Kamis, 22 Mei 2014

MEMBANDINGKAN DUA CALON PRESIDEN RI

Assalamualaikum!

       Pilpres tinggal hitungan hari saja. Apakah anda sudah menentukan pilihan dalam Pilpres mendatang? Apakah anda sudah tahu latar belakang calon presiden yang hendak anda pilih? Dari banyaknya partai dengan calon presiden yang hendak mereka ajukan, kini sudah mengerucut ke kubu dua pasangan capres dan cawapres.
Dua pasangan calon presiden sudah resmi mendaftarkan diri ke KPU, yang pertama adalah pasangan Joko Widodo yang akan berdampingan dengan Jusuf Kalla dan yang kedua adalah pasangan Prabowo Subianto yang akan berdampingan dengan Hatta Rajasa.
Khusus untuk calon presiden di atas, disini penulis mencoba untuk sedikit memberikan informasi latar belakang mereka.

       Sedikit kita ulas apa yang menjadi pernyataan capres Konvensi Partai Demokrat Gita
Wirjawan yang mengatakan bahwa dalam upayanya menjadi
seorang capres, “Pekerjaan saya adalah menjual tesis,
narasi. Semuanya tentang narasi. Ada penjual, ada
pembeli.”
Meski Partai Demokrat kemudian tak bisa mengajukan
capres sendiri, dan impian Gita Wirjawan untuk menjadi
capres harus gugur, ada sesuatu yang penting muncul
dari jawabannya tentang menjual narasi tersebut.
Politik, terutama pemilihan presiden, adalah soal menjual
narasi ketokohan si capres. Tentu semua sudah tahu itu,
tapi, entah karena terlalu jujur atau naif, dari Gita-lah
kita mendapat jawaban gamblang akan sesuatu yang tak
mau diakui secara terbuka oleh capres lain. Bahwa ada
proses manipulasi citra yang terjadi di belakang layar.
Dalam kurang lebih 50 hari ke depan, kita akan melihat
narasi ketokohan seperti apa yang dijual masing-masing
capres, dan pada akhirnya, menentukan seberapa
meyakinkan mereka menjual narasi tersebut ke calon
pemilih. Baik Jokowi maupun Prabowo akan menegaskan
bahwa narasi ketokohan yang mereka jual itu benar
adalah diri mereka sehari-hari, bahwa mereka adalah
sosok yang asli, genuine, autentik. Dan dalam upaya
menunjukkan autentisitas diri, tampaknya Jokowi punya
keunggulan karena kisah hidupnya yang relatif tak
diketahui.
Mari kita bandingkan.

