kami turunkan.”

Jumhur Ahli Qiraah membacanya dengan diawali nun dan bertasydid. Adapun Abu ‘Amr membacanya dengan tanpa tasydid (نُنْزِلُ). Sedangkan Mujahid membacanya dengan diawali huruf ya` dan tanpa tasydid (يُنْزِلُ). Al-Marwazi juga meriwayatkan demikian dari Hafs. [Tafsir Al-Qurthubi, 10/315 dan Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 3/253]

مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ

“Dari Alquran.”

Kata min (مِنْ) dalam ayat ini, menurut pendapat yang rajih (kuat), menjelaskan jenis dan spesifikasi yang dimiliki Alquran. Kata min di sini tidak bermakna “sebagian”, yang mengesankan bahwa di antara ayat-ayat Alquran, ada yang tidak termasuk syifa` (penawar), sebagaimana yang dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah.

Kata min pada ayat ini seperti halnya yang terdapat dalam firman-Nya:

وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi…” [QS. An-Nur: 55)

Kata min dalam lafal tidaklah bermakna sebagian, sebab mereka seluruhnya adalah orang-orang yang beriman dan beramal saleh. [Lihat Tafsir al-Qurthubi, 10/316, Fathul Qadir, 3/253, dan at-Thibb an-Nabawi, Ibnul Qayyim, hal. 138]

شِفَآءٞ
“Penyembuh.”
Penyembuh yang dimaksud di sini meliputi penyembuh atas segala penyakit, baik rohani maupun jasmani, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam tafsirnya.

Penjelasan Tafsir Ayat

Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Allah ‘azza wa jalla mengabarkan tentang kitab-Nya yang diturunkan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Alquran, yang tidak terdapat kebatilan di dalamnya, baik dari sisi depan maupun belakang, yang diturunkan dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji, bahwa sesungguhnya Alquran itu merupakan penyembuh dan rahmat bagi kaum Mukminin. Yaitu menghilangkan segala hal berupa keraguan, kemunafikan, kesyirikan, penyimpangan, dan penyelisihan yang terdapat dalam hati. Alquran-lah yang menyembuhkan itu semua.

Di samping itu, ia (Alquran) merupakan rahmat, yang dengannya membuahkan keimanan, hikmah, mencari kebaikan, dan mendorong untuk melakukannya. Hal ini tidaklah didapatkan, kecuali oleh orang yang mengimani, membenarkan, serta mengikutinya. Bagi orang yang seperti ini, Alquran akan menjadi penyembuh dan rahmat.

Adapun orang kafir yang menzalimi dirinya sendiri, maka tatkala mendengarkan Alquran tidaklah bertambah baginya, melainkan semakin jauh dan semakin kufur. Dan sebab ini ada pada orang kafir itu, BUKAN pada Alqurannya. Seperti firman Allah ‘azza wa jalla:

قُلۡ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ هُدٗى وَشِفَآءٞۚ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ فِيٓ ءَاذَانِهِمۡ وَقۡرٞ وَهُوَ عَلَيۡهِمۡ عَمًىۚ أُوْلَٰٓئِكَ يُنَادَوۡنَ مِن مَّكَانِۢ بَعِيدٖ ٤٤

“Katakanlah: ‘Alquran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Alquran itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh’.” [QS. Fushshilat: 44)

Dan Allah ‘azza wa jalla juga berfirman:

وَإِذَا مَآ أُنزِلَتۡ سُورَةٞ فَمِنۡهُم مَّن يَقُولُ أَيُّكُمۡ زَادَتۡهُ هَٰذِهِۦٓ إِيمَٰنٗاۚ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فَزَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنٗا وَهُمۡ يَسۡتَبۡشِرُونَ ١٢٤ وَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ فَزَادَتۡهُمۡ رِجۡسًا إِلَىٰ رِجۡسِهِمۡ وَمَاتُواْ وَهُمۡ كَٰفِرُونَ ١٢٥

“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.

Adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” [QS At-Taubah: 124-125]

Dan masih banyak ayat yang menjelaskan tentang hal ini.” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/60)

Al-’Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata pula dalam menjelaskan ayat ini:

“Alquran mengandung penyembuh dan rahmat. Dan ini tidak berlaku untuk semua orang, namun hanya bagi kaum Mukminin yang membenarkan ayat-ayat-Nya dan berilmu dengannya. Adapun orang-orang zalim yang tidak membenarkan dan tidak mengamalkannya, maka ayat-ayat tersebut tidaklah menambah baginya, kecuali kerugian. Karena hujjah telah ditegakkan kepadanya dengan ayat-ayat itu.

Penyembuhan yang terkandung dalam Alquran bersifat umum, meliputi penyembuhan hati dari berbagai syubhat, kejahilan, berbagai pemikiran yang merusak, penyimpangan yang jahat, dan berbagai tendensi yang batil. Sebab ia (Alquran) mengandung ilmu yakin, yang dengannya akan musnah setiap syubhat dan kejahilan. Ia merupakan pemberi nasihat serta peringatan, yang dengannya akan musnah setiap syahwat yang menyelisihi perintah Allah ‘azza wa jalla. Di samping itu, Alquran juga menyembuhkan jasmani dari berbagai penyakit.

Adapun rahmat, maka sesungguhnya di dalamnya terkandung sebab-sebab dan sarana untuk meraihnya. Kapan saja seseorang melakukan sebab-sebab itu, maka dia akan menang dengan meraih rahmat dan kebahagiaan yang abadi, serta ganjaran kebaikan, cepat ataupun lambat.” [Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 465]

Alquran Menyembuhkan Penyakit Jasmani

Suatu hal yang menjadi keyakinan setiap Muslim, bahwa Alquranul Karim diturunkan Allah ‘azza wa jalla untuk memberi petunjuk kepada setiap manusia, menyembuhkan berbagai penyakit hati yang menjangkiti manusia, bagi mereka yang diberi hidayah oleh Allah ‘azza wa jalla dan dirahmati-Nya. Namun apakah Alquran dapat menyembuhkan penyakit jasmani?

Dalam hal ini, para ulama menukilkan dua pendapat: Ada yang mengkhususkan penyakit hati. Ada pula yang menyebutkan penyakit jasmani dengan cara meruqyah, ber-ta’awudz, dan semisalnya. Ikhtilaf ini disebutkan al-Qurthubi dalam Tafsir-nya. Demikian pula disebutkan asy-Syaukani dalam Fathul Qadir, lalu beliau berkata: “Dan tidak ada penghalang untuk membawa ayat ini kepada dua makna tersebut.” [Fathul Qadir, 3/253]

Pendapat ini semakin ditegaskan Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Zadul Ma’ad:

“Alquran adalah penyembuh yang sempurna dari seluruh penyakit hati dan jasmani, demikian pula penyakit dunia dan Akhirat. Dan tidaklah setiap orang diberi keahlian dan taufik untuk menjadikannya sebagai obat. Jika seorang yang sakit konsisten berobat dengannya, dan meletakkan pada sakitnya dengan penuh kejujuran dan keimanan, penerimaan yang sempurna, keyakinan yang kokoh, dan menyempurnakan syaratnya, niscaya penyakit apapun tidak akan mampu menghadapinya selama-lamanya.

Bagaimana mungkin penyakit tersebut mampu menghadapi firman Dzat yang memiliki langit dan bumi? Jika diturunkan kepada gunung, maka ia akan menghancurkannya. Atau diturunkan kepada bumi, maka ia akan membelahnya. Maka tidak satu pun jenis penyakit, baik penyakit hati maupun jasmani, melainkan dalam Alquran ada cara yang membimbing kepada obat dan sebab (kesembuhan)nya.” [Zadul Ma’ad, 4/287]

Berikut ini kami sebutkan beberapa riwayat berkenaan tentang pengobatan dengan Alquran.

Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya dari hadis ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Beliau radhiallahu ‘anha berkata: “Adalah Rasulullah ﷺ terkena sihir [1], sehingga beliau ﷺ menyangka, bahwa beliau ﷺ mendatangi istrinya, padahal tidak mendatanginya.

Lalu beliau ﷺ berkata: ‘Wahai ‘Aisyah, tahukah kamu, bahwa Allah ‘azza wa jalla telah mengabulkan permohonanku? Dua lelaki telah datang kepadaku. Kemudian salah satunya duduk di sebelah kepalaku dan yang lain di sebelah kakiku.
Yang di sisi kepalaku berkata kepada yang satunya: ‘Kenapa beliau?’
Dijawab: ‘Terkena sihir.’
Yang satu bertanya: ‘Siapa yang menyihirnya?’
Dijawab: ‘Labid bin Al-A’sham, lelaki dari Banu Zuraiq sekutu Yahudi. Ia seorang munafik.’
(Yang satu) bertanya: ‘Dengan apa?’
Dijawab: ‘Dengan sisir, rontokan rambut.’
(Yang satu) bertanya: ‘Di mana?’
Dijawab: ‘Pada mayang korma jantan di bawah batu yang ada di bawah sumur Dzarwan’.”
Aisyah radhiallahu ‘anha lalu berkata: “Nabi ﷺ lalu mendatangi sumur tersebut hingga beliau ﷺ mengeluarkannya.
Beliau ﷺ lalu berkata: ‘Inilah sumur yang aku diperlihatkan seakan-akan airnya adalah air daun pacar dan pohon kormanya seperti kepala-kepala setan’. Lalu dikeluarkan.
Aku bertanya: ‘Mengapa engkau tidak mengeluarkannya (dari mayang korma jantan tersebut, pen.)?’
Beliau ﷺ menjawab: ‘Demi Allah, sungguh Allah telah menyembuhkanku dan aku membenci tersebarnya kejahatan di kalangan manusia’.”

[Hadis ini diriwayatkan al-Bukhari dalam Shahih-nya (kitab at-Thib, bab Hal Yustakhrajus Sihr? jilid 10, no. 5765, bersama al-Fath). Juga dalam Shahih-nya (kitab al-Adab, bab Innallaha Ya`muru bil ‘Adl, jilid 10, no. 6063]

[Juga diriwayatkan oleh al-Imam asy-Syafi’i sebagaimana yang terdapat dalam Musnad asy-Syafi’i (2/289, dari Syifa`ul ‘Iy), al-Asfahani dalam Dala`ilun Nubuwwah (170/210), dan al-Lalaka`i dalam Syarah Ushul ‘azza wa jalla’tiqad Ahlis Sunnah (2/2272)]. Namun ada tambahan bahwa ‘Aisyah berkata: “Dan turunlah (firman Allah ‘azza wa jalla):

قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلۡفَلَقِ ١ مِن شَرِّ مَا خَلَقَ ٢

Hingga selesai bacaan surah tersebut.”

Demikian pula yang diriwayatkan al-Imam Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya, dari hadis Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Sekelompok [2] sahabat Nabi berangkat dalam suatu perjalanan yang mereka tempuh. Singgahlah mereka di sebuah kampung Arab. Mereka pun meminta agar dijamu sebagai tamu, namun penduduk kampung tersebut enggan menjamu mereka.

