Senin, 20 April 2015

35 AMALAN SUNAH KETIKA KAUM HAWA HAID DAN NIFAS

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 


Islam tidak membataskan muslimah untuk berhenti beramal ketika didatangi haid dan nifas. Malahan wanita beruntung kerana diberi cuti tanpa rekod tapi dapat bonus pahala berganda walaupun tanpa melakukan ibadah solat, puasa dan tawaf.

Atha’ berkata mengenai apa yang diterimanya dari Jabir, iaitu, “Aisyah haid dan dia melaksanakan semua ibadah haji kecuali tawaf sekitar Kaabah dan tidak solat.”

Amalan Ketika Haid Dan Nifas

Terlalu banyak amal-amalan yang boleh kaum hawa lakukan ketika datang haid dan nifas atau dalam berhadas. Antara amalan tersebut adalah:-

.

1)      Berdoa ~ berdoalah untuk apa saja tujuan

2)      Memperbanyakkan beristighfar dan bertaubat

3)      Memperbanyakkan zikir kepada Allah سبحانه وتعالى.

4)      Berselawat ke atas Nabi, seperti Selawat Taisir, Faith dan Nariyah.

5)      Qiamullail menghidupkan malam dengan;

                                               a.      Bermunajat

                                               b.      Bertafakur

                                               c.      Berzikir; bertahlil, bertahmid, bertasbih dan sebagainya.

6)      Memuhasabah dan menghitung diri

7)      Membaca zikir Asmaul Husna

8)      Bersujud ketika mendengar ayat sejadah

9)      Membaca dan menghafal kitab-kitab Hadis

10)  Membaca buku, majalah dan risalah agama.

11)  Mengulangi surah-surah yang biasa diamalkan

12)  Mengkaji dan memahami terjemahan al-Quran

13)  ‘Tolabul Ilmi’ (menambahkan ilmu pengetahuan)

14)  Membaca Al-Ma’thurat (niatkan untuk berzikir)

15)  Mendengar ceramah melalui tv, dvd, youtube dsb.

16)  Mendengar bacaan al-Quran dari qari dan qariah yang baik

17)  Menghadiri/mendengar majlis-majlis ilmu yang diadakan

18)  Membasuh pakaian beribadat seperti telekung dan sejadah

19)  Membantu juga mencuci peralatan solatsurau dan masjid

20)  Bersabar dan menjaga tutur kata serta kebersihan diri

21)  Berkhidmat dan membantu suami dan keluarga

22)  Melaksanakan urusan rumah dan keluarga

23)  Sediakan makanan untuk orang bersahur

24)  Memberi makan orang yang berpuasa.

25)  Melakukan kerja-kerja rumah

26)  Berbakti kepada Orang Tua

27)  Perbanyak infaq dan sedekah

28)  Melakukan khidmat masyarakat.

29)  Melakukan perbincangan ilmiah

30)  Menjalankan kerja-kerja dakwah

31)  Belajar dan bekerja dengan sabar dan tekun

32)  Menjalin dan mempereratkan tali silaturahim

33)  Melafazkan ucapan takbir ketika hari raya

34)  Menghadiri Solat Hari Raya (Aidil Fitri dan Aidil Adha)

35)  Mengerjakan segala ibadah haji dan umrah kecuali tawaf dan solat.

Ketika membaca dan menghafal surah-surah, berdoa, istighfar dan zikir yang diambil dari al-Quran hendaklah dibaca dengan niat untuk berdoa, berzikir dan beristighfar, bukan dengan niat membaca al-Quran.

Menurut pandangan Jumhur ulamak termasukImam-Imam mazhab empat; Diharamkan ke atas orang yang berhadas besar membaca al-Quran dengan lisannya sekalipun satu ayat. Mereka berdalilkan hadis dari Ibnu Umar yang menceritakan Rasulullah ﷺ bersabda; “Janganlah wanita dalam haid dan orang yang berjunub membaca sesuatupun dari al-Quran.” (HR Imam at-Tirmizi dan Ibnu Majah).

Berdasarkan hadis ini, jumhur ulamak memutuskan; orang-orang yang berada dalam haid dan junub dilarang membaca al-Quran dengan bersuara. Adapun membaca dengan hati (tanpa menggerakkan lidah), diharuskan.

Imam Malik pula berpandangan; Diharuskan wanita dalam haid dan nifas membaca al-Qurandari ayat-ayat yang dihafalnya jika dibimbangi dan takut hilang dari ingatannya jika tidak dibaca sepanjang tempoh haid atau nifasnya. Namun, orang berjunub dilarang sama sekali membaca al-Quran.

Selain dari 35 amalan sunat di atas, pada hari pertama ‘keuzuran’ boleh juga dibaca ‘Doa Wanita Ketika Datang Haid berikut:

Allah سبحانه وتعالى berfirman:

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ

وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴿٣


“Ðemi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh dan mereka pula berpesan-pesan dengan kebenaran serta berpesan-pesan dengan kesabaran.”