       Sebelum Prabowo suka memakai pakaian safari seperti
Soekarno, bahkan menggunakan mic khusus yang
membuat dia seperti pria dikirim oleh mesin waktu
langsung dari dari era Kemerdekaan Indonesia, ia adalah
anak dari Begawan Ekonomi Indonesia, Sumitro
Djojohadikusumo.
Julukan Begawan Ekonomi tak melebih-lebihkan semua
pencapaian Sumitro. Ia sudah menjadi Dekan Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia pada usia 34, menjadi
Menteri Perdagangan dan Perindustrian pada usia 33.
Sebagai dekan FE-UI, ia berperan dalam mendidik
orang-orang yang kemudian menentukan dan mengambil
keputusan penting dalam ekonomi Indonesia.
Singkatnya, dialah yang meletakkan fondasi dan
menentukah arah sistem ekonomi Indonesia modern.
Ayah Sumitro, Margono Djojohadikusumo bahkan menjadi
pendiri, pembentuk, dan Direktur Utama Bank Negeri
Indonesia (BNI).
Pada masa kuliahnya di Universitas Sorbonne, Paris,
Sumitro dikabarkan berinteraksi dengan filsuf pemenang
Nobel Henri Bergson, fotografer yang kemudian dikenal
sebagai Bapak Jurnalisme Foto Henri Cartier-Bresson,
dan pemimpin dunia Jawaharlal Nehru. Dengan sosok
ayah yang terhubung ke lingkaran pergaulan intelektual
dunia seperti inilah Prabowo tumbuh besar dan
terbentuk.
Prabowo sendiri bukannya tak punya pergaulan kelas
dunia. Raja Yordania, Abdullah II, adalah salah satu
sahabatnya. Saat sang raja datang ke Jakarta pada akhir
Februari lalu, ia lebih dulu menemui Prabowo daripada
menemui kepala negara sekaligus kepala pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam situs Gerindra Sulawesi Selatan , kedekatan
Prabowo dan Raja Abdullah II dibahas lebih jauh.
“Kisah persahabatan Prabowo dan Abdullah dituangkan
dalam buku berjudul “Prabowo: Dari Cijantung Bergerak
ke Istana”. Dalam salah satu bab, dikatakan bahwa
Yordania adalah negara kedua bagi Prabowo, terutama
setelah kisruh 1998 pecah. Saat itu, Abdullah yang masih
menjadi pangeran menawari Prabowo untuk tinggal
sementara di negaranya. Prabowo disambut hangat oleh
Abdullah. Bahkan Prabowo sempat diundang ke markas
tentara Yordania Dia tiba dengan pakaian kasual,
namun disambut secara militer. “Di sini Anda tetap
Jenderal,” kata Abdullah sambil memeluk Prabowo.
Bahkan, Abdullah II yang saat itu memimpin Komando
Pasukan Khusus Kerajaan Yordania memaksa Prabowo
menginspeksi pasukannya. Sejak saat itu, Prabowo
mengaku jatuh cinta dengan Yordania.”
Bukan hanya persahabatannya kini, sosok Prabowo dulu
juga tak lepas dari keterkaitannya dengan salah satu
(atau malah satu-satunya) keluarga paling berkuasa di
Indonesia.
Kiprah Prabowo sendiri di Kopassus (dan akhirnya yang
tak menyenangkan buat dia) sudah banyak dibahas
media.
Meski dengan kegagalannya, kehidupan Prabowo, baik
dari sisi didikan keluarga, lingkungan sosial, status
pernikahannya (dulu), membuat dia dekat dan menjadi
bagian dari kekuasaan. Maka wajar saja jika di
rumahnya di Sentul, Bogor, Jawa Barat, dia punya
pendopo seperti layaknya keraton raja-raja Jawa. Dalam
wawancara dengan Financial Times pada Juni 2013 lalu,
Prabowo bahkan disebut bisa melacak garis
keturunannya sampai sultan-sultan Mataram, penguasa
Jawa terakhir sebelum jatuh ke kekuasaan East India
Company milik Belanda pada abad 18.
Maka, posisi presiden, atau ‘raja’, buat Prabowo
bukanlah lompatan yang fantastis karena orang-orang
yang dekat dengan dia (pernah) berada di posisi
tersebut. Buat Prabowo, punya kuda-kuda berharga
miliaran, punya pendopo, menjadi penguasa bukanlah
ilusi atau fantasi akan kebesaran (grandeur) tapi
sekadar memenuhi takdirnya.