Selang beberapa waktu kemudian, pemimpin kampung tersebut terkena sengatan (kalajengking). Penduduk kampung tersebut pun berusaha mencari segala upaya penyembuhan, namun sedikit pun tak membuahkan hasil. Sebagian mereka ada yang berkata: ‘Kalau sekiranya kalian mendatangi sekelompok orang itu (yaitu para sahabat), mungkin sebagian mereka ada yang memiliki sesuatu.’

Mereka pun mendatanginya, lalu berkata: “Wahai rombongan, sesungguhnya pemimpin kami tersengat (kalajengking). Kami telah mengupayakan segala hal, namun tidak membuahkan hasil. Apakah salah seorang di antara kalian memiliki sesuatu?

Sebagian sahabat menjawab: ‘Iya. Demi Allah, aku bisa meruqyah. Namun demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kalian, namun kalian tidak menjamu kami. Maka aku tidak akan meruqyah untuk kalian, hingga kalian memberikan upah kepada kami.’

Mereka pun setuju untuk memberi upah beberapa ekor kambing [3]. Maka dia (salah seorang sahabat) pun meludahinya dan membacakan atas pemimpin kaum itu Alhamdulillahi rabbil ‘alamin (al-Fatihah). Pemimpin kampung tersebut pun merasa terlepas dari ikatan, lalu dia berjalan tanpa ada gangguan lagi.
Mereka lalu memberikan upah sebagaimana telah disepakati.

Sebagian sahabat berkata: ‘Bagilah.’

Sedangkan yang meruqyah berkata: ‘Jangan kalian lakukan, hingga kita menghadap Rasulullah ﷺ lalu kita menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. Kemudian menunggu apa yang beliau ﷺ perintahkan kepada kita.’

Mereka pun menghadap Rasulullah ﷺ kemudian melaporkan hal tersebut.

Maka beliau ﷺ bersabda: ‘Tahu dari mana kalian bahwa itu (al-Fatihah, pen.) memang ruqyah?’

Lalu beliau ﷺ berkata: ‘Kalian telah benar. Bagilah (upahnya) dan berilah untukku bagian bersama kalian’, sambil beliau ﷺ tertawa.”

Adapun hadis yang diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sebaik-baik obat adalah Alquran.”

Dan hadis:

الْقُرْءآنُ هُوَ الدَّوَاءُ

“Alquran adalah obat.”
Keduanya adalah hadis yang Dhaif, telah dilemahkan oleh al-Allamah al-Albani rahimahullah dalam Dha’if al-Jami’ ash-Shagir, no. 2885 dan 4135.

Membuka Klinik Ruqyah

Di antara penyimpangan terkait dengan ruqyah adalah menjadikannya sebagai profesi, seperti halnya dokter atau bidan yang membuka praktik khusus. Ini merupakan amalan yang menyelisihi metode ruqyah di zaman Rasulullah ﷺ.

Asy-Syaikh Saleh Alus Syaikh berkata ketika menyebutkan beberapa penyimpangan dalam meruqyah:

“Pertama, dan yang paling besar (kesalahannya), adalah menjadikan bacaan (untuk penyembuhan) atau ruqyah sebagai sarana untuk mencari nafkah, di mana dia memfokuskan diri secara penuh untuk itu. Memang telah dimaklumi, bahwa manusia membutuhkan ruqyah. Namun memfokuskan diri untuk itu, bukanlah bagian dari petunjuk para sahabat di masanya. Padahal di antara mereka ada yang sering meruqyah. Namun bukan demikian petunjuk para sahabat dan tabi’in. (Menjadikan meruqyah sebagai profesi) baru muncul di masa-masa belakangan.

Petunjuk Salaf dan bimbingan as-Sunnah dalam meruqyah adalah seseorang memberikan manfaat kepada saudara-saudaranya, baik dengan upah ataupun tidak. Namun janganlah dia memfokuskan diri dan menjadikannya sebagai profesi seperti halnya dokter yang mengkhususkan dirinya (pada perkara ini). Ini baru dari sudut pandang bahwa hal tersebut tidak terdapat (contohnya) pada zaman generasi pertama.

Demikian pula dari sisi lainnya. Apa yang kami saksikan pada orang-orang yang mengkhususkan diri (dalam meruqyah) telah menimbulkan banyak hal terlarang. Siapa yang mengkhususkan dirinya untuk meruqyah, niscaya engkau mendapatinya memiliki sekian penyimpangan. Sebab dia butuh prasyarat-prasyarat tertentu yang harus dia tunaikan dan yang harus dia tinggalkan. Serta ‘menjual’ tanpa petunjuk.

Barang siapa meruqyah melalui kaset-kaset, suara-suara, di mana dia membaca di sebuah kamar, sementara speaker berada di kamar yang lain, dan yang semisalnya, merupakan hal yang menyelisihi nash. Ini sepantasnya dicegah untuk menutup pintu (penyimpangan). Sebab sangat mungkin akan menjurus kepada hal-hal tercela dari para peruqyah yang mempopulerkan perkara-perkara yang terlarang atau yang tidak diperkenankan syariat. [Ar-Ruqa wa Ahkamuha, Asy-Syaikh Saleh Alus Syaikh, hal. 20-21]

Selasa, 06 Februari 2018

CELAKALAH TUMIT YANG TIDAK TERBASUH WUDHU!

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh


Banyak di antara kaum Muslimin yang ketika mencuci/membasuh kaki saat berwudhu tidak memerhatikan tumitnya.
Mereka tergesa-gesa ketika berwudhu, hanya sekadar menjulurkan kaki di bawah kran air yang mengalir, sehingga ada banyak bagian dari tumitnya yang tidak terbasuh dengan air. Ini adalah kesalahan besar yang wajib untuk diingatkan, karena mereka menunaikan shalat dalam keadaan tidak sah wudhunya

Ada hadis yang membicarakan ancaman bagi orang yang tidak berwudhu dengan sempurna. Dalilnya adalah:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ سَافَرْنَاهُ فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقْنَا الصَّلاَةَ صَلاَةَ الْعَصْرِ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ ، فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا ، فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ « وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ » . مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثً

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: “Kami pernah tertinggal dari Rasulullah ﷺ dalam suatu safar. Kami lalu menyusul beliau dan ketinggalan shalat, yaitu shalat ‘Ashar. Kami berwudhu sampai bagian kaki hanya diusap (tidak dicuci, -pen). Lalu beliau ﷺ memanggil dengan suara keras dan berkata: “Celakalah tumit-tumit dari api Neraka.” Beliau ﷺ menyebut dua atau tiga kali. (HR. Bukhari no. 96 dan Muslim no. 241). Yang namanya diusap, berarti tangan cukup dibasahi lalu menyentuh bagian anggota wudhu, tanpa air mesti dialirkan.

Dalam riwayat Muslim, disebutkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Amr berkata:

رَجَعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِمَاءٍ بِالطَّرِيقِ تَعَجَّلَ قَوْمٌ عِنْدَ الْعَصْرِ فَتَوَضَّئُوا وَهُمْ عِجَالٌ فَانْتَهَيْنَا إِلَيْهِمْ وَأَعْقَابُهُمْ تَلُوحُ لَمْ يَمَسَّهَا الْمَاءُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ أَسْبِغُوا الْوُضُوءَ »

“Kami pernah kembali bersama Rasulullah ﷺ dari Makkah menuju Madinah hingga sampai di air di tengah jalan, sebagian orang tergesa-gesa untuk shalat ‘Ashar. Lalu  mereka berwudhu dalam keadaan terburu-buru. Kami pun sampai pada mereka dan melihat air tidak menyentuh tumit mereka. Rasulullah ﷺ lantas bersabda: “Celakalah tumit-tumit dari api Neraka. Sempurnakanlah wudhu kalian.” (HR. Muslim no. 241).

Yang dimaksud a’qoob dalam hadis di atas adalah urat di atas tumit, disebut ‘aroqib. Kata ‘wail’ dalam hadis menunjukkan ancaman dan hukuman.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata: “Hadis di atas adalah ancaman untuk tumit (perkara yang kecil), namun ancaman ini berlaku juga untuk hal yang lebih dari itu. Karena jika tidak dimaafkan yang sepele seperti tumit, maka yang lebih dari itu tentu tidak dimaafkan.” (At Ta’liqot ‘ala ‘Umdatil Ahkam, hal. 26).

Hadis ini juga menerangkan wajibnya menyempurnakan wudhu dan perintah membasuh anggota-anggota wudhu. Yang luput dari hal ini, ia terjerumus dalam dosa besar karena diancam dengan Neraka seperti itu. Diterangkan oleh Syaikh As Sa’di di halaman yang sama.

Syaikh As Sa’di juga mengatakan: “Jika menganggap sepele dalam berwudhu tercela, begitu pula berlebihan dan mendapati was-was dalam wudhu juga sama tercela.” (At Ta’liqot ‘ala ‘Umdatil Ahkam, hal. 26).

 Faidah yang terdapat dalam Hadis:

 Pertama:

Wajibnya membasuh/mencuci kedua kaki dengan air secara sempurna ketika berwudhu. Tidak cukup hanya dengan mengusapnya. Sebab seandainya dengan mengusap saja cukup, niscaya Nabi ﷺ tidak akan memberikan ancaman Neraka bagi orang yang tidak membasuh/mencuci kedua tumitnya. Demikian penjelasan Ibnu Khuzaimah, Ibnu Abdil Barr, dan an-Nawawi. Dalam sebagian riwayat Muslim dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi ﷺ bersabda: “Celakalah mata kaki yang tidak terbasuh air itu karena jilatan api Neraka.” Dalam riwayat ini juga dikatakan, bahwa suatu ketika Nabi ﷺ melihat seorang lelaki yang tidak membasuh kedua tumitnya, lantas beliau ﷺ memberikan teguran keras semacam itu. Sehingga hal ini menjadi bantahan bagi kaum Syiah yang hanya mewajibkan mengusap kaki. Ini adalah pendapat yang batil, menyelisihi Alquran dan Sunnah Rasulullah ﷺ serta Ijma’ umat Islam. Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ…

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” [QS. Al Maidah: 6]

Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Para sahabat Rasulullah ﷺ sepakat mengenai wajibnya membasuh/mencuci kedua kaki.” (Lihat Syarh Muslim [3/29-32], Fath al-Bari [1/319-320], al-Istidzkar [2/51] pdf).

 Kedua:

Menunjukkan siksa Neraka ada dua macam. Pertama siksaan yang sifatnya menyeluruh tanpa terkecualikan (seluruh badan). Dan yang kedua adalah siksaan yang sifatnya parsial, seperti disebutkan dalam hadis. Hanya tumitnya saja yang disiksa tanpa anggota tubuh yang lain.