(Surah al-‘Asr 103: Ayat 1-3)



SOLUSI BAGI WANITA HAIDH SUPAYA BISA MEMBACA AL QUR’ANSOLUSI BAGI WANITA HAIDH SUPAYA BISA MEMBACA AL QUR’AN


     Berikut ada solusi yang baik untuk para wanita ketika menghadapi masalah ini.


1- Membaca mushaf saat haidh namun tidak menyentuh secara langsung


Membaca masih dibolehkan bagi wanita yang berhadats. Yang tidak dibolehkan adalah menyentuh langsung saat berhadats.


Dalil yang menunjukkan larangan untuk menyentuhnya adalah ayat,


لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ


“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al Waqi’ah: 79)


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ


“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih). Dalam keadaan suci di sini bisa berarti suci dari hadats besar dan hadats kecil. Haidh dan nifas termasuk dalam hadats besar.


Jika dilarang menyentuh Al Quran dalam keadaan haidh, lalu bagaimana dengan membaca?


Solusinya dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah di mana beliau berkata, “Diperbolehkan bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al Qur’an menurut pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya, karena tidak ada dalil yang melarang hal ini. Namun, seharusnya membaca Al Qur’an tersebut tidak sampai menyentuh mushaf Al Qur’an. Kalau memang mau menyentuh Al Qur’an,maka seharusnya dengan menggunakan pembatas seperti kain yang suci dan semacamnya (bisa juga dengan sarung tangan, pen). Demikian pula untuk menulis Al Qur’an di kertas ketika hajat (dibutuhkan), maka diperbolehkan dengan menggunakan pembatas seperti kain tadi.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 10: 209-210)


Adapun hadits yang menyebutkan,


لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئاً من القرآن


“Tidak boleh membaca Al Qur’an sedikit pun juga bagi wanita haidh dan orang yang junub.” Imam Ahmad telah membicarakan hadits ini sebagaimana anaknya menanyakannya pada beliau lalu dinukil oleh Al ‘Aqili dalam Adh Dhu’afa’ (90), “Hadits ini batil. Isma’il bin ‘Iyas mengingkarinya.” Abu Hatim juga telah menyatakan hal yang sama sebagaimana dinukil oleh anaknya dalam Al ‘Ilal (1/49). Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawanya (21/460), “Hadits ini adalah hadits dho’if sebagaimana kesepakatan para ulama pakar hadits.”


Ibnu Taimiyah mengatakan, “Hadits di atas tidak diketahui sanadnya sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits ini sama sekali tidak disampaikan oleh Ibnu ‘Umar, tidak pula Nafi’, tidak pula dari Musa bin ‘Uqbah, yang di mana sudah sangat ma’ruf banyak hadits dinukil dari mereka. Para wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sudang seringkali mengalami haidh, seandainya terlarangnya membaca Al Qur’an bagi wanita haidh atau nifas sebagaimana larangan shalat dan puasa bagi mereka, maka tentu saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menerangkan hal ini pada umatnya. Begitu pula para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya dari beliau. Tentu saja hal ini akan dinukil di tengah-tengah manusia (para sahabat). Ketika tidak ada satu pun yang menukil larangan ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tentu saja membaca Al Qur’an bagi mereka tidak bisa dikatakan haram. Karena senyatanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang hal ini. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak melarangnya padahal begitu sering ada kasus haidh di masa itu, maka tentu saja hal ini tidaklah diharamkan.” (Majmu’ Al Fatawa, 26: 191)


2- Membaca Al Quran terjemahan


Kalau di atas disebut mushaf berarti seluruhnya berisi ayat Al Quran tanpa ada terjemahan. Namun kalau yang dibaca adalah Al Quran terjemahan, itu tidak termasuk mushaf.


Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ mengatakan, “Jika kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat Al Qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir semacam itu, maka di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.”


Jika yang disentuh adalah Al Qur’an terjemahan dalam bahasa non Arab, maka itu tidak disebut mushaf yang disyaratkan dalam hadits mesti menyentuhnya dalam keadaan suci. Namun kitab atau buku seperti itu disebut tafsir sebagaimana ditegaskan oleh ulama Malikiyah. Oleh karena itu tidak mengapa menyentuh Al Qur’an terjemahan seperti itu karena hukumnya sama dengan menyentuh kitab tafsir. Akan tetapi, jika isi Al Qur’annya lebih banyak atau sama banyaknya dari kajian terjemahan, maka seharusnya tidak disentuh dalam keadaan berhadats.



والله أعلم بالصواب

Wallahu A’lam Bish Shawab

 (Hanya Allah Maha Mengetahui apa yang benar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dan saran anda akan sangat bermanfaat untuk kemajuan blog ini.