       Sekarang mari kita lihat Jokowi.
Sosoknya pertama muncul di media sebagai Wali Kota
Solo yang berhasil memindahkan PKL ke lokasi baru
dengan cara tidak biasa, mengajak mereka makan
bersama untuk membujuk sampai akhirnya mau pindah.
Berbeda dengan cara-cara pemimpin daerah lainnya
yang memindahkan PKL dengan cara penggusuran
paksa.
Dalam esai ini , ada lima tip yang bisa ditiru calon
pemimpin daerah untuk menjadi Jokowi berikutnya,
(1)bertarunglah di pilkada, (2)utamakan bertarung di
daerah-daerah atau kota-kota besar yang populer dan
dekat dengan media, (3)menangkan pilkada itu,
(4)bekerjalah dengan sebaik-baiknya dan tunjukkan
perubahan yang berarti dan kasat mata, (5) sedari awal
begitu terpilih langsung rancang tim komunikasi yang
terus menerus mengkampanyekan gerak-gerik dan
perubahan-perubahan yang sudah dilakukan dengan cara
yang cantik, cerdik, dan sadar media.
Poin lima inilah yang terpenting dalam membentuk dan
menjaga konsistensi narasi seorang tokoh.
Selama ini, Jokowi selalu dicitrakan sebagai seorang
yang sederhana, tidak neko-neko, apa adanya, polos,
dan lugu. Namun, dalam wawancara dengan Yahoo
Indonesia pada Februari 2012 lalu, Jokowi sekilas
memberi gambaran akan sosoknya yang sebenarnya.
Wawancara itu dilakukan menjelang pemilihan Gubernur
DKI Jakarta. Jokowi pun ditanya, apakah ia berminat
untuk mencalonkan diri jadi gubernur ibu kota? Saat
itu, pencalonannya sebagai gubernur baru wacana dan
harapan semata. Belum ada sosok atau tokoh atau
petinggi parpol yang menganggap ide itu serius.
Jokowi menjawab, “Dalam setiap keputusan harus ada
kalkulasi matang. Semua harus dihitung detil, data harus
dikuasai benar, lapangannya dikuasai benar. Sehingga
saat memutuskan, "Ya, saya maju", saya bukan maju
untuk kalah. Kerja harus seperti itu, maju ya untuk
menang.”
Saat wawancara. ia mengaku belum menghitung
kemungkinannya. Namun saat ditanya tentang dukungan
yang terus mengalir, dia bilang, “Kalau nanti PDIP
menugaskan, hmm... Saya akan kalkulasi
kemungkinannya, tetap harus ngukur. Maju harus untuk
menang.”
Jawaban-jawaban ini bisa kita terima dari permukaan
saja, bahwa memang segalanya harus diperhitungkan,
namun kita mendapat gambaran akan seorang Jokowi
yang sebenarnya sangat berhati-hati dan kalkulatif dalam
berhitung untung rugi tindakannya. Jauh dari kesan
sederhana, polos, dan apa adanya. Dia adalah seorang
penghitung dan penganalisis risiko meski menampilkan
kesan seseorang yang sederhana.
Dalam analisisnya akan bintang pop Lorde , akademisi
Anne Helen Petersen menyebut bahwa setiap selebritas
punya dua komponen utama dalam pembentukan citra,
yaitu produk (atau sosok si seleb sendiri) dan
pencitraan yang dibangun di sekitar si seleb, yang
biasanya dikenal sebagai publisitas.
Dalam kasus Lorde, dia menjadi bintang pop yang
berbeda dari Justin Bieber atau Selena Gomez atau
Taylor Swift karena yang dia lakukan dengan menjadi
tidak sempurna dengan menunjukkan hasil Photoshop
majalah akan jerawat di wajahnya, dengan bicara apa
adanya dan berani mengritik bintang lain, adalah dirinya
yang sebenarnya, bukan hasil manipulasi pencitraan tim
komunikasi.
Namun, yang tak disadari, dan yang kemudian disoroti
oleh Petersen, bahwa ketiadaan pencitraan, yang seolah-
olah spontan, wajar, dan tidak neko-neko, sendirinya
adalah sebuah citra.
Jokowi (dan timnya) cukup tahu bahwa ada stereotipe
yang muncul di masyarakat akan pejabat di Indonesia—
bahwa mereka manja, selalu mau dilayani, ingin enaknya
saja, dan diutamakan. Maka, muncul berita-berita dan
foto penumpang yang naik satu pesawat ekonomi dengan
Jokowi. Ia naik pesawat tanpa pengawalan istimewa
dan membawa kopernya sendiri .
Masalahnya, menurut Petersen, autentisitas seorang
selebritas sebenarnya hanyalah ilusi, atau produk buatan
juga. Bertemu seorang selebritas (atau capres) secara
langsung (atau di pesawat ekonomi) awalnya disebut
sebagai satu-satunya cara melihat selebritas itu
sebenarnya seperti apa saat jadi orang biasa. Tapi tentu
selebritas itu tahu, bahwa dia punya citra yang harus
dijaga, maka “mereka tidak langsung akan menjadi diri
mereka sebenarnya hanya ketika Anda berada satu lift
dengan mereka.”
Mungkin memang Gubernur DKI dan capres PDIP ini
sering naik pesawat sendiri, namun dengan kemampuan
kalkulasi Jokowi, tentu kita bisa (dan harus) bertanya,
apakah itu memang dirinya yang sebenarnya—
sederhana, apa adanya—atau dia dan timnya tahu
bagaimana membangun citra sederhana dengan cara
yang sangat halus?
Dalam wawancara dengan Yahoo Indonesia, Jokowi tak
memunculkan kata itu, tapi dia menegaskan bahwa dia
tak punya potongan untuk jadi pemimpin. “Waktu baru
6 bulan jadi walikota, saya memilih ajudan yang secara
performa ganteng dan bagus. Eh malah kalau ada tamu,