 Ketiga:

Perintah untuk menyempurnakan wudhu. Yang dimaksud menyempurnakan wudhu adalah menunaikan hak masing-masing anggota badan yang dibersihkan/dibasuh ketika wudhu (Lihat Taudhih al-Ahkam [1/217], Syarh Muslim [3/41])

 Keempat:

Termasuk dalam perintah menyempurnakan wudhu adalah menyela-nyelai jari-jari kaki dengan air.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi dan dihasankan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma:

“Apabila kamu berwudhu, maka sela-selailah jari tangan dan jari kakimu.”

Hadis semakna juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dari sahabat Laqith bin Shabirah radhiyallahu’anhu yang disahkan oleh Tirmidzi sendiri, al-Baghawi dan Ibnu al-Qaththan (Lihat Nail al-Authar [1/182] dan Tuhfat al-Ahwadzi [1/149-150] ).

 Kelima:

Barang siapa meninggalkan anggota wudhu tidak terbasuh oleh air, meskipun hanya selebar kuku, maka wudhunya tidaklah sah. Berkata Al Imam An Nawawy: Ini adalah perkara yang telah disepakati (oleh para ulama). Telah diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari shahabat Umar Ibnul Khattab, beliau berkata:

أَنَّ رَجُلًا تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى

“Bahwa seorang laki-laki berwudhu, lalu meninggalkan (kering) selebar kuku di atas kakinya. Saat Nabi ﷺ melihatnya, maka beliau ﷺ pun bersabda: “Kembali dan perbaguslah wudhumu.” Maka dia kembali (berwudhu) kemudian melakukan shalat.”

Wallahu a'lam


Jumat, 15 Desember 2017

BIRRUL WALIDAIN, BERBUAT BAIK TERHADAP ORANG TUA


Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh


1. Pengertian Birrul Walidain

Berbuat baik terhadap orang tua (birrul walidain) adalah memberi kebaikan atau berkhidmat kepada keduanya serta mentaati perintahnya (kecuali yang ma’siat) dan mendoa’kannya apabila keduanya telah wafat. Ibu dan Bapak sebagai orang tua sudah selayaknya mendapatkan kebaikan dan penghormatan dari anaknya. Islam sangat perhatian mengenai masalah ini, sebagaimana sangat jelas ditegaskan dalam firman Allah yang berbunyi. :

“Dan Kamu perintahkan kepada manusia (berbuat baik) terhadap kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah, bahkan menyusukan pula selama kurang lebih 2 tahun. Maka dari itu bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku sajalah tempat kamu kembali”.

2. Dalil Al-Qur’an dan hadist

“Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua Ibu Bapak”. (QS. An-Nisa’ : 36)

Dalam ayat ini (berbuat baik kepada Ibu Bapak) merupakan perintah, dan perintah disini menunjukkan kewajiban, khususnya, karena terletak setelah perintah untuk beribadah dan meng-Esa-kan (tidak mempersekutukan) Allah, serta tidak didapatinya perubahan (kalimat dalam ayat tersebut) dari perintah ini. (Al Adaabusy Syar’iyyah 1/434).

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya”. (QS. Al Isra’:23).

Adapun makna (qadhoo) = Berkata Ibnu Katsir : yakni, mewasiatkan. Berkata Al Qurthubiy : yakni, memerintahkan, menetapkan dan mewajibkan. Berkata Asy Syaukaniy: “Allah memerintahkan untuk berbuat baik pada kedua orang tua seiring dengan perintah untuk mentauhidkan dan beribadah kepada-Nya, ini pemberitahuan tentang betapa besar haq mereka berdua, sedangkan membantu urusan-urusan (pekerjaan) mereka, maka ini adalah perkara yang tidak bersembunyi lagi (perintahnya). (Fathul Qodlir 3/218).

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu Bapanya, Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Maka bersyukurkah kepada-Ku dan kepada kedua orang Ibu Bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.”(QS. Luqman : 14).

Berkata Ibnu Abbas mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua “Tiga ayat dalam Al’Quran yang saling berkaitan dimana tidak diterima salah satu tanpa yang lainnya, kemudian Allah menyebutkan diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya) : “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang Ibu Bapakmu”, Berkata beliau. “Maka, barangsiapa yang bersyukur kepada Allah akan tetapi dia tidak bersyukur pada kedua Ibu Bapaknya, tidak akan diterima (rasa syukurnya) dengan sebab itu.” (Al Kabaair milik Imam Adz Dzahabi hal 40).

Berkaitan dengan ini, Rasulullah Shalallahu’Alaihi Wassallam bersabda (artinya) : “Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb (Allah) ada pada kemurkaan orang tua” (Riwayat Tirmidzi dalam Jami’nya (1/346), Hadits ini Shohih, lihat Solsilah Al Hadits Ash Shahiihah No. 516).

Hadits Al Mughairah bin Syub’ah – mudah-mudahan Allah meridhainya, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam beliau bersabda (artinya): “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian mendurhakai para Ibu, mengubur hidup-hidup anak perempuan, dan tidak mau memberi tetapi meminta-minta (bakhil) dan Allah membenci atas kalian (mengatakan) katanya si fulan begini si fulan berkata begitu (tanpa diteliti terlebih dahulu), banyak bertanya (yang tidak bermanfaat) dan membuang-buang harta”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1757)

3. Keutamaan Birrul Walidain

Termasuk Amalan Yang Paling Mulia

Dari Abdullah bin Mas’ud mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata:Saya bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: Apakah amalan yang paling dicintai oleh Allah?, Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘ Alaihi Wasallam: “Sholat tepat pada waktunya”, Saya bertanya : Kemudian apa lagi?, Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ” Berbuat baik kepada kedua orang tua”. Saya bertanya lagi : Lalu apa lagi?, Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Berjihad di jalan Allah”.(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya).

Merupakan Salah Satu Sebab-Sebab Diampuninya Dosa

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (artinya): “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya….”, hingga akhir ayat berikutnya : “Mereka itulah orang-orang yang kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga. Sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.” (QS. Al Ahqaf 15-16)Diriwayatkan oleh Ibnu Umar mudah-mudahan Allah meridhoi keduanya bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata :Wahai Rasulullah sesungguhnya telah menimpa kepadaku dosa yang besar, apakan masih ada pintu taubat bagi saya?, Maka bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : “Apakah Ibumu masih hidup?”, berkata dia : tidak. Bersabda beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : “Kalau bibimu masih ada?”, dia berkata : “Ya”.
Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : “Berbuat baiklah padanya”.(Diriwayatkan oleh Tirmidzi didalam Jami’nya dan berkata Al’ Arnauth : Perawi-perawinya tsiqoh. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim. Lihat Jaami’ul Ushul (1/406)).

Termasuk Sebab Masuknya Seseorang ke Surga

Dari Abu Hurairah, mudah-mudahan Allah meridhoiny, dia berkata : Saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Celakalah dia, celakalah dia”, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya : Siapa wahai Rasulullah?, Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : “Orang yang menjumpai salah satu atau kedua orang tuanya dalam usia lanjut kemudian dia tidak masuk surga”.
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalan Shahihnya No. 1758, ringkasan)

Dari Mu’awiyah bin Jaahimah mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua, Bahwasanya Jaahimah datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian berkata : “Wahai Rasulullah, saya ingin (berangkat) untuk berperang, dan saya datang (ke sini) untuk minta nasehat pada anda. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Apakah kamu masih memiliki Ibu?”. Berkata dia : “Ya”. bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : “Tetaplah dengannya karena sesungguhnya surga itu dibawah telapak kakinya”.
(Hadits Hasan diriwayatkan oleh Nasa’i dalam Sunannya dan Ahmad dalam Musnadnya). Hadits ini Shohih. (lihat Shahilul Jaami No. 1248)

Merupakan Sebab Keridhoan Allah

Sebagaimana hadits yang terdahulu “Keridhoan Allah ada pada keridhoan kedua orang tua dan kemurkaan-Nya ada pada kemurkaan kedua orang tua”.

Merupakan Sebab Bertambahnya Umur

Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Barangsiapa yang suka Allah besarkan rizkinya dan Allah panjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahim”.

Merupakan Sebab Barokahnya Rizki

Dalilnya, sebagaimana hadits sebelumnya.

4. Bentuk Birrul Walidain

Di antara hak orang tua ketika masih hidup adalah:

Mentaati Mereka Selama Tidak Mendurhakai Allah

Mentaati kedua orang tua hukumnya wajib atas setiap Muslim. Haram hukumnya mendurhakai kedianya. Tidak sedikit pun mendurhakai mereka berdua kecuali apabila mereka menyuruh untuk menyekutukan Allah ataumendurhakai-Nya.AllahSubhanahu wa Ta’ala berfirman: “dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…” (QS. Luqman: 15)

Tidak boleh mentaati makhluk untuk mendurhakai Allah, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: “Tidak ada ketaatan untuk mendurhakai Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam melakukan kebaikan.” (HR. Bukhari no. 4340,7145, 7257, dan Muslim no. 1840, dari Ali radhiyallahu ‘anhu)

Adapun jika bukan dalam perkara yang mendurhakai Allah, wajib mentaati kedua orang tua selamanya dan ini termasuk perkara yang paling diawajibkan. Oleh karena itu, seorang Muslim tidak boleh mendurhakai apa saja yang diperintahkan oleh kedua orang tua.

Berbakti dan Merendahkan Diri di Hadapan Kedua Orang Tua

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada orang tua ibu bapaknya…” (QS. Al-Ahqaaf: 15)”Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuaru pun, Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua ibu bapak….” (QS. An-Nisaa’: 36)

Perintah berbuat baik ini lebih ditegaskan jika usia kedua orang tua semakin tua dan lanjut hingga kondisi mereka melemah dan sangat membutuhkan bantuan dan perhatian dari anaknya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kami jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: ‘Wahai, Rabb-ku, kasihilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Israa’ :23-24)

Di antara bakti terhadap kedua orang tua adalah menjauhkan ucapan dan perbuatan yang dapat menyakiti kedua orang tua, walaupun dengan isyarat atau dengan ucapan ‘ah’. Termasuk berbakti kepada keduanya ialah senantiasa membuat mereka ridha dengan melakukan apa yang mereka inginkan, selama hal itu tidak mendurhakai Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana yang telah disebutkan.

Merendahkan Diri di Hadapan Keduanya

Tidak boleh mengeraskan suara melebihi suara kedua orang tua atau di hadapan mereka berdua. Tidak boleh juga berjalan di depan mereka, masuk dan keluar mendahului mereka, aau mendahului urusan mereka berdua. Rendahkanlah diri di hadapan mereka berdua dengan cara mendahulukan segala urusan mereka, membentangkan dipan untuk mereka, mempersilakan mereka duduk di tempat yang empuk, menyodorkan bantal, janganlah mendului makan dan minum, dan lain sebagainya.

Berbicara Dengan Lembut Di Hadapan Mereka

Berbicara dengan lembut merupakan kesempurnaan bakti kepada kedua orang tua dan merendahkan diri di hadapan mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“… Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al Israa’: 23)Oleh karena itu, berbicaralah kepada mereka berdua dengan ucapan yang lemah lembut dan baik serta dengan lafazh yang bagus.

Meyediakan Makanan Untuk Mereka

Menyediakan makanan juga termasuk bakti kepada kedua orang tua, terutama jika ia memberi mereka makan dari hasil jerih payah sendiri. Jadi, sepantasnya disediakan untuk mereka makanan dan minuman terbaik dan lebih mendahulukan mereka berdua daripada dirinya, anaknya, dan istrinya.

Meminta Izin Kepada Mereka Sebelum Berjihad dan Pergi Untuk Urusan Lainnya

Izin kepada orang tua diperlukan untuk jihad yang belum ditentukan. Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan bertanya: “Ya, Rasulullah, apakah aku boleh ikut berjihad?” Beliau balik bertanya: “Apakah kamu masih mempunyai kedua orang tua?” Laki-laki itu menjawab: “Masih.”Beliau bersabda: “Berjihadlah (dengan cara berbakti) kepada keduanya.” (HR. Bukhari no. 3004, 972, dan Muslim no. 2549, dari Ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anhu)

Memberikan Harta Kepada Orang Tua Menurut Jumlah Yang Mereka Inginkan

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda kepada seorang laki-laki ketika ia berkata:“Ayahku ingin mengambil hartaku.” Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:“Kamu dan hartamu milik ayahmu.” (HR.Ahmad, II/2014, Au Dawud no.3530, dan Ibnu Majah no.2292, dari Ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini tertera dalam kitab Shahiihul Jaamino.1486)

Oleh sebab itu, hendaknya seseorang jangan bersikap bakhil (kikir) terhadap orang yang menyebabkan keberadaan dirinya, memeliharanya ketika kecil dan lemah, serta telah berbat baik kepadanya.


Sabtu, 09 Desember 2017

MENGENAL SYIRIK DAN TAUHID

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh


Kita sering dengar istilah syirik, namun banyak yg belum tahu apa itu syirik.
Mereka hanya tahu syirik itu menduakan Allah dan dosa yg tdk terampuni,
Tapi mereka belum paham makna menduakan Allah dan makna dosa yg tidak terampuni...

Apa maksud dari kata dosa yang tidak terampuni?
Maksudnya adalah bahwa dosa itu adalah raja dari segala dosa,
Dosa yg tertinggi dari sgala dosa yg kita ketahui selama ini,
Bahkan jika kita kumpulkan semua jenis dosa yg ada di bumi ini, tidaklah bisa menyamai dosa syirik,
Misalkan saja zina, rampok, mencuri smpai bahkan membunuh, semua itu dosa besar, tapi jika dibandingkan dengan dosa syirik, maka sungguh tidak ada apa2nya,
Disinilah makna syirik yg byk orang awwam sampaipun penuntut ilmu yg belum paham akan betapa besarnya konsekwensi dosa syirik.

Kenapa dosa syirik tidaklah begitu jadi perhatian utama dalam hal dosa?
Tapi lebih dominan kemasalah penipuan, korupsi, zina dan pembunuhan?
Karna dosa2 diatas selain syirik, berhubungan dengan intern antar sesama manusia, ini bukti bahwa kita rata2 condong kepada dunia dalam hal materialistis bukan kepada Allah.
Seakan2 Allah itu nomor dua atau bhkan wacana yg tidak pnting.
Bukankah orang yg melakukan dosa syirik tidak berhubungan dengan manusia?
Tapi hanya berhubungan dengan Allah.
Hingga keluar sebuah kalimat,
"Biarkan dia selama tidak mengganggu dan menyakiti orang lain...

...

Inilah bukti bahwa betapa byk manusia yg tidak paham bahkan sama sekali tdk tahu apa itu syirik.
Mari kita simak sepenggal cerita beberapa anak santri yg bertahun-tahun belajar tauhid, tetapi merasa jenuh karna selama bertahun-tahun hanya dominan tauhid saja yg di pelajari.
Lalu akhirnya mengkritisi sang guru agar tdk itu2 saja, tauhid lagi, tauhid lagi dan tauhid melulu.
Maka sang guru mengalah, sang guru lalu bercerita kalo dikampung sebelah ada seorang ayah menzinai anak kandungnya,
Betapa marah dan geramnya para santri2 itu sambil berdiri hendak marah.
Tak sampai disitu, sang guru lalu bercerita bahwa dikampung sebelahnya lagi ada seorang bapak yg menyembelih kambing untuk dipersembahkan kepada tuhan selain Allah,
Apa reaksi para santri itu? Mereka hanya bersikap biasa saja, padahal bila dibandingkan antara dosa berzina dgn menyembelih selain Allah,
Sungguh dosa menyembeli selain Allah adalah syirik akbar, mengalahkan dosa seorang bapak yg menzinai anak kandungnya,

Nb: ingat, jgn salah paham, jgn sampai kita pandang enteng dosa zina...

Maka sang gurupun melanjutkan kalo tauhid ini, bahwasanya para santri2nya belum paham apa itu tauhid...

...

Apakah dosa syirik bisa diampuni? Jawabnya bisa asal dia tobat sebelum dia meninggal dunia sbagaimana firman Allah...

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (53)

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Az Zumar: 53)

ayat diatas mewakili firman2 Allah yg lainnya tentang semua dosa tanpa pengecualian akan diampuni jika dia mau bertaubat termasuk syirik kecil dan syirik besar.

...

Bagaimana dengan perkataan yg begitu populer kalo dosa syirik tidak diampuni...
Maka jawabnya adalah, itu jika dia meninggal sedangkan dia masih melakukan kesyirikan dan masih menyimpan keyakinan2 syirik.
Sebagaimana firman Allah...

                 إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa’: 48)

ayat ini berlaku ketika seseorang telah meninggal dunia, dimana dia tdk sempat bertaubat dari segala dosa-dosa syiriknya, sedangkan selain dosa syrik Allah menggunakan dua opsi,
Kalo tidak diampuni, maka dihukum dulu baru masuk surga.

...

Ada pertanyaan lagi yg umum, kenapa para ulama salaf bgitu gencar-gencarnya mendakwahkan tauhid?
Bukankah orang lain yg syirik dia jg yg masuk neraka,
Ngapain urus mereka, bukankah lebih pantas mengurus mereka yg suka berzina, suka menyakiti orang lain, suka nipu, korupsi dan lain2?
Maka jawabnya adalah...

1. Dakwah utama para nabi dan rasul adalah tauhid, tidaklah Allah mengutus para nabi dan rasul kecuali untuk mengajak kepada tauhid!
Jika kita dengar sejarah para nabi yg umatnya diberi berbagai bencana, hujan banjir, taupan, badai pasir dan byk lagi, tahu kenapa?
Karena mereka menyembah selain Allah, mereka menyembah berhala.
Kecuali kaum nabi luth, bumi pijakan mereka dibalik karna homosexual yg dihalalkan.

2. Kecintaan para ulama kepada umat muslim.

"Dari Abu Hamzah Anas bin Malik, khadim (pembantu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau berkata, “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya”
(HR Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya)

3. Karna syirik, maka bencana merata...

Allah berfirman (yang artinya),
“Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan umat-umat sebelum kalian ketika mereka berbuat kezhaliman,
padahal para rasul telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka sama sekali tidak mau beriman.
Demikianlah Kami membalas orang-orang yang berbuat dosa.
Kemudian, Kami menjadikan kalian sebagai pengganti-pengganti mereka di muka bumi supaya Kami memperhatikan bagaimana kalian berbuat.”
(QS. Yunus: 13-14)

Tidaklah suatu kezhaliman dilakukan melainkan akan menimbulkan bencana. Dan sebesar-besar kezhaliman yang dilakukan seorang hamba adalah menyekutukan Allah (Syirik).

...

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالَّذِيْ نَفْسِي بِيَدِهِ، لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ، وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، أَوْ لَيُوْشِكُنَّ اللهُ يَبْعَثُ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ، ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَ يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ

“Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Kamu harus melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Atau jika tidak, Allah bisa segera menimpakan azab dari sisi-Nya dan ketika kamu berdo’a tidak dikabulkan-Nya.”
(HR. Ahmad dan Tirmidzi).

"Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya"
(Qs. Al-Anfal 25)

4. Tersebarnya kesyirikan dan lama-lama dianggap hal biasa.
Sedangkan gencar"nya para ulama salaf mendakwahkan tauhid, namun kesyirikan tetap semakin meraja lela hingga lama" menjadi hal yg dianggap biasa.

...

5. Tugas utama iblis.
Kita tahu? Apa jenjang iblis dalam menggoda manusia?
Yg utama adalah syirik, lalu bid'ah kemudian dosa-dosa besar lainnya.
Kalo kita telah melakukan kesyirikan, maka iblis gak perlu menggoda pada dosa" lainnya, bahkan tdk melarang kita untuk ibadah, bahkan dia menyuruh kita ibadah, karna iblis tahu, ibadah kita tdk akan pernah diterima selama kita dalam kesyirikan.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan" (Al An’am: 88).

6. Benteng dari musuh2 islam.

"Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).
Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah.
Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong" (Q.S. An-Nisaa [4]: 89)

NB: Mohon jangan gagal paham dengan kalimat TAWAN DAN BUNUHLAH MEREKA,
ayat ini turun dimasa peperangan antara nabi dan orang2 kafir, berlaku dgn 2 syarat, yaitu :
a. Jika dia mengajak kamu pada kekafiran,
b. Berada dilingkungan yg menerapkan hukum islam. Jadi jelas, ini tidak berlaku di Indonesia.

...

7. Kesyirikan ataupun kekafiran menjauhkan kita dari pertolongan Allah, dan musuh" islam hendak membuat kita jadi kafir,

"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.
Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu"
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 120)

Allahu a’lam bish shawab.
Wassalamù'alaíkùm warahmatullaahi wabarakaatuh


Sabtu, 11 November 2017

KEJUJURAN PEMBUKA SELURUH AKHLAK MULIA

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh


Alhamdulillahi Rabbil'alamiin 

Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad 


🌹MAKNA KEJUJURAN 

Asal arti kata ash-shidq (kejujuran) adalah kabar yang bersesuaian dengan kenyataan.

Ash-shidq terdapat pada kabar atau berita. Apabila Anda mengabarkan tentang sesuatu dan kabar tersebut sesuai dengan kejadian sesungguhnya, dikatakan bahwa kabar tersebut jujur. Misalnya, pada hari Ahad Anda mengatakan, “Hari ini hari Ahad”, maka kabar Anda benar. Namun, jika Anda mengatakan, “Hari ini hari Senin”, kabar Anda dusta. Kesimpulannya, jika kabar sesuai dengan realitas yang sesungguhnya, dikatakan sebagai kabar jujur; dan jika tidak, dikatakan sebagai kabar dusta.