yang disalamin dia dulu. (tertawa) Malah dia yang
dikira walikota, saya nggak. Artinya saya nggak punya
potongan jadi walikota, apalagi jadi gubernur.”
Tak sulit membayangkan Jokowi akan menjawab seperti
ini juga jika ditanya, apakah ia berminat jadi presiden.
Buktinya, pada berita Januari 2012 ini , ia menjawab,
jangankan jadi calon presiden, jadi walikota saja dia tak
punya potongan. Cocoknya cuma jadi Ketua RT. Seolah
dia tak punya ambisi kekuasaan jika dibandingkan
dengan sosok lain yang begitu ngotot jadi presiden
seperti Aburizal Bakrie.
Ada satu kata yang sering diucapkan Jokowi untuk
menegaskan posisinya sebagai kebalikan dari kebanyakan
tokoh politik atau capres di Indonesia, yaitu ‘ndeso’.
Narasi ‘ndeso’ itu ia tegaskan lagi saat tampil kampanye
di Lampung pada Maret 2014. “Saya itu enggak punya
duit, ndeso, miskin koneksi pusat,” kata Jokowi.
Beberapa hari kemudian, di Banten , dia menggunakan
lagi kata itu, “"Wajah saya capek nggak? Wajah ndeso
nggak? Ya nggak apa-apa wajah ndeso. Tapi nanti...,"
ujarnya tanpa melanjutkan perkataannya.”
‘Ndeso’ tak muncul dari julukan media, tapi malah dari
Jokowi sendiri. Kata ini seolah menjadi inti pemosisian
(anti-)citra Jokowi. Dengan 'ndeso', dia berupaya tampil
merendah sekaligus meninggikan dirinya, karena itulah
caranya menjadi berbeda dengan para pesaing politik.
Bahwa dibandingkan dengan Prabowo yang
memposisikan diri sebagai elite negara, tumbuh besar di
lingkungan orang cerdas dunia, dan kekuasaan, Jokowi
bak Daud yang tengah melawan Goliath.
Tapi, ketika kita melihat harta kekayaan Jokowi dan
pendidikan serta pengalaman kerjanya, dia jauh dari
sosok ‘ndeso’ dan sederhana. Dia bisa berkuliah di
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, salah satu
universitas bergengsi di Indonesia. Ia pernah ke Aceh
dan bekerja di PLN sebelum kemudian memiliki CV
sendiri yang membuat dan mengekspor mebel jati.
Harta kekayaan Jokowi per 2010 saja tercatat Rp18,47
miliar dan $9483. Tanah dan bangunannya sejumlah
Rp15,7 miliar tersebar di Kabupaten Sragen, Kota
Surakarta, Kota Balikpapan, Kabupaten Karanganyar,
Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Boyolali. Dia juga
punya 11 mobil dan 1 motor yang bernilai Rp893 juta
yaitu mobil Isuzu Panther (2), Isuzu (3), Honda City,
Mercedes Benz, Nissan Terrano, Daihatsu Espass,
Suzuki dan motor Yamaha Vino E. Dia juga punya
usaha peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian,
kehutanan dan pertambangan senilai Rp1,004 miliar.
Ditambah harta bergerak lain berupa logam mulia, batu
mulia dan benda bergerak lain sejumlah Rp689,42 juta.
Harta lainnya masih ada berbentuk giro dan setara kas
lain senilai Rp186,724 juta.
Dengan semua perhitungan ini, sebenarnya Jokowi
adalah bagian dari kelas menengah kaya Indonesia yang
kemunculannya beberapa tahun terakhir jadi sorotan
media. Memang, hartanya tak berada di kelas yang sama
dengan Prabowo, Hatta Rajasa, Aburizal Bakrie, atau
Jusuf Kalla, tapi kelas ekonomi Jokowi sebenarnya juga
berada di atas rata-rata penduduk Indonesia.
Ada narasi lain sebenarnya yang bisa dipilih Jokowi
untuk memunculkan dirinya. Namun, jika dia
menampilkan dirinya sebagai bagian dari kelas menengah
atau saudagar, tentu tak akan semenonjol dengan
pilihannya saat ini, ‘ndeso’. Citra yang kemudian
diperkuat dengan aksen Jawanya yang kental.
Dalam pemilihan presiden kali ini, kita melihat dua citra
berbeda yang ditawarkan oleh masing-masing kandidat
dan mungkin akan jadi simbol buat Indonesia ke depan.
Antara seorang keturunan penguasa dengan didikan
lingkungan dan pergaulan serta wawasan internasional
untuk membangun visi kebangsaan atau seorang pria
dengan latar belakang seperti kebanyakan orang
Indonesia yang merambat naik di jabatan pemerintahan.
Jika Anda percaya dengan salah satunya, mungkin
karena Anda merasa apa yang mereka tawarkan terasa
lebih jujur, lebih asli dibanding yang lain. Namun, seperti
kata Gita Wirjawan, menjadi presiden adalah soal
menjual narasi.
Baik Prabowo, maupun Jokowi, sama-sama sedang
berjualan (anti-)pencitraan. Sebagai calon pembeli,
sudah sepatutnya kita mempertanyakan lagi, apa
sebenarnya yang membuat kita tertarik ke salah satu
kandidat ini dan kenapa.
Analisis tak berarti kita menghancurkan kepercayaan dan
kekaguman kita pada seorang tokoh, tapi justru membuat
kita menemukan dasar dan alasan kuat untuk percaya
pada apa yang mereka tawarkan.

       Disini penulis tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan salah satu calon presiden, tetapi hanya mengungkapkan fakta nyata untuk kita jadikan sebagai dasar dan alasan kita dalam menentukan pilihan!

Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dan saran anda akan sangat bermanfaat untuk kemajuan blog ini.