Ash-shidq juga terdapat pada ucapan dan perbuatan, yaitu ketika keadaan batin seseorang bersesuaian dengan keadaan lahirnya. Dia mengamalkan sesuatu yang bersesuaian dengan isi hatinya. Oleh karena itu, orang yang berlaku riya’ bisa dikatakan sebagai orang yang tidak jujur. Sebab, dia menampakkan diri di hadapan orang lain sebagai orang yang beribadah kepada Allah, padahal kenyataannya tidak demikian.

Seorang yang musyrik (melakukan kesyirikan) kepada Allahsubhanahu wa ta’ala juga bukan orang yang jujur, karena ia menampakkan diri sebagai orang yang bertauhid, padahal kenyataannya tidak demikian.

Begitu juga halnya orang-orang munafik. Mereka tidak jujur karena menampakkan keimanan, padahal bukan orang-orang yang mukmin.

Seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) juga bukan orang yang jujur. Sebab, ia menampakkan diri mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal pada kenyataannya ia bukan orang yang mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kejujuran adalah salah satu sifat orang-orang yang beriman. Sebaliknya, kedustaan adalah salah satu sifat kaum munafik. (Syarh Riyadhus Shalihin “Bab ash-Shidq”, karya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah )

Kejujuran adalah satu sifat yang telah diperintahkan oleh Allahsubhanahu wa ta’ala, sebagaimana termaktub di dalam al-Qur’anul Karim. Allah subhanahu wa ta’ala juga memuji orang-orang yang memiliki sifat jujur.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur.” (at-Taubah: 119)

Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan pahala yang besar bagi orang-orang yang memiliki sifat jujur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintah umat beliau agar berhias dengan kejujuran karena kejujuran menjadi pembuka dan sarana menuju seluruh akhlak mulia.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, kejujuran itu akan membimbing kepada kebaikan, dan sungguh, kebaikan itu akan membimbing ke surga.”

Kejujuran adalah tanda keislaman, timbangan keimanan, pokok agama, dan tanda kesempurnaan seseorang yang memiliki sifat tersebut. Dengan kejujuran, seorang hamba memiliki kedudukan yang tinggi, baik dalam urusan agama maupun urusan dunia. Dengan kejujuran pula, dia akan mencapai kedudukan orang-orang yang mulia.

Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan tentang para pelaku kebaikan dan memuji mereka atas kebaikan amalan mereka, yaitu amalan iman, Islam, sedekah, dan kesabaran, dengan menyebut mereka sebagai golongan orang yang jujur.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Bukanlah menghadapkan wajah kalian ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janji apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang jujur (keimanannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (al-Baqarah: 177)

Dengan kejujuran pula, seorang hamba akan selamat dari berbagai kejelekan. Keberuntungan yang besar didapatkan oleh orang-orang yang memiliki sifat jujur.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kejujuran mereka.” Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar." (al-Maidah: 119)

🌹 KEJUJURAN ADALAH KETENANGAN, KEDUSTAAN ADALAH KEBIMBANGAN

Orang yang jujur adalah orang yang tepercaya dalam mengemban setiap amanah, baik yang berkaitan dengan harta benda, hak-hak, maupun rahasia-rahasia. Orang yang jujur akan mendapatkan ketenteraman hati.

Barang siapa senantiasa menjaga kejujuran ucapannya, baik ketika memerintah dan melarang, ketika membaca al-Qur’an dan berzikir, maupun ketika memberi dan menerima, ia akan tercatat di sisi Allah dan di sisi manusia sebagai orang yang jujur, dicintai, dimuliakan, dan tepercaya. Persaksiannya adalah kebaikan, hukumnya penuh keadilan, berbagai muamalahnya dipenuhi kemanfaatan, dan majelisnya dipenuhi keberkahan.

Orang yang jujur pada setiap amalannya ialah yang terjauhkan dari riya’ dan sum’ah (mencari popularitas). Yang dia inginkan dari amalannya hanyalah wajah Allah subhanahu wa ta’ala semata. Demikian pula seluruh aktivitasnya, ia tidak menginginkan darinya berbagai bentuk makar dan tipu daya.

Dengan kejujuran, seseorang tidak akan mengharapkan balasan selain dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dia akan tegas menyuarakan kebenaran sekalipun pahit dirasakan. Orang yang berlaku jujur tidak akan terpengaruh oleh celaan orang-orang.

Seorang mukmin yang terhiasi akhlak kejujuran tidak akan berdusta. Tidaklah ia berkata selain kebaikan. Ketenteraman hati dan ketenangan sikap terpancar dari hamba yang senantiasa berlaku jujur.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu. Kejujuran adalah ketenangan, sedangkankedustaan adalah kebimbangan.” (HR. at-Tirmidzi, beliau mengatakan, “Hadits shahih”; dari al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma)

🌹 PENGARUH KEJUJURAN DAN PENGARUH KEDUSTAAN

Kejujuran dalam bertutur kata dan berbuat menyebabkan diterimanya sebuah perkataan.

Disebutkan dalam hadits riwayat al-Bukhari rahimahullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kaum musyrikin, “Bagaimana pendapat kalian kalau aku kabarkan kepada kalian bahwa di balik bukit ini ada pasukan berkuda yang akan menyerbu, apakah kalian membenarkan perkataanku?” Mereka menjawab, “Ya, kami belum pernah mendengarmu berdusta.” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya “Kitab at-Tafsir”, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu)

Kaisar Heraklius bertanya kepada kaum musyrikin Makkah (di antaranya Abu Sufyan yang ketika itu belum masuk Islam) tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah dahulu kalian menuduhnya berdusta sebelum ia (Muhammad) menyampaikan apa yang ia sampaikan?”

Abu Sufyan menjawab, “Tidak.”

Kaisar Heraklius mengatakan, “Sungguh, aku mengetahui, tidak mungkin ia meninggalkan perkataan dusta terhadap manusia lantas berani berdusta terhadap Allah subhanahu wa ta’ala.” (HR. al-Bukhari, “Kitab at-Tafsir”, “Bab surat Ali ‘Imran: 64”)

Sebaliknya, kedustaan menyebabkan ditolaknya sebuah perkataan, sekalipun benar. Minimalnya, perkataan tersebut akan diragukan.

Karena pengaruh kedustaan, seseorang digolongkan sebagai orang fasik, sebagaimana halnya firman Allah subhanahu wa ta’ala,

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian itu.” (al-Hujurat: 6)

🌹 PENGARUH KEDUSTAAN TAMPAK PADA WAJAH-WAJAH PENDUSTA

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka. Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kalian.” (Muhammad: 30)

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menerangkan ayat ini, “Maksudnya, dengan tanda-tanda yang ada pada wajah mereka. Adalah kelaziman apabila isi hati mereka diungkapkan oleh lisan mereka. Lisan adalah gayungnya hati. Pada lisan tersebut akan tampak isi hati, baik kebaikan maupun kejelekan.” (Taisirul Karimir Rahman, asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah )

🌹 KEDUSTAAN TERMASUK SIFAT-SIFAT KEMUNAFIKAN 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa "tanda-tanda orang munafik ada tiga : jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika dipercaya ia berkhianat." (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Selain itu, kedustaan akan menghilangkan keberkahan, sedangkan kejujuran akan membuahkan keberkahan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Penjual dan pembeli memiliki hak untuk menentukan pilihan selama keduanya belum berpisah dari tempat transaksi. Jika keduanya berlaku jujur (pada sifat barang) dan menjelaskan (seandainya ada cacat pada barang), niscaya transaksi jual beli tersebut diberkahi. Akan tetapi, kalau keduanya berdusta dan menyembunyikan cacat (barang dagangan), akan dihilangkan keberkahan transaksi jual beli tersebut.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Demikian beberapa pengaruh kejujuran dan kedustaan, dan masih banyak pengaruh lainnya. Kesimpulannya, akhlak kejujuran adalah pembuka dan sarana menuju seluruh akhlak kebaikan, sedangkan kedustaan adalah sarana menuju berbagai bentuk kerusakan akhlak.

Wallahu a’lam bish shawab


Senin, 23 Oktober 2017

MISKIN TAPI KAYA

بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــــمِ 

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


Imam As-Syafii rahimahullah berkata :

إِذَا مَا كُنْتَ ذَا قَلْبٍ قَنُوْعٍ ..... فَأَنْتَ وَمَالِكُ الدُّنْيَا سَوَاءُ

"Jika engkau memiliki hati yang selalu qona'ah…maka sesungguhnya engkau sama seperti raja dunia."

Qona'ah dalam bahasa kita adalah "nerimo" dengan apa yang ada. Yaitu sifat menerima semua keputusan Allah. Jika kita senantiasa merasa nerima dengan apa yang Allah tentukan buat kita, bahkan kita senantiasa merasa cukup, maka sesungguhnya apa bedanya kita dengan raja dunia. Kepuasan yang diperoleh sang raja dengan banyaknya harta juga kita peroleh dengan harta yang sedikit akan tetapi dengan hati yang qona'ah.

Bahkan bagitu banyak raja yang kaya raya ternyata tidak menemukan kepuasan dengan harta yang berlimpah ruah… oleh karenanya sebenarnya kita katakan "Jika Anda memiliki hati yang senantiasa qona'ah maka sesungguhnya Anda lebih baik dari seorang raja di dunia".

Kalimat qona'ah merupakan perkataan yang ringan di lisan akan tetapi mengandung makna yang begitu dalam. Sungguh Imam As-Syafi'i tatkala mengucapkan bait sya'ir diatas sungguh-sungguh dibangun di atas ilmu yang kokoh dan dalam.

Seseorang yang qona'ah dan senantiasa menerima dengan semua keputusan Allah menunjukkan bahwa ia benar-benar mengimani taqdir Allah yang merupakan salah satu dari enam rukun Iman.

Ibnu Batthool berkata :

وَغِنَى النَّفْسِ هُوَ بَابُ الرِّضَا بِقَضَاءِ اللهِ تَعَالىَ وَالتَّسْلِيْم لأَمْرِهِ، عَلِمَ أَنَّ مَا عِنْدَ اللهِ خَيْرٌ للأَبْرَارِ، وَفِى قَضَائِهِ لأوْلِيَائِهِ الأَخْيَارِ

"Dan kaya jiwa (qona'ah) merupakan pintu keridhoan atas keputusan Allah dan menerima (pasrah) terhadap ketetapanNya, ia mengetahui bahwasanya apa yang di sisi Allah lebih baik bagi orang-orang yang baik, dan pada ketetapan Allah lebih baik bagi wali-wali Allah yang baik" [📚Syarh shahih Al-Bukhari]

Orang yang qona'ah benar-benar telah mengumpulkan banyak amalan-amalan hati yang sangat tinggi nilainya. Ia senantiasa berhusnudzon kepada Allah, bahwasanya apa yang Allah tetapkan baginya itulah yang terbaik baginya. Ia bertawakkal kepada Allah dengan menyerahkan segala urusannya kepada Allah, sedikitnya harta di tangannya tetap menjadikannya bertawakkal kepada Allah, ia lebih percaya dengan janji Allah daripada kemolekan dunia yang menyala di hadapan matanya.

Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata ;

إِنَّ مِنْ ضَعْفِ يَقِيْنِكَ أَنْ تَكُوْنَ بِمَا فِي يَدِكَ أَوْثَقُ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِ اللهِ

"Sesungguhnya diantara lemahnya imanmu engkau lebih percaya kepada harta yang ada di tanganmu dari pada apa yang ada di sisi Allah" [📚Jami'ul 'Uluum wal hikam 2/147]

Orang yang qona'ah tidak terpedaya dengan harta dunia yang mengkilau, dan ia tidak hasad kepada orang-orang yang telah diberikan Allah harta yang berlimpah. Ia qona'ah… ia menerima semua keputusan dan ketetapan Allah. Bagaimana orang yang sifatnya seperti ini tidak akan bahagia..???!!!

Allah berfirman :

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baikdan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [📑QS. An-Nahl : 97]

Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata :الحَيَاةُ الطَّيِّبَةُ الْقَنَاعَةُ Kehidupan yang baik adalah qona'ah." [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thobari dalam 📚tafsirnya 17/290]

Renungkanlah bagaimana kehidupan orang yang paling bahagia yaitu Nabi kita shallallahu 'alahi wa sallam…sebagaimana dituturkan oleh Aisyah radhiallahu 'anhaa :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ لِعُرْوَةَ ابْنَ أُخْتِي إِنْ كُنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى الْهِلَالِ ثُمَّ الْهِلَالِ ثَلَاثَةَ أَهِلَّةٍ فِي شَهْرَيْنِ وَمَا أُوقِدَتْ فِي أَبْيَاتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَارٌ فَقُلْتُ يَا خَالَةُ مَا كَانَ يُعِيشُكُمْ قَالَتْ الْأَسْوَدَانِ التَّمْرُ وَالْمَاءُ إِلَّا أَنَّهُ قَدْ كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِيرَانٌ مِنْ الْأَنْصَارِ كَانَتْ لَهُمْ مَنَائِحُ وَكَانُوا يَمْنَحُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَلْبَانِهِمْ فَيَسْقِينَا

Aisyah berkata kepada 'Urwah, "Wahai putra saudariku, sungguh kita dahulu melihat hilal kemudian kita melihat hilal (berikutnya) hingga tiga hilal selama dua bulan, akan tetapi sama sekali tidak dinyalakan api di rumah-rumah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam". Maka aku (Urwah) berkata, "Wahai bibiku, apakah makanan kalian?", Aisyah berkata, "Kurma dan air", hanya saja Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki tetangga dari kaum Anshoor, mereka memiliki onta-onta (atau kambing-kambing) betina yang mereka pinjamkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk diperah susunya, maka Rasulullahpun memberi susu kepada kami dari onta-onta tersebut" [📓HR Al-Bukhari no 2567 dan Muslim no 2972]

Dua bulan berlalu di rumah Rasulullah akan tetapi tidak ada yang bisa dimasak sama sekali di rumah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Makanan beliau hanyalah kurma dan air.

Rumah beliau sangatlah sempit sekitar 3,5 kali 5 meter dan sangat sederhana. 'Athoo' Al-Khurosaani rahimahullah berkata : "Aku melihat rumah-rumah istri-istri Nabi terbuat dari pelepah korma, dan di pintu-pintunya ada tenunan serabut-serabut hitam. Aku menghadiri tulisan (keputusan) Al-Waliid bin Abdil Malik (khalifah tatkala itu) dibaca yang memerintahkan agar rumah istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dimasukan dalam areal mesjid Rasululullah. Maka aku tidak pernah melihat orang-orang menangis sebagaimana tangisan mereka tatkala itu (karena rumah-rumah tersebut akan dipugar dan dimasukan dalam areal mesjid). Aku mendengar Sa'iid bin Al-Musayyib berkata pada hari itu :

واللهِ لَوَدِدْتُ أَنَّهُمْ تَرَكُوْهَا عَلَى حَالِهَا يَنْشَأُ نَاشِيءٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ وَيَقْدُمُ الْقَادِمُ مِنَ الأُفُقِ فَيَرَى مَا اكْتَفَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ فِي حَيَاتِهِ فَيَكُوْنُ ذَلِكَ مِمَّا يُزَهِّدُ النَّاسَ فِي التَّكَاثُرِ وَالتَّفَاخُرِ

"Sungguh demi Allah aku sangat berharap mereka membiarkan rumah-rumah Rasulullah sebagaimana kondisinya, agar jika muncul generasi baru dari penduduk Madinah dan jika datang orang-orang dari jauh ke kota Madinah maka mereka akan melihat bagaimana kehidupan Rasulullah, maka hal ini akan menjadikan orang-orang mengurangi sikap saling berlomba-lomba dalam mengumpulkan harta dan sikap saling bangga-banggaan" [📚At-Tobaqoot Al-Kubroo li Ibn Sa'ad 1/499]

Orang-orang mungkin mencibirkan mulut tatkala memandang seorang yang qona'ah yang berpenampilan orang miskin.., karena memang ia adalah seorang yang miskin harta. Akan tetapi sungguh kebahagiaan telah memenuhi hatinya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

"Bukanlah kekayaan dengan banyaknya harta benda, akan tetapi kekayaan yang haqiqi adalah kaya jiwa (hati)" [📓HR Al-Bukhari no 6446 dan Muslim no 1050]

Ibnu Battool rahimahullah berkata, "Karena banyak orang yang dilapangkan hartanya oleh Allah ternyata jiwanya miskin, ia tidak nerimo dengan apa yang Allah berikan kepadanya, maka ia senantiasa berusaha untuk mencari tambahan harta, ia tidak perduli dari mana harta tersebut, maka seakan-akan ia adalah orang yang kekurangan harta karena semangatnya dan tamaknya untuk mengumpul-ngumpul harta. Sesungguhnya hakekat kekayaan adalah kayanya jiwa, yaitu jiwa seseorang yang merasa cukup (nerimo) dengan sedikit harta dan tidak bersemangat untuk menambah-nambah hartanya, dan nafsu dalam mencari harta, maka seakan-akan ia adalah seorang yang kaya dan selalu mendapatkan harta" [📚Syarh Ibnu Batthool terhadap Shahih Al-Bukhari]

Abu Dzar radhiallahu 'anhu menceritakan bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepadanya :

يَا أَبَا ذَر، أَتَرَى كَثْرَةَ الْمَالِ هُوَ الْغِنَى؟ قُلْتُ : نَعَمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ : أَفَتَرَى قِلَّةِ الْمَالِ هُوَ الْفَقْرُ؟ قُلْتُ : نَعَمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ. قال : إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْبِ وَالْفَقْرُ فَقْرُ الْقَلْبِ

"Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang banyaknya harta merupakan kekayaan?". Aku (Abu Dzar) berkata : "Iya Rasulullah". Rasulullah berkata : "Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta merupakan kemiskinan?", Aku (Abu Dzar ) berkata, "Benar Rasulullah". Rasulullahpun berkata : "Sesungguhnya kekayaan (yang hakiki-pen) adalah kayanya hati, dan kemisikinan (yang hakiki-pen) adalah miskinnya hati" [📓HR Ibnu Hibbaan dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam shahih At-Targiib wa At-Tarhiib no 827]

Maka orang yang qona'ah meskpun miskin namun pada hakikatnya sesungguhnya ialah orang yang kaya.

Wallahu a'lam...

SESUATU YANG LEBIH BESAR DARIPADA FITNAH DAJJAL

۞﷽۞

╭⊰✿️•┈•┈•⊰✿ৡৢ˚❁🕌❁˚ৡ✿⊱•┈•┈•✿️⊱╮

SESUATU YANG LEBIH BESAR DARIPADA FITNAH DAJJAL

•┈┈•⊰✿┈•ৡৢ❁˚🌹🌟🌹˚❁ৡ•┈✿⊱•┈┈•

                              ╭⊰✿ •̩̩̩͙े༊


بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــــمِ

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


===================================


Fitnah Dajjal adalah fitnah terbesar semenjak Allah Ta’ala  menciptakan Adam sampai hari kiamat. Keluarnya Dajjal termasuk di antara rangkaian tanda-tanda besar munculnya hari kiamat. Allah Ta’ala menciptakannya disertai beberapa kemampuan di luar kemampuan manusia biasa. Hal tersebut menjadikan akal terkagum-kagum sehingga menjadi bingunglah sebagian manusia yang melihatnya.

Telah diriwayatkan dalam hadits shahih bahwasannya Dajjal membawa kebun dan api. Apinya adalah kebun sedangkan kebunnya adalah api. Dia peritahkan langit untuk menurunkan hujan dan menyuruh bumi agar menumbuhkan berbagai tumbuhan.

Dajjal telah menutup kebenaran dengan kebathilan serta menutup kekufurannya dengan kebohongan. Kemampuannya yang hebat tersebut menimbulkan kerancuan yang membingungkan akal, sehingga membuat sebagian manusia tertipu darinya.

Besarnya fitnah yang disebabkan Dajjal menyebabkan hal tersebut menjadi perbincangan para sahabat. Mereka khawatir dan takut fitnah tersebut menimpanya. Tatkala Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam  menjumpai mereka dalam keadaan demikian, ia kabarkan suatu hal yang jauh lebih beliau khawatirkan daripada fitnah Dajjal!. “Maukah aku kabarkan suatu hal yang lebih aku takutkan menimpa kalian daripada Al Masiih Ad Dajjal? Tentu Wahai Rasulullah, jawab para sahabat. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam  melanjutkan, Hal tersebut adalah Syirik Khafiy (Syirik yang tersamar)” 📙(HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Dalam riwayat lain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda, “Sesuatu yang paling aku takutkan menimpa kalian (para sahabat) adalah syirik asghar. Para Sahabat bertanya apa itu? Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, Riya” 📙(HR. Ahmad dan Baihaqi).


 Pengertian Riya

Riya adalah seseorang memperbagus dan menghiasi ibadah yang dia lakukan, agar orang lain melihatnya. Tujuannya adalah pujian dan sanjungan manusia atau maksud lain yang semisal (I’anatul Mustafiid hal. 646). Jadi maksud pembahasan riya di sini fokus pada Ibadah yang asas pokoknya adalah keikhlasan untuk mendapatkan ridha Allah Ta’ala. Orang yang riya berarti ia memalingkan asas tersebut dengan tidak semata-mata mengharapkan ridha Allah atas ibadah yang dilakukan, sehingga perbuatan itu termasuk kesyirikan.

Perbuatan riya termasuk Syirik Khafiy (tersamar) yang menjangkiti niat dan tujuan pelakunya, meskipun secara dzahir dia beribadah kepada Allah Ta’ala. Termasuk jenis Syirik Khafiy adalah sum’ah, yaitu seseorang beribadah agar manusia mendengarkannya. Syaikh ibnu utsaimin rahimahullah dalam kitab Al Qoul Al Mufiid mengatakan termasuk beribadah dengan tujuan ingin dilihat manusia adalah seseorang beribadah agar manusia mendengarkannya. Pelakunya disebut musammi’ (orang yang melakukan sum’ah).

Riya dan Sum’ah keduanya adalah perbuatan syirik. Memiliki kesamaan dalam tujuan ibadah, yaitu sebatas mengharapkan pujian atau sanjungan manusia. Adapun perbedaannya terdapat pada jenis ibadah yang dilakukan. Riya menjangkiti ibadah badan contoh memperbagus shalat dihadapan orang lain, sedangkan sum’ah menjangkiti ibadah lisan semacam memperindah bacaan Al Quran di hadapan manusia.


 Pembagian dan Hukum Riya

Hukum asal riya adalah Syirik Asghar (syirik kecil) yang tidak mengeluarkan pelakunya dari islam. Namun apabila riya  dilakukan di seluruh amal ibadah, dia sama sekali tidak mengharapkan ridha Allah Ta’ala  di setiap ibadahnya serta tujuan dari seluruh ibadahnya hanya untuk diterima masyarakat atau agar harta dan darahnya terjaga, maka yang semisal ini adalah perbuatan riya orang munafik. Dan ini termasuk kedalam Syirik Akbar (Syirik besar yang mengeluarkan dari Islam).

Allah Ta’ala berfirman (artinya), “Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, maka Allah membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri untuk sholat, mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud untuk dilihat orang (Riya), tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit” (QS. An Nisa: 142). (I’anatul Mustafiid).


 Bahaya Riya

↔*Riya Termasuk Perbuatan Syirik*

Setiap dosa yang dilakukan manusia memiliki tingkatan. Dosa terbesar yang dilarang syariat adalah kesyirikan, dan riya termasuk syirik asghar. Sehingga tatkala seseorang melakukan riya, berarti ia telah melakukan perbuatan dosa yang jauh lebih berbahaya, lebih berdosa, dan lebih mengerikan ancaman siksaanya dibandingkan zina, riba, mencuri, atau minum khamr.


Dosa Riya Tidak Diampuni

Allah Ta’ala berfirman (artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa (tingkatannya) di bawah syirik, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar” (QS. An Nisa: 48).

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berjumpa dengan Allah Ta’ala dalam keadaan tidak menyekutukanNya (syirik) dengan sesuatu apapun maka dia akan masuk surga. Barangsiapa berjumpa dengan Allah dalam keadaan menyekutukanNya maka dia akan masuk neraka (HR. Muslim). Adapun pelaku riya  maka diancam dengan neraka (At Tamhiid).

Karena riya  termasuk kesyrikan, maka pelakunya tidak akan diampuni kecuali dengan taubat yang sebenar-benarnya sebelum pintu taubat ditutup.

Riya Menghapus Amalan yang tercampurinya.
Dalam hadits qudsiy  diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala  berfirman (artinya), “Aku adalah dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa beramal dan dia menyekutukan Aku dengan sesuatu yang lain (dalam amalnya), maka Aku akan tinggalkan dia dengan amalannya” (HR. Muslim).


↔_Termasuk Syirik Khafiy

Riya disifati sebagai perbuatan syirik khafiy (samar) yang menjangkiti hati dan tujuan pelakunya. Perbuatan syirik ini tersamar karena tidak ada yang mengetahui kandungan hati seseorang kecuali Allah Ta’ala  (Al Qoul Al Mufiid). Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengkhawatirkan para sahabatnya terhadap riya, padahal mereka memiliki tingkat keimanan yang tinggi dan merupakan sebaik-baik manusia setelah para Nabi dan Rasul. Maka kita generasi yang jauh dari masa sahabat harus lebih takut terkena riya dan waspada darinya.


↔ Lebih Berbahaya Daripada Fitnah Dajjal

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam lebih mengkhawatirkan riya menjangkiti para sahabatnya, karena keikhlasan dalam ibadah adalah perkara yang sangat sulit. Sebagian salaf (orang shalih terdahulu) berkata, “Tidaklah aku curahkan segenap kemampuanku sebesar perjuanganku untuk mengikhlashkan amal” (Al Qoul Al Mufiid).

Fitnah riya sebabnya samar dan dapat menjangkiti siapapun, baik ia seorang ulama ataupun orang biasa. Kecuali bagi orang yang mendapatkan rahmat dan pertolongan dari Allah Ta’ala. Sedangkan fitnah Dajjal kelak dengan izin Allah Ta’ala tidak akan berpengaruh pada orang-orang beriman.


 Beberapa Contoh Perbuatan Riya

❌ Memperbagus ibadah di hadapan manusia agar dapat predikat sebagai ahli ibadah.

❌ Mengunggah foto saat berdo’a di depan ka’bah agar orang-orang tau dirinya baru pulang haji atau umrah.

❌ Merendahkan dirinya di hadapan manusia dengan tujuan agar mendapat pujian sebagai orang yang tawadhu.


 Di antara cara mengobati Riya

Beberapa kiat untuk mengobati riya (Tauhid Muyassar dan beberapa tambahan)

✔ Mengingat keutamaan orang-orang yang berbuat ikhlas yang syaithan tidak akan mampu menyesatkan.

✔ Bersungguh-sungguh dalam mengikhlaskan amal, tidak merasa nyaman ketika di pertengahan amal tertimpa penyakit riya¸ bahkan segera meninggalkan perasaan riya tersebut.

✔ Mengingat keagungan Allah Ta’ala karena Ia tidak membutuhkan amalan hambaNya.

✔ Mengingat berbagai dampak negatif dan bahaya riya.

✔ Mengingat negeri akhirat, kematian, siksa kubur, dan gelapnya kubur serta siksa neraka.

✔ Meyakini bahwasannya ridha manusia tidak dapat mendatangkan manfaat maupun bahaya baginya.

✔ Berdo’a kepada Allah Ta’ala  dengan doa yang dituntunkan, “Allahumma inni a’uudzubika an usyrika bika syaian wa ana a’lamu wa astaghfiruka limaa laa a’alamu” Artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui (sadari) 

📙(HR al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad” dari Abu Ya’la).


 Tanda-Tanda Keikhlasan

✔✔ Suka menyembunyikan amalan yang tidak perlu untuk ditampakkan.

Allah Ta’ala  berfirman (artinya) “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Baqarah : 271)

✔✔ Selalu menuduh diri kita dengan kekurangan.

Tidak memuji dirinya sendiri apabila dia dapati kebaikan padanya.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mendapatkan kebaikan hendaknya ia memuji Allah. Dan barangsiapa yang menjumpai selain itu, janganlah ia mencela kecuali kepada dirinya sendiri” (HR. Muslim)

✔✔ Tidak menanti balasan dan ucapan terima kasih dari orang lain, karena yang diharapkannya hanya Wajah Allah Ta’ala.

“Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhoan Allah, kami tidak mengharapkan balasan darimu dan tidak pula ucapan terima kasih” (QS. Al Insan: 9).

✔✔ Sikapnya sama saja ketika mendapat pujian atau celaan. Apabila dipuji tidak menambah kerajinannya dan jika dicela tidak mengendorkan dirinya dari beramal.


 Penutup 

Riya adalah penyakit yang muncul karena kejahilan hati. Penyakit ini sulit untuk ditinggalkan, karena sudah menjadi tabi’at manusia mencintai pujian. Padahal hakikat dari pujian manusia kebanyakan adalah tipuan. Bagaimana bisa anda dipuji sebagai orang shalih? Padahal ketika anda sendirian anda bermaksiat kepadaNya.

Mengikhlaskan amalan adalah sebuah kewajiban. Suatu amal tidak akan diterima tatkala tercampuri padanya riya, meskipun dalam prosentase 0.00001 %.

Meskipun demikian kita harus meyakini bahwasannya tidaklah kewajiban datang kecuali kita memiliki kesanggupan untuk melaksanakannya. Karena Allah Ta’ala tidak membebankan kewajiban di luar batas kemampuan seseorang. Dengan bersikap pertengahan mari kita berusaha untuk selalu waspada terhadap bahaya riya.


Wallahu muwaffiq


Rabu, 11 Oktober 2017

ASA DIANGKASA HATI TIDAK MEMBUMI

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh


إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya dan meminta pertolongan, pengampunan, dan petunjuk-Nya. 
Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan keburukan amal  kita. 
Barang siapa mendapat dari petunjuk Allah maka tidak akan ada yang menyesatkannya, dan barang siapa yang sesat maka tidak ada pemberi petunjuknya baginya. 
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. 
Ya Allah, semoga doa dan keselamatan tercurah pada Muhammad dan keluarganya, dan sahabat dan siapa saja yang mendapat petunjuk hingga hari kiamat.

*

Puji dan Syukur tak henti kita panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala yang tiada henti memberikan nikmat, berkah, dan hidayah-Nya kepada kita semua. Karena nikmat dan hidayah dari Allah berupa keimanan dan keislaman-lah yang membuat kita tetap kokoh berjalan di atas jalan Allah. 
Dan nikmat kesehatan dan kesempatan dari Allah pula sehingga hari ini kita dapat bersilaturahmi dalam rangka melaksanakan salah satu aktivitas yang merupakan kewajiban kita sebagai umat Islam, yakni menuntut ilmu.

*

Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, yang diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala ke muka bumi ini sebagai rahmatan lil alamiin, yang telah menggempur kesesatan dan mengibarkan panji-panji kebenaran, serta memperjuangkan islam hingga sampai kepada kita sebagai rahmat tak terperi dari Allah subhanahu wa ta’ala.

*

Sebagai seorang manusia wajar saja jika kita punya harapan dan cita-cita. 
Namun untuk mewujudkan semua itu bukankah kita harus berdoa dan Ikhtiar dengan sekuat tenaga untuk mewujudkan asa tersebut....?

Apakah kita bisa berhasil mewujudkannya jika kita tetap males-malesan... ?

*

Begitu pula dengan asa, harapan kita untuk menjadi hamba yang beruntung di akhirat kelak :
Untuk diampuni Allah... 
Untuk bisa masuk surga... 
Untuk terbebas dari api neraka....

Apakah kita akan begitu saja mendapatkan semua itu jika kita tetap terus berbuat dosa...? 
Jika kita tidak melaksanakan perintah Allah...? 
Dan bahkan jika kita selalu melanggar larangan Allah...?

Astaghfirullahal 'adziim waatubu ilaihi.

*

Salim Maula Ubay bin Ka’ab menasehatkan setelah dimintai oleh ‘Umar bin ‘Abdul 'Aziz, “Lantaran sebuah kesalahan yang dilakukannya, Adam dikeluarkan dari surga. 
Adapun kalian, mengerjakan banyak kesalahan, namun herannya kalian mengharapkan masuk surga.”

*

Inilah kelemahan terbesar kita, setelah tertipu untuk berbuat dosa, yaitu angan-angan hampa dan terbujuk prasangka yang melenakan.

*

Al Hasan Al Bashri mengingatkan,

“Ada sekelompok orang yang dilalaikan oleh angan-angan meraih ampunan Allah dan harapan menggapai rahmatNya, sampai-sampai mereka meninggal dunia tanpa membawa amal shalih. 
Salah seorang dari mereka mengatakan (dengan penuh optimisme),

“Saya berprasangka baik kepada Allah dan mengharapkan rahmatNya.”

*

Rupa-rupanya, mereka salah paham terhadap hadits berikut:

Rasulullah bersabda , “Seseorang tidak akan masuk surga karena amalnya.
” Para sahabat Nabi bertanya, “Tidak juga Anda wahai Rasulullah?” 
Rasulullah menjawab, “Tidak juga aku. Kecuali bila Allah menaungi diriku (juga kalian) dengan karunia dan rahmah (serta ampunan) Nya.

Maka berusahalah untuk beramal secara benar. 
Jika tidak bisa, berusahalah mendekati kebenaran. 
Berusahalah di waktu pagi, sore, dan sebagian waktu malam.
Bersikaplah pertengahan (antara berlebihan dan meremehkan).

Bersikaplah pertengahan. Niscaya kalian sampai ke tujuan. 
Janganlah salah seorang dari kalian mengangankan kematian. 
Karena bila ia orang baik, diharapkan ia menambah kebaikan. 
Dan jika ia orang yang buruk, diharapkan ia bisa memperbaiki diri.”

[Muttafaq ‘alaih]

*

Padahal sudah jelas, untuk bisa masuk surga, harus ada jaminan karunia, rahmah, dan ampunan Allah.

Dan agar mendapatkan ketiga jaminan itu, Rasulullah mensyaratkan untuk beribadah kepada Allah seoptimal mungkin dengan metode yang telah beliau tuntunkan.

*

Al Hasan Al Bashri memberikan kritik yang pedas, “Sungguh, ia telah berkata dusta. Kalau saja ia benar-benar berprasangka baik kepada Allah, tentulah ia sungguh-sungguh beramal ketaatan dengan bagus. Sekiranya ia benar-benar mengharap rahmah Allah, sudah pasti ia sungguh-sungguh mencarinya dengan amal-amal shalih. Besar kemungkinan akan binasa, musafir yang mengarungi padang sahara tanpa bekal dan air minum.”

[Al Bidayah wa An Nihayah 9/338]

*

Apa yang dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri ini sangat sesuai dengan firman Allah,

أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ ۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

“Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.”

[QS. Al-Araf : 99]

*

Yahya bin Mu’adz Ar Rozi turut menyindir sikap linglung ini, “Amal bagai fatamorgana, qalbu kosong dari takwa, dosa sebanyak butir pasir dan debu. Berharap gadis surga yang jelita. Alangkah jauhnya. Mustahil. Meski tidak minum khamr, engkau sedang mabuk. Alangkah sempurnanya engkau jika amalmu mendahului anganmu. 
Alangkah mulianya engkau jika amalmu mendahului ajalmu. Alangkah perkasanya engkau jika engkau menyelisihi hawa nafsu.”

[Shifah Ash Shafwah 4/92]

*
Sindiran ini mengingatkan kita pada ungkapan Rasulullah, “Barangsiapa ingin mengetahui apa yang akan ia terima di sisi Allah kelak, hendaklah ia melihat hak-hak Allah di sisinya (apa yang telah ia kerjakan).” 

[Sunan Ad-Daruquthni]

*

Alangkah tepatnya, tidak ada yang didapatkan di akhirat selain yang telah dilakukan di dunia.

Ingin tahu, kita menjadi penghuni surga ataukah penghuni neraka ? 
Marilah kita tengok saja apa yang telah kita perbuat.

*

Allah telah mengingatkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

[QS. Al-Hasyr: 18]

*

Rasulullah bahkan telah menyindir, dengan sindiran yang sangat halus namun mengena, “Saya tidak melihat hal yang lebih mengherankan daripada neraka. Orang-orang mengaku takut kepadanya, tapi masih saja bisa tidur nyenyak. Saya juga tidak melihat hal yang lebih mengherankan daripada surga. Orang-orang mengaku ingin memasukinya, tapi masih saja bisa tidur nyenyak.”

[Sunan At-Tirmidzi no. 2728]

*

Begitu seringnya kita menjadi bangkai di malam hari dan menjadi keledai di siang hari. 
Saat matahari hadir, kita masih seperti orang pandir. 
Saat bulan bersemayam, semangat qiyamul lail kerap padam.

Saat awan berkejaran, kita terus saja dalam kelalaian. 
Saat bintang temaram, dalam tidur, kita tenggelam. 
Laksana seonggok kayu yang tidak punya nyawa. 
Tidak tergerak untuk mempersembahkan penghambaan terbaik kepada Allah. Sementara harapan menjadi penghuni surga dan bebas dari neraka sangat tinggi.

*

Kiranya, patut kita simak syair Isma’il bin Qasim AI Baghdadi yang sangat populer,

“Engkau berharap keselamatan, namun engkau tidak menempuh jalannya. 
Adalah sebuah kemustahilan bahtera berlayar di daratan.”

[Al Bidayah wa An Nihayah 10/279]

*
Begitu pula, kita layak untuk menertawakan diri kita sendiri. Bagaimana tidak, kita seringkali menanti upah ibadah. 
Kita tidak sumringah, kalau ibadah kita tidak berbuah upah.

Kita berdakwah, tapi berharap dunia. 
Kita membaca Al-Qur’an, tapi berharap harta. 
Kita membangun masjid, tapi berharap ada kelebihan dana, lantas mengambilnya dengan dalih ganti keringat.

*

Padahal Rasulullah telah bersabda :  “Tidaklah orang yang berperang di jalan Allah kemudian ia mendapatkan harta rampasan perang (lalu mengambilnya untuk kepentingan diri dan kenikmatan dunia) kecuali ia telah mempercepat duapertiga pahala (yang mestinya didapat utuh) di akhirat sehingga masih tersisa sepertiga. 
Apabila tidak mengambil ghanimah semua pahala akan ia dapatkan.”

[Shahih Muslim no. 1906]

*

Bagaimana bisa kita akan meraih surga tertinggi yang kita idam-idamkan, dan terbebas dari neraka yang ganas, kalau ibadah saja masih terengah-engah, dosa saja masih nikmat terasa, dunia saja masih menjadi fokus asa, kepada Allah saja masih sering kita lupa?

lnilah kelemahan kita yang lain. 
Terbiasa dengan dosa-dosa yang dianggap remeh, sehingga tidak ada rasa takut akan adzabnya, atau mengira pasti segera diampuni Allah.

*

Rasulullah memberikan wejangan: “Jauhilah oleh kalian dosa-dosa yang dianggap remeh. 
Sesungguhnya dosa-dosa yang dianggap remeh itu seperti sebuah kaum yang singgah di sebuah lembah. 
Mereka semua mencari kayu bakar maka si A datang membawa sepotong kayu, si B datang membawa sepotong kayu, dan demikian juga yang lain.

Akhirnya dengan kayu-kayu yang terkumpul, mereka bisa memasak roti sampai matang. 
Sesungguhnya bila dosa-dosa yang dianggap remeh itu diberi hukuman oleh Allah, niscaya akan membinasakan pelakunya."

[Musnad Ahmad. Ash Shahihah no. 389; Shahih Al Jami’ no. 2866, 2867]

*

Demikianlah, bahwa kita adalah hamba Allah, kewajiban kita dalam hidup ini hanyalah mempersembahkan ibadah yang terbaik kepada Allah sesuai ketentuan dariNya dengan penuh cinta, pengagungan, dan asa.

*

Dan harus kita ingat bahwa :
Asa Tidak ada gunanya tanpa rahmah, ridha, maghfirah, dan karunia Allah.

*

Tidak perlu kita mengingat-ingat ibadah yang pernah kita sukses mengoptimalkan pelaksanaannya. 
Yang selalu kita ingat semestinya adalah keburukan kita, agar kita tidak ‘ujub dan lengah, agar semangat kita terjaga dan taubat tidak tersendat.

*

Biarlah Allah yang menilai seberapa bermutunya ibadah kita, dan biarlah kita sibuk dengan bertaubat dan terus memperbagus ibadah kita kepada Allah.

*

Andaipun kita telah mampu berupaya seoptimal mungkin dalam beribadah kepada Allah, dan nampaknya kita telah berada di puncak penghambaan, ingatlah sehebat apapun ibadah kita kepada Allah, kita tidak mampu mencapai kesempurnaan.

*

Misalnya terkadang kita lalai dari Allah, lemah semangat ibadah, terlintas keinginan untuk berbuat buruk. 
Kalau hal ini kita sadari, maka tidak pantas merasa telah sukses mengoptimalkan ibadah.

*

Tidak ada gunanya membanggakan keshalihan diri. 
Tidak ada untungnya merasa diri telah suci.

Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan adzab Rabb mereka…. mereka itulah orang-orang yang bersegera untuk mengerjakan kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperoleh (balasan/pahala)nya.”

[QS. Al-Mu`minun: 57, 61]

*

Sebelum kita akhiri, salah satu firman Allah ini sangat tepat dengan keadaan kita yang punya asa tinggi namun tidak disertai dengan pembuktian.

Allah berfirman :

كَلَّا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ

"Sekali-kali tidak ; manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya (secara optimal).”

[QS. `Abasa: 23]

*

Dari uraian di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa kita emang harus punya harapan setinggi angkasa untuk dapat memperoleh Ridho Allah.... 
Menjadi hamba yang beruntung diakhirat... 
Terbebas dari api neraka....
Dan menjadi penghuni Surga...

*

Namun semua itu harus kita imbangi dengan amalan lahir dan batin... 
Dengan menta'ati perintah Allah... 
Menjauhi larangan Allah... 
Menjalankan sunah... 
Menghindari yang subhat dan makhruh...

....sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

*

Demikianlah yang dapat saya sampaikan.
Semoga ada manfaat yang dapat kita ambil bersama.

Mohon maaf atas segala kekurangannya.
Semua kebaikan dan kebenaran datangnya dari Allah dan semua kekurangannya berasal dari saya pribadi yang masih fakir dalam ilmu.
Mohon dimaafkan....

استغفر الله العظيم....
استغفر الله العظيم....
استغفر الله العظيم....

استغفر الله العظيم واتوب اليه

*

Dari saya....

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.